BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kawasan karst pada saat ini telah menjadi objek penelitian arkeologi yang menarik, karena kawasan karst menjadi bukti berlangsungnya kehidupan pada jaman prasejarah. Karst merupakan istilah yang memiliki pengertian suatu bentangalam, yang secara khusus berkembang pada batuan karbonat akibat proses karstifikasi (pelarutan) selama ruang dan waktu geologi yang tersedia. Karstifikasi adalah proses pembentukan bentuklahan yang didominasi oleh proses pelarutan (Samodra, 2001). Proses pelarutan pada batuan inilah yang menyebabkan terbentuknya gua-gua karst yang menjadi bagian dalam proses kehidupan manusia prasejarah. Kawasan Karst Gunungsewu merupakan bagian dari Pegunungan Selatan Jawa. Wilayahnya membentang sekitar 85 km dari barat hingga ke timur. Cakupannya meliputi 3 wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Gunungkidul (bagian barat), Kabupaten Wonogiri (bagian tengah), dan Kabupaten Pacitan (bagian timur). Kawasan ini sebagian besar terdiri atas perbukitan kapur dengan topografi bergelombang hingga berbukit dengan perlapisan batuan miring ke arah selatan, yaitu ke Samudra Hindia. Kawasan karst juga dicirikan oleh sungai-sungai bawahtanah serta bukit-bukit berbentuk kerucut yang terjadi akibat adanya proses pengangkatan dan pelarutan batuan karbonat. Kenampakan bentangalam di Wilayah Gunungsewu terjadi akibat adanya gaya endogen dan eksogen. Proses erosi dan karstifikasi menyebabkan 1
2
terciptanya ribuan bukit karst berbentuk setengah lingkaran dan kerucut. Di antara bukit-bukit karst tersebut terdapat lembah dan dataran sempit. Di beberapa bagian juga dijumpai banyak cekungan antar bukit yang tergenang oleh air sehingga membentuk dolin (telaga) (Simanjuntak, 2002: 36). Dilihat dari geomorfologinya, secara umum Gunungsewu dibagi menjadi 4 satuan (Todd, 1980 dalam Simanjuntak, 2002: 36) yaitu : 1. Satuan morfologi dataran: dicirikan oleh lembah lebar dan datar terbentuk oleh endapan aluvial dan sedimen dengan kemiringan lereng 0-2%. Satuan ini memiliki luas mencapai
20% dari wilayah Gunungsewu dan
dimanfaatkan sebagai lahan pemukiman dan lahan pertanian. 2. Satuan morfologi bergelombang lemah: dicirikan oleh bukit landai dengan relief halus yang terbentuk oleh endapan aluvial dan batuan sedimen dengan kemiringan lereng 2-8%. Luas satuan ini
15% dari wilayah
Gunungsewu yang umumnya dimanfaatkan sebagai wilayah pemukiman dan lahan pertanian. 3. Satuan morfologi bergelombang kuat: dicirikan oleh lereng terjal dan relief kasar yang terbentuk oleh batuan sedimen dan batuan beku dengan kemiringan lereng 8-16%. Luas satuan ini
5% dari wilayah
Gunungsewu yang sebagian dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan, sedangkan bagian lainnya merupakan hutan yang tidak terlalu lebat, dan tertutup semak belukar. 4. Satuan morfologi karst: dicirikan oleh bukit-bukit bulat menyebar dan berkelompok berbentuk kerucut, serta dolina, pipa karst, dan sungai bawahtanah. Luas satuan ini
65% dari wilayah Gunungsewu, umumnya
3
