BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Nyeri merupakan gangguan yang banyak dialami orang di dunia. Sekitar 50 juta orang di Amerika terganggu aktivitasnya karena nyeri. Setiap tahun biaya yang dikeluarkan untuk penanganan kasus nyeri diperkirakan mencapai miliaran dolar. Diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat karena orang Amerika bekerja hingga umur lebih dari 60 tahun dan bertahan hingga 80 tahun (Dipiro et al., 2008). Obat pengurang rasa nyeri atau yang biasa dikenal dengan analgetik hingga saat ini menjadi obat yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan obat analgetik tanpa resep dokter di apotek maupun toko obat. Obat analgetik belum tentu aman, apalagi bila digunakan dalam jangka panjang. Angka kejadian efek samping beberapa obat pengurang rasa nyeri dilaporkan sebanyak 185 per 100 juta pada penggunaan aspirin, 592 per 100 juta pada penggunaan diklofenak, 20 per 100 juta pada penggunaan parasetamol (Andradde et al., 1998). Oleh karena itu penelitian untuk mengembangkan obat yang relatif lebih aman perlu dilakukan. Senyawa MH2011 merupakan salah satu senyawa modifikasi dari paracetamol dengan memodifikasi gugus alkil yang terikat pada C karbonil. Gugus alkil (CH3) yang terikat pada C karbonil digantikan oleh gugus amina yang terikat pada aminonaftol. Senyawa ini diperkirakan memiliki aktivitas analgetik yang lebih poten dibanding parasetamol. MH2011 dilaporkan memiliki daya
1
2
analgetik dengan ED50 12,29 mg/kgBB pada mencit jantan galur Balb/C sedangkan parasetamol memiliki ED50 sebesar 91 mg/kg yang menunjukkan bahwa senyawa MH2011 lebih poten dibandingkan parasetamol (Purnomo, 2012). Dengan adanya aminonaftol dapat menurunkan muatan positif pada posisi orto (dari gugus hidroksi) karena adanya gugus karbonil sehingga dapat menurunkan hepatotoksis, bahkan jika mungkin menghilangkannya. Berdasarkan molecular docking, aktivitas analgetik ini dapat diketahui dari kestabilan ikatan senyawa MH2011 dengan reseptor COX-2. Reseptor COX-2 ini berperan aktif dalam pembentukan prostaglandin sebagai mediator nyeri dari asam arakidonat. Peran dari reseptor COX-2 adalah pada saat pembentukan prostaglandin, native ligand akan berikatan dengan reseptor COX-2 sehingga akan mengaktifkan COX-2 dalam pembentukan prostaglandin. Dengan demikian kestabilan ikatan senyawa MH2011 dengan reseptor COX-2 akan menghambat pembentukan prostaglandin sehingga bisa meringankan rasa nyeri (Purnomo, 2012). MH2011 lebih non polar dibanding parasetamol, dengan demikian diprediksi akan dapat menembus sawar otak sehingga memberikan efek analgetik sentral. Uji daya analgetik sentral MH2011 kali ini dilakukan dengan menggunakan metode tail-flick. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam pengembangan MH2011 sebagai obat analgetik baru.
3
B. RUMUSAN MASALAH Apakah
senyawa
MH2011
{1-(4-hydroxynaphthalen-1-y1)-3-(4-
hydroxyphenyl)urea} sebagai turunan parasetamol memiliki aktivitas analgetik sentral pada mencit jantan galur Balb/C dengan metode tail-flick?.
C. PENTINGNYA PENELITIAN Senyawa MH2011 sejauh ini belum dilakukan penelitian aktivitas farmakologinya sebagai analgetik menggunakan metode tail-flick pada mencit jantan sehingga diharapkan penelitian ini akan memberikan informasi tambahan mengenai aktivitas farmakologi senyawa MH2011 sebagai analgetik sentral (mempengaruhi susunan saraf pusat).
D. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas analgetik sentral senyawa MH2011 pada mencit jantan galur Balb/C menggunakan metode tail-flick.
