7
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akhir-akhir ini kenakalan remaja mendapat sorotan yang cukup tajam dari kalangan masyarakat yang memperhatikan masalah ini. Kenakalan remaja yang sering terjadi dewasa ini, tampaknya sudah kehilangan ciri nakalnya dan sudah menjurus pada tindakan-tindakan brutal yang membahayakan keselamatan, baik harta maupun nyawa orang lain. Pada awalnya, kenakalan remaja hanyalah merupakan perilaku “nakal” dari kalangan remaja yang sering dikatakan sedang mencari identitas diri. Kenakalan remaja yang demikian ini tidak menimbulkan kekhawatiran dikalangan masyarakat luas. Beberapa peristiwa yang terjadi di kota-kota besar menunjukkan beberapa kenakalan remaja yang menjurus pada tindakan kriminalitas. 1| Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa para remaja melakukan perilaku yang mengarah pada kriminalitas. Tulisan ini berusaha menjelaskan secara teoritis tentang hal ini, kenakalan remaja dalam kaitannya dengan perbuatan-perbuatan yang menjurus pada kriminalitas yang dilakukan secara bersama-sama . Pada awalnya kenakalan remaja dikatakan sebagai perbuatan deviasi yang tidak perlu dikhawatirkan. Inilah yang dikatakan sebagai deviasi primer. Setiap orang, yang telah melewati masa remaja, pasti pernah melakukan deviasi primer. Ada beberapa kriteria yang dapat dikategorikan sebagai deviasi primer yaitu perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus-menerus dan 1
Made Darma Weda, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, 1996, halaman 83-84
1
Universitas Sumatera Utara
8
perbuatan deviasi yang dilakukan secara disorganisasi dan tidak dilakukan secara lihai, pada dasarnya perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan oleh yang berwajib. 2 Di kalangan remaja, melakukan perbuatan-perbuatan yang menjurus pada kriminalitas tidaklah mudah. Perbuatan tersebut secara teoritis memerlukan dukungan dari kawan-kawan mereka. Mengapa demikian? Edwin.H Sutherland menyatakan bahwa semua perilaku termasuk perilaku jahat merupakan perbuatan hasil dari proses belajar. Hal ini berarti ia menolak teori yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan sifat bawaan yang diperoleh sejak lahir, yang berasal dari keturunan. Oleh karena itulah ia dalam proporsisinya menyatakan bahwa perilaku jahat dipelajari dari orang lain melalui interaksi. Selain proses interaksi, maka yang terpenting perilaku tersebut diperoleh melalui pergaulan yang akrab. Apa artinya semua ini? Menurut Sutherland, orang tidak akan mempelajari tingkah laku jahat hanya melalui interaksi yang tidak akrab. Kejahatan hanya bisa dipelajari kalau ada hubungan yang akrab antara para pihak. Di sinilah kemudian muncul indikasi bahwa kejahatan selalu mempunyai jaringan, selalu mempunyai dukungan. Tanpa adanya dukungan, seseorang akan khawatir untuk melakukan kejahatan seorang diri. Dengan demikian dalam mempelajari kejahatan tidak hanya menyangkut teknik/cara melakukan kejahatan saja tetapi juga hal-hal yang mendorong serta alasan pembenar dalam melakukan kejahatan. 3
2 3
Ibid., halaman 84-85 Ibid., halaman 86
Universitas Sumatera Utara
9
Berdasarkan uraian di atas maka dukungan orang lain untuk terjadinya suatu kejahatan tidak dapat diabaikan keberadaannya. Steven Box dalam bukunya yang berjudul Deviance, Reality, and Society mengemukakan bahwa ada anakanak remaja yang mempunyai kemauan untuk melakukan kejahatan tetapi tidak pernah terwujud. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, ada beberapa hal yang diperlukan yaitu : Pertama, keahlian. Anak-anak remaja yang mempunyai keinginan untuk melakukan kejahatan, mungkin harus menunda keinginannya mengingat mereka tidak mempunyai tingkat pengetahuan yang khusus atau keahlian. Keahlian dalam melakukan kejahatan merupakan proses belajar, yang diperoleh dari teman-teman sekelompok. Kedua, adalah perlengkapan. Seseorang yang