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tadah hujan di lembah-lembah dan dataran sempit di antara bukit-bukit karst. Dilihat dari satuan morfologi karstnya, Kawasan Gunungsewu termasuk dalam morfologi karst tropis dengan ciri lereng terjal dan mengelompok yang disebabkan oleh hujan dan evaporasi yang tinggi (Tjia, 1987 dalam Simanjuntak, 2002: 38). Proses pembentukan bukit-bukit karst tersebut karena adanya pengangkatan dari dasar laut yang kemudian membentuk struktur geologi yang berupa patahan, lipatan dan terobosan magma. Selain itu juga karena adanya endapan
batugamping,
menyebabkan
erosi
yang
membentuk
morfologi
perbukitan karst dengan jaringan rongga yang ada di dalam batugamping tersebut sehingga terbentuk gua (Simanjuntak, 2002: 44). Gua-gua di Kawasan Gunungsewu terbentuk dari batugamping yang secara fisik tergolong keras, namun secara kimia sangat lemah dan rapuh. Endapan batugamping yang rapuh diakibatkan oleh pengaruh kimia melalui aktivitas air hujan yang mengandung larutan karbondioksida. Pelapukan menyebabkan terjadinya proses karst dimana permukaan batugamping menjadi berlubang-lubang, sedangkan bagian dalamnya membentuk jaringan rongga. Lubang-lubang tersebut menjadi perangkap air hujan, sedangkan jaringan rongga menjadi tempat penampungan air. Hal tersebut menjadikan wilayah Gunungsewu banyak terdapat gua-gua dan ceruk karst (Simanjuntak, 2002: 4445). Persebaran gua dan ceruk itu ditentukan oleh keberadaan bukit-bukit karst. Semakin padat keberadaan bukit karst di suatu tempat, maka semakin banyak pula terdapat gua dan ceruk di daerah tersebut. Jika dilihat dari
4
keletakannya, sebagian besar gua terletak di lereng perbukitan (gua kaki bukit) dan sebagian kecil di tebing terjal (gua tebing) (Simanjuntak, 2002: 92). Keberadaan gua dan ceruk di Kawasan Karst Gunungsewu ini menyimpan bukti adanya hunian manusia sejak jaman prasejarah. Pola aktivitas manusia yang dulunya masih nomaden dan berorientasi di sekitar aliran sungai kemudian ditinggalkan dan beralih ke gua atau ceruk. Perpindahan ini didasari oleh kondisi ruang yang baik untuk dijadikan tempat tinggal serta tersedianya sumberdaya lingkungan yang mendukung berlangsungnya kehidupan manusia prasejarah. Faktor lingkungan alam merupakan salah satu faktor yang diperhatikan dalam memilih lokasi hunian gua. Ini menjadi penting karena dalam melaksanakan aktivitas kehidupannya, manusia sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan juga alam di sekitarnya. Demikian juga dengan faktor daya dukung alam (carrying capacity) yang berkaitan dengan ketersediaan berbagai bahan kebutuhan, baik untuk bahan makanan maupun bahan artefak (Butzer, 1982). Faktor ini antara lain dapat diukur dari lokasi gua dan jaraknya terhadap sumber-sumber bahan. kebanyakan gua hunian prasejarah berada dekat sumber air yang menyediakan akses ke berbagai sumber bahan (Soebroto, 1992: 2 dalam Cristiana, 2005: 6). Faktor-faktor lain yang penting dipertimbangkan adalah kelayakan penghunian (occupation feasibility). Faktor ini berkaitan dengan morfologi dan dimensi gua, sirkulasi udara, intensitas cahaya, kelembaban gua, kerataan dan kekeringan sedimen permukaan gua, dan kelonggaran untuk bergerak. Indikasi lain berupa temuan arkeologis di lantai gua. Semakin banyak data arkeologi yang
5
