BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Nyeri merupakan gangguan yang banyak dialami orang di dunia. Sekitar 50 juta orang di Amerika terganggu aktivitasnya karena nyeri. Setiap tahun biaya yang dikeluarkan untuk penanganan kasus nyeri diperkirakan mencapai miliaran dolar. Diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat karena orang Amerika bekerja hingga umur lebih dari 60 tahun dan bertahan hingga 80 tahun (Dipiro dkk., 2008). Obat pengurang rasa nyeri atau yang biasa dikenal dengan analgetik hingga saat ini menjadi obat yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan obat analgetik tanpa resep dokter di apotek maupun toko obat. Obat analgetik belum tentu aman, apalagi bila digunakan dalam jangka panjang. Angka kejadian efek samping beberapa obat pengurang rasa nyeri dilaporkan sebanyak 185 per 100 juta pada penggunaan aspirin, 592 per 100 juta pada penggunaan diklofenak, 20 per 100 juta pada penggunaan parasetamol (Andradde dkk., 1998). Oleh karena itu penelitian untuk mengembangkan obat yang relatif lebih aman perlu dilakukan. Parasetamol merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati demam dan nyeri yang tidak disertai inflamasi. Mekanisme analgetik parasetamol bertindak dengan mengurangi kadar peroksida sitoplasma, peroksida diperlukan untuk mengaktifkan enzim COX dengan mengubah ferro kebentuk ferri (Neal, 2009; Goodman & Gilman‟s, 1996). Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa parasetamol merupakan selektif enzim COX-2 sehingga aman bagi lambung (Hinz dkk., 2008). Namun,
1
2
parasetamol memiliki dampak negatif, yaitu mampu menimbulkan kerusakan pada sel-sel hati. Kerusakan sel hati ini disebabkan oleh metabolit dari parasetamol, yaitu NAPQI (N-Asetil-Parabenzo-Quinon-Imina). Cincin inti benzena dari NAPQI bersifat elektrofilik sedangkan sel-sel hati yang bersifat nukleofilik akan berikatan dengan muatan positif NAPQI sehingga menyebabkan kerusakan sel-sel tersebut (Doerge, 1982; Silverman, 1992) Sintesis suatu senyawa berbahan dasar isatin direaksikan dengan urea sebagai starting material akan menghasilkan senyawa 2,3-dioksoindolin-1karboksamida. Prediksi aktivitas senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida sebagai analgetik didasarkan pada kemampuan senyawa 2,3-dioksoindolin-1karboksamida dalam berikatan dengan enzim COX-2. Diketahui bahwa pdb 6COX adalah kompleks antara SC-58 (native ligand) dan enzim COX-2, enzim COX-2 ini merupakan enzim yang berperan aktif dalam pembentukan prostaglandin. Senyawa prostaglandin ini merupakan mediator rasa nyeri. Sudah lama parasetamol digunakan untuk mengatasi rasa nyeri tersebut karena parasetamol memiliki aktivitas analgetik. Berdasarkan gugus aktif pada parasetamol yang mampu berikatan dengan enzim COX-2, maka dibentuklah senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida berbahan dasar urea yang diprediksi memiliki aktivitas analgetik, bahkan lebih poten dari parasetamol. Diketahui bahwa senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida lebih stabil berikatan dengan enzim COX-2 dibandingkan dengan parasetamol, hal ini terlihat dari score docking senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida memiliki energi yang lebih rendah (-71,8189) daripada parasetamol (-67,3827) untuk berikatan dengan
3
enzim COX-2 sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa 2,3-dioksoindolin-1karboksamida memiliki aktivitas analgetik yang lebih poten. Pada saat ini konsep penemuan obat telah mengalami perkembangan. Obat tidak harus mempunyai kemiripan struktur dengan senyawa penuntun untuk memiliki aktifitas farmakologi yang sama. Hal yang lebih penting adalah senyawa penuntun dan senyawa yang didesain memiliki aktivitas yang sama dalam berikatan dengan reseptor supaya menghasilkan aktivitas farmakologi yang sama (Purnomo, 2014). Senyawa turunan isatin ini strukturnya tidak mirip dengan parasetamol tetapi berdasarkan molecular docking asam-asam amino pada COX-2 yang berikatan dengan parasetamol mirip dengan asam-asam amino pada COX-2 yang berikatan dengan turunan isatin tersebut.
B. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana menentukan metode yang sesuai untuk mensintesis senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida sehingga mendapatkan rendeman yang maksimal? 2. Asam-asam amino apa saja dari COX-2 yang berikatan dengan turunan isatin dan parasetamol?
4
C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Tujuan umum Memberikan alternatif obat analgetik yang efektif dan lebih rendah hepatotoksisitasnya daripada parasetamol.
2.
Tujuan khusus a. Mengetahui metode dalam mensintesis 2,3-dioksoindolin-1karboksamida sehingga didapatkan rendeman yang maksimal. b. Mengetahui
mekanisme
analgesik
2,3-dioksoindolin-1-
karboksamida dengan metode molecular docking.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi peneliti a. Menggali dan mengaplikasikan ilmu kimia medisinal. b. Mengusulkan senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida sebagai senyawa analgetik yang lebih aman dari parasetamol c. Memperoleh informasi mengenai mekanisme analgesik senyawa 2,3dioxoindoline-1-carboxamide. 2. Bagi Perguruan Tinggi a. Meningkatkan daya saing lulusan khususnya dalam bidang kefarmasian. b. Mewujudkan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sebagai kiblat ilmu pendidikan di Indonesia.
