BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asam fenofibrat merupakan metabolit aktif fenofibrat yang praktis tidak larut dalam air. Fenofibrate merupakan derivat asam fibrat generasi ketiga yang termasuk dalam BCS (Biopharmaceutical Classification System) kelas II (Zhu dkk, 2010). Fenofibrate merupakan antihiperlipidemia yang digunakan sebagai monoterapi dalam menurunkan Low Density Lipoprotein, kolesterol, trigliserida dan apolipoprotein B serta meningkatkan High Density Lipoprotein. Fenofibrate adalah prodrug yang diabsorbsi melalui saluran gastrointestinal dan dihidrolisis oleh enzim CYP3A4 menjadi asam fenofibrat (Jacobson, 2009). Obat – obat BCS kelas II termasuk kelompok obat yang memiliki bioavailabilitas
rendah.
Teknik
yang
digunakan
dalam
meningkatkan
bioavailabilitas obat antara lain adalah memperkecil ukuran partikel, pembentukan polimorfisme dan pseudopolimorfisme, kompleksasi, penggunaan surfaktan dan penggunaan prodrug (Khatry dkk., 2013). Dispersi padat permukaan adalah salah satu teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan bioavailabilitas obat BCS kelas II. Dispersi padat permukaan mampu meningkatkan kelarutan, disolusi dan bioavailabilitas obat-obat yang sangat sukar larut atau praktis tidak larut dalam air (Khatry,2013). Bahan-bahan seperti polimer yang biasa digunakan dalam formulasi tablet dapat digunakan sebagai bahan pembawa dalam dispersi padat
1
2
permukaan, salah satunya adalah sodium starch glycolate yang termasuk superdisintegran (Cassidy, 2000) Penelitian Bishe (2011) menyatakan dispersi padat fenofibrat menggunakan bahan pembawa poloxamer 188 dengan metode penguapan pelarut dapat meningkatkan laju disolusi obat dalam medium HCl 0,1N dan SLS 0,1M. Penelitian Chowdary dan Rao (2000) menunjukkan bahwa pembentukan dispersi padat permukaan Itrakonazol dengan bahan pembawa sodium starch glycolate dapat meningkatkan laju disolusi Itrakonazol. Penelitian Meka dkk (2012) menunjukkan bahwa dispersi padat permukaan Irbesartan dengan sodium starch glycolate pada seluruh perbandingan mampu meningkatkan laju disolusi Irbesartan dalam medium HCl 0,1N. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui disolusi asam fenofibrat dalam sistem dispersi padat permukaan dengan sodium starch glycolate. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana DE60 asam fenofibrat dalam sistem dispersi padat permukaan dengan sodium starch glycolate dibandingkan asam fenofibrat murni dan asam fenofibrat hasil rekristalisasi? 2. Bagaimana karakter kristal asam fenofibrat dalam sistem dispersi padat permukaan dengan sodium starch glycolate?
3
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalalah 1. Mengetahui DE60 asam fenofibrat dalam sistem dispersi padat permukaan dengan sodium starch glycolate dibandingkan asam fenofibrat murni dan asam fenofibrat hasil rekristalisasi 2. Mengetahui karakteristik kristal asam fenofibrat dalam sistem dispersi padat permukaan dengan sodium starch glycolate D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti ilmiah peningkatan disolusi asam fenofibrat dan karakterisasi kristal asam fenofibrat dalam sistem dispersi padat permukaan dengan sodium starch glycolate untuk mendapatkan sediaan dengan disolusi yang lebih baik. E. Tinjauan Pustaka 1. Fenofibrat dan Asam Fenofibrat Fenofibrat adalah suatu bentuk prodrug yang digunakan untuk monoterapi penyakit hiperlipidemia dengan nama kimia Isopropyl 2-[4[(4-chlorobenzoyl) phenoxy]-2-methylpropanoate (Gambar 1). Fenofibrate adalah generasi ketiga asam fibrat yang termasuk dalam BCS kelas II karena memiliki kelarutan rendah sedangkan permeabilitasnya tinggi. Fenofibrat memiliki bobot molekul 360,83 dan Log P 5,24 (USP, 2007) dan titik lebur 79-82oC (Sweetman, 2009). Mekanisme dari fenofibrate yaitu hasil hidrolisisnya berupa asam fenofibrate
4
dapat meningkatkan sintesis lipoprotein lipase, penurunan kadar VLDL, kolesterol, jumlah trigliserid dan apolipoprotein B berkurang sehingga terjadi peningkatan HDL (Lacy dkk., 2008). Fenofibrat dan asam fenofibrat merupakan ligan dari reseptor PPAR α (peroxisome proliferator activated receptor α) yang dapat digunakan untuk penyakit kardiovaskuler dan komplikasi diabetes (Ling dkk., 2013). Fenofibrate diberikan secara oral dan absorbsinya dapat meningkat jika diberikan bersamaan dengan makanan. Asam fenofibrat praktis tidak larut dalam air, larut dalam kloroform dan metanol p.a. Asam fenofibrat merupakan hasil metabolisme fenofibrat dengan nama kimia 2-[4-4-chorobenzoyl) phenoxy]-2-methylpropanoic acid (Gambar 1) dengan bobot molekul 318,75, log P 3,9 dan titik lebur 179-182oC. Asam fenofibrat terkonjugasi dengan asam glukoronat dan diekskresikan melalui urine. Asam fenofibrat 99% terikat albumin dan konsentrasi plasma dicapai 4 – 5 jam dengan waktu paruh di plasma 20 jam (Sweetman,2009).