ditemukan, baik berupa artefak, ekofak, dan fitur, maka semakin berpotensi gua tersebut sebagai situs arkeologi (Yuwono, 2004: 7-9). Menurut Simanjuntak (2002: 96-97), secara umum gua-gua di Kawasan Gunungsewu dibagi menjadi 3 karakter, yakni: 1. Gua-gua yang ideal untuk dihuni. Dicirikan oleh kondisi gua yang dekat dengan sumber air, mudah dicapai , sirkulasi udara baik, dan sinar matahari langsung. 2. Gua-gua yang cukup ideal untuk dihuni. Dicirikan oleh sinar matahari yang tidak langsung masuk ke dalam gua, sirkulasi udara agak baik, dan agak sulit dicapai. 3. Gua-gua yang kurang ideal untuk dihuni Dicirikan oleh sirkulasi udara yang kurang baik, jauh dari sumber air, dan akses yang sulit dicapai. Sejumlah besar gua alam yang terdapat di subzona Gunungsewu, beberapa diantaranya adalah gua yang mengandung indikasi arkeologis. Guagua arkeologis termasuk ke dalam kategori gua horisontal dan dangkal, keletakan mulutnya biasanya di lereng-lereng bukit atau lembah (Sutikno dan Tanudirjo, 2005: 74; Yuwono, 2006a:8). Sejumlah 22 gua telah disurvei oleh Yuwono di wilayah Wonogiri, dan 15 gua di antaranya memiliki temuan arkeologis permukaan yang sangat signifikan. Beberapa gua arkeologis tersebut antara lain menempati teras-teras lembah Bengawan Solo Purba dan bekas anak-anak sungainya (Yuwono, 2004:11). Salah satu tinggalan gua yang diduga menjadi bukti adanya hunian prasejarah di Gunungsewu ialah Gua Gilap. Gua Gilap terletak pada posisi UTM
6
49S 475688 mE
9110102 mN dengan ketinggian 350 m.dpl. Secara
administratif, Gua Gilap berada di Dusun Danggolo, Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Keletakan Gua Gilap pada bagian lereng ialah di dasar lembah. Gua Gilap terbentuk akibat terjadinya collapse doline. Jenis penggunaan lahan di sekitarnya ialah berupa hutan jati dan tegalan. Lokasi Gua Gilap berdekatan dengan gua-gua lain yang diduga berpotensi sebagai situs hunian seperti Gua Potro-Bunder, Gua Mrico, Gua Tembus, Gua Sodong dan Gua Sapen. Karena potensi-potensi tersebut, maka wilayah di sekitar Gua Gilap ini dipilih sebagai lokasi Museum Karst yang kemudian menjadi Kawasan Karst Dunia. Sejauh ini, data penelitian arkeologis mengenai Gua Gilap belum banyak ditulis. Hasil survei yang dilakukan oleh PTKA UGM pada tahun 2002 banyak menemukan temuan fragmen tulang, kerang, dan tanduk rusa. Beberapa temuan kemudian diindikasikan sebagai artefak. Ketika dilakukan survei pada bulan april 2013, masih banyak ditemukan temuan permukaan berupa artefak maupun ekofak yang diduga menjadi sisa-sisa aktivitas hunian manusia prasejarah sebagai tempat hunian seperti Mandibula, tulang femur, serpih, spatula, dan alat tulang. Temuan-temuan tersebut tersingkap karena adanya penggalian tanah dan runtuhan dinding gua akibat penambangan fosfat-guano dan kalsit (watu lintang). Saat ini, kondisi ruangan Gua Gilap terancam akibat penambangan tersebut. Hasil rekomendasi oleh PTKA UGM untuk dilakukan penelitian intensif di Gua Gilap kemudian ditindaklanjuti oleh tim BPCB Jawa Tengah melalui tindakan ekskavasi pada tanggal 24-29 Juni 2013.
7
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pemanfaatan sumberdaya alam khususnya sumberdaya fauna di sekitar Gua Gilap oleh penghuni gua tersebut pada masa prasejarah? 2. Bagaimana ragam potensi Gua Gilap dan lingkungan sekitarnya sebagai tempat hunian manusia prasejarah?