E. TINJAUAN PUSTAKA 1. Nyeri Nyeri dapat didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan. Baik nyeri akut maupun kronis merupakan fungsi pertahanan (survival function), yaitu dengan cara mengarahkan tubuh untuk memberikan refleks dan sikap protektif terhadap jaringan yang rusak sehingga sembuh (Guyton, 1994).
4
Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan kimiawi, mekanis, panas dan listrik, yang dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan mediator-mediator nyeri. Mediator-mediator penting yang terlibat pada proses terjadinya nyeri adalah histamin, serotonin (5-HT), plasmakinin (bradikinin) dan prostaglandin. Senyawa-senyawa ini kemudian akan merangsang reseptor nyeri (nosiseptor) yang terletak pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir, dan jaringan-jaringan (organ-organ) lain (Tjay dan Rahardja, 2002). Nosiseptor ini selalu merespon stimulasi berkelanjutan sehingga bermanfaat untuk membuat individu menyadari akan terjadi kerusakan jika stimulasi tersebut berlanjut (Kelly, 2004). Menurut Dipiro et al. (2008) ada 4 tahap terjadinya nyeri, yaitu: a. Stimulasi Sensasi nyeri dimulai dari perangsangan reseptor nyeri oleh rangsangan mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan tersebut (noxious stimuli) akan merangsang pelepasan mediator-mediator nyeri antara lain bradikinin, leukotrien, serotonin, histamin, prostaglandin, K+ , dan substansi P (Dipiro et al., 2008). Pelepasan satu atau lebih mediator-mediator tersebut tidak hanya akan merangsang ujung syaraf nyeri kemosensitif tertapi juga sangat menurunkan ambang untuk stimulasi reseptor nyeri mekanosensitif dan termosensitif. Ambang rasa nyeri adalah intensitas rangsang terkecil yang akan menimbulkan sensasi nyeri bila rangsang tersebut dikenakan untuk waktu yang lama (Guyton, 1994).
5
b. Transmisi Adanya mediator-mediator nyeri akan mengubah permeabilitas membran neuronal, menyebabkan influks natrium dan efluks (mengeluarkan) kalium, sehingga terjadi depolarisasi membran. Impuls elektrik tersebut kemudian ditransmisikan ke medula spinalis melalui dua macam serabut saraf yaitu serabut A bermielin dan serabut C tidak bermielin. Serabut saraf A
bermielin sering terlibat dalam impuls elektrik yang
disebabkan oleh rangsang mekanis dan panas. Impuls akan ditransmisikan dari medula spinalis ke bagian
dorsal horn. Serabut A akan melepaskan
neurotransmiter berupa asam amino seperti glutamat, yang akan mengaktifkan reseptor α-amino-3-hidroksi-5-metilisoxazo-1,4-asam propionat (AMPA) yang berada di dalam medula spinalis (Koda-Kimble and Young, 2001). Transmisi pada serabut ini kemudian menghasilkan sensasi nyeri yang tajam dan akan memberi sinyal terhadap adanya bahaya atau luka. Respon dari sinyal ini berupa reflek seperti menarik tangan atau kaki untuk menghindari luka yang lebih parah. Serabut C tidak bermielin dan ukurannya lebih kecil daripada A . Serabut C sering berperan dalam proses menghantarkan impuls rangsang mekanis, panas dan kimia. Serabut C juga berakhir di dorsal horn, melepaskan neurotransmiter berupa asam amino glutamat dan aspartat. Selain itu serabut C ini juga melepaskan peptida lain yaitu substansi P, neurokin A, somatostatin, galakin dan calcitonin gene-related peptide (CGRP). Transmisi impuls melalui serabut C akan menghasilkan nyeri lemah, aching, rasa seperti terbakar dan lokasi nyeri susah ditentukan. Jenis nyeri ini dikenal sebagai nyeri kedua karena muncul setelah
6
nyeri pertama (Koda-Kimble and Young, 2001). Setelah dorsal horn teraktivasi, kemudian impuls diteruskan ke talamus lalu ke bagian korteks otak dan daerah otak lain untuk diproses. c. Persepsi Nyeri Merupakan persepsi terhadap transmisi impuls nyeri. Pada tahap ini sesorang akan merasakan nyeri atau sakit. Otak mungkin hanya menerjemahkan beberapa jenis sinyal nyeri, namun perlu diingat bahwa persepsi nyeri tidak hanya melibatkan proses nosiseptif tetapi juga proses emosional dan psikologis (Dipiro et al., 2008). d. Modulasi Modulasi informasi nyeri terjadi sangat cepat. Neuron dari talamus dan otak akan melepaskan neurotransmiter inhibitori, seperti norepinefrin, serotonin, Gama Amino Butiric Acid (GABA), glisin, endorfin, dan enkefalin, yang akan mengeblok neurotransmiter eksitatori seperti substansi P (Koda-Kimble dan Young, 2001). Berdasarkan durasinya, nyeri dibagi menjadi: a. Nyeri Akut Nyeri akut adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus nosiseptif karena perlakukan atau proses penyakit atau fungsi abnormal dari otot atau visera. Biasanya nyeri ini mudah dideteksi, lokasinya jelas, dan sebatas kerusakan jaringan dan merupakan tanda biologis pada situasi yang membahayakan (Dipiro et al., 2008).
