BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Persahabatan adalah suatu bentuk kedekatan hubungan yang meliputi kesenangan, penerimaan, kepercayaan, penghargaan, bantuan yang saling menguntungkan, saling mempercayai, pengertian, dan spontanitas (Santrock, 2002). Persahabatan didefinisikan sebagai keintiman, kebersamaan, dan hubungan diadik yang secara konseptual dan metodologis berbeda dari penerimaan teman sebaya (Franco & Levitt, 1998). Persahabatan merupakan tahapan perkembangan yang penting selama rentang kehidupan (Hartup & Stevens, 1999), khususnya pada masa remaja (Demir & Urberg, 2004). Membangun persahabatan tidak selalu berkaitan dengan pengalaman positif.
Kepercayaan
sebagai
salah
satu
dasar
dari
persahabatan
berkemungkinan untuk dicederai dalam relasi persahabatan. Kepercayaan dianggap telah dicederai ketika trustor (yang memercayai) mempersepsikan bahwa trustee (yang dipercayai) berperilaku tidak sesuai dengan harapan norma umum (Roth & Sitkin, 1993). Pencederaan kepercayaan berarti pencederaan terhadap elemen-elemen yang membentuk kepercayaan dalam persahabatan. Beberapa bentuk pencederaan kepercayaan dalam konteks organisasi yaitu perubahan aturan, pelanggaran kontrak, pengingkaran janji, pencurian ide, kebohongan, tuduhan yang salah atau tidak adil, dan pengungkapan rahasia (Bies & Tripp, 1996). Pada penelitian lain diungkapkan delapan kategori pencederaan kepercayaan yaitu perilaku kasar, masalah komunikasi, harapan yang tidak terpenuhi, kepemimpinan yang tidak efektif, penghargaan yang
1
2
kurang, masalah kompetensi, ketidaksesuaian perilaku dengan norma, dan perubahan struktural organisasi (Fraser, 2010). Weber dan Carter (2003) menjelaskan pada relasi yang akrab seperti keluarga, persahabatan, dan pernikahan, terdapat interaksi yang lebih akrab berupa kesediaan orang lain untuk berorientasi terhadap kepentingan diri sendiri. Kepercayaan dalam konteks relasi ini adalah harapan bahwa orang lain berorientasi terhadap diri dalam pengambilan keputusan. Sahabat atau pasangan memiliki kemampuan untuk memahami perspektif individu. Ada harapan bahwa sahabat memiliki beberapa sifat seperti setia, melindungi diri, dan tidak mengkhianati kepercayaan. Oleh karena itu, dalam relasi persahabatan melibatkan pemahaman mengenai keinginan dan kebutuhan sahabat, melakukan tindakan yang bermanfaat dan menjauhkan diri dari tindakan yang dapat membahayakan sahabat, bahkan juga memprioritaskan sahabat. Hal ini merupakan dasar dari proses membangun kepercayaan pada hubungan interpersonal. Selanjutnya, kondisi ini akan menghadapkan individu pada risiko terjadinya pencederaan kepercayaan (Weber & Carter, 2003). Respon terhadap pencederaan kepercayaan bervariasi, mulai dari jengkel hingga marah dan kecewa ketika individu merasa nilai dan keyakinannya dirusak (Lewicki & Wiethoff, 2000). Penelitian pencederaan kepercayaan pada konteks militer
mengungkapkan,
ketika
rekan
seregu
melakukan
pencederaan
kepercayaan, maka mereka akan berkurang keterpercayaannya, dan keinginan untuk mengambil risiko dan harapan dari mereka juga akan berkurang (Brown, Adams, Famewo, & Karthaus, 2008). Pencederaan kepercayaan akan menyebabkan pengikisan kepercayaan dalam relasi (Lewicki & Tomlinson, 2003; Elangovan, Auer-Rizzi, & Szabo, 2007). Artinya peristiwa pencederaan
3
kepercayaan akan menurunkan level kepercayaan yang ada dalam suatu relasi. Bahkan pencederaan kepercayaan dan komitmen seperti pengkhianatan memiliki efek yang kuat pada hubungan akrab dan merupakan ancaman terbesar bagi integritas struktur relasi yang terbangun (Couch, Jones, & Moore, 1999). Pencederaan kepercayaan merupakan ancaman dalam persahabatan. Hal ini disebabkan karena salah satu keinginan manusia paling mendasar setelah dikhianati adalah pembalasan dendam (Frijda, 1994). Keakraban dalam persahabatan dapat berubah menjadi kejahatan karena sakit hati setelah kepercayaan
dicederai.