5
3. Bagi pemerintah dan masyarakat a. Sebagai wujud kontribusi dalam pengembangan iptek di Indonesia dan menambah khazanah wawasan sains. b. Mengusulkan senyawa analgetik baru yang lebih poten dibandingkan parasetamol.
E. TINJAUAN PUSTAKA 1. Analgetika Analgetika merupakan obat-obatan pilihan untuk mengatasi penyakit nyeri dengan tanpa menyebabkan kehilangan kesadaraan. Walaupun analgetika sebagai terapi nyeri mungkin terkadang terlalu berlebihan dalam pengobatannya, itu penting untuk mengingatkan kita bahwa menutup gejala nyeri barangkali tidak perlu dilakukan dan pengobatan yang berlebihan dapat menghilangkan sebuah tolak ukur yang penting untuk memonitor perkembangan penyakit yang mendasar (Reiss & Melick, 1987). Beberapa teori yang berbeda telah diusulkan untuk menjelaskan bagaimana obat-obat analgetika bekerja. Analgetika opiun dan analgetika yang menyerupai opiun dipercaya mampu berikatan dengan reseptor opiun di sistem syaraf pusat dan dengan aktivitas demikian mampu menghambat transmisi dari impuls nyeri. Analgetika non-narkotika seperti salisilat efek analgetikanya nampak dengan mempengaruhi secara perifer dan pusat. Secara perifer mereka nampak mengurangi sintesis prostaglandin dalam jaringan yang radang dan dengan demikan mampu mengurangi sensitifitas pada reseptor nyeri secara mekanik atau
6
stimulasi secara kimia. Secara pusat, salisilat dan senyawa analgetika nonnarkotik lain kelihatan dapat memproduksi sebuah efek analgetika dengan cara mempengaruhi hipotalamus (Reiss & Melick, 1987). a. Analgetik narkotik. Golongan analgetik narkotik adalah agonis total, agonis parsial, dan antagonis. Morfin merupakan agonis total pada reseptor opiun µ (mu), reseptor opiun secara umum dapat dilihat dalam tabel I dibawah ini (Schumacher dkk., 2009).
Subtippe Reseptor µ (mu)
δ(delta) κ(kappa)
Fungsi Analgetik secara spinal dan supraspinal, menidurkan, memperlambat transit gastrointestinal, modulasi perlepasan hormon dan neurotransmiter Analgetik secara spinal dan supraspinal, modulasi perlepasan hormon dan neurotransmiter Analgetik secara spinal dan supraspinal, berefek pada psychotomimetic, memperlambat transit gastrointestinal
Afinitas Endogenus Peptida Opiun Endorpin > enkepalin > dinorpin
Enkepalin > endorpin dan dinorpin Dinorpin > endorpin dan enkepalin
Tabel I. Suptipe reseptor opiun, fungsi, dan afinitasnya terhadap endogenus peptida
Kodein memiliki fungsi sebagai agonis parsial pada reseptor µ (mu). Subtipe reseptor opiun yang lain, yaitu reseptorδ(delta) danκ(kappa). Subtitusi sederhana dari gugus allil pada nitrogen morfin yang sebagai agonis total dan penambahan satu gugus hidroksil dapat menghasilkan senyawa naloxone, sebuah senyawa antagonis kuat pada reseptor µ. Beberapa opiun, yaitu: nalbuphine dapat beraktivitas sebagai agonis parsial pada subtipe reseptor tertentu dan antagonis pada subtipe reseptor
7
opiun yang lain. Secara umum, obat analgetika dapat dilihat dari tabel II berikut (Schumacher dkk., 2009). Nama generik Morfin Hidromorfin Oximorfin Metadon Meperidin Fentanil Sufentanil Alfentanil Remifentanil Levorphanol Kodein Hidrokodon Oxikodon Propoksipen Pentazosin Nalbupine Buprenorpin Butorpanol
Pengaruh reseptor µ (mu) δ(delta) +++ +++ +++ +++ +++ +++ + +++ +++ +++ +++ ± ± ± (+, sangat lemah) ± -± -±
κ(kappa) +
+
+ ++ -+++
Tabel II. Obat-obatan analgetika secara umum (Ket: +++,++,+, agonis kuat; ±, parsial agonis; --, -, antagonis)
Obat-obat antagonis opiun murni seperti naloxone, naltrexone, dan nalmefen merupakan derivat morfin dengan subtitusi gugus meruah pada posisi N17. Akibat subtitusi ini mempunyai afinitas yang relatif tinggi untuk berikatan dengan reseptor µ. Senyawa tersebut mempunyai afinitas yang rendah pada reseptor yang lainnya tetapi dapat juga bersifat agonis yang berkebalikan pada sisi reseptor δ dan κ (Schumacher dkk., 2009).
b. Analgetik Non-narkotik. Beberapa obat-obatan farmakologi dan senyawa kimia dihubungkan dengan analgetika narkotik, akan tetapi menyebabkan ketergantungan. D-propoxyphene hydrochloride merupakan senyawa
8
kimia yang berkaitan dengan methadone dan telah digunakan secara luas selama
beberapa
tahun
sebagai
analgetik
oral.
