BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari kehidupan dan merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu. Menurut Undang – Undang No.13 Tahun 1988 Bab I Pasal I ayat (2) tentang Kesejahteraan Usia Lanjut, lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2011, pada tahun 20002005 usia harapan hidup di Indonesia adalah 66,4 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2000 adalah 7,74%), usia harapan hidup diperkirakan akan meningkat pada tahun 2045-2050 menjadi 77,6 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2045 adalah 28,68%). Pada tahun 2010 usia harapan hidup 69,43 tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%) (Depkes RI, 2013). Dengan terjadinya peningkatan usia harapan hidup di Indonesia maka akan menyebabkan pula kenaikan jumlah lansia. Berdasarkan data Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2010), Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia dengan jumlah lansia terbanyak setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Diperkirakan pada tahun 2020, jumlah lansia di Indonesia akan meningkat menjadi sebesar 28,8 juta (11,34 %).
1
2
Pada tahun 2012 jumlah penduduk lansia tertinggi berada di Provinsi DI Yogyakarta (13,04%), Jawa Timur (10,40%) dan Jawa Tengah (10,34%). Usia harapan hidup di DIY pada tahun 2011 adalah 73,27 tahun (Dinkes DIY, 2013). Jumlah lansia di Kabupaten Sleman pada tahun 2006 mencapai 107.729 jiwa (10,68% penduduk) dengan usia harapan hidup lebih dari 72 tahun (BPS Sleman, 2007). Usia harapan hidup yang meningkat tidak selalu disertai dengan kesehatan yang selalu baik. Pada lansia akan mengalami berbagai masalah fisik, psikologis, dan sosial akibat proses penuaan (Dewi, 2007). Selain itu meningkatnya populasi lansia menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan baik pada lansia itu sendiri, keluarga maupun masyarakat. Hal ini harus menjadi perhatian dari berbagai pihak sehingga lansia dapat berperan dan tidak menjadi beban baik keluarga maupun masyarakat. Proses menua merupakan proses yang terus-menerus dan berkelanjutan secara alamiah dan pada umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Masa tua merupakan masa paling akhir dari siklus kehidupan manusia, pada masa ini akan terjadi proses penuaan atau yang merupakan suatu proses yang dinamis sebagai akibat dari perubahan sel, fisiologis, dan psikologis. Pada masa ini manusia berpotensi mempunyai masalah-masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Perubahan psikologis yang paling sering muncul dan sering dialami oleh lansia adalah kecemasan, depresi, insomnia, dan demensia (Maryam, 2008). Secara mental, lansia sering mengalami gangguan mental seperti insomnia, stres
3
psikososial, kecemasan, gangguan perilaku: agresif, agitasi, dan depresi (Jervis et al. 2007). Jika seorang lansia mengalami kesehatan jiwa yaitu kecemasan, maka kondisi tersebut dapat mengganggu kegiatan sehari-hari lansia (Maryam, 2008). Menurut (Flint AJ, 1999 cit. Forlani et al., 2014) kecemasan yang dialami lansia dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit fisik. Selain itu menurut Yochim (2013) kecemasan dapat mengakibatkan penurunan daya ingat dan kesulitan dalam membuat keputusan. Prevalensi kecemasan pada dewasa dan lansia di dunia pada sektor komunitas berkisar antara 15 sampai dengan 52,3% (Bryant et al.2011). Di Indonesia gangguan emosional yang terjadi pada usia 55-64 tahun sebanyak 8%, usia 65-74 tahun sebanyak 10% dan pada usia lebih dari 75 tahun sebanyak 13% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia (Depkes, 2013). Selain itu juga, lansia menjadi kelompok yang sangat rentan untuk mengalami gangguan jiwa akibat bencana dibandingan dengan kelompok dewasa muda (Jia et al. 2010). Pada 26 Oktober 2010 Gunung Merapi mengalami erupsi pertama dan berlanjut dengan erupsi lanjutan hingga awal November 2010. Kejadian erupsi tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda (Bappenas, 2011). Pada tanggal 10 Maret 2014 terjadi hujan abu di sektor selatan tenggara kemudian, pada 27 Maret 2014 terjadi hembusan awan panas dari puncak Merapi. Sejak tanggal 27 April 2014 warga sekitar lereng Merapi sering mendengar suara gemuruh yang berasal dari Gunung Merapi dan akhirnya pada tanggal 30 April 2014 status Gunung Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada (Setiawan, 2014).