7
b. Nyeri Kronis Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap lebih dari satu bulan atau diatas waktu yang seharusnya perlukaan mengalami penyembuhan. Yang termasuk nyeri kronis adalah nyeri yang melewati batas penyembuhan normal pada nyeri akut, nyeri yang terkait dengan penyakit kronis, nyeri tanpa penyebab organik yang teridentifikasi dan nyeri terkait kanker (Dipiro et al., 2008). Menurut Mutschler (1991), kualitas nyeri dibagi atas nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik dibagi menjadi 2 kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam. Apabila rangsang terdapat dalam kulit maka rasa yang terjadi disebut nyeri permukaan dan disebut nyeri dalam apabila nyeri berasal dari otot, persendian, tulang dan jaringan ikat. Nyeri permukaan memiliki karakteristik yang ringan, dapat dilokalisasi dengan baik dan hilang cepat setelah
berakhirnya
rangsang. Nyeri ini akan menyebabkan suatu reaksi menghindar secara refleks dan sering diikuti rasa nyeri berikutnya yang bersifat menekan dan membakar yang sukar untuk dilokalisasi dan lambat hilang apabila intensitas rangsang cukup tinggi. Nyeri viseral mirip dengan nyeri dalam dalam hal sifat menekannya dan reaksi vegetatif yang menyertainya. Nyeri ini terjadi antara lain pada kontraksi organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang dan penyakit yang disertai radang. Untuk mengatasi nyeri dengan obat, terdapat beberapa jalur yang kemungkinan dapat ditempuh antara lain sebagai berikut (Mutschler, 1991):
8
a. Mencegah stabilisasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostaglandin dengan analgetika yang bekerja secara perifer. b. Mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai anestesi permukaan atau anestesi infiltrasi. c. Menghambat penerusan rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan anestesi konduksi. d. Meringankan atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat atau dengan obat narkosis. e. Mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka ( transkuilisia, neuroleptika, antidepresan).