Penggunaannya
diperkirakan 90-120 mg dari D-propoxyphene hydrochloride setara dengan 60 mg kodein dan 600 mg aspirin. Penggunaan senyawa ini berpotensial kecil menyebabkan efek ketergantungan. Yang termasuk golongan analgetik nonnarkotik, yaitu: buprenorphine, butorphanol tartrate,
methotrimeperazine,
nalbuphine
HCl,
pentazocine
HCl,
propoxyphene HCl, propoxyphene napsylate (Reiss & Melick, 1987). c. Analgetik antipiretik. Analgetik narkotik dan nonnarkotik merupakan obat yang bekerja mempengaruhi sistem syaraf pusat. Namun, ada beberapa obat yang bekerjanya lemah pada sistem syaraf pusat, tetapi kuat pada sistem syaraf perifer. Efek analgetiknya beraksi pada sistem syaraf perifer dengan mempengaruhi sintesis dan aksi dari prostaglandin, substansi tersebut yang berhubungan dengan kerusakan jaringan dimana mampu meningkatkan sensitivitas dari syaraf akhiran. Pancaran nyeri sebagai akibat dari stimulasi sistem syaraf tepi, oleh karena itu perlu dihalang dan dapat meringkankan gejala nyeri di tempat
kerusakan jaringan.
Kebanyakan Non-Steroidal Anti-Inflamatori Drugs (NSAIDs) juga berperan sebagai analgetik dan antipiretik dimana NSAID tersebut berguna untuk
menyembuhkan
penyakit
nyeri
paska
pencabutan
dysmenorrhea, dan penyakit nyeri lainnya (Reiss & Melick, 1987).
gigi,
9
Tergantung pada struktur kimianya, NSAID secara luas dibagi menjadi dua kelas besar seperti, inhibitor COX non selektif dan selektif COX-2 inhibitor (Vane dkk., 1998). Non-Selektif COX Inhibitor - Turunan asam –Salicylic (Aspirin, Sodium salisilat). - Derivatif fenol -Para-amino (Acetaminophen). - Indol dan asam Indaneacetic (Indometasin, Sulindac). - Asam asetat –Heteroaryl (Tolmetin, Diklofenak, Keterolac). - Asam propionat –Aryl (Ibuprofen, Naproxen, Flurbiprofen, Ketoprofen,Fenoprofen, Oxaprofen). - Asam - Anthranilic (Asam mefenamat, asam Meclofenamic). - Asam-Enolic (Piroksikam, Meloxicam, Tenoxicam, Isoxicam). - Alkanones (nabumeton) Selektif COX-2 Inhibitor - Asam asetat –Indole (misalnya Etodolac). - Sulfonanilides (misalnya Nimesulide). - Diaryl tersubtitusi furanones (misalnya Rofecoxib). - Diaryl tersubtitusi Pyrazole (misalnya Celecoxib). 2. Isatin (2,3-Indolinedione) O
O NH
Gambar 1. Struktur Isatin
10
Isatin (gambar 1) merupakan senyawa kimia berbentuk serbuk dengan rumus molekul C8H5NO2 dan mempunyai bobot molekul 147,13 g/mol. Isatin mempunyai titik leleh berkisar antara 193-195 0C dan memiliki LD50 Intraperitoneal pada tikus sebesar 7.740 mg/kg (Anonim, 2014).
3.
Urea
O
H2 N
NH2
Gambar 2. Struktur Urea
Urea (gambar 2) adalah senyawa yang memiliki gugus amida. Sebagai senyawa yang berhubungan dengan amida, urea juga merupakan basa yang lebih lemah jika dibandingkan dengan amina. Sifat ini disebabkan oleh resonansi yang serupa dengan tautomeri keto-enol. Oleh karena itu, nitrogen pada amina tidak menunjukkan sifat basa maupun nukleofilik (Fesenden & Fesenden, 1997)
4.
Parasetamol (Asetaminofen)
Gambar 3. Struktur Parasetamol
Parasetamol atau N-asetil-para-aminofenol (gambar 3) merupakan derivat paminofenol yang berkhasiat sebagai analgetika dan antipiretika (Reiss & Melick, 1987). Mekanisme analgetik parasetamol bertindak dengan mengurangi kadar peroksida sitoplasma, peroksida diperlukan untuk mengaktifkan enzim COX dengan
mengubah ferro ke bentuk ferri. Dalam kondisi inflamasi akut, parasetamol sangat
11
tidak efektik karena neutrofil dan monosit memproduksi H2O2 dan lipid peroksida dalam jumlah yang tinggi, dimana mampu menanggulangi aksi obat. Bagaimanapun, parasetamol merupakan analgetik yang efektif dalam kondisi dimana tidak ada atau sedikit infiltrasi leukosit (Neal, 2009). Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa mekanisme parasetamol dengan penghambatan selektif enzim COX-2 sehingga aman bagi lambung (Hinz dkk., 2008). Hasil tersebut diperkuat berdasarkan dari data molecular docking terhadap COX-1, COX-2, dan COX-3 bahwa parasetamol merupakan potensial inhibitor COX-2 (Qureshi dkk., 2011). Parasetamol didalam tubuh mengalami metabolisme fase 1 menghasilkan metabolit reaktif dan toksik N-Asetil-Parabenzo-Quinon-Imina (NAPQI) (gambar 4), yang selanjutnya pada metabolisme fase 2 akan berkonjugasi dengan glutation (GSH) menjadi turunan asam merkapturat sehingga dapat diekskresikan dari tubuh melalui urin. Dosis normal pemakaian parasetamol untuk orang dewasa berkisar antara 500-1.000 mg tiap 4-5 jam. Pada dosis ini, konsumsi parasetamol tidak mengganggu sistem pencernaan, sistem pembekuan darah, dan ginjal. Akan tetapi, parasetamol dapat memberikan efek hepatotoksisk jika dikonsumsi secara terus-menerus di luar dosis yang telah ditentukan. Parasetamol dapat menyebabkan kerusakan hati, terutama setelah pemberian dosis yang berlebihan (lebih dari 10 g/hari dosis tunggal) maupun penggunaan jangka panjang (7-10 hari) (Mutschler, 1986). Pada percobaan lain, dikemukakan bahwa adanya praperlakuan dengan fenobarbital (inducer), vitamin C dosis tinggi, alkohol atau penghambat sistem
12
glukoronidasi (kurkuminoid atau kurkumin dosis anti radang) hepatotoksiknya meningkat (Donatus, 1994).
