BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kotrimoksazol adalah kombinasi dua obat antibiotik sulfametoksazol (Smx) dan trimetoprim (Tmp) dengan perbandingan 5 : 1, yang bersifat bakterisid dengan spektrum kerja luas. Sulfametoksazol dan trimetoprim menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergis (Ganiswarna, 2007). Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) dan United States Pharmacopeia Edisi XXIV (2004) bahwa tablet kotrimoksazol dapat ditetapkan kadarnya secara kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) menggunakan kolom L1 (3,9 mm x 30 cm) pada panjang gelombang 254 nm dengan fase gerak campuran 1400 ml air, 400 ml asetonitril, dan 2 ml trietilamina, serta laju aliran 2 ml/menit. Persyaratan kadar untuk tablet kotrimoksazol baik sulfametoksazol maupun trimetoprim tidak kurang dari 93% dan tidak lebih dari 107% dari jumlah yang tertera pada etiket. Metode KCKT mempunyai keuntungan lebih banyak dibandingkan metode lain, yaitu mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran, resolusinya baik, detektor yang bersifat sensitif mampu menganalisis berbagai macam cuplikan, memiliki sensitifitas tinggi, kolom dapat digunakan kembali dan mudah mendapatkan perolehan kembali (Putra, 2004).
1
2
Harmita dkk. (2012) telah melakukan optimasi dan validasi metode analisis kuantitatif campuran sediaan tablet kotrimoksazol di dalam plasma manusia secara in vitro menggunakan KCKT fase terbalik dengan kolom analisis berupa kolom Kromasil C18 (250 mm x 4,6 mm, id, 5 μm). Fase gerak terdiri dari asetonitril-air (20:80 v/v) dengan penambahan trietilamina(0,1% v/v). Pelarut disesuaikan dengan pH 5,9 ± 0,1 dengan 0,2 N NaOH atau asam asetat encer (1% v/v), dengan panjang gelombang 240 nm dan laju aliran 1 ml/menit. Hasil dari penelitian ini menunjukkan nilai koefisien relasi (r) kurva kalibrasi 0,9994 dan 0,9996, presisi dengan nilai 0,85% dan 0,98%, akurasi dengan nilai 98% dan 102% untuk masing-masing trimetoprim dan sulfametoksazol. Rezaee dkk. (2000) menetapkan kadar kombinasi obat trimetoprim dan sulfametoksazol dengan KCKT fase terbalik pada panjang gelombang 260 nm dan kolom analitik C18. Fase gerak natrium fosfat 0.025 M, (pH 2.8 dengan asam fosfat 5mM), asetonitril 0,4% dan ditambahkan trietilamin (80:20 v/v) dengan laju aliran 1.2 ml/menit. Hasil dari penelitian ini menunjukkan nilai ketelitian memenuhi persyaratan yang tertera pada etiket. Akbar (2013) menetapan kadar kotrimoksazol dalam sediaan suspensi dengan metode KCKT menggunakan kolom fase balik diperoleh kadar sulfametoksazol sebesar 101,17% dan trimetoprim 105,65%. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti bertujuan melakukan validasi penetapan kadar sulfametoksazol dan trimetoprim menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi dan aplikasinya dalam sediaan tablet kotrimoksazol fase terbalik
3
dengan menguji parameter ketelitian, ketepatan, linieritas, selektivitas dan sensitivitas serta mengaplikasikan metode pada sediaan tablet.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, maka perumusan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah validasi metode penetapan kadar sulfametoksazol dan trimetoprim menggunakan KCKT fase terbalik dengan fase diam C18 dan fase gerak airasetonitril (1400:400, v/v) dapat dilakukan ? 2. Apakah metode pada butir 1 dapat diaplikasikan pada sediaan tablet kotrimoksazol dan memenuhi persyaratan kadar menurut Farmakope Indonesia Edisi IV tahun 1995 ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Melakukan validasi metode penetapan kadar sulfametoksazol dan trimetoprim menggunakan KCKT fase terbalik dengan fase diam C18 dan fase gerak airasetonitril (80:20, v/v)
2.
Mengaplikasikan metode pada butir 1 untuk menetapkan kadar kotrimoksazol yang memenuhi persyaratan kadar menurut Farmakope Indonesia edisi IV tahun 1995.
