BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan keluarga berencana (KB) telah dipromosikan menjadi bagian dari kesehatan reproduksi sejak International Conference on Population and Development (ICPD) 1994. Konferensi tersebut telah menyepakati bahwa KB yang terjangkau secara universal merupakan bagian dari pendekatan kesehatan reproduksi dan hak–hak reproduksi (Wilopo, 2010). Akses terhadap kesehatan reproduksi secara universal merupakan kunci keberhasilan menurunkan angka kematian ibu (AKI), mencegah kehamilan tidak diinginkan (KTD), mengurangi penyebaran infeksi menular seksual (IMS), dan pemberdayaan perempuan. Salah satu upaya pemerintah yang saat ini digalakkan adalah pemberian pelayanan KB yang berkualitas diantaranya dengan meningkatkan akses dan kualitas informasi, konseling dan pelayanan KB (BKKBN, 2015). Penggunaan kontrasepsi (CPR) mengalami tren peningkatan secara global dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. CPR naik dari 54,8 persen pada tahun 1990 menjadi 63,3 persen pada tahun 2010, sedangkan unmet need turun dari 15,4 persen pada tahun 1990 menjadi 12,3 persen pada tahun 2010 (Alkema et al., 2013). Program KB Indonesia telah berhasil menurunkan angka fertilitas total (TFR) dari 5,6 pada tahun 1970 menjadi 2,6 pada tahun 2012 (Wilopo, 2014a). Pada tahun 2015 TFR turun menjadi 2,3 (Performance Monitoring and Accountability 2020 (PMA2020) Project, 2015). Walaupun demikian, perubahan TFR dalam 10 tahun terakhir menunjukkan penurunan fertilitas yang stagnan yaitu sebesar 2,6 sejak tahun 2002 sampai sekarang (BPS et al., 2013, Wilopo, 2014c). Turunnya angka fertilitas ini menyebabkan perubahan struktur penduduk, sehingga penduduk usia produktif relatif lebih banyak dibandingkan penduduk usia tergantung. Hal ini menyebabkan Indonesia akan mengalami transisi demografi yang ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk usia subur (15–49 tahun) relatif cepat sehingga berdampak terhadap kenaikan jumlah wanita usia subur (WUS). Kondisi ini akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi (Bongaarts et al., 2012, Wilopo, 2014a).
1
2
Kondisi fertilitas yang stagnan dipengaruhi oleh 6 faktor utama, yaitu: proporsi kawin, ketidaksuburan pasca melahirkan karena laktasi, aborsi, ketidaksuburan karena secara patologis, dan penggunaan kontrasepsi (Wilopo, 2014c). Pemerintah harus menyediakan fasilitas KB yang rasional, efektif, dan efisien terutama yang sesuai dengan tujuan melakukan KB serta diikuti dengan indikasi medis yang benar dalam rangka menurunkan angka fertilitas di Indonesia. Jika tidak, dikhawatirkan akan terjadi putus pakai yang sangat tinggi sehingga akan meningkatkan terjadinya KTD (Jaccard, 2009). Salah satu solusi stagnasi fertilitas dan mencegah KTD adalah dengan meningkatkan penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) terutama bagi pasangan yang tidak ingin memiliki anak lagi (Wilopo, 2014c). MKJP merupakan kontrasepsi yang efektif dapat digunakan dalam jangka waktu lebih dari 2 tahun untuk menjarangkan kelahiran atau membatasi kehamilan (Asih and Oesman, 2009). Metode ini meliputi alat kontrasepsi dalam rahim/intra uterine device (IUD), implan/susuk KB, dan sterilisasi pria/wanita. Penelitian telah menunjukkan bahwa manfaat penggunaan MKJP reversibel akan menurunkan tingkat fertilitas (Harper et al., 2015) dan menurunkan angka kejadian KTD (Blumenthal et al., 2011). Namun jika melihat penggunaan MKJP reversibel (implan dan IUD) di Indonesia masih sangat rendah. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan bahwa penggunaan IUD mengalami penurunan secara konsisten dari 8,1 persen (tahun 1997), 6,2 persen (tahun 2002/03), 4,9 persen (tahun 2007) dan menjadi 3,9 persen (tahun 2012). Penggunaan kontrasepsi implan juga mengalami penurunan lebih dari 50 persen, dari 6 persen (tahun 1997) menjadi 2,8 persen (tahun 2007) namun pada tahun 2012 penggunaannya mulai meningkat menjadi 3,3 persen. Selain itu tingkat putus pakai fokus pada kontrasepsi IUD dan implan dalam waktu kurun lima tahun terakhir mengalami fluktuasi, seperti tingkat putus pakai pada kontrasepsi IUD menurun dari 9,9 persen (tahun 2007) menjadi 5,7 persen (tahun 2012) sedangkan untuk implan meningkat dari 5,7 persen (tahun 2007) menjadi 7,9 persen (tahun 2012) (BPS et al., 2013). Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang menunjukkan
3