(Parasetamol)
(NAPQI) Gambar 4. Mekanisme pembentukan NAPQI
Roland Van de Straat (1987) mengemukakan bahwa terjadinya ikatan kovalen antara NAPQI dengan sel hepar adalah pada posisi orto dari gugus fenol parasetamol seperti pada gambar 5.
O
O
HN
CH
N
3
O CH 3
HN
CH 3
P r o t e in
C yt P450
K e m a tia n sel S-protein
G SH CH
3
O
OH O
P e ro k s id a L ip i d (K e s e im b a n g a n C a te rg a n g g u )
HN
CH 3
S-G OH
Gambar 5. Mekanisme hepatotoksis yang diinduksi parasetamol
13
Berdasarkan gambar 5, hepatotoksik terjadi ketika NAPQI dalam darah melebihi konsentrasi tripeptida GSH (darah yang ada dihepar) sehingga sisa NAPQI tersebut akan diserang oleh nukleofil – nukleofil lain yang ada didalam hepar tetapi tidak berperan dalam proses metabolisme. Dan ternyata nukleofil – nukleofil itu adalah adanya gugus – SH (thiol) yang ada di sel – sel hepar. Gugus –SH ini akan bersifat sebagai nukleofil dan menyerang sisa NAPQI (yang bersifat elektrofil) sehingga menghasilkan ikatan yang irreversible (tidak bisa diputus lagi), akibatnya akan merusak fungsi sel – sel hepar tersebut. Berdasarkan perhitungan kimia komputasi (HyperChem 7.5, metode AM1), muatan pada posisi ortho tersebut adalah - 0,173 dan - 0,179 (gambar 6), dengan demikian ikatan NAPQI dengan sel protein terjadi pada posisi yang bermuatan 0,173 (Purnomo, 2012).
Gambar 6. Perhitungan muatan NAPQI
Muatan positif NAPQI disebabkan oleh inti benzen yang bermuatan positif yang disebabkan oleh: a. Delokalisasi elektron C=O. Delokalisasi atau resonansi, merupakan perpindahan elektron phi yang berikatan untuk menstabilkan atom
14
yang kekurangan elektron akibat ditarik ke atom yang lebih elektronegatif (gambar 7). Elektronegatifitas atom O yang lebih elektronegatif daripada atom C sehingga elektron antara ikatan O dan C bisa ditarik ke atom O secara induksi. Efek induksi ini menambahkan elektrofilisitas pada atom C pada struktur meta terhadap gugus NCOCH3 yang telah bermuatan positif akibat delokalisasi elektron gugus karbonil amida. Namun, efek induksi ini kurang kuat, karena jarak antara atom O dengan atom C pada struktur meta terhadap gugus NCHOCH3 dua ikatan. Tetapi pada atom O, efek resonansi lebih kuat daripada efek induksi sehingga menghasilkan muatan positif.
H3C
H3C
N
O
O
O
O
N
H3C
N
H3C
N
CH+
+
HC
NAPQI
NAPQI
H3C
N
O–
O
O–
O
H3C
O–
O
O–
O
N
H3C
N
H3C
N
CH+
+
HC
O
O
NAPQI
O
NAPQI
Gambar 7. Mekanisme terjadinya muatan positif NAPQI
O
15
b. Elektronegatifitas atom O > atom C (O = 3,5 ; C = 2,5). Ikatan phi dalam karbonil akan lebih ditarik ke arah atom O, sehingga C menjadi bermuatan positif (March, 1968). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan efek analgetikaantipiretika parasetamol untuk menurunkan maupun menghilangkan efek sampingnya melalui modifikasi struktur molekul parasetamol. Senyawa yang pernah disintesis, antara lain: anisidin, fenaldin, fenasetin, laktil fenetidil, fenakol, kriolin, p-asetoksiasetanilid, fenetsal, dan pertonal (Doerge, 1982; Siswandono dan Soekardjo, 2000). 5.
2,3-Dioxoindolin-1-carboxamide O
O N O H2N
Gambar 8. Struktur senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida
Senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida (gambar 8) merupakan salah satu modifikasi senyawa isatin yang diprediksi memiliki aktivitas analgetik yang lebih poten dibandingkan parasetamol. Aktivitas analgetik ini dapat diketahui dari kestabilan ikatan senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida dengan enzim COX-2. Enzim COX-2 ini berperan aktif dalam pembentukan prostaglandin sebagai mediator nyeri dari asam arakidonat. Pada saat mengalami luka, dinding sel akan rusak sehingga menghasilkan fosfolipid oleh enzim Fosfolipase-A2 dapat
16
diubah menjadi asam arakidonat sebagai prekursor terbentuknya prostaglandin. Peran dari enzim enzim COX-2 adalah pada saat pembentukan prostaglandin, asam arakidonat akan berikatan dengan enzim COX-2 sehingga akan mengaktifkan COX-2 dalam pembentukan prostaglandin. Prostaglandin inilah yang akan menjadi mediator nyeri (Silverman, R B, 1992). Jika ada parasetamol maka akan mengubah konformasi enzim COX-2 sehingga tidak dapat berikatan dengan asam arakidonat, yang artinya tidak terbentuk senyawa prostaglandin yang merupakan mediator nyeri. Senyawa
2,3-dioksoindolin-1-karboksamida
memilki
aktivitas
sebagai
analgetik dengan cara berikatan terhadap enzim COX-2. Senyawa 2,3dioksoindolin-1-karboksamida mampu berikatan dengan COX-2 dan dapat mengubah konformasi enzim COX-2 sehingga tidak dapat berikatan dengan asam arakidonat. Diketahui bahwa senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida memilki ikatan yang lebih stabil dengan enzim COX-2 dibandingkan dengan parasetamol, hal ini terlihat dari score docking bahwa senyawa 2,3-dioksoindolin-1karboksamida memiliki energi yang lebih rendah (-71,8189) daripada parasetamol (-67,3827) untuk berikatan dengan enzim COX-2 sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida membutuhkan energi yang lebih kecil dibandingkan parasetamol untuk berikatan dengan enzim COX-2, dengan kata lain memiliki aktivitas sebagai analgetika yang lebih poten.