Beberapa
kasus
pembalasan
dendam
dalam
persahabatan di Indonesia seperti pada Juni 2013, di Blitar seorang remaja di Blitar menganiaya teman karena merasa difitnah oleh korban (Bengkulu, 2013). Kemudian Juli 2013, di Yogyakarta tiga orang remaja membunuh sahabatnya sendiri karena merasa tersinggung dengan ucapan korban (Vemale, 2013). Identification Based Trust (IBT) merupakan istilah pada relasi yang melibatkan level emosi yang tinggi seperi persahabatan (Lewicki & Wiethoff, 2000). Dalam konteks ini, ketika kepercayaan dicederai maka situasi yang menyebabkan terjadinya pencederaan harus dipahami terlebih dahulu agar persahabatan dapat terus berlanjut. Jika individu tidak bisa atau tidak ingin untuk mengkomunikasikan masalah, maka kemungkinan persahabatan akan berakhir. Untuk mempertahankan
kepercayaan, penting
bagi kedua pihak untuk
membicarakan pencederaan kepercayaan untuk mengklarifikasi berbagai miskomunikasi. Ada beberapa situasi yang menentukan tingkat kerusakan kepercayaan dari pencederaan yang dilakukan. Kepercayaan dalam relasi akan semakin terganggu ketika pencederaan yang dilakukan berkemungkinan terjadi kembali
4
pada konteks yang sama (Roth & Sitkin, 1993). Atribusi pada dimensi kepercayaan
juga
ditemukan
berpengaruh
terhadap
tingkat
kerusakan
kepercayaan. Atribusi yang berkaitan dengan kebaikan memiliki efek kerusakan yang lebih buruk dibandingkan atribusi pencederaan kepercayaan yang berkaitan dengan kompetensi (Elangovan, et al., 2007). Lewicki dan Tomlinson (2003) mengemukakan tiga faktor yang menentukan tingkat kerusakan kepercayaan dari perilaku pencederaan kepercayaan, faktor-faktor tersebut adalah: 1. Besarnya pencederaan. Besarnya pencederaan merupakan indikasi dari keseriusan konsekuensi yang dialami korban. Sebagai ilustrasi, ketika sahabat menghilangkan baju yang sudah tua tidak akan separah ketika ia menghilangkan baju yang baru pertama kali dipakai dan sangat disukai. 2. Jumlah kejadiaan pencederaan sebelumnya. Ketika telah jelas pola pencederaan kepercayaan yang berulang, maka akan menyebabkan pencederaan yang serius, meskipun besaran pencederaan ringan,. 3. Dimensi kepercayaan tertentu yang dicederai. Pencederaan terkait integritas
dan
kebaikan
dirasa
lebih
menyakitkan
dibandingkan
pencederaan terkait kemampuan. Kepercayaan memiliki peranan yang cukup besar dalam persahabatan. Sikap saling percaya selalu ada dalam persahabatan. Salah satu penelitian pada remaja di Indonesia menemukan tiga faktor yang berpengaruh dalam pembentukan
persahabatan
yaitu
kepercayaan,
penerimaan
dan
saling
menghargai (Sulistyo, 2011). Bisa dilihat faktor pembentuk persahabatan tersebut bersifat mutual, dengan kata lain yang terpenting adalah relasi yang terjalin di dalam persahabatan tersebut. Ketiga faktor ini merupakan wujud dari
5
komponen kesejatian (genuineness) yang membentuk persahabatan remaja di Indonesia (Sulistyo, 2011). Hasil penelitian lain pada remaja Indonesia menunjukkan ada variasi dasar percaya terhadap sahabat dalam rentang masa remaja. Pada remaja awal, dasar utama percaya terhadap sahabat adalah keterpercayaan dan baik hati. Sedangkan, pada remaja akhir, kedekatan, keterpercayaan, dan kepedulian menjadi dasar utama percaya terhadap sahabat (Ampuni, Lestari, Adiwibowo, & Kim, 2010). Alasan utama remaja mempercayai orang tua dan sahabat adalah hubungan yang saling melengkapi, kesesuaian, keterpercayaan, persahabatan dan lainnya. Hubungan yang saling melengkapi merupakan alasan pertama remaja dalam mempercayai sahabat. Secara spesifik, untuk dipercayai maka sahabat harus mampu memahami dan memiliki sifak baik hati. Hal ini mencerminkan elemen afeksi sebagai faktor pendukung dalam membangun hubungan. Sahabat lebih dipercayai sebagai tempat bergantung dan berbagi masalah daripada ibu. Alasan kedua remaja mempercayai sahabatnya adalah keterpercayaan, yaitu sejauh mana sahabat memiliki sifat-sifat untuk layak dipercaya. Secara khusus, seorang sahabat harus mampu menjaga rahasia, terpercaya, dan hubungan persahabatan yang terjalin didasari saling percaya (mutual trust) (Indrayanti & Adiwibowo, 2008). Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan elemen-elemen pembentuk kepercayaan yaitu baik hati, kelayakan untuk dipercaya (terpercaya), mampu menjaga rahasia, memahami, saling percaya, dan peduli. Remaja adalah salah satu periode dalam rentang kehidupan manusia. Masa remaja merupakan periode penting dalam perkembangan manusia.