C. TUJUAN PENELITIAN Sebagaimana rumusan masalah yang telah dijelaskan, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui bagaimana bentuk pemanfaatan sumberdaya lingkungan, khususnya sumberdaya fauna di sekitar Gua Gilap oleh penghuni gua untuk mendukung subsistensinya. 2. Memberikan gambaran mengenai ragam potensi lingkungan baik secara mikro maupun meso yang mendukung hunian prasejarah di Gua Gilap.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Sharer dan Ashmore (1992) dalam Archaeology: Discovering our Past, menjelaskan bahwa arkeologi merupakan studi yang mempelajari tentang masa lalu manusia melalui materi yang ditinggalkan. Materi yang ditinggalkan tersebut berupa artefak, ekofak, dan fitur. Beberapa penelitian mengenai lingkungan di Gunungsewu antara lain dilakukan oleh Simanjuntak (2002), dalam bukunya yang berjudul “Prasejarah Gunung Sewu” buku ini membahas aspek-aspek budaya yang secara umum
8
terkait dengan kemampuan eksploitasi dan kemampuan beradaptasi manusia prasejarah pada Kawasan Karst Gunungsewu. Selain itu buku ini juga merekonstruksi lingkungan fisik yang lebih bersifat general. Bentuk lingkungan fisik dalam penelitiannya lebih didasarkan atas data ekskavasi di Song Keplek dan Gua Braholo Simanjuntak kemudian menyimpulkan bahwa kronologi hunian pada Kawasan Karst Gunungsewu telah dimulai sejak Kala Pleistosen Tengah (Simanjuntak, 2002). Rachmad Fajri (1998) menulis skripsi dengan judul “Situs Gua Longop: Kajian Tafonomi Sebuah Gua Hunian”. Dalam tulisannya diperoleh gambaran mengenai proses transformasi data arkeologi dan bentuk pemanfaatan Gua Longop (Fajri, 1998). Kemudian Anggraeni dkk (2002) menulis laporan dengan judul “Eksploitasi Sumberdaya Hayati Pegunungan Seribu Pada Awal Holosen dan Implikasinya, Studi Kasus di Kecamatan Ponjong Gunungkidul”. Penelitian ini lebih mengarah pada pencarian penyebab perubahan lingkungan di Gunungsewu, apakah karena upaya eksploitasi manusia atau karena alam (Anggraeni dkk, 2002). Gregorius Dwi Kuswanto pada tahun 2007 menulis skripsi dengan judul “Eksploitasi Sumberdaya Akuatik oleh Komunitas Penghuni Song Jebreng Gunungkidul: Kajian Lingkungan dan Ekofak Organik”. Tulisan ini mengungkap keragaman sumberdaya akuati dan cara adaptasi yang dilakukan oleh komunitas penghuni Song Jebreng terhadap lingkungan sekitar situs (Kuswanto, 2007). Ahmad Surya Ramadhan (2012) dalam skripsi yang berjudul “Sisa-sisa Fauna
Pada
Sungai
Bawahtanah
Gua
Seropan,
Gunungkidul:
Kajian
Transformasi Data Arkeologi Dan Rekonstruksi Lingkungan Daerah Resapan Hujan”. Penelitian tersebut menekankan pada proses-proses yang berlangsung
9
terhadap deposisi data sisa fauna yang terendapkan pada aliran sungai bawahtanah Gua Seropan (Ramadhan, 2012). Penelitian mengenai flora dan fauna pernah dilakukan oleh Rooselline Linda Octina tahun 2013 dalam skripsinya yang berjudul “Pemanfaatan Tumbuhan di Situs Song Towo: Berdasarkan Hasil Analisis Residu Fitolit Pada Artefak Batu dan Tulang”. Dari hasil penelitiannya dapat dipeoleh gambaran tumbuhan yang dimanfaatkan oleh penghuni Song Towo dan kondisi lingkungannya (Octina, 2013). Jarwo Susetyo Edy Yuwono (2013b) menulis tesis yang berjudul “Karakter Geoarkeologis Dan Proses Budaya Prasejarah Zona Poros PonjongRongkop di Blok Tengah Gunungsewu”. Penelitian ini berusaha menjelaskan karakter geoarkeologis gua-gua yang sebagian besar terletak di Zona Poros Ponjong-Rongkop dengan aspek arkeologis, Penelitian ini juga menjelaskan proses budaya prasejarah pada gua-gua yang mencakup kronologi hunian, bentuk serta perubahan subsistensi penghuninya, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. E. RIWAYAT PENELITIAN KAWASAN BLOK TENGAH GUNUNGSEWU Yuwono (2013b) menjelaskan bahwa Gua Gilap termasuk dalam bagian Zona Poros Ponjong-Rongkop pada Blok Tengah Gunungsewu. Sebelum dilakukan ekskavasi di Gua Gilap pada Juni 2013, penelitian yang dilakukan berupa survei permukaan oleh PTKA. Studi maupun penelitian mengenai Kawasan Karst Gunungsewu terutama pada Zona Poros Ponjong-Rongkop, pada saat ini telah banyak dilakukan antara lain Song Terus dan Song Braholo
