BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak warisan budaya, mulai dari tarian, upacara adat, hingga pakaian. Berbagai warisan budaya ini terus berkembang di Indonesia, tidak sedikit juga yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. Salah satu yang masih berkembang dengan baik adalah batik. Batik sudah menjadi komoditas yang berkembang di Yogyakarta. Tidak hanya di Yogya ataupun nasional, namun batik juga sudah menjadi komoditas ekspor Indonesia. Jumlah batik ekspor juga tinggi dan terus meningkat tiap tahun. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Nilai Ekspor Batik Nasional (Suara Pembaruan, 3 Oktober 2009) Nilai Ekspor Batik Nasional Tahun US$ 34,41 juta 2004 US$ 12,46 juta 2005 US$ 14,27 juta 2006 US$ 20,89 juta 2007 USS 32,28 juta 2008 US$ 10,86 juta Triwulan I 2009 Pada tahun 2009 UNESCO menetapkan batik sebagai world heritage. Salah satu pusat batik di Indonesia yang diakui adalah Yogyakarta. Hal tersebut kemudian memicu Yogya untuk semakin mendalami batik, memperkenalkan batik kepada seluruh warga Yogya, dan membudayakan batik kembali. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah munculnya peraturan daerah nomer 41 tahun 2010 pasal 11. Dalam perda tersebut dinyatakan bahwa bagi siswa yang duduk di bangku SMP maupun SMA pada hari Jumat diperintahkan untuk menggunakan batik sebagai seragam sekolah, diutamakan batik khas Jogja. Peraturan selanjutnya adalah peraturan nomer 173 tahun 2014. Pada peraturan kedua disebutkan bahwa seluruh pegawai negeri diwajibkan menggunakan pakaian kejawen. Pakaian kejawen yang direkomendasikan oleh pemerintah adalah baju lurik dan bawahan kain batik. Sedangkan bagi perempuan 1
2
yang menggunakan kebaya, pagar, dan menggunakan konde tekuk bagi yang tidak mengenakan jilbab. Batik yang digunakan sebagai bawahan adalah batik tulis maupun cap dengan motif batik latar hitam atau putih. Hal tersebut tentu menimbulkan efek lain juga pada industri batik. Penetapan batik sebagai world heritage membuat batik semakin dikenal di negara lain. Sedangkan peraturan daerah Yogyakarta juga membuat konsumsi batik meningkat dalam rangka menjalankan peraturan tersebut. Keduanya mengakibatkan meningkatnya jumlah permintaan batik. Peningkatan permintaan lalu mengakibatkan peningkatan jumlah produsen. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja pada bidang batik meningkat hingga 68-70%. Peningkatan jumlah tenaga kerja tersebut juga dapat mengindikasikan bahwa produsen batik memperbesar skala produksi dan penjualannya dengan adanya kenaikan omset tersebut. Walaupun begitu, masih banyak produsen batik skala kecil atau home industry yang masih bertahan dengan posisinya saat ini. Peningkatan produsen batik dapat dilihat dari segi tenaga kerja, nilai produksi, nilai output, biaya input, dan nilai tambah bruto yang terus meningkat seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1.2. Tabel 1.2 Peningkatan Industri Batik di Indonesia (Kemenperin, 2012)
Tahun
2006 2007 2008 2009 2010
Unit Usaha
Tenaga Kerja (Orang)
298 308 235 339 326
12.047 13.060 12.988 15.346 17.082
Nilai Produksi
Nilai Output
Biaya Input
Nilai Tambah Bruto
(Ribuan Rp) 394.641.105 509.194.105 699.661.151 572.380.745 838.329.888
(Ribuan Rp) 444.766.552 569.533.804 831.185.891 684.013.800 935.096.286
(Ribuan Rp) 331.677.469 398.975.840 623.176.664 422.808.755 565.156.118
(Ribuan Rp) 113.089.083 170.557.964 208.009.227 261.205.045 369.940.168
Banyaknya produsen batik membuat jenis batik yang berada di pasaran saat ini sangat beragam, mulai dari corak, harga, hingga kualitas. Masing-masing produsen memiliki kualitas yang berbeda pada produk yang dihasilkan. Bahkan jika
3
