BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas terhadap obat didefinisikan sebagai respon imun yang tidak diinginkan akibat suatu bahan nontoksik (obat) yang berakibat kerusakan jaringan. Sesuai dengan klasifikasi Rawlins dan Thompson tahun 1991, alergi obat termasuk dalam reaksi efek samping obat (adverse drug reaction=ADR) tipe B. ADR tipe B adalah ADR yang tidak dapat diduga, jarang dijumpai, tidak tergantung dosis dalam batasan teraputik dan biasanya tidak berhubungan dengan aksi farmakologi obat (Hausmann, et al., 2010). Insidensi ADR tipe B berkisar 13%-20% (Hausmann et al., 2010), sedangkan insidensi alergi obat bervariasi tergantung pada jenis obat, penyakit yang mendasari dan faktor etnik penderita. Angka kejadian alergi obat sekitar 1/3 dari ADR dan mengenai lebih dari 7% populasi umum (Demoly & Gomes, 2005). Adverse drug reaction merupakan masalah yang penting karena berdampak pada keselamatan pasien dan ekonomi. Di Amerika Serikat, ADR merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang paling tinggi pada layanan kesehatan serta membutuhkan biaya cukup besar untuk mengatasinya. Penelitian meta analisis Lazarou et al. (1988) menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, ditemukan lebih dari 2 juta kasus efek samping obat yang dirawat dan lebih dari 100.000 kematian pertahun. Dari segi ekonomi, pada tahun 2000 Amerika Serikat harus mengeluarkan biaya sekitar US $177,4 milyar untuk mengatasi ADR (Ernst & Grizzle, 2001);
1
biaya tersebut lebih tinggi dibanding biaya untuk penanganan kasus kardiovaskular dan diabetes (Bharadwaj et al., 2010). Manifestasi klinis alergi obat bervariasi, dari yang ringan berupa eksantema kulit (rash) sampai manifestasi berat berupa sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) dan sering juga melibatkan organ ekstrakutan seperti hepar, ginjal dan sumsum tulang (Knowles et al., 1999; Pirmohamed et al., 2002) yang dapat menyebabkan kematian, sehingga seringkali obat harus dihentikan. (Claes et al., 2004; Shenton et al., 2007). Di samping manifestasinya sangat bervariasi, reaksi alergi obat merupakan masalah yang penting karena mekanisme kimiawi, selular maupun molekulernya pada jaringan belum diketahui secara pasti (Naisbitt, 2004). Beberapa faktor genetik dan non-genetik dapat memodifikasi aksi obat, sehingga tanggapan pada individu yang berbeda terhadap obat tertentu sangat bervariasi (Bharadwaj, 2010). Faktor non-genetik yang mempengaruhi respon obat pada seseorang antara lain faktor gender, penyakit, umur, lingkungan, indeks masa tubuh (IMT), diet dan penggunaan obat lain (Chantarangsu, 2009; Pirmohamed, 2006). Faktor genetik yang mempengaruhi respon obat antara lain gen sitokrom P450 (CYP450) yang berperan pada proses metabolisme (bioaktivasi dan bioinaktivasi), yang sebagian terekspresi secara polimorfik (Pirmohamed, 2006), multidrug resistance protein (MRP=MDR) family (Homolya et al., 2003) dan gen P-glycoprotein (Pgp) (Schuetz et al., 1995). Sedangkan gen yang mengkode respon imun antara lain Major Histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T dan molekul ko-stimulator (Pirmohamed, 2006).