10
(Simanjuntak, 1999: 1-20; Simanjuntak, 2002), Song Bentar dan Song Blendrong (Anggraeni, dkk., 2002; Yuwono, 2001-2002). Danarti Tri Wardani (2001), dalam skripsi yang berjudul “Pola Cakupan Eksploitasi Sumber Bahan Alat Batu Situs Gua Braholo Pada Kala Awal Holosen: Tinjauan Geo-arkeologi”. Tulisan ini menjelaskan pola eksploitasi sumber bahan alat batu dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola eksploitasi tersebut (Wardani, 2001). Di wilayah Wonogiri sendiri, baru terdapat 2 gua yang telah diteliti yaitu Song Agung (PTKA, 2002) dan Song Terus (Tim Hibah Pasca Sarjana Fak. Geografi, 2006). Hasil penelitian tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam penulisan skripsi oleh Anang Cristiana (2005) yang berjudul “Adaptasi Manusia Penghuni Song Agung, Suatu Kajian Ekologi”. Penulisan skripsi tersebut membahas tentang adaptasi manusia dilihat dari kondisi lingkungan Song Agung Wonogiri (Cristiana, 2005). Yuwono juga banyak menulis artikel maupu laporan tentang budaya prasejarah Karst Gunungsewu, seperti “Arkeologi Karstik dan
Metode
Penelusuran Potensi Kawasan: Introduksi Tentang Model Penerapannya di Gunung Sewu” (2004); “Kawasan Karst Gunung Sewu: Dalam Perspektif GeoArkeologis”. Adaptasi dan Pengelolaan Masa Lampau (2006a); “Dinamika Bentang Budaya Gunung sewu” (2006b). Pada tahun 2006 dilakukan ekskavasi Song Terus Wonogiri. Dari hasil ekskavasi tersebut dapat diinterpretasikan adanya 3 tahapan perkembangan hunian pada Song Terus (Sutikno dan Tanudirjo, 2005 dan Yuwono, 2006b: 11-12), yaitu : 1. Tahapan pertama (kedalaman 80-90cm) atau tahap awal hunian. Pada tahap ini artefak batu digunakan untuk mengeksploitasi
11
sumberdaya fauna darat dan manusia pendukung sudah mengenal lokasi sumber bahan batuan. 2. Tahap kedua (kedalaman 60-80cm) merupakan tahap perkembangan hunian. konsentrasi unsur artefak meningkat pada kedalaman ini, termasuk berkembangnya produksi artefak tulang. Unsur temuan lain berupa cangkang kerang mengasumsikan jika pada tahap ini manusia pendukung sudah melakukan eksploitasi tehadap sumbedaya marin. 3. Tahap ketiga (kedalaman 50cm-keatas). Terjadi penurunan kuantitas artefak batu serpih dan mulai muncul gerabah sebagai unsur teknologi baru. Sama seperti Wardani (2001), penelitian terhadap sumber bahan yang dilakukan oleh Omilda Novi Haryanti (2007) untuk skripsinya yang berjudul “Eksploitasi dan Sumber Bahan Artefak Batu Song Terus Wonogiri, Tinjauan Geo-Arkeologi”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui sumber bahan baku artefak. Hasil dari penelitian tersebut adalah penentuan beberapa lokasi yang
diperkirakan
sebagai
lokasi
sumber
bahan
baku
artefak,
dan
mengklasifikasikan artefak berdasarkan jenis batuannya (Haryanti, 2007). Ramanda Primawan (2011) kemudian menulis skripsi mengenai Song Terus dengan judul “Eksploitasi Vegetasi Di Situs Song Terus Wonogiri Pada Masa Prasejarah, Kajian Berdasarkan Analisis Fitolit”. Dalam skripsinya, dapat diperoleh gambaran mengenai tumbuhan apa saja yang telah dimanfaatkan, dan ada
tidaknya
perubahan
eksploitasi
terhadap
pendukung situs Song Terus (Primawan, 2011).