17
6.
Reaksi Subtitusi Nukleofilik Asil dan Sintesis Fenilurea Suatu senyawa yang memiliki gugus elektronegatif yang terikat pada gugus
karbonil dapat mengalami reaksi subtitusi nukleofilik. Gugus elektronegatif yang berikatan dengan karbonil tersebut disebut gugus pergi. Reaksi subtitusi nukleofilik asil terdiri dari dua tahap, yaitu adisi nukleofilik pada gugus karbonil, diikuti oleh eliminasi gugus pergi (Fessenden & Fessenden, 1997). Fenilurea disintesis dengan prekursor anilin dan urea. Saat larutan urea dipanaskan dengan anilin maka akan terbentuk asam isosianat yang akan bereaksi dengan anilin membentuk fenilurea. Fenilurea mengalami dua macam penataan ulang, membentuk anilin dan asam isosianat, yang kedua adalah membentuk fenil isosianat dan amonia. Fenilisosianat dapat bereaksi dengan anilin membentuk sym-difenilurea (Davis & Blanchard, 1923).
7.
Titik lebur Titik lebur adalah suhu dimana terjadi perubahan bentuk dari padatan menjadi
cairan pada tekanan 1 atm. Titik lebur merupakan karakteristik yang penting untuk senyawa organik padat karena dapat digunakan sebagai parameter kemurnian dan juga sebgai parameter identifikasi suatu senyawa. Senyawa murni akan memiliki jarak lebur yang sempit yaitu 1-2 oC (Sharp dkk., 1989).
8.
Kromatografi lapis tipis Kromatografi adalah suatu metode yang digunakan untuk pemisahan, isolasi,
identifikasi, dan kualifikasi komponen di dalam campuran. Di dalam kromatografi
18
lapis tipis sampel diaplikasikan sebagai bercak kecil atau garis pada lapisan tipis penjerap yang didukung oleh gelas, plastik, atau lapisan logam (Fried & Sherma, 1994). Kromatografi lapis tipis melibatkan fase diam dan fase gerak. Fase diam yang biasa digunakan adalah bahan penjerap, antara lain silika gel, selulosa, alumina, poliamid, penukar ion, dan silika gel yang berikatan kimia. Fase gerak adalah medium angkut yang dapat berupa larutan tunggal atau campuran dari pelarut organik dan atau pelarut berair (Fried & Sherma, 1994). Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan menaik (ascending), atau karena pengaruh gaya gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar & Rohman, 2007). Pergerakan dari senyawa yang akan dipisahkan merupakan hasil dari dua dorongan yang berlawanan, yaitu dorongan dari fase gerak dan ikatan dengan fase diam (Fried & Sherma, 1994). Ikatan yang terjadi dapat berupa ikatan van der Waals, ikatan hidrogen, ikatan ionik, ikatan antara donor dengan akseptor elektron serta ikatan ion dengan dipol. Sistem pelarut atau fase gerak dapat dipilih melalui berbagai pustaka dengan membandingkan nilai polaritasnya, namun sering kali dalam pemilihannya menggunakan metode
trial and error. Sistem yang paling sederhana ialah
campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gandjar & Rohman, 2007). Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan Rf. Angka Rf berkisar antara 0,00 – 1,00. Jika jarak yang diperoleh lebih kecil
19
dari 0,5 maka lapisan dikeringkan dan dikembangkan sekali lagi. Cara ini disebut pengembangan berganda (Gritter dkk., 1991). Jika senyawa yang akan dianalisis secara kromatografi merupakan senyawa berwarna, dengan mudah kita dapat melihat apakah campuran terpisah dan seberapa jauh pemisahannya. Namun bila beberapa atau semua senyawa tidak berwarna maka bercak harus ditampakkan dengan beberapa cara atau pereaksi. Cara penampakan dapat berupa metode khas (dirancang untuk menunjukkan gugus fungsi tertentu) atau metode umum yang menunjukkan sembarang senyawa organik (Prabowo, 2009). Visualisasi bercak pada KLT dapat menggunakan sinar ultraviolet (UV) jika senyawa tersebut memiliki kromofor. Cara lain yang juga sering digunakan adalah penyemprotan dengan pereaksi penampak bercak, yang juga berfungsi kualitatif karena penampak bercak bersifat spesifik terhadap gugus-gugus tertentu (Prahasiwi, 2009). 9.