4
Terjadinya erupsi Merapi yang sering dengan skala kecil ini membuat masyarakat yang berada di daerah sekitar Merapi menjadi khawatir akan terjadinya erupsi Merapi yang lebih besar seperti erupsi Merapi yang mereka alami pada tahun 2010. Hal ini merupakan peristiwa yang traumatis bagi warga sekitar Merapi. Bencana alam yang terjadi dengan skala besar merupakan peristiwa traumatis dan merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan jiwa dan perilaku (Nurhasanah et al. 2009). Menurut Pitaloka (2005) gangguan psikiatrik pada korban pasca bencana dapat memakan waktu hingga 10 tahun ke depan, bahkan dapat terjadi gangguan pasca trauma sampai 30 tahun ke depan. Lansia yang selamat dari bencana akan mengalami PTSD, kecemasan, dan depresi(Jia et al. 2010). Penelitian oleh Zhang et al. (2011) pada 284 lansia yang selamat dari gempa Wenchuan didapatkan hasil sebanyak 26,3% mengalami PTSD, 42,9% mengalami kecemasan, dan sebanyak 35,2% mengalami depresi. Menurut Stuart (2006), dukungan sosial dapat digunakan sebagai sumber koping untuk mengatasi kecemasan. Menurut Tamher dan Noorkasiani (2009), dukungan sosial merupakan komponen penting pada masa tua yang sukses, terutama bagi kesehatan mental yang merupakan pertanda adanya sistem pendukung yang efektif. Menurut (Brehm dan Kassin, 1990 cit. Rosyida et al.,2013), dukungan sosial mempunyai pengaruh sangat besar diantaranya dapat menciptakan situasi yang menyenangkan dan tidak menekan, meningkatkan harga diri seseorang, dan dapat meringankan beban hidup individu serta dapat membantu individu untuk berfungsi lebih efektif. Menurut Boen et al. (2012) dari hasil penelitiannya didapatkan hasil bahwa lansia yang menerima dukungan sosial
5
yang tinggi memiliki tekanan psikologis yang rendah, sedangkan pada lansia yang menerima dukungan sosial yang rendah cenderung mengalami tekanan psikososial yang tinggi. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Hunian Tetap Kuwang Cangkringan Sleman pada tanggal 27 April 2014 didapatkan data bahwa di Huntap Kuwang terdiri dari beberapa padukuhan. Huntap Kuwang merupakan huntap dengan korban erupsi Merapi tahun 2010 paling banyak diantara huntap yang lain. Huntap Kuwang berjarak 17 kilometer dari puncak Merapi. Jumlah lansiayang tinggal di Huntap Kuwang sebanyak 52 orang. Berdasarkan hasil dari wawancara pada lansia di Huntap Kuwang dapat disimpulkan bahwa lansia mengeluhkan merasa cemas apabila terjadi letusan gunung Merapi kembali. Lansia tersebut juga mengeluhkan bahwa mereka sekarang sudah tidak bisa beraktivitas seperti dahulu seperti ke sawah dan ke pasar karena jarak pasar dan sawah yang jauh serta tidak ada yang mengantarkan mereka. Hal ini menunjukkan dukungan instrumental lansia di Huntap Kuwang rendah. Mereka dahulu merasa bahagia karena masih bisa ke sawah dan ke pasar untuk bertemu dengan teman-temannya agar bisa bercerita dan saling memuji tetapi sekarang mereka hanya tinggal di rumah. Keadaan tersebut mengakibatkan menurunnya dukungan sosial emosional dan penghargaan pada lansia. Selain itu, lansia merasa sedih dan cemas tentang keadaan ekonominya karena sudah tidak bekerja dan hanya bergantung dengan anaknya. Lansia juga menceritakan pengalamannya saat tinggal di huntara, ketika berada di huntara kekerabatannya erat (guyup rukun) sekali, tetapi setelah di huntap menjadi renggang. Beberapa
6
lansia mengatakan bahwa saat ini di Huntap Kuwang tidak ada kegiatan untuk lansia kecuali posyandu yang diadakan satu bulan sekali. Para lansia merasa bahwa hanya orang muda saja yang mempunyai kegiatan sehingga mereka merasa iri dan diabaikan. Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Dukungan Sosial dan Tingkat Kecemasan pada Lansia Pasca Erupsi Merapi yang Tinggal di Hunian Tetap Kuwang, Cangkringan, Sleman”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah peneliti sebagai berikut: “Adakah hubungan antara dukungan sosial ditinjau dari jumlah pemberi dukungan dan kepuasan dukungan dengan tingkat kecemasan pada lansia pasca erupsi Merapi di Hunian Tetap Kuwang, Cangkringan, Sleman?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan dukungan sosial yang ditinjau dari jumlah pemberi dukungan dan kepuasan dukungan dengan tingkat kecemasan pada lanjut usia pasca erupsi Merapi di Hunian Tetap Kuwang, Cangkringan, Sleman. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mendeskripsikan dukungan sosial yang ditinjau dari jumlah pemberi dukungan dan kepuasan dukungan yang diterima oleh lansia pasca erupsi Merapi di Hunian Tetap Kuwang, Cangkringan, Sleman.