6
Remaja dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Santrock, 2002). Pada abad ke-20, masa remaja lebih panjang yaitu sekitar usia 10 tahun hingga awal 20 tahun. Hal ini disebabkan pematangan fisik yang semakin cepat dan penundaan umur untuk bekerja dan menikah hingga pertengahan umur 20-an (Steinberg, 2001). Steinberg (2001) membagi remaja ke dalam tiga fase usia yaitu, remaja awal pada usia 10-13 tahun, remaja tengah pada usia 14-17 tahun dan remaja akhir pada usia 18-21 tahun. Penelitian ini akan dilakukan pada remaja akhir karena relasi persahabatan pada remaja akhir memiliki ikatan emosional dan penerimaan lebih mendalam jika dibandingkan dengan relasi persahabatan pada masa remaja awal atau tengah (Anantasari, 1997; Conger, 1977; Sulistyo, 2011). Remaja merupakan tahap pencarian identitas untuk masa depan kelak. Remaja mulai mengurangi waktu di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah seperti bersekolah dan bersama teman. Masa remaja ini menjadi unik karena terdapat beberapa aspek yang mengalami perubahan fundamental. Aspek-aspek tersebut yaitu aspek biologis, kognitif dan sosioemosional (Santrock, 2002; & Steinberg, 2001). Persahabatan pada masa remaja penting karena persahabatan memiliki fungsi-fungsi dalam perkembangan remaja. Enam fungsi persahabatan tersebut adalah
yaitu
kebersamaan,
stimulasi,
dukungan
fisik,
dukungan
ego,
perbandingan sosial, dan keakraban atau perhatian (Santrock, 2003). Dukungan teman pada remaja berdampak pada pencapaian akademik yang lebih baik (Steinberg, 2001). Teman memainkan peran yang penting dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan remaja. Kebutuhan untuk kedekatan meningkat pada masa remaja awal dan hal ini mendorong remaja untuk mencari
7
teman dekat. Sulivan menyatakan, jika remaja gagal membentuk persahabatan yang akrab, mereka akan mengalami perasaan kesepian diikuti dengan rasa harga diri yang menurun (lihat Santrock, 2003). Hasil penelitian menyatakan bahwa persahabatan pada masa awal remaja merupakan salah satu alat yang signifikan untuk memprediksi harga diri pada masa dewasa awal (Bagwell, Newcomb, & Bukowski, 1998). Sahabat yang baik didefinisikan sebagai individu yang memiliki persahabatan dengan kualitas yang tinggi. Persahabatan dapat menjadi aset penting dalam kehidupan. Hal ini ditentukan oleh karakter sahabat dan kualitas persahabatan (Hartup & Stevens, 1999). Kualitas persahabatan yang tinggi adalah mereka yang lebih banyak memiliki fitur positif dibandingkan fitur negatif dalam persahabatan (Berndt, 2002). Kualitas persahabatan yang tinggi dicirikan dengan kecenderungan untuk bertingkah laku prososial, keakraban, dan fitur positif lainnya, dan
rendahnya konflik, persaingan, dan fitur negatif lainnya
(Berndt, 1996). Kualitas persahabatan yang tinggi memiliki banyak dampak positif, seperti meningkatkan harga diri (Franco & Levitt, 1998), meningkatkan kemampuan penyesuaian diri remaja (Demir & Urberg, 2004) dan kemampuan penanganan anak terhadap stressor (Hartup & Stevens, 1999). Pengalaman persahabatan pada anak dan remaja secara konsisten berhubungan dengan harga diri, kesepian dan suasana hati yang buruk (Parker & Asher, 1993; Franco & Levitt, 1998). Penerimaan anak oleh teman sebaya ternyata tidak berkaitan dengan jumlah sahabat yang dimiliki (Parker & Asher, 1993). Tidak semua anak yang diterima oleh teman sebaya memiliki sahabat, bahkan anak yang rendah pada level penerimaan sebaya ternyata memiliki sahabat. Dapat disimpulkan