Gambar 1. Struktur kimia Fenofibrat dan Asam Fenofibrat (USP,2007)
Formulasi kapsul micronized fenofibrat tersedia dalam dosis 67 mg, 200 mg atau 267 mg untuk satu kali pemberian dalam sehari. Formulasi kapsul nonmicronised tersedia dalam dosis 200 hingga 300 mg yang terbagi menjadi 2 dosis dalam sehari. Dosis 100 mg fenofibrat non-micronised ekivalen dengan 67 mg
5
fenofibrat micronised (Sweetman, 2009). Penelitian uji klinik Godfrey dkk (2011) menyatakan bahwa 145 mg fenofibrat bioekivalen dengan 105 mg asam fenofibrat.
Gambar 2. Perbedaan formulasi nonmicronized, micronized dan partikel nano fenofibrat (Ling dkk., 2013)
2. Dispersi Padat Permukaan Dispersi padat permukaan adalah suatu teknik baru dari dispersi padat dengan cara mendispersi satu atau lebih zat aktif yang sukar larut atau praktis tidak larut dalam air ke dalam bahan pembawa yang tidak larut air untuk meningkatkan bioavailabilitas dan laju disolusi obat (Khatry dkk., 2013). Dispersi padat permukaan menggunakan tehnik deposisi solven untuk meningkatkan kelarutan, laju disolusi dan bioavailabilitas obat-obat yang tidak larut dalam air. Partikel zat aktif yang terdispersi ke dalam pelarut menjadi molekul yang lebih kecil sehingga menambah luas permukaan partikel dan meningkatkan kelarutan obat (Serajuddin, 1999). Tehnik deposisi solven melibatkan deposisi zat aktif pada permukan pembawa menggunakan suatu pelarut yang mudah menguap (Chowdary dan Srinivasa, 200). Metode pembentukan sistem dispersi padat permukaan dibedakan menjadi dua yaitu metode pelelehan dan metode penguapan pelarut. Metode pelelehan
6
dibuat dengan cara memanaskan bahan pembawa pada suhu di atas titik leburnya lalu diinkorporasikan dengan zat aktif, lalu campuran didinginkan pada suhu ruangan dengan pengadukan secara kontinu untuk mendapatkan dispersi yang homogen. Metode penguapan pelarut dibuat dengan cara melarutkan zat aktif dan bahanj pembawa ke dalam pelarut organik secara bersamaan, pelarut organik kemudian diuapkan hingga dihasilkan serbuk dispersi yang kering. Tehnik lain yang digunakan dalam pembentukan dispersi padat permukaan adalah lyofilisasi, pelelehan aglomerasi, spray drying technology, extruding methode, electro static spinning methode dan super critical fluid technology (Khatry, 2013). Metode Pembentukan Dispersi Padat Permukaan Metode Pelelehan
Metode Tradisional
Metode Penguapan Pelarut
Metode Optimisasi
Coprecipitatio n
Nitrogen Steam
Freeze drying
Supercritical Fluid
Hot stage extrusion
larutan
Metrex
Spray drying
suspensi Melt agglomeration
Gambar 3. Metode pembentukan dispersi padat permukaan (Khatry, 2013)
Pembawa yang digunakan dalam dispersi padat permukaan adalah bahan yang
sifatnya
tidak
larut
air
yaitu
polimer
seperti
povidon
(PVP),
hidroksipropilmetilselulosa (HPMC), mikrokristalin selulosa (Avicel), silika
7