tumbuhan
oleh
manusia
12
F. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penalaran yang dipakai bersifat induktif, yaitu suatu penalaran untuk mendapatkan data yang mendukung dalam pemecahan suatu masalah. Data tersebut digunakan sebagai penarik kesimpulan melalui analisis dan sintesis. Penalaran ini bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris melalui proses analisis data (Tanudirjo, 1988: 34). Sharer dan Asmore (1992) juga menjelaskan bahwa penalaran induktif berasal dari alur pengamatan yang dilakukan secara mendalam yang kemudian menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum. Metode penelitian yang digunakan ialah metode eksploratif, yang memiliki tujuan untuk melakukan penjajakan potensi arkeologis yang terdapat pada suatu tempat, berangkat dari keingintahuan akan sesuatu, sehingga akan diperoleh jawaban atas sesuatu yang belum terungkap (Puslitarkenas, 2008: 20). Sesuai dengan kajian dan metode penalaran yang digunakan, maka tahap-tahap penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Tahap Pengumpulan data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil ekskavasi dan survei lapangan di sekitar Gua Gilap. Ekskavasi ini dilakukan pada tanggal 24-29 Juni 2013 oleh BPCB Jawa Tengah dan penulis terlibat di dalamnya. Survei dilakukan di Kawasan Museum Karst sekitar Gua Gilap. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi lingkungan di lokasi penelitian.
13
Data sekunder berupa studi pustaka yang terdiri atas laporan survei, laporan penelitian, artikel dan jurnal ilmiah, peta dasar RBI dan peta tematik. 2. Tahap analisis data dan interpretasi Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis agar dapat menghasilkan suatu interpretasi. Analisis yang digunakan yaitu analisis artefaktual dan ekofaktual sisa fauna, kontekstual, dan lokasional. Analisis artefaktual dan ekofaktual dilakukan terhadap hasil ekskavasi dan survei. Analisis ekofaktual sisa fauna ini dilakukan melalui identifikasi taksonomis secara makroskopis oleh penulis di Laboratorium Jurusan Arkeologi UGM. Sebelum dilakukan identifikasi, data ekofaktual yang telah diperoleh dikelompokkan terlebih dahulu dibagi dalam beberapa kategori, yaitu bagian tengkorak, rahang, gigi, dan tulang (Fitriawati, 2009: 6). Referensi yang digunakan untuk studi komparasi dalam identifikasi data ekofaktual ini adalah: Pales dan Garcia (1981a dan 1981b), Hillson (1992) serta Schmid (1972). Identifikasi data artefaktual juga dilakukan secara makroskopis. referensi yang digunakan bersumber dari Sutton dan Arkush (1996), Achwan (1985), Prasetyo (2002), dan Asih (2004). Analisis kontekstual ditekankan pada kedudukan data di dalam lapisan tanahnya (stratigrafi). Analasis ini dilakukan karena secara tidak langsung dapat menggambarkan proses pengendapan data arkeologi pada suatu situs dan juga faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tahap analisis lokasional dilakukan melalui interpretasi peta dan hasil observasi lapangan. Ini dilakukan untuk melihat hubungan antara jenis fauna yang teridentifikasi, jenis habitatnya di sekitar Gua Gilap, dan sumberdaya lingkungan yang mendukung hunian gua pada masanya.
14
Data-data yang telah dianalisis kemudian disintesakan untuk menjawab permasalahan yang diajukan, yaitu tentang ragam potensi Gua Gilap serta lingkungan sekitarnya, dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh penghuni gua dengan lingkungan sekitarnya melalui kajian konsep-konsep dan teori-teori yang relevan. 3. Kesimpulan Hasil kesimpulan dari penelitian ini berupa tentang ragam potensi Gua Gilap dan sekitarnya yang mendukung hunian manusia pada masa prasejarah. Gambaran tentang jenis-jenis habitat yang ada di sekitar gua juga diperoleh melalui data fauna yang dianalisis. Selain itu, bentuk pemanfaatan sumberdaya alam oleh penghuni gua juga merupakan hasil yang penting dari penelitian ini..
15
G. BAGAN ALIR PENELITIAN
Pengumpulan Data
Data Primer
Ekskavasi
-
Analisis Kontekstual
Data Sekunder
Observasi Lapangan
-
Artefak Ekofak
Analisis Artefaktual, Ekofaktual
Ragam potensi arkeologis Gua Gilap
Analisis Lokasional
Pemanfaatan sumberdaya fauna
Kesimpulan
Studi Pustaka Laporan Penelitian Artikel Jurnal ilmiah Peta dasar dan Tematik