2. Analgetik Analgetik adalah obat atau senyawa yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri. Secara umum analgetik dibagi dalam dua golongan, yakni analgetik non-narkotik (misalnya: parasetamol, asetosal) dan analgetik narkotika (misalnya : morfin). Analgetik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri. Rasa nyeri ini diakibatkan oleh terlepasnya mediator nyeri seperti: bradikinin, prostaglandin, dan lain-lain dari jaringan yang rusak kemudian merangsang reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun di tempat lain. (Tjay dan Rahardja, 2002) a. Analgetik Narkotik Senyawa-senyawa golongan ini memiliki daya analgetik yang kuat sekali dengan titik kerja di susunan saraf pusat. Analgetik jenis ini umumnya
9
mengurangi kesadaran (sifat yang meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan
nyaman
(euforia),
mengakibatkan
toleransi
dan
habituasi,
ketergantungan fisik dan psikis dengan gejala-gejala abstinensi bila penggunaan dihentikan (Tjay dan Rahardja, 2002). Berdasarkan mekanisme kerjanya, analgetika narkotik dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu (Tjay dan Rahardja, 2002): 1) Agonis opiat, dapat menghilangkan rasa nyeri dengan cara mengikat reseptor opioid pada sistem saraf. Contoh: morfin, kodein, heroin, metadon, petidin, dan tramadol. 2) Antagonis opiat, bekerja dengan menduduki salah satu reseptor opioid pada sistem saraf. Contoh: nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin dan nalbufin. 3) Kombinasi, bekerja dengan mengikat reseptor opioid, tetapi tidak mengaktivasi kerjanya dengan sempurna Berdasarkan perbedaan secara kimiawi, analgetika narkotik dibedakan menjadi dua jenis yaitu: 1) Alkaloida candu alamiah dan sintesis : morfin dan kodein, heroin dan hidromorfin, hidrokodon dan dionin 2) Pengganti-pengganti sulfetanil),
petidin
metadon
dan
dan
turunannya
turunannya
(fentanyl
dan
(dekstromoramida,
bezitramida, piritramida, dan d-propoksifen), serta fenatren dan turunannya (levorvanol)
10
Di dalam sistem saraf pusat terdapat lima jenis reseptor opioid dan adanya berbagai jenis reseptor opioid tersebut dapat menjelaskan adanya berbagai efek opioid (Koda-Kimble and Young, 2001), antara lain: 1) Reseptor µ Pada reseptor µ terdapat dua subtipe yaitu : reseptor µ1 bertanggungjawab pada analgesia supraspinal. Reseptor µ2 dihubungkan dengan efek-efek yang tidak diinginkan seperti depress pernapasan, euphoria, konstipasi, dan ketergantungan fisik. 2) Reseptor Ƙ Memperantarai produksi analgesia yang ditimbulkan pentazosin dan butorphanol (campuran antara dua agonis/antagonis). 3) Reseptor ζ Berhubungan dengan efek psikotomimetik seperti disforia, halusinasi, yang ditimbulkan oleh pentazosin dan agonis-antagonis lain. 4) Reseptor δ Terdapat pada susunan saraf pusat yang selektif terhadap enketalin memegang peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Reseptor δ dihubungkan denganberkurangnya frekuensi nafas. 5) Reseptor ε Sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkefalin.
11
Opiat memproduksi analgesia melalui tiga mekanisme (Koda-Kimble and Young, 2001) yaitu: 1) Secara presinaptik, opioid menurunkan pelepasan transmitter inflamasi (seperti takikinin, asam amino eksitatori, dan peptida) dari ujung serabut saraf aferen C setelah mengaktivasi reseptor opioid. Aksi presinaptik ini diakhiri dengan membuka kanal ion K+ dan menutup kanal ion Ca++ sehingga menurunkan influx ion Ca++ menuju ujung serabut C 2) Menurunkan
aktivitas
pada
jalur
sistem
saraf
dengan
hiperpolarisasi post sinaptik 3) Menghambat aktivitas neuronal melalui GABA dan enkefalin pada subtantia gelatinosa b. Analgetik Non-Narkotik Obat-obat ini sering disebut golongan obat analgetika-antipiretik atau Non Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) (Siswandono dan Soekardjo, 1995) juga dinamakan analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi susunan saraf pusat, tidak menurunkan kesadaran, ataupun mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer mempunyai sifat antipiretik yaitu menurunkan panas pada keadaan demam. Dengan demikian analgetika perifer dapat disebut pula analgetika-antipiretik.
Khasiat
berdasarkan
rangsangnya
terhadap
pusat
pengaturan kalor di hipotalamus membawa akibat terjadinya vasodilator perifer (di kulit), dengan bertambahnya pengeluaran kalor yang disertai dengan keluarnya
12
keringat yang berlebihan. Obat-obat golongan analgetika ini dapat digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu: 1) Golongan salisilat : natrium salisilat, asetosal, salisilamid, dan benorilat 2) Turunan p-aminofenol : fenasetin, parasetamol 3) Turunan pirazolon : antipirin, aminofenazon, dipiron dan asam difluminat 4) Turunan antranilat : glafenin, asam mefenamat, dan asam difluminat (Tjay dan Rahardja, 2002).