(Aerosil) dan derivat pati (Charumanee dkk., 2004). Pelepasan obat dari bahan pembawa bergantung pada ukuran partikel, porositas, luas permukaan dan hidrofilisitas bahan pembawa (Khatry, 2013). Pemilihan bahan pembawa dan metode pembuatan merupakan faktor penting dalam pembentukan sistem dispersi padat permukaan. Dispersi padat permukaan mendukung adanya deposisi zat aktif pada permukaan bahan pembawa saat pelarut volatile diuapkan sehingga dapat mempengaruhi laju disolusi zat aktif (Meka dkk., 2012). Adanya deposisi zat aktif pada permukaan bahan pembawa menyebabkan rendahnya ikatan antara partikel zat aktif akibat adanya bahan pembawa sehingga dapat mempercepat laju disolusi (Mahalakshmi dkk., 2009) Teknik dispersi padat permukaan telah digunakan untuk meningkatkan disolusi pada piroxicam (Serajuddin, 1999), meloxicam, glimepiride (Kiran dkk., 2009),ibuprofen (Corrigan dkk., 1985), itrakonazol (Chowdary dan Rao, 2014) , irbesartan (Meka dkk., 2012) dan simvastatin (Rao dkk., 2010).
dispersi padat disintegrasi cangkang kapsul padatan terlarut dalam lapisan
padatan terlarut obat dengan carrier aktif mempercepat disolusi
obat tanpa carrier aktif menghambat disolusi
Gambar 4. Perbandingan disolusi obat berupa padatan dengan pembawa aktif dan tanpa pembawa aktif (Khatry, 2013)
8
3. Disolusi Disolusi adalah suatu proses yang menghasilkan larutan yang berasal dari zat solid. Disolusi memiliki tiga kategori yaitu teori film, teori pembaruan permukaan dan teori kecepatan solvasi terbatas (Siregar, 2010). Sediaaan tablet yang tidak dilapisi polimer akan berubah menjadi granul dan pecah menjadi partikel yang lebih halus dan terdisolusi ke dalam larutan (Marin dkk., 1993).
Gambar 5. Tahap – tahap disintegrasi, deagregasi dan disolusi obat (Martin dkk.,1993)
Sediaan tablet yang tidak dilapisi oleh suatu polimer akan berubah menjadi granul dan pecah menjadi partikel yang lebih halus dan terdisolusi kedalam larutan (Sinko, 2011). Macam – macam metode disolusi menurut Shargel dan Yu (2005):
9
a. Metode Basket Metode basket terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar kalibrasi pelarut untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi. b. Metode Dayung Metode dayung digunakan untuk sediaan tablet, kapsul, granul dan sediaan enterik. Dasar metode ini adalah perputaran batang dan daun pengaduk yaitu dayung pada kecepatan dan jarak tertentu dari dasar tabung. Metode ini memungkinkan terjadinya perubahan pH dan dapat digunakan untuk percobaan yang lama. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada suhu 37ᵒC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. c. Metode Disintegrasi yang dimodifikasi Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP basket dan rack dan tidak terdapat cakram jika untuk uji pelarutan. Saringan keranjang diubah sehingga saat pelarutan partikel tidak jatuh melalui saringan.
10
d. Metode “Rotating Bottle” Uji disolusi dengan metode ini digunakan untuk mengendalikan pelepasan butiran-butiran, dengan merubah media pelarutan yang digunakan seperti cairan lambung buatan atau cairan usus buatan. e. Metode Pelarutan dengan Aliran Media pelarutan dalam metode ini dapat diperbaharui serta volume yang besar dapat digunakan dengan menyesuaikan peralatan untuk kerjanya. Kondisi sink dalam metode ini dapat dipertahankan. f. Metode Pelarutan “Intrinsik” Metode ini yaitu melarutkan serbuk obat dengan mempertahankan luas permukaan, dinyatakan dalam mg/cm2 menit. Pelarutan intrinsik berhubungan dengan produk obat ataupun bahan obat yang diuji pelarutannya tanpa bahan tambahan yang dapat mempengaruhi hasil. g. Metode Peristaltik Metode ini dibuat seperti kondisi hidrodinamik pada saluran cerna dalam alat pelarutan in vitro, bekerja dengan aksi peristaltik yaitu media dipompa dan melewati suatu sediaan obat.