Elusidasi struktur a. Spektrometri massa. Spektrometer massa memiliki tiga fungsi utama. Pertama, molekul ditembaki dengan aliran elektron berenergi tinggi, sehingga akan mengubah beberapa molekul menjadi ion yang kemudian akan dipercepat di dalam medan listrik. Kedua, ion-ion yang telah mengalami percepatan kemudian dipisahkan berdasarkan rasio antara massa dengan muatan dalam medan magnet atau medan listrik. Terakhir, ion-ion yang memiliki rasio antara massa dengan muatan tertentu dideteksi dengan alat yang dapat menghitung jumlah ion yang menumbuknya (Pavia dkk., 2001).
20
Molekul organik yang ditembaki dengan berkas electron, diubah menjadi ion-ion bermuatan positif yang bertenaga tinggi (ion-ion molekuler atau ionion induk). Ion-ion yang bertenaga tinggi tersebut dapat pecah menjadi ionion yang lebih kecil (ion-ion pecahan atau ion-ion anak). Peristiwa lepasnya elektron dari molekul menghasilkan radikal kation dan proses ini dapat dinyatakan sebagai M M.+, ion molekuler M.+ biasanya terurai menjadi sepasang pecahan atau fragmen yang dapat berupa radikal atau ion, atau molekul yang kecil dan radikal kation. Ion-ion molekuler, ion-ion pecahan dan ion-ion radikal pecahan dipisahkan oleh pembelokan dalam medan magnet yang dapat berubah sesuai dengan massa dan muatan mereka. Peristiwa timbulnya arus (arus ion) pada kolektor sebanding dengan limpahan relatif mereka. Spektrum massa merupakan gambar antara limpahan relatif lawan perbandingan massa/muatan (m/z). Partikel-partikel netral yang dihasilkan dalam pecahan/fragmentasi, yaitu molekul tak bermuatan atau radikal tidak dapat dideteksi dalam spektrometer massa (Sastrohamidjojo, 2001). Setiap puncak dalam spektrum massa menyatakan suatu fragmen molekul. Fragmen-fragmen disusun menurut kenaikan m/z dari kiri ke kanan dalam spektrum. Intensitas puncak sebanding dengan kelimpahan relatif fragmen-fragmen, yang bergantung pada stabilisitas relatif dari ion molekul. Puncak tertinggi dalam suatu spektrum disebut sebagai puncak dasar (base peak) dan diberi nilai intensitas sebesar 100%. Puncak-puncak yang lebih kecil dilaporkan sebagai misalnya 20%, 30%, menurut nilai relatif terhadap
21
puncak dasar. Kadang-kadang puncak dasar disebabkan oleh ion molekul, tetapi sering berasal dari suatu fragmen yang lebih kecil (Fessenden & Fessenden, 1994). b. Spektroskopi inframerah. Spektra inframerah pada dasarnya merupakan gambaran dari pita absorbsi yang spesifik dari gugus fungsional yang mengalami vibrasi karena pemberian energi. Molekul yang menyerap radiasi inframerah akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Penyerapan radiasi
inframerah merupakan proses kuantitasi.
Penyerapan energi
inframerah sesuai dengan perubahan energi yang memiliki orde dari 8-40 kJ/ mol. Radiasi dalam kisaran ini sesuai dengan kisaran frekuensi vibrasi rentangan (stretching) dan vibrasi tekuk (bending) dari ikatan kovalen kebanyakan molekul (Pavia dkk., 2001). Pada prinsipnya, spektrometer inframerah memanfaatkan absorbsi radiasi sinar inframerah oleh molekul. Seperti jenis-jenis absorbsi energi yang lain, molekul mengalami eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi saat mengabsorbsi
energi
dari
sinar
inframerah.
Suatu
molekul
hanya
mengabsorbsi frekuensi (energi) tertentu dari radiasi inframerah. Pada proses absorbsi, frekuensi radiasi inframerah yang sesuai dengan frekuensi vibrasi molekul akan diabsorbsi dan energi yang diserap digunakan untuk meningkatkan amplitudo vibrasi ikatan dalam molekul. Namun, hanya ikatan yang memiliki momen dipol yang berubah terhadap waktu yang dapat mengabsorbsi sinar inframerah (Pavia dkk., 2001). Sebagai contoh, suatu molekul diatomik heteronuklear akan mengabsorbsi radiasi inframerah.
22
Momen dipol molekul tersebut berubah-ubah ketika ikatannya menegang dan meregang. Sementara suatu molekul diatomic homonuklear tidak memiliki momen dipol walau berapapun panjang ikatan yang dimiliki sehingga molekul tersebut tidak mengabsorbsi radiasi inframerah (Stuart, 2004). Setiap tipe ikatan yang berbeda mempunyai sifat frekuensi vibrasi yang berbeda dan tipe ikatan yang sama dalam dua senyawa yang berbeda akan terletak dalam lingkungan yang berbeda sehingga tidak ada dua molekul yang berbeda strukturnya mempunyai bentuk serapan inframerah yang sama. Kegunaan yang lebih penting dari spektrum inframerah adalah memberikan keterangan tentang gugus fungsional yang terdapat dalam molekul tersebut (Sastrohamidjojo, 2001). Konsep lain yang menjelaskan tentang frekuensi vibrasi adalah kekuatan ikatan (K) dan massa kedua atom (m1 dan m2) yang membentuk ikatan tersebut. Frekuensi vibrasi suatu ikatan dapat digambarkan dengan persamaan yang diturunkan dari hukum Hooke berikut :
𝑣=
1 𝐾 × 2𝜋𝑐 𝜇
𝜇=
𝑚1 𝑚2 𝑚1 +𝑚2
K merupakan suatu konstanta yang bervariasi pada tiap jenis ikatan. Misalnya, pada ikatan rangkap tiga harga konstanta kekuatan ikatan akan tiga kali lebih besar daripada ikatan tunggal. Ikatan yang lebih kuat akan memiliki konstanta kekuatan ikatan yang lebih besar dan akan mengalami vibrasi pada frekuensi yang lebih tinggi (Pavia dkk., 2001).
