BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kebutuhan akan rumah adalah kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan
manusia selain kebutuhan akan pakaian dan makanan. Menurut Tito Soetalaksana (2000;8) rumah merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan masyarakat, oleh sebab itu pemenuhannya akan selalu diusahakan dalam tingkat kehidupan setiap orang, dengan memperhatikan selera dan kemampuan keuangan yang ada.Sedangkan menurut Green K, 1996, Rumah salah satu kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, karena merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat pada umumnya. Seiring perkembangan zaman, rumah tidak hanya diartikan sebagai tempat tinggal semata akan tetapi kepemilikan rumah atau tanah dianggap sebagai barang investasi dalam jangka panjang khususnya bagi kalangan masyarakat menengah keatas yang sering dijadikan sebagai tolak ukur kesejahteraan manusia. Tetapi pemenuhan kebutuhan akan rumah untuk sebagian masyarakat menjadi hal yang tergolong sulit. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu pertumbuhan penduduk yang terus meningkat sedangkan lahan untuk pemukiman semakin terbatas, rendahnya daya beli masyarakatmenjadikan masalah perumahan merupakan masalah yang mendesak dan kompleks, sehingga pihak perbankan melihat kondisi ini menjadi suatu peluang untuk pemenuhan bisnis mereka melalui pembiayaan rumah secara kredit atau angsuran secara berkala.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hitungan Real Estate Indonesia (REI), total kebutuhan rumah per tahun di Indonesia bisa mencapai 2,6 juta didorong oleh pertumbuhan penduduk. Berdasarkan data jumlah penduduk Indonesia lebih kurang 241 juta jiwa dengan angka pertumbuhan penduduk 1,3% per tahun dapat dipastikan kebutuhan terhadap perumahan akan meningkat. Melihat besarnya angka kebutuhan rumah maka harus diperlukan penyediaan dana yang besar untuk membangunnya. Tabel 1.1 Persentase Status Kepemilikan Rumah Milik Sendiri, 2004-2013 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau
2004 82,98
2005 78,33
2006 79,04
2007 77,89
2008 77,95
2009 77,46
2010 76,59
2011 78,80
2012 78,43
2013 79,63
70,42
70,62
69,07
66,28
66,14
67,34
66,58
65,43
68,02
67,62
74,98
72,91
69,84
64,91
68,28
66,55
68,53
69,42
70,04
70,09
72,49
74,37
71,59
66,89
67,04
67,25
66,56
67,11
67,51
69,15
Jambi Sumatera Selatan Bengkulu
76,99
77,42
77,54
75,06
75,37
76,47
76,98
76,98
77,81
79,05
79,18
79,62
77,57
76,30
76,60
75,51
75,89
76,63
80,33
79,45
78,60
79,76
77,10
75,78
75,39
77,36
78,05
78,35
79,55
80,62
Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta
89,88
88,80
88,07
86,05
87,01
85,97
86,70
86,23
85,92
87,30
82,29
82,72
84,23
80,88
81,54
80,91
80,75
80,89
84,25
83,63
-
67,21
67,33
63,83
70,95
71,86
67,09
62,72
64,54
62,31
55,25
53,30
51,69
47,76
50,26
48,02
45,19
46,63
55,43
46,18
Jawa Barat
83,22
82,83
81,20
79,10
77,28
78,09
75,67
77,94
78,12
78,16
Jawa Tengah
89,06
89,12
89,18
88,35
88,31
88,45
87,88
87,64
88,56
87,76
DI Yogyakarta
72,61
73,31
72,41
74,09
75,36
78,63
74,50
76,51
76,62
76,45
Jawa Timur
88,08
88,20
88,27
86,66
87,63
88,09
87,05
86,62
88,13
87,28
Banten
82,57
80,82
82,16
76,56
75,41
74,20
72,33
75,96
76,98
76,70
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
79,46
79,03
77,01
73,86
77,11
76,84
71,28
70,25
75,00
71,47
87,33
87,87
85,56
84,45
85,06
84,34
84,46
85,26
85,07
86,78
88,39
88,00
87,14
85,11
85,13
85,36
83,74
86,78
86,01
87,31
87,17
86,51
87,60
84,65
85,08
85,82
84,00
84,85
87,60
88,58
78,55
78,90
78,47
74,55
77,53
76,93
72,68
75,20
77,09
73,22
Universitas Sumatera Utara
Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku
77,93
78,52
77,80
75,18
75,78
74,79
73,78
73,74
75,23
75,69
68,81
69,64
69,10
65,65
64,92
66,05
63,88
64,93
69,93
66,96
74,51
76,58
75,95
74,65
72,11
72,75
73,75
73,21
74,97
75,76
84,96
82,63
82,22
80,53
80,78
81,50
81,34
82,71
85,29
83,04
85,98
84,50
83,52
80,49
82,26
81,11
82,40
82,59
83,10
83,49
85,25
83,44
82,02
82,83
82,30
83,94
82,32
84,56
84,50
85,03
