BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masih terdapat cukup banyak penduduk dunia yang belum memiliki fasilitas
sanitasi. Dimana, menurut data MDGs tahun 2012, 15% penduduk dunia atau sekitar 1,1 milyar orang tidak memiliki fasilitas sanitasi. Hal ini kemudian berpengaruh pada kebiasaan buang air besar sembarangan yang masih dilakukan penduduk dunia. Kebiasaan BABS tersebut dilakukan oleh sekitar 626 juta orang penduduk di India, 14 juta penduduk di China, dan 7 juta penduduk Brazil. Kondisi seperti ini juga dialami oleh Indonesia. Menurut Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010, sampai tahun 2009, proporsi rumah tangga di perkotaan yang memiliki akses sanitasi layak hanya sebesar 69,51% dengan peningkatan sebanyak 15,87% dari tahun 1993. Sedangkan proporsi rumah tangga di pedesaan yang memiliki akses sanitasi layak hanya sebesar 33,96% dengan peningkatan sebanyak 22,86% dari tahun 1993. Dan target MDGs tahun 2015 untuk proporsi rumah tangga dengan sanitasi layak di perkotaan dan pedesaan masingmasing sebesar 76,82% dan 55,55%. Dengan peningkatan yang lamban ini masih banyak penduduk Indonesia yang tidak dapat mengakses sanitasi dasar yang layak. Dimana menurut Indonesia Sanitation Sector Development, di tahun 2006 saja masih ada sebanyak 47% masyarakat Indonesia masih melakukan BAB sembarangan. Masalah sanitasi tersebut kemudian memicu munculnya permasalahan kesehatan dan penyakit yang membunuh banyak jiwa seperti diare.
1
2
Oleh karena fatalnya ancaman kesehatan yang muncul sebagai akibat dari buruknya perilaku hidup masyarakat, maka diperlukan suatu bentuk penanganan permasalahan yang tidak hanya ditujukan untuk memberantas kejadian penyakitnya saja, akan tetapi mampu memperbaiki perilaku hidup masyarakat ke arah yang lebih baik. Dimana kita ketahui, bahwa perilaku hidup tersebutlah yang menjadi akar dari permasalahan yang muncul di permukaan. Sebagai upaya akselerasi perubahan perilaku masyarakat untuk menjadi lebih sehat maka perlu dikembangkan sebuah strategi yang dapat dikelola oleh masyarakat secara mandiri. Strategi tersebut diimplementasikan melalui metode pendekatan spesifik agar proses perubahan perilaku bisa berjalan secara cepat dan luas. Metode pendekatan spesifik yang dimaksud adalah Community Led Total Sanitation (CLTS). CLTS diterapkan dengan melibatkan kegiatan fasilitasi atas suatu proses menyemangati dan memberdayakan masyarakat setempat. Dengan adanya fasilitasi ini diharapkan masyarakat berhenti melakukan BABS, mau membangun dan menggunakan jamban. Metode CLTS ini diterapkan untuk pertama kali di tahun 1999 oleh Kamal Kar yang bekerja sama dengan Pusat Sumber Daya Pendidikan Desa dan didukung oleh Water Aid, di sebuah komunitas kecil di district Rajshahi di Bangladesh (Kar, 2004). CLTS memiliki prinsip tidak memberikan subsidi agar tidak menciptakan sikap pengharapan eksternal dan ketergantungan, tidak menunjuk pada model jamban tertentu namun lebih mendorong inisiatif dan kapasitas masyarakat, tidak menggurui, tidak memaksa, masyarakat sebagai pemimpin, totalitas, dan hindari formalitas. Sejak dilaksanakan di tahun 1999 di Bangladesh, metode pendekatan ini kemudian menyebar ke berbagai negara Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.