4
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan metode penetapan kadar sulfametoksazol dan trimetoprim menggunakan KCKT yang memenuhi persyaratan E. Tinjauan Pustaka 1.
Sulfametoksazol Sulfametoksazol atau –N-(5-metil-3-isoksazol) sulfonamid merupakan
golongan sulfonamid, mengandung tidak kurang dari 95% dan tidak lebih dari 105% C10H11N3O3S yang tertera pada etiket. (Depkes RI., 1995). Struktur kimia sulfametoksazol ditunjukkan gambar1.
Gambar 1. Struktur kimia Sulfametoksazol (Depkes RI, 1995).
Prinsip kerja sulfametosazol didasarkan pada hambatan kompetitif sintetis. Inhibisi kompetitis dapat terjadi karena bangun geometrik golongan sulfonamid yang sangat mirip dengan struktur asan p-amino-benzoat yang digantikan. Karena kesamaan ini enzim dapat menggabungkan diri pada sulfonamid dengan jumlah molekul yang cukup besar, sehingga sel bakteri tidak mampu membentuk asam folat dan bakteri tidak dapat tumbuh. Berikut struktur molekul asam paminobenzoat dan sulfonamide (Ganiswarna, 2007).
5
PABA
Sulfonamid
Gambar 2. Struktur kimia asam p-aminobenzoat dan sulfonamid. (Depkes RI., 1995).
Asam p-aminobenzoat merupakan vitamin yang dibutuhkan bakteri untuk sintesis asam folat. Asam tetrahidrofolat salah satu turunan asam folat merupakan kofaktor sintesa timidin, purin, dan terbentuknya DNA.
2.
Trimetoprim Trimetoprim
atau
2,4-diamino-5-(3,4,5-trimetoksibenzil)
pirimidina
C14H18N4O3 mengandung tidak kurang 98,5% dan tidak lebih dari 101,0% dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. (Depkes RI, 1995). Struktur kimia trimetoprim ditunjukkan gambar 3.
Gambar 3. Struktur kimia trimetoprim (Depkes RI., 1995).
Trimetoprim sebagai antimikroba sintesis yang digunakan untuk pengobatan saluran kemih yang tidak komplek, terutama yang disebakan E.coli, P. mirabilis, K. Pneumoniae dan Enterobacter.
Trimetoprim merupakan penghambat
metabolisme asam folat dengan berikatan enzim dihidrofolat reduktase yang
6
diperlukan untuk mengubah asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat dalam bakteri. 3.
Kotrimoksazol Tablet kotrimoksazol merupakan campuran dari sulfametoksazol dan
trimetoprim. Tablet kotrimoksazol mengandung sulfametoksazol C10H11N3O3S dan trimetoprim, C14H18N4O3, tidak kurang dari 93,0% dan tidak lebih dari 107,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Depkes RI, 1995). a. Mekanisme Kerja Aktivitas
antibakteri
kombinasi
sulfametoksazol
dan
trimetoprim
berdasarkan kerjanya pada dua tahap yang berurutan pada reaksi enzimatik untuk pembentukan asam tetrahidrofolat. Sulfonamida manghambat masuknya PABA ke dalam molekul asam folat dan trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat penting untuk reaksi-reaksi pemindahan satu atom C, seperti pembentukan basa purin (adenine dan guanine), timidin dan beberapa asam amino (metinin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan dan tidak mensintesis senyawa tersebut. Trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia (Ganiswarna, 2007). Kotrimoksazol ini bersifat bakterisid untuk beberapa jenis mikroba dengan perbandingan kadar sulfametoksazol dengan trimetoprim yang optimal adalah 20:1. Sifat farmakokinetik sulfonamid untuk kombinasi dengan trimetoprim sangat penting untuk kadar yang relatif tetap dari kedua obat tersebut dalam
7
tubuh. Trimetoprim pada umumnya 20-100 kali lebih poten daripada sulfametoksazol,
sehingga
sediaan
kombinasi
diformulasikan
untuk
mendapatkan kadar sulfametoksazol 20 kali lebih besar daripada trimetoprim (Ganiswarna, 2007). b. Farmakokinetik Trimetoprim biasanya diberikan secara oral, baik tunggal maupun dikombinasikan dengan sulfametoksazol, kombinasi ini merupakan bentuk terakhir yang dipilih karena trimetoprim dan sulfametoksazol memiliki waktu paruh yang hampir sama (Katzung, 2004). Rasio kadar sulfametosazol dan trimetoprim yang ingin dicapai dalam darah adalah sekitar 20:1, karena sifatnya yang lipofilik, trimetoprim mempunyai volume distribusi yang lebih besar daripda sulfametoksazol. Dengan memberikan sulfametoksazol 800 mg dan trimetoprim 160 mg per oral
(rasio
sulfametoksazol:trimetoprim
=
5:1).