7
b. Untuk mengetahui persentase lansia di Hunian Tetap Kuwang, Cangkringan Sleman yang mengalami kecemasan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas ilmu pengetahuan tentang dukungan sosial pada lansia dengan kecemasan. 2. Manfaat praktis a. Keluarga dan masyarakat di Hunian Tetap Kuwang Penelitian ini diharapkan memberikan tambahan ilmu pengetahuan tentang pentingnya dukungan sosial untuk mengurangi tingkat kecemasan pada lansia yang tinggal di Hunian Tetap Kuwang, Cangkringan, Sleman sehingga dapat mengurangi tingkat kecemasan dan mencegah terjadinya dampak buruk akibat kecemasan. b. Perawat Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan dalam hal dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga dan masyarakat terhadap lansia yang mengalami kecemasan. Pengetahuan tersebut dapat dijadikan dasar bagi perawat untuk memberikan asuhan keperawatan kepada lansia yang mengalami kecemasan sehingga dapat mencegah terjadinya dampak buruk pada lansia yang mengalami kecemasan.
8
c. Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dan meningkatkan wawasan serta kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian. E. Keaslian Penelitian Sepegetahuan penulis belum pernah ada penelitian tentang hubungan dukungan sosial dengan tingkat kecemasan pada lansia pasca erupsi Merapi di Hunian Tetap Kuwang, Cangkringan, Sleman. Namun ada beberapa judul yang mempunyai kesamaan tema dengan peneliti, antara lain: 1. Penelitian oleh Andri et al.(2009) tentang “Hubungan dukungan sosial dengan tingkat kecemasan lansia yang tidak memiliki pasangan hidup di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta”. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Andri dan penelitian yang dilakukan peniliti terdapat pada metode, pengambilan sampel, variabel bebas, variabel terikat, instrumen dukungan sosial dan instrument kecemasan. Pada kedua penelitian tersebut metode yang digunakan yaitu metode kuantitatif dengan racangan crosssectional dan bersifat deskriptif korelatif, pengambilan sampel menggunakan total sampling, variabel bebas yang diteliti adalah dukungan sosial yang samasama diukur menggukana SSQ (Social Support Questionnaire) dari Sarason (1983) yang terdiri dari 27 item pertanyaan, variabel terikat yaitu kecemasan yang sama-sama diukur menggunanakan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale).
9
Perbedaan pada penelitian Andri dengan peneliti terdapat pada subjek penelitian, dan tempat penelitian. Subjek penelitian oleh Andri adalah lansia yang tidak memiliki pasangan hidup di PSTW Abiyoso Yogyakarta, sedangkan pada penelitian peniliti adalah lansia pasca erupsi Merapi yang tinggal di Hunian Tetap Kuwang, Cangkringan, Sleman. Hasil penelitian oleh Andri, et al. (2009) tidak ditemukan adanya hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat kecemasan pada lansia yang tidak memiliki pasangan hidup. 2. Penelitian oleh Kusumastuti et al. (2006) tentang “Hubungan dukungan sosial dengan kecemasan menjelang batas akhir masa studi”. Penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif dengan racangan cross-sectional dan bersifat deskriptif korelatif, metode yang digunakan pada penilitian tersebut sama dengan
metode
yang
digunakan
oleh
peneliti.