proporsi pengguna implan sebesar 3,5 persen dan proporsi pengguna IUD sebesar 4,3 persen (Balitbangkes, 2013). Tantangan dalam program MKJP semakin besar karena pemerintah pada tahun 2019 menargetkan pengguna MKJP sebesar 23,5 persen (BKKBN, 2015). Rendahnya penggunaan MKJP reversibel dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu rendahnya pengetahuan tentang metode tersebut (Weisberg, 2014), pemahaman dan informasi yang salah (Wellings et al., 2007, Garrett et al., 2015), biaya mahal (Broecker et al., 2016), dan permasalahan terkait faktor akses pelayanan (Lunde et al., 2014). Pemasalahan terkait akses pelayanan meliputi minimnya petugas terlatih, terjadinya kekosongan alat kontrasepsi ketika dibutuhkan, kurangnya sarana konseling di layanan, dan pengetahuan petugas yang rendah tentang MKJP. Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) memegang peranan penting dalam kesuksesan KB pada era jaminan kesehatan nasional (JKN) karena hampir semua metode KB dapat dilayani di FKTP. FKTP yang bekerjasama dalam pelayanan KB meliputi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), klinik pratama, dan dokter praktek mandiri. Terkait pelayanan KB, hasil Riset Fasilitas Kesehatan (Risfaskes) tahun 2011 menunjukkan baru 32,6 persen Puskesmas memiliki ruangan poliklinik khusus KB (Balitbangkes, 2012). Ketersedian tenaga terlatih pemberi layanan KB juga masih belum memenuhi target (Kemenkes, 2013b). Padahal berbagai penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga terlatih menjadi faktor kunci dalam penggunaan MKJP reversibel (Harper et al., 2013, Lunde et al., 2014). Oleh karena itu melalui analisis data performance monitoring and accountability (PMA) 2020 tahun 2015, penelitian ini berupaya untuk menggali pengaruh ketersediaan tenaga terlatih terhadap penggunaan MKJP reversibel (implan dan IUD).
4
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah “apa pengaruh ketersediaan tenaga terlatih terhadap penggunaan MKJP reversibel di fasilitas kesehatan tingkat pertama?”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui pengaruh ketersediaan tenaga terlatih terhadap penggunaan MKJP reversibel di FKTP. 2. Tujuan khusus a. Menganalisis karakteristik pengguna metode kontrasepsi di FKTP. b. Menganalisis hubungan ketersediaan tenaga terlatih terhadap penggunaan MKJP reversibel dengan mempertimbangkan variabel lain. c. Menganalisis pengaruh variasi proporsi kekayaan tingkat propinsi terhadap penggunaan MKJP reversibel. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Sebagai bahan kajian dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai pengaruh ketersediaan tenaga terlatih terhadap penggunaan MKJP reversibel. b. Sebagai pembanding bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat praktis a. Sebagai bahan untuk merancang intervensi yang lebih efektif bagi masyarakat dan pembuatan kebijakan dalam program KB. b. Sebagai bahan evaluasi pelaksanaan program KB.
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pengaruh ketersediaan tenaga terlatih terhadap penggunaan MKJP reversibel belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Berdasarkan
5
penelusuran literatur didapatkan hasil penelitian yang sejenis dengan penelitian ini yaitu: 1. Wellings et al. (2007) melakukan penelitian dengan judul “Attitudes towards long-acting reversible methods of contraception in general practice in the UK”. Hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan MKJP reversibel dipengaruhi oleh minimnya keterampilan tenaga pemberi layanan dan pengetahuan yang salah tentang metode tersebut. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel terikat dan perbedaannya terletak pada tempat penelitian, besar sampel, teknik dan analisis data. 2. Nasution (2011) melakukan penelitian dengan judul “faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP di enam wilayah Indonesia”. Hasilnya faktor yang berpengaruh terhadap penggunan MKJP adalah umur pasangan usia subur (PUS), jumah anak masih hidup, lama menikah, tingkat pendidikan, tahapan keluarga, tujuan ber-KB, daerah tempat tinggal, dan sumber pelayanan. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel terikat. Perbedaannya terletak pada metode penelitian, variabel bebas, besar sampel, dan sumber data. 3. Lunde et al. (2014) melakukan penelitian dengan judul “Long Acting Contraception Provision by Rural Primary Care Physicians”. Hasilnya faktor yang berpengaruh terhadap penggunan MKJP adalah minimnya keterampilan, kurangnya permintaan pasien, ketersediaan layanan ibu, dan ketersediaan dokter perempuan. Persamaan dengan penelitian ini adalah desain penelitian dan analisis data. Perbedaannya terletak pada tempat penelitian, variabel bebas, besar sampel, dan sumber data. 4. Garrett et al. (2015) melakukan penelitian dengan judul “Understanding the low uptake of long-acting reversible contraception by young women in Australia: A qualitative study”. Hasilnya faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan MKJP reversibel adalah kemampuan petugas dalam konseling dan melakukan pemasangan alat kontrasepsi. Persamaan terletak pada variabel terikat. Perbedaannya terletak pada variabel bebas, besar sampel, metode penelitian, tempat penelitian, dan sumber data.