8
bahwa jumlah sahabat (kuantitas persahabatan) tidak begitu penting, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kualitas persahabatan yang terjalin. Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Kelompok teman sebaya juga merupakan komunitas belajar peranperan di luar keluarga. Hubungan teman sebaya yang baik diperlukan untuk perkembangan sosial yang normal pada masa remaja. Ketidakmampuan remaja untuk masuk ke dalam suatu lingkungan sosial pada masa kanak-kanak atau masa remaja dihubungkan dengan berbagai masalah dan gangguan. Jadi, pengaruh teman sebaya dapat positif maupun negatif. Baik Piaget maupun Sullivan menekankan bahwa hubungan teman sebaya memberikan konteks untuk mempelajari pola hubungan yang timbal balik dan setara (Santrock, 2003). Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja (terutama remaja yang berada pada fase perkembangan tengah dan akhir) adalah mencapai keterampilan sosial atau social skills untuk melakukan penyesuaian dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu aspek keterampilan sosial yang harus dikuasai remaja yaitu persahabatan dan solidaritas kelompok. Remaja harus mampu melakukan penyesuaian seperti penyelesaian masalah, komunikasi yang efektif terutama dalam pengatasan konflik dengan otoritas (orang tua, guru, dsb) dan integritas dalam kehidupan kelompok yaitu mengembangkan konformitas, solidaritas, dan mampu menerima umpan balik dari kelompok (Ekowarni, 1993). Dalam konteks persahabatan, teman sebaya merupakan tempat bagi remaja untuk menjalin persahabatan. Kedekatan dan keakraban dalam intensitas pertemuan yang tinggi membuat mereka menjadi sahabat. Teman sebaya
9
memberikan dampak positif dalam perkembangan remaja. Teman sebaya merupakan sumber status, persahabatan dan rasa saling memiliki yang penting dalam situasi sekolah. Teman sebaya menyediakan sarana untuk perbandingan secara sosial dan sumber informasi sosial dan pembentukan standar yang berkaitan dengan kerja dan prestasi (Santrock, 2002). Teman
sebaya
dapat
memberikan
pengaruh
negatif
dalam
perkembangan remaja. Kenakalan remaja adalah perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial, berupa pelanggaran atau tindakan-tindakan kriminal. Salah satu penyebab kenakalan remaja adalah pengaruh teman sebaya. Tuntutan konformitas dan tekanan teman sebaya mencapai puncaknya pada usia remaja. Umumnya remaja terlibat dalam bentuk perilaku konformitas yang negatif, seperti menggunakan bahasa yang tidak sopan, mencuri, dan merusak (Santrock, 2002). Ditinjau dari tahap dan tugas perkembangannya, remaja yang melakukan tindakan yang dikategorikan sebagai nakal adalah remaja yang gagal dalam melakukan tugas perkembangannya. Kenakalan remaja sebenarnya adalah ketidakmampuan melakukan tugas perkembangan dengan cara adaptive sehingga cenderung melakukan sikap yang maladaptive (Ekowarni, 1993). Pencederaan
kepercayaan
berkemungkinan
besar
terjadi
dalam
persahabatan. Beberapa bentuk perilaku pencederaan kepercayaan yang sering terjadi yaitu kebohongan, pengingkaran janji dan pengungkapan rahasia. Dampak pencederaan kepercayaan akan berbeda pada setiap orang (Lewicki & Tomlinson, 2003). Pencederaan kepercayaan bisa menyebabkan menurunnya level kepercayaan (Elangovan, et al., 2007). Bahkan, pencederaan kepercayaan bisa mengakibatkan berakhirnya relasi (Lewicki & Wiethoff, 2000).