Pada
penelitian
Kusumastutivariabel bebas yang diteliti adalah dukungan sosial yang diukur menggunakan instrumen yang disusun oleh Winahyu (1998) dan variabel terikat yaitu kecemasan yang diukur menggunakan kuesioner yang disusun oleh Setiawan (2005) yang dimodifikasi sendiri oleh Kusumastuti. Variabel tersebut sama dengan variabel yang diteliti oleh peneliti tetapi instrumen yang digunakan berbeda pada penelitian peneliti untuk mengukur dukungan sosial menggunakan SSQ (Social Support Questionnaire) dari Sarason (1983) yang terdiri dari 27 item pertanyaan sedangkan untuk mengukur kecemasan menggunakan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale). Subjek penelitian yang digunakan oleh Kusumastuti et al.(2006) adalah mahasiswa UII angkatan 1999 dan sebelumnya yang masih aktif kuliah dan sudah tutup teori,
10
sedangkan pada penelitian peniliti subjek penelitian adalah lansia yang tinggal di Hunian Tetap Kuwang, Cangkringan, Sleman. Hasil penelitian oleh Kusumastuti et al. (2006) ditemukan adanya hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan menjelang batas akhir masa studi. 3. Penelitian oleh Aktan (2011) tentang “Social Support and Anxiety in Pregnant and Postpartum Women: A Secondary Analysis”. Penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif dengan racangan cohort dan bersifat deskriptif korelatif, sedangkan metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode kuantitatif dengan racangan cross-sectional dan bersifat deskriptif korelatif. Pada penelitian Aktan (2011) variabel bebas yang diteliti adalah dukungan sosial yang diukur menggunakan instrumen PRQ-85 dan variabel terikat yang diteliti adalah kecemasan yang diukur menggunakan instrumen STAI. Variabel yang diteliti oleh Aktan tersebut sama dengan variabel yang diteliti oleh peneliti tetapi instrument yang digunakan berbeda pada penelitian peneliti instrumen dukungan sosial menggunakan SSQ (Social Support Questionnaire) dari Sarason (1983) yang terdiri dari 27 item pertanyaan dan instrumen kecemasan menggunakan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale). Subjek penelitian yang digunakan oleh Aktan (2011) adalah ibu hamil trismerter tiga yang diikuti sampai postpartum, sedangkan pada penelitian peniliti subjek penelitian adalah lansia pasca erupsi Merapi yang tinggal di Hunian Tetap Kuwang, Cangkringan, Sleman. Hasil penelitian oleh Aktan (2011) ditemukan adanya hubungan antara dukungan sosial dengan kecemasan ibu hamil selama mengandung dan postpartum.
11
4. Penelitian oleh Zhang et al. (2011) tentang “Post‐ traumatic stress disorder, anxiety and depressionamong the elderly: a survey of the hard‐ hit areas a yearafter the wenchuan earthquake”. Penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif dengan racangan cross-sectional dan bersifat deskriptif, sedangkan metode yang digunakan oleh peneliti adalah metode kuantitatif dengan racangan cross-sectional dan bersifat deskriptif korelatif. Pada penelitian Zhang mendeskripsikan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), kecemasan dan depresi, sedangkan penelitian peneliti mencari hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat kecemasan. Pada penelitian oleh Zhang menggunakan isntrumen PTSD Checklist—Civilian version (PCL-C) untuk mengukur PTSD, Hopkins Symptoms Checklist-25 (HSCL-25) untuk mengukur kecemasan dan depresi. Sedangkan instrumen yang digunakan oleh peneliti adalah SSQ (Social Support Questionnaire) dari Sarason (1983) yang terdiri dari 27 item pertanyaan untuk mengukur dukungan sosial dan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale) untuk mengukur kecemasan. Subjek penelitian pada penelitian Zhang lansia yang berusia ≥ 60 tahun yang selamat dari gempa Wenchuan sedangkan subjek pada penelitian peneliti adalah lansia yang selamat dari erupsi Merapi yang tinggal di Huntap Kuwang, Cangkringan, Sleman. Hasil penelitian Zhang lansia yang mengalami PTSD sebesar 26,3%, kecemasan 42,9%, dan depresi 35,2%. 5. Penelitian oleh Boen et al.(2012) tentang “The importance of Social Support in The Assosiations between psychological distress and somatic health problems and socio-economic factors among older adults living at home: a
12
cross sectional Study”. Penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif dengan racangan cross-sectional dan bersifat analitik korelatif, metode yang digunakan pada penilitian tersebut sama dengan metode yang digunakan oleh peneliti. Pada penelitian oleh Boen variabel bebas yang diteliti adalah dukungan sosial yang diukur menggunakan instrumen Oslo-3 Social Support Scale (OSS-3), dan variabel terikat
yaitu stress psikologis yang diukur
menggunakan instrumen Hopkins Symptom Checklist (HSCl-10), masalah kesehatan somatik dan faktor sosial ekonomi pada lansia, pada penelitian yang dilakukan peneliti variabel bebas yang diteliti adalah dukungan sosial yang diukur menggunakan instrumen SSQ (Social Support Questionnaire) dari Sarason (1983) yang terdiri dari 27 item pertanyaan dan variabel terikat yaitu kecemasan yang diukur menggunakan TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale). Subjek penelitian ini adalah 2387 lansia yang berusia 65 tahun atau lebih yang tinggal di rumah, pada penelitian peniliti adalah lansia pasca erupsi Merapi yang tinggal di Hunian Tetap Kuwang, Cangkringan, Sleman. Hasil penelitian oleh Boen et al.(2012) terdapat hubungan antara tekanan psikologis dan dukungan sosial yaitu semakin tinggi dukungan sosial semakin rendah tekanan psikologis lansia, begitupun sebalikya.