BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hutan sebagai salah satu sumber daya alam penghasil kayu menjadi modal dasar bagi pertumbuhan industri sektor pengolahan kayu. Penggunaan kayu sebagai bahan baku industri terus meningkat jumlahnya, akan tetapi rata-rata pertumbuhan industri kayu dan hasil hutan dari tahun 2004-2007 menunjukkan angka negatif. Pada tahun 2010 industri perkayuan mencapai minus 3,47% serta tahun 2012 mengalami penurunan kembali mencapai 2,78%. Salah satu alasannya yaitu pasokan bahan baku kayu yang terbatas jumlahnya. Kondisi tersebut semakin parah dengan adanya konversi hutan alam, kebakaran hutan, praktek pemanenan yang tidak efisien dan pengembangan infrastruktur yang diikuti oleh perambahan hutan. Oleh karena itu, penggunaan kayu dituntut untuk lebih efisien dan bijaksana dengan memanfaatkan kayu secara menyeluruh termasuk limbahnya (Kementerian Perindustrian, 2013). Peningkatan kebutuhan akan kayu yang semakin banyak membuat industri perkayuan di Indonesia dihadapkan pada tantangan, khususnya untuk menyediakan bahan baku siap pakai, baik untuk pemenuhan pasar domestik maupun mancanegara, sehingga industri pengolahan kayu perlu mencari berbagai alternatif, baik produk maupun bahan bakunya. Ketidakseimbangan antara supply dan demand yang menyebabkan defisit produksi kayu. Defisit produksi kayu semakin diperparah dengan kegiatan pengolahan kayu di Indonesia yang masih
1
2
menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Industri penggergajian kayu menghasilkan limbah yang meliputi serbuk gergaji 10,6%, sebetan 25,9%, dan potongan 14,3%, dengan total limbah sebesar 50,8% dari jumlah bahan baku yang digunakan (Purwanto et al., 1994 dalam Setyawati, 2003). Beragam jenis limbah kayu yang terdapat di Indonesia masih belum dapat dimanfaatkan secara maksimal salah satunya limbah kayu mahoni dari industri penggergajian. Mahoni banyak digunakan dalam industri perkayuan karena kayu mahoni banyak diminati konsumen. Berdasarkan data potensi mahoni di Jawa dan di luar Jawa mencapai 45.259.541 batang dan sebanyak 9.479.192 batang yang siap tebang, atau setara dengan 2,4 juta m3 (Sukadaryati, 2006). Berdasarkan data Departemen Kehutanan Tahun 2008, tercatat produksi kayu mahoni di seluruh kabupaten di Yogyakarta mencapai 15.412,58 m3. Jumlah tersebut sangat potensial untuk dimanfaatkan menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Salah satu pemanfaatan limbah kayu tersebut adalah dengan pembuatan produk papan partikel. Menurut Prayitno (1995), cara pengolahan limbah kayu diharapkan mampu menaikkan rendemen pengolahan kayu menjadi kayu olahan seperti papan tiruan. Papan partikel merupakan limbah hasil pengempaan panas campuran partikel kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya dengan perekat organik atau bahan lainnya (Sutigno, 1994). Papan partikel mempunyai beberapa kelebihan antara lain papan partikel bebas cacat seperti mata kayu, pecah, maupun retak, ukuran dan kerapatan papan partikel dapat disesuaikan dengan kebutuhan, tebal dan kerapatan papan partikel seragam serta mudah dikerjakan, mempunyai sifat isotropis, serta sifat dan kualitasnya dapat diatur. Selain itu juga pengaturan dari
3
papan patikel dapat meliputi jenis kayu, bentuk partikel, kerapatan papan, profil kerapatan papan, jenis dan kadar serta distribusi perekat, kondisi pengempaan (suhu, tekanan, dan waktu), kadar air adonan, konstruksi papan, keseragaman partikel dan kadar air partikel (Maloney, 1993). Perkembangan ekspor papan partikel Indonesia berdasarkan data statistik kehutanan pada tahun 2010 mencapai 9.349 ton sedangkan volume impor papan partikel lebih besar jumlahnya mencapai 213.442 ton. Kondisi ini diduga akibat dari permintaan masyarakat terhadap papan partikel yang terus meningkat. Akan tetapi, produk papan partikel dalam negeri masih belum terjangkau oleh daya beli masyarakat sehingga lebih dimungkinkan untuk melakukan impor. Oleh karena itu, diperlukan inovasi terhadap produk papan partikel sehingga dapat dijangkau oleh daya beli masyarakat (Kementerian Kehutanan, 2011). Selain jenis bahan kayu yang digunakan, kualitas papan partikel juga ditentukan oleh jenis perekat yang digunakan. Pembuatan papan partikel dalam skala industri biasanya menggunakan perekat sintetis seperti urea formaldehida, melamin formaldehida, dan phenol formaldehida. Namun yang paling banyak digunakan adalah urea formaldehida daripada perekat lainnya (Maloney, 1975). Perekat sintetis mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan, bahan perekat tertentu juga memiliki harga yang cukup mahal dan sulit untuk diperoleh, sehingga penggunaannya kurang efisien. Kebutuhan bahan perekat dari industri perkayuan di Indonesia lebih dari 1,4 juta ton per tahunnya, atau bernilai 9 trilyun rupiah per tahun (Anonim, 1995, dalam Subyakto dan Prasetya, 2003). Harga minyak dunia sangat berfluktuatif yang secara langsung akan