Trimetoprim
cepat
didistribusikan kedalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat pada protein plasma. (Ganiswarna, 2007). c. Efek Samping Biasanya berupa gangguan kulit dan gangguan lambung-usus, stomatitis. Pada dosis tinggi efek sampingnya juga berupa demam dan gangguan fungsi hati dan kelainan pada darah (neutropenia, trombositopenia). Oleh karena itu, penggunaan lebih dari dua minggu hendaknya disertai dengan pengawasan
8
darah. Resiko kristal uria dapat dihindari dengan meminum lebih dari 1,5 liter air sehari (Tjay dan Rahardja, 2002). Kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim merupakan pengobatan yang efektif untuk infeksi-infeksi saluran kemih dengan komplikasi, alat kelamin (prostatitis) dan saluran cerna (Katzung, 2004). Kombinasi
sulfametoksazol
dan trimetoprim menjadi terapi efektif untuk berbagai infeksi, meliputi pneumonia akibat Pneumocystis carini, shigelosis, infeksi salmonella sistematik, infeksi saluran kemih, dan beberapa infeksi Mycobacterium non tuberculosis (Ganiswarna, 2007). d. Bentuk Sediaan Kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet oral yang mengandung 400 mg Sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim atau 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim. Untuk anak- anak tersedia dalam bentuk suspensi oral yang mengandung 200 mg Sulfametoksazol dan 40 mg Trimetoprim/5 ml, serta tablet pediatrik yang mengandung 100 mg Sulfametoksazol dan 20 mg Trimetoprim. Untuk pemberian intravena tersedia sediaan infus yang mengandung 400 mg Sulfametoksazol dan 80 mg Trimetoprim/5 ml (Gunawan, 2007). e. Dosis Dosis dewasa 800 mg Sulfametoksazol dan 160 mg Trimetoprim setiap 12 jam. Pada infeksi yang berat diberikan dosis lebih besar. Dosis yang dianjurkan untuk anak-anak adalah Sulfametoksazol 40 mg/kg/BB/hari dan 8
9
mg/kg/BB/hari Trimetoprim yang diberikan dalam 2 dosis. Pemberian pada anak dibawah 2 tahun dan ibu hamil tidak dianjurkan. (Ganiswarna, 2007). 4.
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Kromatogarfi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan
dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif dan beragam sehingga mampu menganalisa berbagai cuplikan secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Depkes, 1995). KCKT secara umum digunakan untuk pemisahan dan pemurnian senyawa obat serta untuk analisis kuantitatif senyawa obat dalam farmasetika (Gandjar, 2012). KCKT merupakan salah satu metode kimia dan fisikokimia yang menggunakan fase gerak cair dan fase diam cairan atau padat. Banyak kelebihan dari metode ini dibandingkan dengan metode lainnya yaitu mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran, kecepatan analisis dan kepekaannya tinggi, dapat terhindar terjadinya kerusakan bahan yang dianalisis, resolusinya baik, kolom dapat digunakan kembali dan mudah dalam melakukan perolehan kembali (Rohman, 2007). Beberapa bagian dari instrumen KCKT terdiri dari: a. Wadah Fase Gerak Wadah fase gerak yang digunakan harus bersih. Wadah pelarut kosong ataupun labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak. Wadah
10
ini biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut (Rohman, 2007). b. Fase Gerak Fase gerak atau eluen biasanya terdiri dari campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat-sifat komponen sampel. Fase gerak sesbelum digunakan harus disaring terlebih dahulu untuk menghindari partikel-partikel kecil. Selain itu danya gas dalam fase gerak juga harus dihilangkan, sebab adanya gas akan berkumpul dengan komponen lain terutama di pompa dan detector sehingga akan mengacaukan analisis (Rohman, 2007). c. Pompa Untuk menggerakkan fase gerak melalui kolom diperlukan pompa. Pompa harus mampu menghasilkan tekanan 5000 psi pada kecepatan alir 3 ml/menit. Pompa ada 2 jenis yaitu pompa volume konstan dan pompa tekanan konstan. Pompa terbuat dari bahan yang inert terhadap semua pelarut. Bahan yang umum digunakan adalah gelas baja antikarat dan teflon. Aliran pelarut dari pompa harus tanpa denyut untuk menghindari hasil yang menyimpang pada detektor (Rohman, 2007). d. Tempat penyuntikan sampel Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung kedalam fase gerak yang mengalir dibawah tekanan menuju kolom menggunakan alat