3. Parasetamol
Gambar 1. Struktur Parasetamol
Parasetamol adalah obat analgesik dan antipiretik yang aman dan efektif (Temple et al., 2007). Senyawa ini diabsorpsi dengan cepat dari saluran gastrointestinal dengan konsentrasi puncak dicapai dalam waktu 90 menit, terdistribusi dengan cepat dengan volume distribusi 0,9 L/kg dan sedikit berikatan dengan protein pada dosis terapi. Waktu paruh parasetamol adalah 2,0 – 2,5 jam dan pada kondisi kerusakan hati kronis bisa mencapai 4 jam (Forrest et al., 1982). Untuk mengatasi demam dan nyeri tanpa inflamasi, parasetamol menjadi obat
13
pilihan utama. Pada dosis lazim, parasetamol mengalami metabolisme fase II (reaksi konjugasi) dengan glukoronat menghasilkan konjugat yang tidak toksik dan dapat diekskresikan melalui urin. Parasetamol merupakan metabolit aktif fenasetin yang bertanggung jawab terhadap efek analgetik yang merupakan inhibitor lemah COX-1 dan COX-2 serta jaringan perifer yang memiliki aktivitas antiinflamasi yang kecil. Parasetamol dimetabolisme dengan melibatkan enzim sitokrom P450 membentuk radikal diikuti dengan transfer elektron ke atom oksigen sebagai mekanisme pembentukan metabolit elektrofilik berupa N-acetyl-p-benzoquinone imine (NAPQI) yang bertanggung jawab terhadap efek hepatotoksisitas parasetamol (Silverman, 1992). Mekanisme pembentukan NAPQI disajikan pada gambar di bawah:
Gambar 2. Mekanisme Pembentukan N-acetyl-p-benzoquinone imine (NAPQI)
Roland Van de Straat (1987) mengemukakan bahwa terjadinya ikatan kovalen antara NAPQI dengan sel hepar adalah pada posisi orto dari gugus fenol parasetamol seperti pada gambar di bawah ini:
14
Gambar 3. Mekanisme Hepatotoksis yang Diinduksi Parasetamol
Parasetamol adalah penyebab utama gagal hati akut di Amerika Serikat. Toksisitas ini kemungkinan akibat dari overdosis akut maupun konsumsi berlebihan dalam jangka panjang (Hodgman and Garrad, 2012) Toksisitas parasetamol yang muncul sering dikarenakan kuinon metabolitnya. Awal tanda dan gejala umum dari keracunan parasetamol mungkin tidak ada atau samar. Overdosis yang tidak segera diobati atau diberi perlakuan dapat menyebabkan kegagalan hati dan kematian dalam beberapa hari. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan parasetamol dari tubuh dan mengganti dengan senyawa glutathione. Arang aktif dapat digunakan untuk mengurangi parasetamol dengan penyerapan jika pasien diberikan perawatan segera setelah overdosis. Sementara antidotum spesifik,
N-acetylcysteine bertindak sebagai prekursor untuk
glutathione, membantu tubuh beregenerasi untuk mencegah kerusakan hati. Nacetylcysteine juga membantu dalam menetralisir metabolit imidoquinone. Transplantasi hati sering diperlukan jika kerusakan hati menjadi parah.