dilihat produk hasil industri batik yang sudah memiliki skala cukup besar dapat memberikan hasil yang berbeda pada tiap perajinnya. Pada saat ini, produsen belum memiliki standar kualitas yang baku pada produksi batiknya. Produsen batik biasanya melihat kualitas pada raw material yang digunakan, seperti kain yang digunakan, lilin malam, dan sebagainya. Namun sedikit sekali pengrajin yang melihat dari proses dan hasil akhir produknya. Sehingga para produsen hanya akan melakukan pengecekan kualitas pada awal saja, yaitu saat datangnya raw material. Kebanyakan konsumen juga belum mengetahui kualitas batik yang baik seperti apa. Pada saat ini kebanyakan konsumen ketika membeli hanya melihat batik dari tanda/cap batik mark. Batik mark tersebut diberikan oleh balai besar kerajinan dan batik. Tanda tersebut mengindikasikan bahwa batik tersebut benarbenar merupakan hasil batik cap atau tulis asli, bukan merupakan batik printing atau sablon namun diklaim sebagai batik cap atau tulis. Namun tanda tersebut tidak dapat mengindikasikan bahwa kualitas batik tersebut bagus, hanya menandakan bahwa batik tersebut asli. Sebagian besar produk batik di Yogyakarta memiliki lingkup kecil, berupa home industry. Produsen pada skala tersebut tidak memperhatikan sisi kualitas, namun kuantitas dan harga. Kebanyakan produsen hanya mencari bahan mentah, seperti kain, lilin, dengan harga terjangkau atau di bawah rata-rata, namun tidak memperhatikan kualitas produk. Sehingga tidak ada standar kualitas pada produknya. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengidentifikasikan parameter kualitas pada produsen batik tulis, baik dilihat dari sisi konsumen maupun dari sisi produksi. Keberadaan parameter kualitas pada batik tulis diharapkan produsen dapat meningkatkan kualitas produknya. Tidak hanya dari parameter, peningkatan kualitas juga akan dilakukan berdasarkan voice of customer yang kemudian dikaitkan dengan parameter kualitas dari sisi produksi. Diharapkan produsen dapat memahami kualitas yang diinginkan konsumennya sehingga dapat memperbesar pasarnya.
4
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, dirumuskan masalah sebagai berikut: 1.
Kriteria apa saja yang menjadi pertimbangan pelanggan batik tulis menilai batik berkualitas?
2.
Faktor apa saja yang memengaruhi kualitas batik tulis selama proses produksi?
3.
Berdasarkan faktor dan kriteria yang memengaruhi baik dari sisi konsumen maupun sisi produksi, bagaimana peluang usaha peningkatan kualitas pada batik tulis tersebut?
1.3. Asumsi dan Batasan Masalah Agar masalah yang dibahas di penelitian ini lebih terfokus, maka ditetapkan beberapa asumsi dan batasan masalah sebagai berikut: 1.
Batik yang akan diteliti merupakan batik tulis asli dari Yogyakarta dengan wilayah penelitian di Bantul, Sleman, dan Yogyakarta
2.
Industri batik tulis yang menjadi objek penelitian ini adalah industri batik di Wijirejo Bantul, Mantrijeron Yogyakarta, dan Mlati Sleman.
3.
Data kuesioner diambil dan ditujukan kepada konsumen batik tulis, kolektor batik, dan ahli pada bidang batik.
4.
Data wawancara dan observasi ditujukan pada pihak industri batik tulis yang dituju.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengidentifikasi kriteria apa saja yang memengaruhi pelanggan dalam melihat kualitas pada batik tulis.
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kualitas batik selama proses produksi.
5
3.
Menentukan peluang usaha peningkatan kualitas pada batik tulis berdasarkan voice of customer dan proses produksi.
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Memberikan kriteria kualitas batik tulis sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen sehingga produk memiliki standar kualitas yang sama.
2.
Memberikan kriteria kualitas batik tulis dari sisi produksi.
3.
Menjadi pertimbangan bagi produsen dalam meningkatkan kualitas produknya
berdasarkan
memenangkan persaingan.
konsumen,
sehingga
produsen
dapat