11
penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel internal atau eksternal (Rohman, 2007). e. Kolom Kolom merupakan komponen yang vital pada analisis kromatografi. Keberhasilan atau kegagalan analisis bergantung pada pilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Kolo m pada kromatografi cair kinerja tinggi merupakan bagian yang sangat penting, karena proses separasi (pemisahan) komponen-komponen sampel akan terjadi di dalam kolom. Kolom akan menjadi kunci penentu keberhasilan pemisahan komponen-komponen sampel serta hasil akhir analisis dengan KCKT (Mulja dan Suharman, 1995). f. Detektor Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor-detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar respons linier yang luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa. Detektor yang paling banyak digunakan dalam kromatografi cair modern kecepatan tinggi adalah detektor spektrofotometer UV 254 nm (Gandjar, 2012). 5.
Validasi Metode Validasi metode dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat,
spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa parameter-
12
parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisis (Harmita, 2004). Parameter-parameter uji validasi antara lain : a.
Presisi (ketelitian) Ketelitian adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rat jika prosedur ditetapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2004). Ketelitian diukur sebagai simpangan baku atau simpangna baku relatif (koefisien variasi). Ketelitian dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan (reproducibility). Keterualngan adalah keseksamaan metode jika di lakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi yang sama dan interval waktu yang pendek (Harmita, 2004). Dokumentasi presisi seharusnya mencakup : simpangan baku, simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (CV), dan kisaran kepercayaan. Presisi seringkali diekspresikan dengan SD atau standar devisiasi relatif (RSD) dari serangkaian data (Rohman, 2009). Pada pengujian dengan KCKT nilai RSD 1-2% biasanya dipersyaratkan untuk senyawa-senyawa dalam jumlah banyak, sedangkan untuk senyawasenyawa dengan kadar kecil. RSD berkisar antara 5-15%. Biasnya replikasi 6-15 dilakukan pada sampel tunggal untuk tiap-tiap konsentrasi (Rohman, 2009).
SD =√
∑ �−� ̅ ² n−1
13
sedangkan nilai RSD/CV dapat dihitung dengan rumus: RSD =
�� �̅
�
%
Keterangan: �̅ : rata-rata dari pengukuran X : nilai dari masing-masing pengukuran SD : standar devisiasi serangkaian data N : banyaknya data
b. Akurasi (ketepatan) Akurasi merupakan kedekatan antara nilai terukur (nilai rata-rata hasil analisis) dengan nilai yang diterima sebagai nilai sebenarnya, baik nilai konvensi, nilai sebenarnya ataupun nilai rujukan. Nilai akurasi juga dapat dijadikan sebagai petunjuk kesalahan sitemik. Metode yang umum untuk menetukan akurasi adalah dengan melakukan prosedur analisis terhadap senyawa obat tersebut dan menganalisisnyasecara kuantitatif lalu membandingkan hasilnya dengan senyawa standar rujukan dengan kemurnian yang sudah diketahui. Akurasi perolehan kembali yang umum untuk senyawa obat suatu campuran adalah ± 98-102%. Jika nilai akurasi perolehan kembalinya diluar kisaran ini, maka prosedur analisis harus dikaji ulang (Rohman, 2009). c. Spesifitas atau selektivitas Selektivitas adalah kemampuan suatu metode untuk mengukur suatu zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen-komponen lain yang mungkin ada didalam matriks sampel. Selektivitas dinyatakan sebagai derajat penyim-pangan (degree of bias) (Harmita, 2004). Dalam teknik pemisahan, daya pisah (resolusi) antara analit yang dituju dengan pengganggu lainnya harus > 1,5 (Rohman, 2007).