15
4. MH2011
Gambar 4. Struktur MH2011
Senyawa MH2011 adalah invensi Drs. Hari Purnomo, M.S., Apt. dengan nomor permohonan paten P00201200964, 25 November 2012 merupakan salah satu modifikasi parasetamol yang memiliki aktivitas analgetik yang lebih poten dibandingkan parasetamol. Aktivitas analgetik ini dapat diketahui dari kestabilan ikatan senyawa MH2011 dengan reseptor COX-2. Reseptor COX-2 ini berperan aktif dalam pembentukan prostaglandin sebagai mediator nyeri dari asam arakidonat. Pada saat mengalami luka, dinding sel akan rusak sehingga menghasilkan fosfolipid oleh enzim Fosfolipase-A2 dapat diubah menjadi asam arakidonat sebagai perkursor terbentuknya prostaglandin. Peran dari reseptor COX-2 adalah pada saat pembentukan prostaglandin, native ligand akan berikatan dengan reseptor COX-2 sehingga akan mengaktifkan COX-2 dalam pembentukan prostaglandin. Prostaglandin inilah yang akan menjadi mediator nyeri (Kelly, 2004). Diketahui bahwa senyawa MH2011 memilki ikatan yang lebih stabil berikatan dengan COX-2 (6COX. PDB) dibandingkan dengan parasetamol, hal ini
16
terlihat dari skor docking bahwa senyawa MH2011 memiliki energi yang lebih rendah (-95,396) daripada parasetamol (-67,4556) untuk berikatan dengan COX-2 (6COX. PDB) sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa MH2011 membutuhkan energi yang lebih kecil dibandingkan parasetamol untuk berikatan dengan COX-2, sehingga memiliki aktivitas sebagai analgetika yang lebih poten. Perbandingan skor docking ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Skor Docking antara Parasetamol dengan MH2011.
Senyawa Parasetamol MH2011
COX-1 (1EQH). PDB -65.6195 -90.3254
Skor Docking COX-2 COX-2 (3PGH). PDB (6COX). PDB -71.0422 -67.4556 -94.1493 -95.396
5. Metode dan Penetapan Daya Analgetik Skrining untuk menetapkan aktivitas analgetik suatu senyawa baru sangat penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar aktivitas senyawa tersebut dan juga memungkinkan ditemukannya aktivitas lain, sehingga metode yang digunakan sangat mempengaruhi hasil dan dapat membantu menentukan jenis analgetika pada senyawa tersebut. Menurut Turner (1971) ada 2 metode yang digunakan untuk menguji daya analgetik berdasarkan jenis golongan analgetik yang diuji yaitu metode untuk uji golongan narkotik dan non narkotik. Untuk golongan analgetik narkotik, metode uji analgetik yang bisa dilakukan adalah: a. Metode tail-flick Uji analgetik dengan metode tail-flick digunakan untuk mengukur nyeri nosiseptif spinal berdasarkan sensitifitas hewan pada kenaikan temperatur. Uji ini
17
pertama kali dikenalkan oleh D’Amour and Smith (1941) dan dimodifikasi oleh Dewey et al. (1970). Rangsang nyeri yang digunakan pada metode ini berupa sorotan cahaya panas yang dipaparkan pada ekor mencit. Respon yang terjadi, mencit akan merasakan nyeri panas yang ditandai dengan mencit menjentikkan ekornya. Respon yang diamati adalah lamanya waktu latensi yaitu waktu yang diperlukan sejak mencit diletakkan diatas tail-flick sampai menjentikkan ekornya. 2. Metode hot-plate Uji analgetik dengan metode hot-plate digunakan untuk mengukur nyeri nosiseptif spinal berdasarkan sensitifitas hewan pada kenaikan temperatur. Rangsang nyeri yang digunakan pada metode ini berupa lempeng panas yang dipaparkan pada telapak kaki mencit. Respon yang terjadi, mencit akan merasakan nyeri panas yang ditandai dengan menjilatinya dan melompat melompat dari tabung pembatas. Respon yang diamati adalah lamanya waktu latensi yaitu waktu yang diperlukan sejak mencit diletakkan diatas hot plate
sampai mencit menjilati
kakinya dan melompat dari tabung pembatas. 3. Metode flinch-jump Uji metode flinch-jump dilakukan dalam kompartemen berukuran 20,5 x 30 x 19,5 cm, dengan lantai stainless yang dilengkapi jaringan listrik. Sumber kejut adalah arus AC konstan (Lafayette Instruments Model A-615AR) dipasangkan dengan lantai melalui neon pengacak (Lafayette Instruments Model 85152).