mempunyai
keinginan
melakukan
kejahatan
akan
mengabaikan
keinginannya bila tidak mempunyai perlengkapan yang memadai. Perlengkapan ini pun tidak mudah diperoleh. Hanya mereka yang dikenal dan termasuk dalam kelompoklah yang mudah memperoleh perlengkapan. Ketiga, adalah adanya dukungan sosial. Mereka yang mempunyai keinginan untuk melakukan kejahatan baru dapat melaksanakan keinginannya bila terdapat dukungan kelompok. 4 Meningkatnya kenakalan remaja dewasa ini disebabkan oleh kepribadian anak yang belum terkontrol, jika anak remaja tidak mampu mengoreksi perbuatan yang salah maka ini akan sangat membahayakan anak itu sendiri. remaja misalnya, membentuk kelompok-kelompok yang mengarah kepada tindakan kriminal seperti tawuran, mencuri bahkan merampok.
4
Ibid., halaman 87
Universitas Sumatera Utara
10
Pada kehidupan bermasyarakat sering terdapat adanya penyimpanganpenyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup masyarakat terutama yang dikenal dengan nama norma hukum. Penyimpangan norma hukum di masyarakat disebut dengan kejahatan. Sebagai salah satu bentuk penyimpangan dari norma di tengah-tengah masyarakat dimana pelaku dan korbannya adalah anggota masyarakat juga. Kejahatan yang merupakan suatu bentuk dari timbulnya gejala sosial itu tidak berdiri sendiri, melainkan ada hubungan dengan berbagai perkembangan baik kehidupan sosial, ekonomi, hukum, maupun teknologi. Kejahatan ini juga ditimbulkan dari perkembangan-perkembangan lain sebagai akibat sampingan yang negatif dari setiap kemajuan atau perkembangan sosial di masyarakat. Saat ini, dunia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan modernisasi. Perkembangan dan modernisasi tersebut terutama dapat dirasakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena perkembangan tersebut juga telah memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap perkembangan
pertumbuhan perekonomian. Satjipto Raharjo menulis bahwa modernisasi menekankan pada rasio, penampilan manusia secara individual, kebebasan manusia, orientasi kepada dunia serta penggunaan rasio sebagai alat untuk memecahkan berbagai masalah. 5 Sutan Takdir Alisyahbana dalam bukunya “ Hukum dan proses Modernisasi di Indonesia ” menulis antara lain bahwa proses modernisasi menyangkut perubahan
5
Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Kejahatan – Kejahatan Baru yang Berkembang Dalam Masyarakat, Liberty, Yogyakarta, 1988, halaman 33
Universitas Sumatera Utara
11
kelakuan dan nilai-nilai kebudayaan yang sejalan dengan perubahan sikap hidup dan cara berfikir manusia.6 Pada dasarnya pertumbuhan perekonomian yang terjadi belakangan ini mengalami perkembangan yang tidak seimbang. Hal ini dapat di lihat dimana pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup masyarakat sehingga jumlah masyarakat miskin semakin bertambah di indonesia. Diketahui bahwa keadaan masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan tersebut menyebabkan sangat rendahnya tingkat daya beli masyarakat. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang kemudian akan dapat menjadi penyebab atau latar belakang dari setiap kejahatan atau tindak pidana dalam masyarakat, dimana salah satu bentuknya adalah pencurian. Kejahatan adalah suatu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, dimana setiap masalah sosial dapat berbeda-beda dari setiap masyarakat, tergantung dari kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Adapun faktor lain yang menjadi penyebab dari terjadinya masalah sosial tersebut adalah berasal dari faktor lingkungan, sifat dari masyarakat tersebut, serta keadaan dari setiap orang yang menjadi anggota penduduk dari masyarakat tersebut. Terkait dengan hal tersebut diatas, maka dapat kita ketahui bahwa perkembangan kejahatan adalah merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi, baik pada masyarakat sederhana maupun modern.