14
d. Linieritas Linieritas adalah kemampuan metode analisis untuk memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik proposional terhadap konsentrasi analit dalam sampel (Harmita, 2004). Data linieritas dievaluasi menggunakan metode statistik, yang paling umum digunakan adalah persamaan garis regresi antara respon detektor (sumbu-y) versus konsentrasi sampel (sumbu-x). Dalam metode analisis, kriteria nilai r yang didapat harus lebih besar dari 0.99 (Miller dan Miller, 2005). e. Sensitivitas Batas deteksi (LOD/limit of detection) merupakan analit terendah dalam sampel yang masih dapar dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. Pendekatan yang paling umum adalah menetapkan jumlah sampel yang dapat memberikan perbandingan sinyal terhadap gangguan (S/N). (Rohman, 2009). Definisi LOD yang umum digunakan adalah kadar analit yang memberikan respon sebesar respon blanko, YB, ditambah simpangan baku blanko (SB). Jadi, Y-YB = 3SB (Miller dan Miller, 1998). Batas kuantifikasi (LOQ/limit of quantification) merupakan konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan. (Rohman, 2009). Batas kuantifikasi sering digunakan sebagai batas bawah untuk pengukuran kuantitatif yang tepat. Nilai YB + 10 SB disarankan untuk batas kuantifikasi ini (Miller dan Miller, 1998).
15
F. Landasan Teori Sulfametoksazol dan trimetoprim menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang berururutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergis. Spektrum antibakteri trimetoprim sama dengan sulfametoksazol, meskipun daya antibakterinya 20-100 kali lebih kuat daripada sulfametoksazol. Sulfametoksazol dan trimetoprim bersifat polar sehingga dapat dipisahkan dengan KCKT dan juga memiliki gugus kromofor yang dapar dianalisis dengan detektor UV. Metode analisis penetapan kadar sulfametoksazol dan trimetoprim menggunakan KCKT pada tablet menunjukkan spesifisitas, sensitivitas, linieritas, presisi, dan akurasi yag tinggi (Harmita dkk., 2012). Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) dan United States Pharmacopeia Edisi XXIV (2004) bahwa tablet kotrimoksazol dapat ditetapkan kadarnya secara kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) menggunakan kolom L1 (3,9 mm x 30 cm) pada panjang gelombang 254 nm dengan fase gerak campuran 1400 ml air, 400 ml asetonitril, dan 2 ml trietilamina, serta laju aliran 2 ml/menit. Persyaratakn kadar untuk tablet kotrimoksazol baik sulfametoksazol maupun trimetoprim tidak kurang dari 93% dan tidak lebih dari 107% dari jumlah yang terera pada etiket. Penelitian yang dilakukan Akbar (2013) tentang penetapan kadar kotrimoksazol dalam sediaan suspensi dengan metode KCKT menggunakan kolom fase balik diperoleh kadar sulfametoksazol sebesar 101,17% dan trimetoprim 105,65%.
16
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka akan dilakukan validasi penetapan kadar sulfametoksazol dan trimetoprim dalam sediaan tablet menggunakan KCKT fase terbalik. Parameter validasi meliputi ketelitian, ketepatan, linieritas, selektivitas, dan sensitivitas serta aplikasinya dalam sediaan tablet kotrimoksazol. Fase gerak yang digunakan berupa campuran airasetonitril-trietilamin (1400:400:2 v/v), fase diam C18 dan detektor yang digunakan adalah UV. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan memperoleh metode KCKT untuk penetapan kadar campuran sulfametoksazol dan trimetoprim yang tervalidasi dan selanjutnya dapat diaplikasikan dalam sediaan tablet kotrimoksazol. G. Hipotesis 1.
Validasi
metode
penetapan
kadar
sulfametoksazol
dan
trimetoprim
menggunakan KCKT fase terbalik dengan fase diam C18 dan fase gerak airasetonitril (80:20 v/v) dapat dilakukan. 2.
Metode pada butir 1 dapat diaplikasikan untuk menetapkan kadar kotrimoksazol memenuhi persyaratan kadar menurut Farmakope Indonesia edisi IV tahun 1995 dapat.