2
Reaksi alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dimediasi sel T dan terjadi melalui presentasi obat pada ligan imunogenik, biasanya obat atau salah satu dari metabolitnya yang tergantung pada MHC tertentu (Pichler, 2003). MHC terletak pada lengan pendek kromosom 6 dan terdiri atas 3 kelas HLA yaitu HLA kelas I, II dan III, tetapi hanya HLA kelas I dan HLA kelas II yang banyak berperan dalam reaksi alergi obat. HLA kelas I terdiri atas HLA-A,-B, -C; HLA kelas II terdiri atas HLA-DR, -DP dan-DQ (Horton et al., 2004). Gen HLA sangat polimorfik; artinya ada banyak macam alel yang berbeda pada tiap individu pada populasi. Gen-gen HLA kelas I dan kelas II adalah gen yang sangat polimorfik dalam genom manusia dan dari jumlah ini HLA-B, adalah gen yang paling polimorfik dari genom manusia, memiliki lebih dari 1000 alel fungsional (Bharadwaj et al., 2010). Molekul-molekul HLA memainkan peran penting dalam system imun tubuh, menyajikan peptida antigen endogen dan eksogen ke sel T untuk memulai respon imun spesifik. Perbedaan dalam peptida yang disajikan, struktur molekul HLA dan orientasi peptida, secara bersama-sama akan menghasilkan variasi dalam pacuan sel T pada individu yang berbeda (Archbold et al., 2009). Metabolit reaktif yang berbeda pada populasi, kemungkinan memicu respon imun HLA kelas I atau kelas II yang berbeda (Phillips & Mallal, 2010). Polimorfisme gen HLA di antara individu-individu mempengaruhi perbedaan kerentanan seseorang untuk mengalami alergi obat, demikian juga polimorfisme pada gen yang terlibat dalam pengolahan dan penyajian antigen juga berbeda-beda.
Pada model hapten, HLA berperan dalam memproses dan
mempresentasikan antigen. Jika terjadi polimorfisme pada pengolahan dan
3
penyajian antigen, maka akan mempengaruhi aktivitas sel T CD8+ maupun sel T CD4+. Umumnya HLA kelas I berhubungan dengan sel T CD8+ dan kelas II dengan sel T CD4+ (Hulsmeyer et al., 2004). Tergantung pada sifat obat, aktivasi sel T CD4+, sel T CD8+, atau keduanya dapat terjadi. Sel T CD4+ terlibat pada reaksi hipersensitivitas tipe IV dengan manifestasi berupa eksantema makulopapular dan bulosa, sedangkan sel T CD8+ terlibat pada reaksi tipe I dengan manifestasi urtikaria dan anafilaksi (Vandebriel, 2004). Faktor infeksi yang diduga berperan pada alergi obat dijelaskan dalam hipotesis hapten bahwa infeksi kuman patogen akan bertindak sebagai antigen yang memacu sistem imun sehingga terbentuk antibodi dan sel T efektor, yang selanjutnya menginisiasi reaksi pseudo-graft-versus-host dengan akibat sel akan mengekspresikan suatu epitop yang menyerupai protein virus atau bakteri (Baum et al., 1993). Kelompok virus herpes, seperti Ebstein Barr virus (EBV), Citomegalovirus (CMV), human herpes virus (HHV-6), HHV-7 danherpes simplex virus (HSV) (Shiohara et al., 2007) serta human immunodeficiency virus (HIV) (Bosque & Planelles, 2009) merupakan kuman patogen yang dapat menginduksi secara masif ekspansi sel T memori. Pada kondisi infeksi kronis, antigen mikroorganisme akan dikenali oleh sistem imun sebagai neoantigen. Pacuan imunogen obat dan neoantigen mikroorganisme akan menyebabkan reaksi hipersensitivitas (Riley & Leeder, 1995). Telah banyak dilaporkan kejadian alergi obat pada penderita infeksi HIV. Reaksi alergi obat pada penderita HIV 100 kali lebih sering dibanding populasi umum dan 3%-20% diantaranya akibat pemberian anti retroviral (ARV) (Severino
4