6
Ibid., halaman 31
Universitas Sumatera Utara
12
Salah satu jenis kejahatan yang semakin berkembang baik dari segi frekuensi maupun dari segi cara melakukannya adalah kejahatan pencurian. Telah dijelaskan bahwa pencurian terjadi disebabkan oleh banyaknya kalangan masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena daya beli yang sangat rendah. Memang pencurian tetaplah bentuk pencurian, akan tetapi alangkah baiknya jika disesuaikan dengan kejahatan pencuriannya apakah memang pantas untu disidang di Pengadilan atau masih bisa diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan. Saat ini kejahatan pencurian memang sangat marak terjadi, baik yang terjadi di pinggir jalan, di perumahan, bahkan di dalam pasar. Pencurian itu sendiri dapat dilakukan pada siang hari, malam hari, dengan kekerasan, tidak dengan kekerasan, ataupun terhadap keluarganya sendiri. Sanksi yang dijatuhi pun berbeda atas jenis pencurian yang berbeda pula. Pencurian merupakan tindakan kriminalitas yang sengaja mengganggu kenyamanan rakyat. Tindakan konsisten diperlukan dalam penegakan hukum, sehingga terjalin kerukunan. Kemiskinan yang banyak mempengaruhi perilaku pencurian adalah kenyataan yang terjadi ditengah masyarakat, dibuktikan dari rasio pencurian yang makin meningkat ditengah kondisi objektif pelaku di dalam melakukan aktifitasnya. 7 B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan dalam bagian pendahuluan pada penulisan skripsi ini, dan juga untuk memberikan pembatasan dari ruang
7
www.google.com/Tindak Pidana dengan Kekerasan
Universitas Sumatera Utara
13
lingkup pembahasan yang kemudian akan diangkat sebagai bahan materi dalam skripsi ini, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan diangkat, yaitu sebagai berikut : 1. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya kenakalan anak? 2. Bagaimana pengaturan hukum anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan? 3. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap anak tindak pidana pencurian pemberatan pada (putusan No.03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn) ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Pada dasarnya tujuan adalah merupakan salah satu alasan penting bagi kita dalam melakukan suatu pekerjaan, oleh sebab itulah perlu dirumuskan apakah yang menjadi tujuan dari penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui secara teori perbedaan unsur-unsur kejahatan jenis tindak pidana pencurian, yaitu unsur-unsur tindak pidana pencurian biasa dengan unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan. b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan bagi jaksa dalam membuat tuntutan dan dasar hakim dalam pertimbangan bagi membuat putusan. 2. Manfaat Penelitian Hasil dari pelaksanaan penelitian sudah selayaknya akan dapat bermanfaat tidak hanya bgi penulis saja, tetapi juga dapat bermanfaat pula bagi semua pihak
Universitas Sumatera Utara
14
terkait dalam penulisan skripsi ini, untuk itu saya memaparkan tentang hal-hal yang menurut saya akan memberikan manfaat dari hasil penelitian dan penulisan skripsi ini, yaitu antara lain : a. Manfaat Teoritis Diharapkan agar kiranya hasil dari penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum pidana mengenai kejahatan pencurian yang dilakukan pada waktu malam hari. b. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi seluruh pengambil kebijakan dan para pelaksana hukum di bidang hukum pidana, khususnya mengenai kejahatan pencurian dengan kekerasan, dengan mengetahui unsur-unsur tindak pidana pencurian serta dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. D. Keaslian Penulisan Proses penulisan skripsi berjudul “Tindak Pidana Membantu melakukan Pencurian Dengan Kekerasan oleh Anak di bawah Umur’’ terhadap perkara kasus Pencurian dengan Kekerasan Pasal ini, sejauh pengamatan dan pengetahuan penulis tentang materi yang diangkat dalam skripsi ini, belum ada penulis lain yang mengemukakannya, sehingga saya tertarik untuk mengangkat judul tersebut serta pokok permasalahannya sebagai judul dan pembahasan yang akan diangkat dan dikembangkan dalam skripsi ini. Apabila di kemudian hari ada judul yang sama sebelum penulisan ini, saya bertanggung jawab sepenuhnya.