23
Vibrasi dapat melibatkan perubahan panjang ikatan (vibrasi ulur) atau perubahan sudut ikatan (vibrasi tekuk) (gambar 9). Beberapa ikatan dapat mengalami vibrasi ulur simetrik dan asimetrik. Vibrasi tekuk juga berperan dalam absorbsi inframerah. Misalnya, atom hidrogen yang terikat pada atom karbon, dapat mengalami pergerakan searah atau berlawanan arah pada bidang datar (gambar 10). Pada molekul yang lebih kompleks hidrogen biasanya terikat pada struktur yang besar dan kaku. Hal ini menghasilkan vibrasi tekuk masuk bidang (in-plane) dan vibrasi tekuk keluar bidang (out of plane) (gambar 11) (Stuart, 2004).
Gambar 9. Vibrasi ulur dan tekuk
Gambar 10. Jenis vibrasi tekuk
Gambar 11. Vibrasi tekuk masuk bidang dan keluar bidang
24
c. Spektroskopi 1H-NMR. Spektroskopi resonansi magnet inti atau Nuclear
Magnetic Resonance (NMR) merupakan metode spektroskopik yang penting dalam elusidasi struktur. NMR memberikan informasi secara jelas tentang jumlah atom yang dianalisis. Pada proton-NMR (H1-NMR), diperoleh informasi tentang jumlah lingkungan hidrogen dan jumlah hidrogen dalam tiap lingkungan.Banyak inti atom memiliki karakter berupa spin, yaitu di mana inti atom bertindak seolah-olah berputar pada sumbunya. Inti atom yang memiliki massa ganjil, nomor atom ganjil, atau keduanya ganjil memiliki momen spin angular dan momen magnetik. Inti atom merupakan partikel yang bermuatan, dan muatan yang bergerak dapat menghasilkan medan magnet. Oleh karena itu inti atom dapat memiliki medan magnet 1
1
akibat dari spin dan muatannya. Inti hidrogen dapat memiliki spin -2 atau +2 yang masing-masing memiliki arah momen magnetik berlawanan (gambar 12). Inti yang memiliki momen magnetik yang searah dengan medan magnet luar akan memiliki energi lebih rendah dan stabil, sedangkan inti dengan momen magnetik berlawanan akan memiliki energi lebih tinggi (Pavia dkk., 2001).
-1/2 (momen magnetik berlawanan arah)
E
+1/2 (momen magnetik searah)
Gambar 12. Diagram tingkat energi spin proton pada medan magnet eksternal
25
Fenomena resonansi magnetik inti terjadi jika inti dengan momen magnetik searah medan magnet eksternal mengabsorbsi energi dan mengalami perubahan arah spin. Jumlah energi yang diabsorbsi harus ekivalen dengan selisih tingkat energi inti spin inti atom. Semakin besar medan magnet eksternal, semakin besar pula selisih tingkat energi antar kedua spin. Selisih tingkat energi juga dipengaruhi oleh jenis inti atom yang bersangkutan. Setiap inti memiliki perbedaan rasio antara momen magnetik dan momentum angular yang disebut juga dengan rasio magnetogyric (Pavia dkk.,2001).. Tidak semua proton dalam satu molekul memiliki resonansi pada frekuensi yang sama. Perbedaan ini disebabkan karena proton dalam suatu molekul dikelilingi oleh elektron. Adanya medan magnet eksternal akan menyebabkan elektron ikut berputar. Putaran elektron ini disebut local diamagnetic current yang menghasilkan medan magnet dengan arah berlawanan dengan medan magnet eksternal. Fenomena ini disebut juga dengan diamagnetic shielding atau diamagnetic anisotropy (Pavia dkk.,2001). Perbedaan frekuensi resonansi antar inti atom sangat kecil, sehingga sangat sulit untuk mengukur secara tepat perbedaan frekuensi resonansi tersebut. Oleh karena itu digunakan suatu senyawa reference dalam pengukuran suatu senyawa. Frekuensi setiap proton pada senyawa tersebut diukur secara relatif terhadap senyawa reference. Senyawa yang biasa digunakan sebagai reference adalah tetrametilsilan (TMS). Senyawa ini digunakan karena proton-proton pada gugus metil dalam TMS sangat
26
terlindung. Dengan adanya senyawa reference maka dapat dibuat suatu parameter relatif yang tidak tergantung pada kekuatan medan magnet yang disebut geseran kimia (chemical shift). 𝛿=
𝑝𝑒𝑟𝑔𝑒𝑠𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 (𝐻𝑧) 𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑝𝑒𝑘𝑡𝑟𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑀𝑧
Spektrum 1H-NMR merupakan plot antara frekuensi (ppm) dan intensitas puncak (Pavia dkk., 2001). Dari spektrum ini terdapat informasi tentang jumlah dan jenis lingkungan hidrogen yang dapat diketahui dari geseran kimia. Adanya garis integrasi dapat memberikan informasi tentang jumlah hidrogen dalam tiap lingkungan. Selain itu pola-pola splitting dari puncak-puncak spektra dapat menunjukkan jumlah hidrogen pada atom karbon tetangga. Jarak antar puncak yang mengalami splitting disebut coupling constant. Parameter ini muncul akibat pengaruh tingkat spin atom tetangga terhadap inti atom. Coupling constant akan memberikan informasi lebih lanjut tentang gugus-gugus tertentu, karena pada gugus tertentu coupling constant akan memberikan nilai yang tertentu pula (Pavia dkk., 2001).