Hasil disolusi dapat dinyatakan dalam persen terlarut obat. Persen terlarut obat untuk sediaan tablet lepas cepat adalah zat aktif harus terdisolusi sebanyak 70% dalam waktu 40 menit. Hasil uji disolusi juga dapat dinyatakan dengan dissolution fficiency (DE). Metode DE adalah perbandingan luas daerah di bawah kurva disolusi pada menit t dengan luas empat persegi panjang yang munjukkan
11
100% zat aktif terlarut pd saat t (Khan, 1975). Disolusi sediaan kapsul memiliki lag time selama 5 menit. Berikut adalah rumus perhitungan DE dimana y adalah persen obat terlarut pada menit t.
Gambar 6. Rumus perhitungan dissolution efficiency (Khan, 1975)
4. Spektrofotometri UV Spektrofotometri adalah metode pengukuran suatu zat berdasarkan interaksi antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Spektrofotometri terbagi menjadi serapan ultraviolet, cahaya tampak, infra merah dan serapan atom. Panjang gelombang merupakan jarak linear dari suatu titik ke titik yang bersebelahan pada satu gelombang pada panjang gelombang yang berdekatan. Dimensi panjang gelombang adalah panjang (L) yang dinyatakan dalam satuan nanometer (nm) dan ditulis dengan simbol huruf latin yaitu lambda (λ) (Gandjar dan Rohman, 2011). Daerah spektrum terdiri dari ultraviolet (190 nm – 380 nm), daerah cahaya tampak (380 nm – 780 nm), daerah infra merah dekat (780 nm – 3000 nm), dan daerah infra merah (2,5 µm – 40 µm atau 4000/cm – 250/cm) (Depkes RI.,1995). Molekul bergerak menuju tingkat energi yang lebih rendah maka energi akan dilepaskan, ketika energi terpapar radiasi elektromagnetik pada frekuensi tertentu
12
sehingga energi molekul akan ditingkatkan ke level yang lebih tinggi sehingga terjadi peristiwa absorbsi energi molekul. Hubungan antara molekul pengabsorpsi dan tingkat absorpsi dirumuskan dengan hukum Lambert-Beer yang menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan. Hukum Lambert-Beer memiliki batasan yaitu sinar yang digunakan dianggap monokromatis, penyerapan terjadi pada suatu volume yang mempunyai penampang luas yang sama, senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan tersebut dan tidak terjadi peristiwa fluorosensi atau fosforisensi serta indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan (R.A Day,Jr dan A.L Underwood,2002). Spektrofotometri UV digunakan untuk analisis kuantitatif suatu sampel dengan komponen tunggal, jika absorbansi seri konsentrasi larutan diukur pada panjang gelombang, suhu, kondisi pelarut yang sama kemudian absorbansi masing – masing larutan diplotkan terhadap konsentrasi akan membentuk garis lurus dan sesuai dengan persamaan A= abc. Variabel yang mempengaruhi hasil absorbansi adalah jenis pelarut, pH, larutan, suhu, konsentrasi tinggi dan zat – zat pengganggu. Spektrofotometri UV membaca absorban antara 0,2 sampai 0,8, jika dibaca sebagai transmitans antara 15% sampai 70% (Gandjar dan Rohman, 2011). 5. X-ray Diffraction (XRD) X-ray diffraction (XRD) adalah suatu teknik yang digunakan untuk menganalisis suatu senyawa kristalin. Sinar X merupakan radiasi gelombang
13
elektromagnetik dengan panjang gelombang 1-100 Å yang berada pada daerah gelombang sinar ultraviolet atau sinar gama. XRD digunakan untuk menganalisa padatan kristal beradasarkan hukum Bragg yang menyatakan suatu kristal memiliki susunan atom yang teratur dan berulang sehingga jika sinar x ditembakkan pada suatu kristal maka akan dipantulkan dengan sudut pantul yang sama dengan sudut datangnya (Jenkins, 2000).