Universitas Sumatera Utara
15
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Kata strafbaarfeit diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delik, perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaarfeit. 8 Istilah yang digunakan dalam undang-undang di atas antara lain : 1. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam UndangUndang Dasar Sementara Tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14. 2. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. 3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen 4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam UndangUndang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. 5. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya :
8
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2009, halaman 101.
Universitas Sumatera Utara
16
a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum b. Undang-Undang
Darurat
Nomor
7
Tahun
1953
tentang
pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi. c. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatan bagi Terpidana karena melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan. 9 Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum). 10 Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka didalam tindak pidana tersebut terdapat unsurunsur tindak pidana, yaitu :
a. Unsur objektif
9
Ibid., halaman 102 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, halaman 49
10
Universitas Sumatera Utara
17
Unsur yang terdapat diluar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari : - Sifat melanggar hukum - Kualitas dari si pelaku - Kausalitas Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. b. Unsur subjektif Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari : - Kesengajaaan atau ketidaksengajaan - Maksut pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP - Macam-macam maksut seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya - Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu - Perasaan takut seperti terdapat di dalam pasal 308 KUHP. 11
11
Ibid., halaman 50
Universitas Sumatera Utara
18
2. Pengertian Membantu Melakukan Penyertaan adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta /terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang demikian rupa eratnya, dimana perbuatan oleh yang satu menunjang perbuatan oleh yang lainnya yang semuanya mengarah pada satu terwujudnya tindak pidana. 12 Pembagian “Peserta” inilah yang dipergunakan KUHPidana, ialah : a.
Pasal 55 KUHPidana ayat (2) menyebutkan “peristiwa pidana”, jadi baik kejahatan maupun pelanggaran.
1) Yang melakukan (pleger) Ia sendiri telah berbuat dan perbuatan itu memenuhi unsur-unsur dari delik yang bersangkutan. 2) Yang menyuruh melakukan (doen pleger) Minimal ada 2 orang yaitu menyuruh melakukan dan yang disuruh melakukan. Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan suatu delik, melainkan ia menyuruh orang lain, walaupun demikian tetap dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri. Agar
12
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, halaman 68
Universitas Sumatera Utara
19
supaya masuk dalam pengertian “menyuruh melakukan” maka orang yang disuruh itu harus hanya merupakan alat saja, maksutnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. 3) Yang turut melakukan (medepleger), yang berarti “bersama-sama melakukan”, jadi sedikit-dikitnya harus ada dua orang ialah yang melakukan dan turut melakukan. 4) Yang membujuk (uitlokker), minimal 2 orang, yaitu yang membujuk dan yang dibujuk. Dan caranya membujuk harus dengan jalan seperti yang tercantum dalam pasal 55 ayat (1) 2e KUHPidana dan tidak boleh dengan cara lainnya b. Pasal 56 : Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan : 1) Barang siapa dengan membantu melakukan kejahatan itu. 2) Barang siapa dengan sengaja memberi kesempatan, dan upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu. 13 Pelajaran umum “Turut Serta” termasuk diatas dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan suatu delik, walaupun perbuatannya sendiri tidak memuat semua unsur delik tersebut. Menurut pendapat VAN HATTUM, pasal 55 dan 56 KUHPidana itu memuat ketentuan-ketentuan