& Zompo, 2004). Tingginya kejadian alergi obat ARV pada penderita HIV kemungkinan terjadi karena perjalanan infeksi HIV ditandai dengan beberapa fase dan terjadi dalam periode yang cukup lama yaitu sekitar 8 sampai 10 tahun. Pada infeksi primer, HIV akan terlokalisir di organ limfoid dan bereplikasi di dalam organ tersebut. Dalam jangka waktu yang lama, penderita tidak menunjukkan gejala klinis tetapi HIV tetap aktif dan progresif membelah di dalam organ limfoid selama periode laten. Persistensi virus di dalam jaringan limfoid menyebabkan stimulasi kronis pada sistem imun dan menimbulkan kerusakan (Pantaleo & Fauci, 1995; Fujinami et al., 2006). Perbedaan tipe HLA pada pasien terinfeksi HIV diduga berperan pada variasi respon terapi maupun toksisitas terhadap obat ARV yang diberikan. Hipotesis bahwa perbedaan etnik berperan penting pada respon pasien terhadap obat ARV didukung oleh laporan-laporan yang menunjukkan bahwa pasien dari kelompok etnik yang berbeda respon klinis dan farmakokinetik obat ARV berbeda secara bermakna (Cressey & Lallemant, 2006). Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara HLA kelas I maupun HLA kelas II dengan infeksi HIV. HLA kelas I yangditemukan berhubungan dengan HIV adalah HLA-B dan HLA-C, sedangkan HLA klas II adalah HLA-DRB1. Studi awal yang dilakukan pada akhir tahun 1980 pada sejumlah penderita AIDS menunjukkan peningkatan frekuensi HLA-C*04 dan HLA-B*35 pada penderita HIV dibanding tidak terinfeksi (Jeannet et al., 1989); dijumpai pula peningkatan frekuensi HLA-C*04 pada penderita dengan sarkoma Kaposi dan HLA-C*07 pada penderita dengan infeksi oportunistik (Mann et al., 1988). Studi yang dipublikasi Carrington et al
5
tahun 1999 menunjukkan ada hubungan antara HLA-C*04 dan HLA-B*35 dengan progresifitas kearah AIDS pada populasi kokasian. Penelitian yang dilakukan oleh Jin (2002) menunjukkan bahwa HLA-B*57 dan HLA-B*27 menghambat progresifitas HIV, sedangkan alel HLA-B*35 mempercepat progresifitas terjadinya AIDS. Penelitian Julg et al., (2011) menunjukkan frekuensi molekul HLA kelas II yang terekspresi pada populasi Afrika Selatan yang terinfeksi HIV adalah -DRB1*0302, -DRB1*1101 dan -DRB1*1301. Obat ARV yang paling sering menyebabkan reaksi alergi adalah nevirapine (NVP), delavirdine, efavirenz, abacavir dan amprenavir (Carr & Cooper, 2000). NVP adalah obat golongan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) dengan efikasi yang tinggi, merupakan obat lini pertama dan obat pilihan untuk ibu hamil karena efektif mencegah penularan pada janin dan telah digunakan secara luas di negara-negara dengan sumber daya yang terbatas karena relatif murah (Likanonsakul et al., 2009). Nevirapine dapat menyebabkan berbagai reaksi hipersensitivitas, termasuk toksisitas hati pada sekitar 4,9% kasus (Hülsmeyer et al., 2004), reaksi sistemik dan reaksi pada kulit sebanyak 32-48% kasus (Mesqueta et al., 2007; Warren et al., 1998), maupun efek samping yang parah pada kulit seperti SSJ/TEN diperkirakan terjadi pada 0,3% kasus (Pollard et al., 1998). Data penderita HIV/AIDS yang alergi terhadap NVP di Indonesia belum ada. Studi retrospektif yang dilakukan oleh Pudjiati tahun 2011 menunjukkan dari 182 kasus HIV/AIDS yang berobat di RS. DR. Sardjito Yogyakarta, 11% mengalami eksantema dan lebih dari 90% yang mengalami eksantema tersebut menggunakan rejimen NVP (Pudjiati, 2011). Gejala alergi cenderung terjadi dalam waktu 6
6