10. Molecular Docking Molecular docking merupakan ilmu yang dapat mempresentasikan struktur molekul secara numerik dan dapat mensimulasi aksi molekul tersebut dengan persamaan-persamaan (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Molecular docking merupakan salah satu aplikasi dari kimia komputasi. Pada proses docking,
27
komputer membantu dalam dua hal, yaitu menemukan kemungkinan fungsi biologis dari suatu protein dari database yang fungsinya diketahui dan memahami mekanisme molekuler dari protein. Selain itu, penggunaan komputer juga dapat mmbantu menganalisis interaksi antara active site
peotein dengan ligan dan
mendesain molekul baru yang lebih optimum (Ramachandra dkk., 2008). Dalam mendesain obat, prediksi kekuatan dan spesifitas molekul terhadap enzimnya dapat dilakukan. Apabila struktur proteinnya diketahui, energi interaksinya dengan senyawa target dapat dievaluasi dengan kimia komputasi (Cramer, 2004). Salah satu aplikasi molecular docking
yang banyak digunakan adalah
PLANTS. Docking PLANTS (Protein-Ligand ANT-System) didasarkan pada kelas algoritma optimasi stokastik yang disebut optimasi koloni semut (ACO = Ant Colony optimization). ACO terinspirasi oleh perilaku semut nyata menemukan jalan terpendek antara sarang dan sumber makanan. Semut menggunakan komunikasi langsung dalam bentuk jalur feromon yang menandai jalur antara sarang dan sumber makanan. Dalam kasus docking protein-ligan, sebuah koloni semut buatan digunakan untuk menemukan konformasi energi minimum ligan di situs ikat. Semut ini digunkan untuk meniru perilaku semut nyata dan menandai ligan konformasi energi rendah melalui jalur feromon. Informasi jejak feromon buatan
yang
diubah
dalam
pengulangan
berikutnya
digunakan
untuk
menghasilkan konformasi energi rendah dengan probabilitas lebh tinggi (Korb dkk., 2009). PLANTS didasarkan pada pencarian algoritma stokastik yang memperlakukan ligan dan protein sebagai sesuatu yang fleksibel. Dalam molecular docking akan
28
menghasilkan skor yang menggambarkan energi total ikatan protein ligand. Dengan membandingkan skor suatu senyawa dengan senyawa lainnya, maka akan dapat dijelaskan mengapa senyawa yang satu lebih poten dibandingkan senyawa lainnya. Makin kecil skor suatu hasil docking berarti komplek protein-ligand makin stabil sehingga ligand (senyawa) makin poten. PLANTS, tersedia dua scoring function, yaitu PLP (Pieciewise Linear Potential) dan CHEMPLP, yang merupakan pengembangan dari PLP (Korb dkk., 2007; Korb dkk., 2009). PLANTS merupakan salah satu program aplikasi molecular docking tak berbayar (gratis) yang diketahui memiliki kualitas seperti GOLD (aplikasi molecular docking lain yang berbayar) yang cukup banyak digunkan di Eropa dan Amerika. PLANTS memiliki beberapa kelebihan, antara lain gratis, sederhana, dan mudah diaplikasikan (Purnomo, 2011)
29
F. LANDASAN TEORI Sintesis suatu senyawa berbahan dasar isatin dikombinasikan dengan urea sebagai starting material akan menghasilkan senyawa 2,3-dioksoindolin-1karboksamida. Hasil diskoneksi sebagai berikut: O O
O
O
O N–
N
C+ H2N
O H2N
O
O O
H2 N
NH2
NH
Dari hasil analisis diskoneksi senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida diatas menghasilkan sinton (-) dan sinton (+). Sinton (-) yang dihasilkan identik dengan isatin, sedangkan sinton (+) identik dengan urea. Metode sintesis yang digunakan untuk menghasilkan senyawa target yaitu dengan metode pembentukan sym-difenilurea (Davis & Blanchard, 1923). Penentuan aktivitas senyawa 2,3dioksoindolin-1-karboksamida sebagai analgetik didasarkan pada kemampuan native ligand dalam berikatan dengan enzim COX-2. Diketahui bahwa enzim COX-2 berperan aktif dalam pembentukan prostaglandin, dimana prostaglandin ini adalah mediator rasa nyeri. Sudah lama parasetamol digunakan untuk mengatasi rasa nyeri tersebut, karena parasetamol memiliki aktivitas analgetik. Mekanisme kerja parasetamol melalui penghambatan selektif enzim COX-2 sehingga tidak mengakibatkan kerusakan pada mukosa lambung (Hinz dkk., 2008; Qureshi dkk., 2011). Berdasarkan gugus aktif pada
30
parasetamol yang mampu berikatan dengan enzim COX-2 maka dibentuklah senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida berbahan dasar urea yang memiliki aktivitas analgetik, bahkan diperkirakan lebih poten dari parasetamol. Diketahui bahwa senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida lebih stabil berikatan dengan enzim COX-2 dibandingkan dengan parasetamol, hal ini terlihat dari score docking bahwa senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida memiliki energi yang lebih rendah (-71,8189) daripada parasetamol (-67,3827) untuk berikatan dengan enzim COX-2 sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa 2,3dioksoindolin-1-karboksamida memiliki aktivitas analgetik yang lebih poten.
G. HIPOTESIS 1. Senyawa 2,3-dioksoindolin-1-karboksamida dapat disintesis dari starting material isatin dan urea. 2. Asam-asam amino dari COX-2 yang berikatan dengan turunan isatin mirip dengan asam-asam amino parasetamol.