yang
memperluas
lingkungan
orang-orang
yang
bertanggungjawab menurut Hukum Pidana atas terjadinya atau percobaan
13
R.Atang Ranoemiharjo, Hukum Pidana, Tarsito, Bandung 1983, halaman 113-118
Universitas Sumatera Utara
20
melakukan suatu delik yang unsur-unsurnya disebut dalam Undang-Undang Pidana. Seseorang dapat dipersalahkan membantu melakukan jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut dan waktu atau sebelum delik itu dilakukan. 14 Pertimbangan bahwa pembantu pembuat itu bukan pembuat dalam suatu perbuatan pidana, yaitu bahwa peranannya jauh lebih santun dibandingkan dengan semua peserta lainnya. Kedudukan yang lebih menguntungkan diri si pembantu pembuat terungkap dalam pengurangan maksimum pidana dan dalam ketentuan bahwa pembantuan dalam pelanggaran-pelanggaran tak dapat dipidana.15 Tetapi apakah yang membedakan peranan pembantu pembuat dari peranan peserta-peserta lainnya, sehingga kedudukan yang menguntungkan itu dibenarkan/ Bagaimanapun juga, adalah pasti bahwa prakarsa si pembuat harus sudah ada pada saat si pembantu pembuat dalam tahap pembuatan rencana-rencana atau dalam tahap pelaksanaannya tercampur dalam perkara. Oleh karena itu pembantuan itu secara singkat dapat didefinisikan sebagai kalau diminta, memberikan bantuan pada atau, dalam suatu bentuk tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang, supaya orang lain dapat berbuat kejahatan. Dalam hal ini si pembantu pembuat berdiri sendiri, yaitu semua peserta lainnya, jadi yang tersebut pada 2, 3 dan 4 telah mengambil prakarsa sendiri.16 3. Pengertian Kejahatan Salah satu persoalan yang sering muncul ke permukaan dalam kehidupan Kejahatan merupakan suatu fenomena yang komplek yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita menangkap 14
Ibid., halaman 118 J. E. Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995, halaman 250 16 Ibid. 15
Universitas Sumatera Utara
21
berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain.17 Dalam pengalaman kita ternyata tak mudah untuk memahami kejahatan itu sendiri. Usaha memahami kejahatan ini sebenarnya telah berabad-abad lalu dipikirkan oleh para ilmuan terkenal. Plato misalnya menyatakan dalam bukunya ‘Republik’ menyatakan antara lain bahwa emas, manusia adalah merupakan sumber dari banyak kejahatan. Sementara Aristoteles menyatakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk kemewahan. Thomas Aquino memberikan beberapa pendapatnya tentang pengaruh kemiskinan atas kejahatan. Orang kaya yang hidup untuk kesenangan dan memboros-boroskan kekayaannya, jika suatu kali jatuh miskin, mudah menjadi pencuri. 18 Pada dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenis perbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat. Kejahatan ditinjau dari sudut yuridis, merupakan jenis-jenis kejahatan yang sudah definitif atau menimbulkan akibat hukum karena unsur deliknya. Maksutnya telah ditentukan secara tertentu dalam suatu ketentuan Undang-Undang bahwa perbuatan jenis-jenis tertentu dianggap sebagai perbuatan jahat, dengan kata lain
17
Topo Santoso, Eva Achjani Zulva, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 1 18 Ibid., halaman 1
Universitas Sumatera Utara
22
dalam norma hukum tertentu dalam suatu masyarakat telah ditetapkan berbagai jenis perbuatan yang merupakan kejahatan. 19 Pengertian kejahatan dalam hukum pidana menganut asas legalitas, maksutnya kejahatan pidana harus ditentukan oleh suatu aturan Undang-Undang yang definitif. Kejahatan adalah delik hukum, dan pelanggaran merupakan delik Undang-Undang. Menurut beberapa ahli hukum, pengertian kejahatan adalah : a.