18
Setiap percobaan terdiri dari 3 seri uji. Seri yang kedua dilakukan 30 menit setelah akhir perlakuan pertama dan seri yang ketiga dilakukan 10 menit setelah perlakuan yang kedua. Interval ini dipilih untuk memperhitungkan onset obat. Intensitas kejut dinaikkan secara bertingkat mulai 0,05; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5; 0,6; 0,7 dan 0,8 mA sampai terjadi respon menyentakkan kaki dan lompatan. Intensitas menyentak dan melompat dirata-rata untuk menentukan ambang nyeri untuk setiap seri uji (Young et al., 1978). 4. Metode pengukuran tekanan Alat yang digunakan dalam metode ini adalah alat pengukur tekanan yang diberikan kepada tikus secara seragam. Alat tersebut terdiri dari dua syringe yang dihubungkan ujung dengan ujungnya bersifat elastis, fleksibel, dan terdapat pipa plastik yang diisi dengan sebuah cairan. Sisi pipa dihubungkan dengan manometer, syringe yang pertama diletakkan pada posisi vertikal dengan ujung menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan dibawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada penghisap dari syringe yang kedua, tekanan ini akan berhubungan dengan sistem hidrolik pada syringe pertama lalu dengan ekor tikus. Tekanan yang sama pada syringe kedua selanjutnya akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus. Manometer akan membaca ketika tikus memberikan respon. Respon tikus yang pertama adalah meronta-ronta kemudian akan mengeluarkan suara mencicit tanda kesakitan. e. Metode potensi petidin Metode ini kurang baik karena membutuhkan hewan uji dalam jumlah besar. Setengah populasi hewan uji dibagi menjadi 3 kelompok, tiap kelompok diberi
19
petidin berturut-turut 2, 4, 8 mg/kgBB. Setengah kelompok yang lain diberi petidin dengan senyawa ujidengan dosis 25% dari LD50. Presentase analgetik dihitung dengan bantuan metode rangsang panas. f. Metode agonis nalorfin Uji analgetika dengan metode ini dibuat untuk menunjukka aksi dari obatobatan seperti morfin. Hewan uji yang bisa digunakan dalam metode ini adalah tikus, mencit, anjing. Hewan uji diberi obat dengan dosis toksik kemudian segera diikuti pembeian nalorfin (0,5-10,0 mg/kgBB) secara intravena. Secara teoritis, nalorfin akan menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya. Terlepasnya morfin dari reseptor akan meniadakan efek morfin. g. Metode kejang oksitosin Oksitosin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar ptiutari posterior, dapat menyebabkan kontraksi uterin sehingga menimbulkan kejang pada tikus. Respon kejang meliputi kejang abdominal, sehingga menarik pinggang dan kaki belakang. Penurunan kejang diamati dan ED50 dapat diperkirakan. Selain morfin, senyawa analgetik yang bisa diuji dengan metode ini adalah heroin, metadon, kodein dan meperidin. Uji untuk analgetik non narkotik dapat dilakukan dengan metode berikut: a. Metode geliat Metode ini menggunakan
zat kimia sebagai induksi nyeri. Hewan
percobaan diberi asam asetat secara intraperitonial. Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang nyeri asam asetat intraperitonial akan menimbulkan refleks respon geliat (writhing) yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali
20
abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang. Metode ini dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test (Wuryaningsih,1996). Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya. Metode ini tidak hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga memberikan evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer (Gupta et al., 2003). b. Metode podolirimeter Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur besarnya daya analgetik. Alat kandang tikus terbuat dari kepingan metal yang bisa mengalirkan listrik. Tikus diletakkan pada kandang tersebut kemudian dialiri listrik. Respon ditandai dengan teriakan dari tikus tersebut. Pengukuran dilakuakan setiap 10 menit selama 1 jam (Turner, 1971). c. Metode Rektodolorimeter Tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dari alat tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa gulungan. Ujung lain dari gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Sebuah voltmeter yang sensitif mengubah 0,1 volt dengan konduktor yang berada di gulungan atas. Tegangan yang sering digunakan untuk menimbulkan teriakan mencit adalah 1 – 2 volt (Turner, 1971).