10
Pada penelitian mengenai pengkhianatan ditemukan bahwa pemaafan dan pembalasan dendam merupakan respon perilaku ketika dikhianati. Pemaafan berkaitan dengan keinginan untuk membangun kembali relasi ke arah positif. Pembalasan dendam merupakan bentuk negatif sebagai akibat dari pengkhianatan (Fitness, 2001). Selain itu, pemaafan ditemukan sebagai elemen penting dalam perbaikan relasi setelah pencederaan kepercayaan (Elangovan, et al., 2007; Watkins, Hui, Luo, Regmi, Worthington, Hook, & Davis, 2011). Pemaafan adalah suatu keputusan yang disengaja oleh korban untuk menghilangkan perasaan dendam dan memberikan ampunan kepada pelaku (Lewicki & Tomlinson, 2003). Orang yang memaafkan cenderung untuk memperbaiki relasi dengan pihak yang mencederai (McCullough, 2000). Lewicki dan Tomlinson (2003) lebih mengkhususkan, dalam membangun kembali relasi tidak hanya pemaafan, tapi juga disertai dengan keinginan dari pihak yang tercederai. Ada kemungkinan pihak yang tercederai telah memaafkan, akan tetapi tidak menginginkan untuk melanjutkan relasi. Secara garis besar, ada dua kemungkinan keadaan relasi setelah terjadinya pencederaan kepercayaan, yaitu relasi dapat terus berlanjut atau relasi berakhir. Pada dua kondisi tersebut, hal yang membedakan yaitu perbaikan dari pencederaan yang dilakukan (Fraser, 2010). Dalam penelitiannya, Fraser (2010) menyatakan pada individu yang berhasil untuk memperbaiki relasi, ada perbaikan untuk setiap pencederaan yang dilakukan. Pada individu yang gagal memperbaiki relasi, tidak semua pencederaan diperbaiki. Percaya merupakan aspek penting dalam relasi persahabatan. Semakin tinggi kualitas persahabatan maka kecenderungan level percaya akan semakin tinggi. Dengan kata lain, level percaya dalam persahabatan menentukan level
11
kualitas persahabatan. Pada kualitas persahabatan tinggi, remaja cenderung untuk lebih percaya dibandingkan pada kualitas persahabatan sedang atau rendah. Bila kualitas persahabatan tinggi, maka remaja tidak akan ragu untuk meminjamkan barang pribadi, dan meminjamkan uang kepada sahabat. Remaja juga lebih berani untuk bercerita banyak, termasuk hal-hal memalukan dan masalah pribadi. Jika kualitas persahabatan sedang atau rendah, akan ada keterbatasan dalam hubungan persahabatan mereka. Remaja cenderung tidak begitu percaya dan tidak terlalu bergantung kepada sahabat. Banyak
respon
yang
berkemungkinan
dilakukan
remaja
dalam
menghadapi pencederaan kepercayaan dalam persahabatan. Hal ini berkaitan dengan tingkat keparahan dari pencederaan yang dilakukan. Pada relasi akrab seperti persahabatan, kecenderungan untuk memaafkan akan lebih tinggi. Hal ini disebabkan kelekatan dan hubungan emosional yang terjalin cukup dalam dan intim. Untuk alasan yang sama, pencederaan kepercayaan dalam relasi akrab memiliki dampak yang lebih parah. Remaja akan merasa lebih terkhianati ketika dibohongi oleh sahabat dibandingkan dengan teman biasa. Keadaan relasi setelah pencederaan pun bisa beragam. Dengan memaafkan, maka kecenderungan untuk memperbaiki kepercayaan akan tinggi. Pada akhirnya relasi persahabatan yang terjalin dapat pulih kembali. Di sisi lain, ketika remaja merasa sangat tersakiti, maka ia tidak hanya akan memutuskan persahabatan, namun juga bisa melakukan pembalasan dendam. Berbagai kemungkinan ini, menjadikan penelitian menarik untuk diteliti. Penelitian mengenai kepercayaan dalam persahabatan di Indonesia belum
terlalu
banyak
dilakukan.