4
berpengaruh terhadap harga perekat sintetis. Hal ini dikarenakan bahan dasar sebagai perekat, terutama yang berbasis formaldehida adalah minyak bumi yang merupakan sumber daya tak terbaharukan dimana suatu saat akan habis. Pencarian bahan alternatif lain sebagai perekat komposit kayu lebih terbaharukan dan ramah lingkungan akan menjadi tantangan tersendiri bagi industri komposit kayu, seperti yang saat ini banyak dibicarakan, yaitu perekat berbasis kitosan. Kitosan merupakan produk terdeasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin dapat diperoleh dari kerangka hewan invertebrata kelompok Arthopoda sp, Molusca sp, Coelenterata sp, Annelida sp, Nematoda sp, Crustaceae sp dan beberapa kelompok jamur. Sumber utama kitin dewasa ini adalah cangkang udang, lobster, terutama rajungan dan kepiting dari kelompok Crustaceae sp. Ketersediaan cangkang kepiting sebagai sumber kitosan cukup banyak dan tersebar di Indonesia. Di Indonesia sendiri, limbah cangkang kepiting sisa konsumsi masyarakat maupun limbah dari sentra-sentra produksi kepiting sangat besar dan belum dimanfaatkan secara optimal, bahkan umumnya hanya dibuang dan justru menjadi limbah yang bermasalah. Selama ini, pemanfaatan kepiting masih terbatas pada keperluan konsumsi semata. Padahal, kulit atau cangkangnya memiliki nilai ekonomi tinggi apabila dimanfaatkan dengan baik, karena cangkang kepiting dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk produksi chitin, chitosan, dan karatenoid yang dimanfaatkan berbagai industri obat-obatan, kosmetik, pangan, industri, dan sebagainya terutama dalam hal ini adalah sebagai perekat alami papan partikel (Anonim, 2009). Penggunaan kitosan sebagai bahan perekat papan partikel pernah
5
dilakukan oleh Kenji Umemura et al. (2009) menggunakan bahan baku partikel ampas tebu, penelitian tersebut menggunakan konsentrasi 2% hingga 10%. Penambahan 2% hingga 4% menunjukkan nilai modulus elastisitas terbaik dan konsentrasi 4% menunjukkan nilai kekuatan rekat internal terbaik . Dari permasalahan yang disebutkan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pembuatan papan partikel limbah kayu mahoni dengan menggunakan perekat alami berbahan dasar limbah cangkang kepiting. Limbah cangkang kepiting sebagai perekat alami yang digunakan dalam penelitian ini bukan berupa kitosan murni, melainkan zat kitin mengingat proses deasetilasi zat kitin menjadi kitosan membutuhkan proses atau waktu dan biaya yang tidak sedikit, sehingga perekat yang digunakan berupa cangkang kepiting yang telah dihaluskan (serbuk). Dalam penelitian ini akan dibuat papan partikel dengan variasi pada lamanya waktu pengempaan dan konsentrasi bahan perekat berupa serbuk cangkang kepiting untuk mengetahui pengaruhnya terhadap sifat papan partikel yang dibuat. Variasi lama pengempaan yang digunakan adalah 10 menit dan 15 menit dengan tahapan breathing pada menit ke-5, sedangkan variasi konsentrasi bahan perekat yang digunakan adalah konsentrasi 10%, 20% dan 30%. Papan partikel yang telah jadi selanjutnya diuji dan dianalisa sifat fisika dan mekanikanya. Hal tersebut dilakukan agar diketahui variasi yang optimal dari interaksi kedua faktor terhadap sifat papan partikel yang dihasilkan. Penelitian dengan memanfaatkan limbah kayu mahoni sebagai bahan baku papan partikel pernah dilakukan oleh Ngadianto, A. (2012) menggunakan perekat urea formaldehida dengan konsentrasi perekat 7,5% dan 15%. Penelitian tersebut menggunakan perlakuan pengawetan dengan asap cair
6
pada bahan bakunya dengan berbagai konsentrasi, yaitu 0%; 2,5% dan 5%, Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik papan partikel mahoni terbaik diperoleh pada interaksi perlakuan pengawetan dengan asap cair pada konsentrasi 5% dan jumlah perekat urea formaldehida 15% dimana semua parameter yang diuji telah memenuhi standar JIS A 5908-1994 (tipe-8).
1.2 Tujuan Penelitian a. Mengetahui pengaruh faktor lama pengempaan terhadap sifat fisika dan mekanika papan partikel limbah kayu mahoni. b. Mengetahui pengaruh faktor konsentrasi perekat serbuk cangkang kepiting terhadap sifat fisika dan mekanika papan partikel limbah kayu mahoni. c. Mengetahui interaksi antara lama pengempaan dan konsentrasi perekat serbuk cangkang kepiting terhadap sifat fisika dan mekanika papan partikel limbah kayu mahoni. d. Mengetahui interaksi kombinasi terbaik dari faktor lama pengempaan dengan faktor konsentrasi perekat serbuk cangkang kepiting.
1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai alternatif penggunaan limbah perkayuan, dalam hal ini limbah serbuk mahoni yang belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai bahan baku utama pembuatan papan partikel serta pemanfaatan limbah cangkang kepiting sebagai pengganti perekat sintetis yang bebas dari emisi formaldehida.