minggu pengobatan (Patel et al., 2004) dan peningkatan risiko diduga terkait dengan jumlah T-sel CD4+ yang lebih tinggi (Martin et al., 2005). Atas dasar ini muncul teori bahwa sel T CD4+ memediasi reaksi alergi NVP dan terkait dengan HLA, kemungkinan besar kelas II, namun hubungan yang jelas belum ditemukan dan sebaliknya banyak pengamatan selanjutnya yang menunjukan adanya hubungan alergi obat dengan HLA kelas I (Bharadwaj et al., 2010). Penelitian tentang keterlibatan faktor genetik terhadap terjadinya reaksi alergi NVP masih sangat terbatas dan hasilnya bervariasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara alel HLA kelas I dan HLA kelas II dengan munculnya eksantema akibat NVP pada beberapa populasi yang berbeda (Martinet al., 2005; Littera et al., 2006; Gatanaga et al., 2007; Chantarangsu et al., 2009). Peneliti Perancis melaporkan hubungan yang bermakna antara gen HLA-DRB1*01 dengan munculnya eksantema pada pasien yang diterapi dengan 2 NNRTI, sedangkan gen HLA-DRB*0101 berhubungan dengan liver-associated side-effects terhadap NVP (Vitezica et al., 2008). Di Australia, HLA-DRB1*0101 berhubungan dengan reaksi alergi NVP (Martin et al., 2005), di Sardinian, alel HLA-Cw8 dan HLA-B14 (Littera et al., 2007); di Jepang, alel HLA-Cw*08. (Gatanaga et al., 2007), di Thailand, alel HLA-Cw*04 (Likanonsakul et al., 2009) dan HLA-B*3505 (Chantarangsu, et al., 2009), di India, HLA-B35 (Umapathy et al., 2011), di Cina HLA-Cw*04 (Gao et al., 2012); sedangkan Yuan et al.,(2011) pada penelitiannya menunjukkan reaksi alergi NVP pada kulit hitam berhubungan dengan HLA-Cw*04, orang Asia HLA-B*35 dan HLA-Cw*04, sedangkan kulit putih berhubungan dengan HLA-DRB*01.
7
Penelitian yang mengeksplorasi faktor genetis terutama gen HLA pada populasi di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa yang sudah ditemukan antara lain HLA-DRB1 dan DQW1 pada penderita lepra di Yogyakarta (Soebono et al., 1997); HLA-DR17 pada penderita Mooren’s ulceration (Taylor et al., 2000), HLA-A*3401, HLA-A*2407, HLA-A*330301, HLA-B*1521, HLA-B*3505, HLA-B*440302, HLA-DRB1*150201, HLA- DRB1*1202 dan HLA-DRB1*070101 pada orang sehat di Jawa Barat (Yuliwulandari et al., 2008); serta HLA-B*4006, HLA-B*1802, HLA-B*4001 dan HLA-DRB1*1101 pada penderita tuberkulosis (Yuliwulandari et al., 2010). Dari beberapa gen HLA yang ditemukan pada populasi Indonesia tersebut, beberapa di antaranya merupakan gen yang juga ditemukan pada penderita alergi nevirapine pada populasi di Asia yaitu gen HLA-B*35 dan HLA-DRB1. Penelitian-penelitian mengenai faktor risiko alergi obat NVP telah banyak dilakukan di negara lain dan hasilnya menunjukkan adanya hubungan antara kejadian alergi obat NVP dengan HLA-B, HLA-C dan HLA-DRB1; tidak ditemukan referensi yang menunjukkan adanya hubungan dengan HLA-A, HLA-DP maupun HLA-DQ. Meskipun berbagai penelitian mengenai pengaruh genetik terhadap alergi obat NVP telah dilakukan di negara Barat dan beberapa negara Asia, tetapi belum pernah dilakukan identifikasi genetik terhadap alergi obat NVP pada penderita HIV/AIDS di Indonesia, serta hubungannya dengan manifetasi klinis maupun derajat keparahan reaksi alergi yang terjadi. Diperlukan penelitian yang berusaha menilai variasi genetik di Indonesia dan hubungannya dengan manifestasi klinis dan derajat keparahan reaksi alergi akibat NVP.
8
B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan utama sebagai berikut: Apakah ada hubungan faktor genetik HLA dengan alergi obat NVP pada penderita HIV/AIDS di Indonesia? Dari pertanyaan utama, dapat dijabarkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Apakah polimorfisme gen HLA-B, HLA-C dan HLA-DRB1 merupakan
faktor
risiko
alergi
obat
NVP
pada
penderita
HIV/AIDS di Indonesia? 2.
Apakah polimorfisme gen HLA-B, HLA-C dan HLA-DRB1 berhubungan dengan manifestasi klinis alergi obat NVP?