3
Indonesia melakukan uji coba pendekatan CLTS pertama kali pada tahun 2005 di 6 kabupaten (Sumbawa, Lumajang, Bogor, Muara Enim, Muara Bungo, dan Sambas). Hasil evaluasi yang dilakukan di pertengahan tahun 2006 menunjukkan bahwa masyarakat Bogor, Muara Enim, Muara Bungo, dan Sambas telah bebas dari kebiasaan buang air besar di tempat terbuka (Anonim, 2011a). Karena keberhasilan tersebut maka, WSP-EAP mengadopsi metode CLTS dalam proyek TSSM/SToPS yang dilaksanakan di Jawa Timur. Metode CLTS yang mulai diterapkan di Jawa Timur pada tahun 2007 ini terlaksana dengan sukses. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan akses jamban sehat secara swadaya oleh 408.754 KK sejak tahun 2008 sampai Maret 2012 (Saputera et al, 2012). Seiring dengan pelaksanaan TSSM di Jawa Timur,
ditetapkanlah STBM
sebagai strategi nasional pada tahun 2008. Kebijakan nasional tersebut ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008. Dengan ditetapkannya kebijakan nasional tersebut maka, pembangunan sanitasi di Indonesia harus sinergi dengan pendekatan dan prinsip yang ada dalam STBM. Program STBM di Indonesia dikelola pemerintah pusat hingga tingkat pemerintah daerah, selain bekerja sama dengan LSM, lembaga pendidikan, dan sektor swasta. Selain Jawa Timur, pelaksanaan program STBM dengan menggunakan metode pendekatan CLTS juga menunjukkan perkembangan yang cukup baik di NTB (Waji, 2013). Dimana pelaksanaannya sangat didukung oleh pemerintah provinsi, dengan ditetapkannya program unggulan provinsi yang diberi nama BASNO. Peningkatan akses sanitasi yang dialami oleh NTB, dibuktikan dengan bertambahnya akses JSP sebanyak 342.776 KK dan JSSP 101.575 KK setelah dilakukannya pemicuan di tahun 2012 (Anonim, 2011c).
4
Provinsi Bali sendiri mulai menerapkan STBM pada pertengahan tahun 2011, dimana lokasi pelaksanaan program yang pertama yaitu di Dusun Muntigunung, Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Sampai saat ini program STBM masih dikembangkan di 9 kabupaten/kota yang ada di Bali. Sektor terdepan pelaksanaan program STBM di Bali adalah Dinas Kesehatan yang bekerja sama dengan instansi terkait. Puskesmas sebagai salah satu instansi pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat, memegang peranan penting dalam pelaksanaan program ini. Karena sanitarian secara umum memiliki tupoksi (tugas pokok dan fungsi) untuk melaksanakan upaya kesehatan lingkungan, maka pengkoordinir kegiatan STBM adalah sanitarian di masing-masing puskesmas. Pelaksana
program STBM
juga
perlu
memiliki
ketrampilan
dalam
melaksanakan program STBM ini, khususnya memicu masyarakat dengan metode CLTS dan memantau perubahan perilaku yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu diadakanlah
pelatihan-pelatihan
untuk
meningkatkan
ketrampilan
sanitarian
puskesmas. Sampai saat ini sanitarian puskesmas di Bali yang sudah dilatih terdiri atas 80 orang sanitarian dari total 115 sanitarian yang ada di 9 Kabupaten/Kota di Bali. Dengan dilatihnya para sanitarian tersebut, maka diharapkan target capaian pelaksanaan kegiatan STBM yang dapat dilakukan oleh para sanitarian akan tercapai. Namun pada kenyataannya capaian pelaksanaan pemicuan hingga bulan Mei 2013 hanya sebesar 94 desa (Anonim, 2011d) dari 225 desa yang ditargetkan (Anonim, 2009). Keadaan ini tentu dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja sanitarian dalam melaksanakan STBM. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, maka dapat dilihat pendukung dan penghambat sanitarian dalam
5
melaksanakan tugasnya. Sehingga dapat menjadi rekomendasi bagi instansi terkait, agar dapat menunjang kebutuhan sanitarian dalam melaksanakan tugas.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas maka dapat diketahui,
bahwa jumlah desa yang dipicu dengan metode CLTS tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah sanitarian yang sudah dilatih pemicuan CLTS. Kemudian peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut: apakah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sanitarian dalam melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat?
1.3
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang serta rumusan masalah di atas maka
didapatkan pertanyaan penelitian sebagai berikut : “Apa saja faktor pendukung dan faktor penghambat yang mempengaruhi kinerja sanitarian puskesmas dalam melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di wilayah kerjanya?”
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sanitarian dalam melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. 1.4.2 Tujuan khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
6
a. Untuk mengetahui faktor yang mendukung kinerja sanitarian dalam melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat b. Untuk mengetahui faktor yang menghambat kinerja sanitarian dalam melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
1.5
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu manfaat praktis
dan manfaat teoritis. Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah: 1.5.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan teori dalam khasanah ilmu pengetahuan khususnya mengenai upaya mengoptimalkan kinerja sanitarian dalam melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. 1.5.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi pihak yang berkaitan untuk meningkatkan kinerja para sanitarian dalam melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.
1.6
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini terbatas pada: 1. Sanitarian yang menjadi obyek penelitian dalam penelitian ini adalah sanitarian puskesmas yang berada di tiga kabupaten di Bali dengan tingkat keaktifan yang berbeda yaitu Karangasem (aktif), Jembrana (tidak aktif), dan Gianyar (tingkat keaktifan sedang).
7
2. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan menggunakan
instrumen berupa kuesioner
menggunakan wawancara mendalam.
dan diperkuat
dengan