74,22
73,49
70,86
72,48
77,60
75,10
74,44
78,14
80,82
80,23
-
-
88,67
86,20
86,72
86,77
83,99
86,65
88,17
88,62
79,64
81,04
79,79
78,59
79,02
78,96
74,57
79,18
81,35
79,36
84,41
83,70
84,32
81,41
82,13
81,74
82,27
83,84
85,24
85,41
-
-
69,98
65,19
66,06
67,71
63,67
67,23
66,79
72,46
Papua
77,34
73,74
76,80
75,37
76,95
77,35
81,71
80,57
81,99
81,28
Total
82,38
81,95
81,24
79,06
79,25
79,36
78,00
78,77
80,18
79,47
Maluku Utara Papua Barat
Sumber : Badan Pusat Statistik
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa status kepemilikan rumah milik sendiri mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2013 persentase status kepemilikan rumah di indonesia mengalami penurunan sebesar 0,71% dari 80,18% menjadi 79,47%. Salah satu penyebab penurunan kepemilikan rumah sendiri adalah semakin mahalnya harga tanah dan bahan bangunan terutama di kota. Selain itu rutinitas masyarakat kota yang padat dan tidak memiliki banyak waktu menyebabkan masyarakat lebih memilih membeli rumah yang layak siap huni. Pembelian rumah yang ditawarkan oleh perbankan bisa dilakukan secara tunai atau kredit. Seseorang dapat membeli rumah secara tunai apabila memiliki uang yang nilainya sama dengan harga rumah yang ingin dibeli. Namun seiringi dengan semakin sulitnya keadaan ekonomi dan banyaknya tuntutan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh masyarakat maka pembelin rumah secara tunai akan semakin sulit dilakukan , terutama bagi kalangan masyarakat menengah kebawah.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga pembelian rumah secara kredit dikalangan masyarakat pada umumnya menjadi pilihan yang sangat menarik. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 memberikan dampak yang buruk bagi ekonomi termasuk dunia perbankan dan property / perumahan. Permasalahan yang mempengaruhi bisnis perumahan diantaranya adalah menurunnya kemampuan atau daya beli masyarakat dan tingginya tingkat suku bung kredit ditawarkan oleh pihak perbankan. Semakin lemahnya daya beli masyarakat berpenghasilan rendah disebabkan oleh biaya hidup yang semakin meningkat padahal pendapatan riil relatif tetap bahkan cenderung turun, sehingga pemenuhan atas kebutuhan memiliki rumah tinggal sendiri untuk sementara ditunda.Peningkatan suku bunga KPR yang tinggi menyebabkan pengembang menurunkan jumlah produksinya. Keputusan ini diambil terkait dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah berupa peningkatan suku bunga, sebab jika unit rumah terus dibangun dikhawatirkan pemasaran akan terganggu. Sebaliknya, bagi masyarakat berpenghasilan rendah, tingkat suku bunga kredit perumahan yang relatif tinggi dapat mematahkan keinginannya untuk memiliki rumah dengan fasilitas KPR, yakni satu-satunya fasilitas untuk memiliki rumah tinggal sendiri dengan cara mengangsur (Soelaksana, 2000). Pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Indonesia tercatat lebih tinggi dari pertumbuhan kredit agregat. KPR tumbuh sebesar 33,12% pertahun sedangkan pertumbuhan kredit agregat tumbuh sebesar 24,4% pertahun. Pertumbuhan KPR yang tinggi ini menjadi menjadi perhatian bank sentral karena beberapa hal.Terkait properti, pertumbuhan kredit properti ditengarai turut
Universitas Sumatera Utara
memicu kenaikan indeks harga properti. Pada akhir desember 2011, berdasarkan survey REI peningkatan jumlah permintaan berdasarkan tipe yang mayoritas kredit perumahan yang ditujukan untuk kredit pemilikan rumah tinggal tipe 22 sampai dengan tipe 70 sebesar Rp.84 triliun atau sekitar 43%, kemudian diikuti oleh kredit rumah tipe diatas 70 sebesar Rp.61,8 triliun atau memiliki pangsa pasar sekitar 31%. Sedangkan kredit pemilikan apartemen / flat (KPA) serta ruko/rukan secara keseluruhan kurang lebih mencapai 10% dari total kredit perumahan. Dari segi pertumbuhan, secara nominal pertumbuhan tertinggi terdapat pada rumah tipe 22 sampai dengan 70 diikuti tipe > 70 di tempat kedua. Dengan demekian, secara nominal pertumbuhan hunian tipe lebih besar dari 70 ini cukup signifikan (Bank Indonesia, 2011). Umumnya tujuan seseorang memiliki rumah adalah untuk tujuan konsumsi, yang berkaitan dengan daya beli masyarakat dan pendapatan rill masyarakat. Jika pendapatan bertambah maka secara otomatis bagian dari pendapatan yang akan dibelanjakan juga akan bertambah, sehingga daya beli masyarakat atau jumlah barang yang bisa dibeli juga meningkat (Iskandar, 2002). Berdasarkan konsep engel, bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin rendah porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan, dan semakin tinggi pula porsi pendapatan masyarakat yang dibelanjakan untuk kebutuhan nonmakanan. Maka dapat dikatakan bahwa apabila pendapatan masyarakat meningkat, maka porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk kebutuhan nonmakanan khususnya yang digunakan untuk membeli rumah atau membayar cicilan KPR menjadi lebih besar (Soeharjoto, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Suku bunga kredit merupakan salah satu hal penting yang menjadi pertimbangan masyarakat sebelum mereka memutuskan untuk mengajukan kredit pada bank maupun lembaga keuangan non bank. Teori Keynesian menyatakan bahwa suku bunga kredit berhubungan positif dengan jumlah penawaran kredit, dan sebaliknya berhubungan negatif dengan jumlah permintaan kredit, yang artinya peningkatan suku bunga kredit dapat meningkatkan jumlah penawaran kredit, namun sebaliknya peningkatan suku bunga tersebut dapat menurunkan jumlah permintaan kredit. Kenaikan tingkat suku bunga kredit, baik konsumsi maupun investasi akan mengurangi permintaan aggregate untuk setiap tingkat pendapatan, karena disamping menaikkan jumlah cicilan kredit yang harus dibayar, kenaikan tingkat suku bunga juga akan mengurangi keinginan baik untuk konsumsi maupun berinvestasi (Dornbush, 2004). Pada dasarnya keputusan seseorang untuk memiliki rumah dipengaruhi oleh motif konsumsi dan motif investasi. Dengan mengasumsikan bahwa rumah sebagai kebutuhan pokok yang tidak memiliki barang pengganti, maka kemungkinan bagi seorang konsumen yang ingin memiliki rumah baik itu secara tunai maupun kredit hanyalah menyesuaikan jenis rumah yang sesuai dengan kemampuan dengan tingkat pendapatan yang berbeda-beda oleh setiap individu. Menurut Badan Pusat Statistik Sumatera Utara bahwa belum semua penduduk di kota Medan yang memiliki status kepemilikan rumah sendiri masih ada yang terdata menyewa dan mengontrak rumah. Untuk itulah KPR menjadi salah satu alternatif solusi untuk pemenuhan kebutuhan akan rumah. Permintaan
Universitas Sumatera Utara
kredit properti termasuk permintaan yang tinggi di kota Medan termasuk di Kecamatan Helvetia. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Masyarakat Terhadap Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Kecamatan Medan Helvetia ”. 1.2 Rumusan Masalah a. Apakah faktor pendapatan mempengaruhi permintaan masyarakat terhadap KPR di Kecamatan Medan Helvetia? b. Apakah faktor tingkat suku bunga kredit mempengaruhi permintaan masyrakat terhadap KPR di Kecamatan Medan Helvetia? c. Apakah faktor uang muka mempengaruhi permintaan masyarakat terhadap KPR di Kecamatan Medan Helvetia? d. Apakah faktor lokasi rumah mempengaruhi permintaan masyarakat terhadap KPR di Kecamatan Medan Helvetia? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Pendapatan, Suku Bunga Kredit, Uang Muka, dan Lokasi Rumah terhadap permintaan KPR di Kecamatan Medan Helvetia.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1) Diharapkan dapat memberikan informasi kepada instansi / pemerintah yang terkait sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan di bidang perbankan. 2) Bagi Pembaca, sebagai bahan referensi penelitian sejenis dan menambah pengetahuan. 3) Bagi Penulis, untuk menambah pengetahuan serta menyelaraskan ilmu yang di dapat selama perkuliahan dengan kenyataan di lapangan. 4) Bagi Masyarakat dan Akademisi, sebagai salah satu referensi objek penelitian dan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan.
Universitas Sumatera Utara