3.
Apakah polimorfisme gen HLA-B, HLA-C dan HLA-DRB1 berhubungan dengan derajat keparahan alergi obat NVP?
C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengidentifikasi polimorfisme gen HLA-B, HLA-C dan HLA-DRB1 yang berisiko untuk terjadinya reaksi alergi NVP pada penderita HIV/AIDS di Indonesia
2.
Untuk mengetahui hubungan polimorfisme gen HLA-B, HLA-C dan HLA-DRB1 dengan manifestasi klinis alergi obat NVP
3.
Untuk mengetahui hubungan polimorfisme gen HLA-B, HLA-C dan HLA-DRB1 dengan derajat keparahan alergi obat NVP
9
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat teoritis Dengan penelitian ini diharapkan dapat teridentifikasi polimorfisme gen
HLA pada penderita HIV/AIDS di Indonesia yang mengalami alergi terhadap obat NVP dan hubungannya dengan manifestasi klinis serta derajat keparahan reaksi alergi yang terjadi. Hasil penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi dasar pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berguna untuk menilai peranan genetika dalam reaksi alergi terhadap obat dan kemungkinan hubungannya dengan prognosis penderita.
2.
Manfaat praktis Dalam bidang pelayanan diharapkan jika ditemukan polimorfisme gen HLA
sebagai faktor risiko alergi obat NVP, dapat dilakukan skrining genetik pada penderita HIV/AIDS yang akan memulai terapi ARV sehingga mampu menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat reaksi alergi serta menekan biaya dalam penanganan penderita HIV/AIDS.
E. Keaslian Penelitian Penelusuran naskah publikasi melalui PubMed dan EBSCO ditemukan sejumlah penelitian tentang pengaruh faktor genetis terhadap reaksi alergi NVP.
10
Tabel 1. Penelitian pengaruh genetis terhadap reaksi alergi NVP Peneliti
Metode
Sampel
Ras/Etnis
Hasil
Martin et al., 2005
kohort
235 penderita HIV
Australia barat (Kulit putih)
HLA-DRB1*0101-CD4 + eksantema/sistemik + hepatitis (OR 4,77; CI 95%)
Littera et al., 2006
Kasuskontrol
49 penderita HIV
Sardinia (Kulit putih)
HLA-Cw8 dan HLA-B14 – sistemik + eksantema/hepatotoksik (OR 14,57; CI 95%)
Vitezica et al., 2008
kohort
21 penderita HIV Perancis
Kokasian (Kulit putih)
HLA-DRB1*01 – eksantema tanpa hepatotoksik (OR 70,0; CI 95%)
Chantarang su et al., 2009
Kasuskontrol
160 pasien HIV
Jepang (Asia)
HLA-B*3505 -eksantema (OR 18,96; CI 95%)
Likanonsak ul et al., 2009
Kasuskontrol
287 pasien HIV
Thailand (Asia)
HLA-Cw*04 - eksantema (OR 3,18; CI 95%)
Umapathy et al., 2011
Kasuskontrol
40 kasus, 40 kontrol
India (Asia)
HLA-B*35 – eksantema/SSJ/+ hepatitis (OR 3,38; CI 95%)
Yuan et al., 2011
Kasuskontrol
276 kasus, 587 kontrol
Kulit hitam
HLA-Cw*04- eksantema (OR 5,17; CI 95%)
Asia
HLA-B*35 dan HLACw*04- eksantema (OR 18,34; CI 95%)
Kulit putih
HLA-DRB*01--hepatotoksik (OR3,02; CI 95%)
Cina Han (Asia)
HLA-Cw*04 berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas nevirapine (OR 3,61; CI 95%)
Gao et al., 2012
kohort
103 penderita HIV
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa populasi penelitian ini seluruhnya adalah populasi Indonesia yang merupakan ras Mongoloid dan merupakan suku Jawa; serta di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian mengenai alergi obat NVP. Perbedaan lain adalah pada penelitian ini dilakukan identifikasi faktor gen HLA yang berperan pada manifestasi klinis dan derajat keparahan alergi obat NVP yang pada penelitian sebelumnya tidak dilakukan.
11