Penelitian
persahabatan
umumnya
menggunakan teori-teori barat yang belum tentu sesuai jika diterapkan di
12
Indonesia. Perbedaan budaya, adat, dan kebiasaan merupakan hambatan dalam generalisasi teori barat untuk dapat diaplikasikan. Studi tentang masa remaja muncul dalam konteks masyarakat industri barat, dimana kebutuhan-kebutuhan praktis dan norma-norma sosial kebudayaan ini mendominasi pemikiran tentang remaja. Akibatnya, perkembangan remaja dalam kebudayaan barat berlaku sebagai norma bagi semua remaja di dunia, tanpa memandang keadaankeadaan ekonomi dan kebudayaan (Santrock, 2002). Penelitian mengenai pencederaan kepercayaan banyak dilakukan di Barat. Penelitian dari Barat tidak dapat sepenuhnya digeneralisasikan untuk di Indonesia. Penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada konteks yang berbeda, seperti konteks industri dan organisasi. Tidak banyak penelitian pencederaan kepercayaan yang dilakukan pada relasi interpersonal, seperti persahabatan. Peneliti ingin melihat apakah gambaran dinamika pencederaan kepercayaan pada penelitian sebelumnya akan terjadi juga pada konteks relasi persahabatan. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran dinamika persahabatan yang mengalami pencederaan kepercayaan. Secara khusus, bagaimana remaja di Indonesia menyikapi pencederaan kepercayaan dalam persahabatan akan menjadi penting mengingat kemungkinan dampak pencederaan kepercayaan yang dapat merusak persahabatan.
B. Permasalahan Penelitian Dari pemaparan di atas, pertanyaan dalam penelitian ini yaitu: 1. Seperti apa gambaran umum pencederaan kepercayaan (berupa besaran kekuatan, frekuensi, dan bentuk pencederan) pada relasi persahabatan remaja?
13
2. Bagaimana dinamika pencederaan kepercayaan pada relasi persahabatan remaja?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran umum (berupa besaran kekuatan, frekuensi dan bentuk pencederaan) dan dinamika pencederaan kepercayaan pada persahabatan remaja. Secara terperinci, penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai dinamika pencederaan kepercayaan yang meliputi: bentuk pencederaan, respon dan keadaan persahabataan setelah kejadian pencederaan kepercayaan.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah a. Manfaat
teoritis:
Penelitian
ini
diharapkan
memberi
sumbangan
pengembangan ilmu psikologi sosial khususnya pada kajian kepercayaan dalam persahabatan di Indonesia. b. Manfaat praktis: Memberi masukan bagi remaja, sekolah, dan orang tua untuk memahami cara yang efektif untuk menjaga persahabatan pada level yang baik setelah mengalami kejadian pencederaan kepercayaan. Hal ini menjadi penting karena kualitas persahabatan yang baik memberikan banyak dampak positif terhadap remaja.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai persahabatan dan kepercayaan dalam persahabatan. Di indonesia, Sulistyo (2011) telah melakukan penelitian mengenai dinamika pembentukan persahabatan pada remaja. Setelah
14
itu, Ampuni, et al., (2010) dan Indrayanti dan Adiwibowo (2008) melakukan penelitian mengenai dinamika kepercayaan pada persahabatan. Berbeda dengan
penelitian
tersebut,
penelitian
ini
berfokus
pada
pencederaan
kepercayaan dalam persahabatan remaja di Indonesia. Dari Barat juga telah dilakukan penelitian mengenai pencederaan kepercayaan (Roth & Sitkin, 1993; Bies & Tripp, 1996; Elangovan & Shapiro, 1998; Elangovan, et al., 2007; Fraser, 2010;). Namun penelitian-penelitian dilakukan pada konteks industri dan organisasi. Selain konteks industri dan organisasi, ada juga penelitian mengenai pencederaan kepercayaan pada bidang militer (Brown, et al., 2008). Disamping perbedaan konteks, penelitianpenelitian ini menggunakan konsep dan teori barat dimana hal tersebut tidak dapat sepenuhnya digeneralisasikan dengan konteks budaya di Indonesia.