Paul Mudikdo Muliono menyatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan manusia yang merupakan pelanggaran norma, yang dirasa merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan.
b.
W. A. Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah merupakan perbuatan yang immoral dan asosial yang tidak dikehendaki oleh masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat.
c.
Utrecht mengemukakan bahwa kejahatan adalah perbuatan karena sifatnya
bertentangan
dengan
ketertiban
hukum,
sedangkan
pelanggaran adalah perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum. 20 4. Pengertian Anak Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang. Sistem penilaian anak-anak ini dengan bantuan usaha pendidikan harus bisa dikaitkan atau disesuaikan dengan sistem penilaian manusia dewasa. Namun 19
Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran tentang Psikologi Kriminil, Kelompok Study Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, halaman 28 20 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
23
demikian adalah salah apabila menerapkan kadar nilai orang dewasa pada diri anak-anak. Untuk memudahkan dalam mengerti tentang anak dan menghindari salah penerapan kadar penilaian orang dewasa kepada anak, maka perlu diketahui bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak. Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga) fase, yaitu : 1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7 (tujuh) tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental. 2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7-14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, dimana dapat digolongkan ke dalam 2 periode, yaitu : a. Masa anak sekolah dasar mulai dari usia 7-12 tahun adalah periode intelektual. Periode intelektual ini adalah masa belajar awal dimulai dengan memasuki masyarakat di luar keluarga, yaitu lingkungan sekolah kemudian teori pengamatan anak dan hidupnya perasaan, kemauan serta kemampuan anak dalam berbagai macam potensi. b. Masa remaja/pra-pubertas atau pubertas awal. Pada periode ini, terdapat
kematangan
berkembangnya
tenaga
fungsi fisik
jasmaniah yang
ditandai
melimpah-limpah
dengan yang
menyebabkan tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung, berandal, kurang sopan, liar dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
24
3. Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14-21 tahun, yang dinamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas, dimana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. Masa remaja pubertas bisa dibagi dalam 4 (empat) fase, yaitu : a. Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pra pubertas b. Masa menentang kedua, fase negatif c. Masa pubertas sebenarnya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa pubertas pada anak wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari pada masa pubertas anak laki-laki d. Fase adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekitar 1921 tahun. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang sitem Peradilan Pidana Anak secara umum dikatakan, Anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 21 Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. 21
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Universitas Sumatera Utara
25
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, antara lain disebabkan oleh faktor di luar diri anak tersebut. 5. Pengertian Hakim Anak Hakim Anak adalah hakim yang khusus ditetapkan sebagai hakim anak, baik di tingkat Pertama (Pengadilan Negeri), Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi), dan Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung). Pada Tingkat Pertama, Hakim Anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi. 22 Untuk menjadi Hakim Anak, harus memenuhi syarat-syarat berdasarkan undang-undang (Pasal 10 ayat (2) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu : a.
Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
b.
Mempunyai minat, dedikasi, dan memahami masalah anak.23
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hakim yang memeriksa dan mengadili perkara anak adalah Hakim Tunggal, namun dalam hal tertentu Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk Hakim Majelis apabila ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak yang bersangkutan lebih dari 5 (lima) tahun dan sulit pembuktiannya.
22
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 113 23 Ibid., halaman 114
Universitas Sumatera Utara
26
6. Pertanggungjawaban Pidana Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan. Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana mau tidak mau harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana. Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Tidak adil rasanya jika tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab atas suatu tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan tindakan tersebut.24 Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan istilah mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. 25 Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh udang-undang. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. 24
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2011, halaman
25
Ibid.