Gambar 7.Pemantulan berkas sinar-X monokromatis oleh dua bidang kisi dalam kristal dengan sudut sebesar θ (Jenkins, 2000)
Data XRD digambarkan dalam bentuk grafik peak intensitas difraksi. Semakin tinggi dan tajam puncak peak difraksi maka zat tersebut berbentuk kristal, jika peak difraksi luas dan puncaknya rendah maka zat tersebut berupa amorf (Prevey, 2000). 6. Scanning Electrone Microscope (SEM) Scanning Electrone Microscope (SEM) adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang digunakan untuk menganalisis morfologi mikrostruktur dan mengkarakterisasi suatu senyawa kimia sehingga tampak pola elektron atau atom
14
yang terdifraksi dari suatu sampel (Zhou dkk., 2000). Pola difraksi yang tampak dari suatu sampel bergantung dari susunan partikel sampel tersebut. SEM dapat digunakan untuk menganalisis kristalografi suatu elemen atau senyawa pada perbesaran nanometer sehingga dapat menganalisa suatu sampel dengan ketelitian tinggi.
Gambar 8. Analisis spesimen dengan SEM (Dunlap dan Adaskaveg, 1997)
7. Sodium Starch Glycolate Sodium starch glycolate merupakan salah satu superdisintegran yang memiliki nama kimia sodium carboxymethyl starch atau yang sering disebut dengan primojel adalah salah satu superdisintegran. SSG adalah bahan yang biasa digunakan dalam formulasi tablet kempa langsung dan granulasi basah. SSG berbentuk serbuk putih atau
hampir putih, mudah mengalir, dan sangat
higroskopis. SSG memiliki ukuran partikel antara 30 sampai 100 mm yang berbentuk oval atau spherical. SSG digunakan dalam formulasi antara
15
konsenstrasi 2% hingga 8% dengan konsentrasi optimal adalah 4%. Mekanisme superdisintegrasi terjadi dengan penyerapan air yang cepat (water wicking), lalu diikuti proses pembengkakan cepat dan dalam jumlah yang besar. SSG selain sebagai superdisintegran juga digunakan sebagai suspending vehicle. (Rowe dkk., 2009). a
b
Gambar 9.Struktur kimia (a) dan bentuk mikroskopik (b) sodium starch glycolate (Rowe dkk., 2009).
F. Landasan Teori Asam fenofibrat merupakan metabolit aktif dari fenofibrate yang digunakan sebagai monoterapi dalam menurunkan
Low Density Lipoprotein, kolesterol,
trigliserida dan apolipoprotein B serta meningkatkan High Density Lipoprotein (Jacobson, 2009) . Asam fenofibrat termasuk dalam BCS kelas II yang bersifat tidak larut dalam air. Dispersi padat permukaan adalah suatu teknik yang digunakan untuk meningkatkan kelarutan, bioavailabilitas dan laju disolusi obat yang sukar larut
16
atau praktis tidak larut dalam air (Khatry dkk., 2013). Penelitian Bishe (2011) menyatakan dispersi padat fenofibrat dengan metode penguapan pelarut dapat meningkatkan laju disolusi obat. Penelitian Chowdary dan Rao (2000) menunjukkan bahwa pembentukan dispersi padat permukaan Itrakonazol dengan sodium starch glycolate pada perbandingan 1:1 mampu meningkatkan laju disolusi Itrakonazol dan menunjukkan perubahan kristalinitas Itrakonazol menjadi lebih amorf berdasarkan analisa XRD. Penelitian Meka dkk (2012) menunjukkan peningkatan laju disolusi Irbesartan dalam dispersi padat permukaan dengan sodium starch glycolate. Berdasarkan penelitian tersebut maka dilakukan penelitian tentang disolusi asam fenofibrat dalam sistem dispersi padat permukaan dengan sodium starch glycolate. G. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini yaitu: 1. DE60 asam fenofibrat dalam sistem dispersi padat permukaan dengan sodium starch glycolate lebih besar dibandingkan asam fenofibrat murni dan asam fenofibrat hasil rekristalisasi 2. Terjadi perubahan karakter kristal asam fenofibrat dalam sistem dispersi padat permukaan dengan sodium starch glycolate
17