155
Universitas Sumatera Utara
27
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang
dikatakan
mempunyai
kesalahan
menyangkut
masalah
pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pida pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Makanya tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas tersebut. Sehubungan
dengan
kemampuan
bertanggungjawab
ini,
dalam
menentukan apakah seseorang itu salah atau tidak, menurut hukum ditentukan oleh 3 (tiga ) faktor, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
28
1. keadaan batin orang yang melakukan itu, erat berkait dengan kemampuan bertanggungjawab. Yang dimaksutkan dengan keadaan batin orang yang melakukan perbuatan ialah apabila pelaku tidak menyadari bahwa perbuatannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. 2. Adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya. Yang dimaksutkan dengan hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukannya itu dapat berupakesengajaan, kealpaan/kelalaian. 3. Tidak adanya alasan pemaaf. Yang dimaksutkan dengan alasan pemaaf ialah dalam hal misalnya pembelaan diri dalam hal melampaui batas. 26 F. Metode penelitian 1. Spesifikasi penelitian Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif terdiri dari : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. Penelitian terhadap asas-asas hukum ini seperti misalnya penelitian terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap kaidahkaidah hukum yang hidup dalam masyarakat. b. Penelitian terhadap sistem hukum. Penelitian terhadap sistem hukum dapat dilakukan pada perundangundangan tertentu ataupun hukum tercatat. Tujuan pokoknya adalah
26
Adami Chazawi, Op.Cit., halaman 30
Universitas Sumatera Utara
29
untuk
mengadakan
identifikasi
terhadap
pengertian-pengertian
pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek hukum. Penelitian ini sangat penting oleh karena masing-masing pengertian pokok / dasar mempunyai arti tertentu dalam kehidupan hukum. c. Penelitian sinkronisasi hukum. Penelitian terhadap sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal, maka yang diteliti adalah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi. Hal ini dapat ditinjau secara vertikal, yakni apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki perundangundangan
tersebut,
sedang
apabila
dilakukan
penelitian
taraf
sinkronisasi secara horizontal, maka yang ditinjau adalah perundangundangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama. d. Penelitian terhadap sejarah hukum. Penelitian terhadap sejarah hukum merupakan penelitian yang lebih dititik beratkan pada perkembangan-perkembangan hukum. Biasanya dalam perkembangan demikian, pada setiap analisa yang dilakukan akan menggunakan perbandingan-perbandingan terhadap satu atau beberapa sistem hukum.
Universitas Sumatera Utara
30
2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai pengaturan anak dalam suatu tindak pidana dari perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literatur yang berhubungan dengan objek penelitian dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di Pengadilan Negeri Medan. Putusan pengadilan yang menjadi isu hukum yang dihadapi tersebut merupakan bahan hukum primer yang dirujuk oleh peneliti hukum. 4. Analisis Data Pada penulisan skripsi ini, analisis data yang digunakan adalah dengan cara kualitatif, Dari penelitian tersebut diatas, kemudian dapat memenuhi pembahasan skripsi ini secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari fakta yang bersifat representatif (sesungguhnya, nyata, sesuai keadaan). G. Sistematika Penulisan Sistematikan penulisan dalam skripsi ini terdiri dari 5 bab, yaitu sebagai berikut : BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan
Universitas Sumatera Utara
31
kepustakaan (yang terdiri dari Pengertian Tindak Pidana, Pengertian Membantu Melakukan, Pengertian Kejahatan, Pengertian Anak, Pengertian Hakim Anak, Pertanggungjawaban Pidana), metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Merupakan bab yang membahas anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan (yang terdiri dari pengertian restoratif justice dan diversi menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, pengaturan lembaga pemasyarakatan anak, dan faktor penyebab timbulnya kenakalan anak). BAB III : Merupakan bab yang membahas pengaturan tentang tindak pidana pencurian dengan kekerasan (dalam kasus yang terdapat dalam putusan PN Medan No. 03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn).
BAB IV : Merupakan bab yang membahas studi putusan dengan melakukan analisis hukum terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang berisi kasus posisi ( yang terdiri dari dakwaan, fakta-fakta hukum, putusan pengadilan negeri), dan pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana pada putusan No. 03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn BAB V : Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
Universitas Sumatera Utara