OPTIMALISASI PENERAPAN SISTEM HUKUMAN MINIMUM KHUSUS BAGI PRAJURIT PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA GUNA MEMBERIKAN EFEK JERA DALAM RANGKA TERWUJUDNYA ORGANISASI TNI YANG BEBAS NARKOBA
BAB I PENDAHULUAN
1.
Umum. a.
Tugas pokok yang di emban TNI sebagaimana dirumuskan dalam
Undang Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang Undang RI Indonesia
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok tersebut dilakukan dengan melaksanakan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Untuk melaksanakan
tugas pokoknya TNI membutuhkan Alutsista dan sumber daya manusia yang profesional dalam wadah organisasi TNI yang solid dan senantiasa menjaga kesiap siagaan dalam menjalankan tugas. Agar selalu siap dalam melaksanakan tugasnya prajurit TNI harus mempunyai tingkat disiplin yang tinggi dan profesional di bidangnya, untuk itu perlu di didukung oleh perangkat hukum yang melindungi kepentingan militer guna menjaga tetap tegaknya sendi-sendi kehidupan prajurit.
b.
Salah satu ancaman bagi organisasi TNI saat ini adalah dampak dari
Perkembangan tindak pidana Narkotika pada lingkungan strategis yang semakin meningkat dan berpengaruh terhadap generasi muda termasuk prajurit TNI. Berdasarkan data perkara yang di peroleh menunjukkan bahwa tindak pidana narkotika di lingkungan TNI sejak berlakunya Undang-undang No. 35 tahun 2009
tentang Narkotika semakin meningkat,
data Dinas
Penerangan Umum Mabes TNI menyebutkan bahwa anggota TNI yang RAHASIA
2
terlibat narkoba tahun 2010 sebanyak 150 kasus, tahun 2011 menjadi 165 kasus atau naik 10%.1
Sehubungan dengan
hal ini perlu di lakukan
penegakan Hukum yang tegas dan berkeadilan dengan menerapkan sanksi pidana berefek jera untuk menjaga tingkat disiplin prajurit agar senantiasa berprilaku
sesuai
dengan
tata
kehidupan
keprajuritan.
Untuk
dapat
menjatuhkan sanksi pidana kepada seorang prajurit TNI yang melanggar aturan hukum diperlukan sebuah institusi atau lembaga yang memiliki wewenang untuk itu. Di Indonesia institusi atau lembaga itu adalah Pengadilan Militer yang dalam pelaksanaan tugasnya dilakukan oleh hakim. “Dalam melaksanakan tugasnya, hakim sebagai kekuasaan yang merdeka harus bebas dari segala campur tangan pihak manapun, sehingga hakim dapat dengan tenang memberikan keputusan yang seadil-adilnya”.2 Dengan kebebasan hakim inilah maka keadilan diharapkan dapat tercipta sesuai dengan jiwa kemanusiaan serta keadilan sosial dalam masyarakat.
c.
Demi keselamatan bangsa dan negara serta kepentingan pertahanan
nasional telah diberlakukan UU No. 35 Tahun 2009 tentang tindak Pidana Narkotika yang mengancam pelakunya dengan Hukuman minimum khusus, namun dalam penerapannya terdapat perbedaan pendapat diantara Hakim yang memutus perkara yang disebabkan perbedaan persepsi tentang penerapan sistem Hukuman minimum khusus, dalam tataran aplikasi, ternyata ada beberapa hakim yang menjatuhkan pidana penjara di bawah batas ancaman pidana minimum khusus, dengan argumentasi hukumnya masingmasing. sehingga harus di temukan formulasi yang jelas tentang bagai mana menerapkan sistem Hukuman minimum khusus agar memenuhi prinsip-prinsip keadilan, kepastian Hukum dan kemanfaatan. Keresahan akan muncul dalam masyarakat apabila hakim dalam putusannya menetapkan pidana yang berbeda dalam sebuah kasus yang sama, perbedaan putusan inilah yang sering disebut sebagai disparitas pidana. “Menurut pendapat Cheang seperti yang dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same ofference) atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan 1 2
(offerences
comparable
seriosness)
http://kelanakota.suarasurabaya.net/?id di akses pada tanggal 4 maret 2012. Wahyu Afandi. Hukum Pengakan Hukum. Alumni Bandung. 1981. Hal: 4.
tanpa
dasar
3
pembenaran yang jelas”.3
Penerapan sistem Hukuman minimum khusus
akan optimal apabila sistem penegakan hukum berjalan dengan baik dan adanya kesamaan persepsi dalam menerapkan Hukum. Oleh karenanya di perlukan kebijakan, strategi dan upaya-upaya mengoptimalkaan sistem penegakan Hukum di lingkungan TNI guna memberikan efek jera dalam rangka mewujudkan organisasi TNI yang bebas Narkoba.
2.
Maksud dan Tujuan.
a.
Maksud.
Maksud dari penyusunan naskah ini adalah untuk
memberikan gambaran tentang pentingnya penerapan sistem Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek jera dalam rangka terwujudnya organisasi TNI yang bebas Narkoba.
b.
Tujuan.
Tujuan penulisan naskah ini adalah untuk mengetahui
secara mendalam tentang penerapan sistem Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika, kebijakan, strategi dan upaya-upaya mengoptimalkan sistem penegakan Hukum di lingkungan TNI untuk memberikan efek jera dalam rangka mewujudkan organisasi TNI yang bebas Narkoba. 3.
Ruang Lingkup dan Sistematika.
a.
Ruang Lingkup.
Tulisan
dalam
naskah
ini
dibatasi
pada
pembahasan mengenai kebijakan, strategi, dan upaya untuk optimalisasi sistem penegakan Hukum dan penerapan sistem Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek jera dalam rangka mewujudkan organisasi TNI yang bebas Narkoba.
b.
Sistematika.
Adapun sistematika dalam penulisan naskah ini
adalahsebagai berikut :
3
Muladi dan Barda Nawai. Teori-teori Pidana. Alumni. Bandung. 1998. Hal: 53.
4
1)
Bab I .Pendahuluan. Pada bab ini dijelaskan tentang latar
belakang permasalahan, maksud dan tujuan, ruang lingkup, metoda dan pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah, sistimatika dan pengertian.
2)
Bab II. Landasan Pemikiran.
Bab ini berisikan uraian tentang
landasan yang mengantar untuk memasuki permasalahan penerapan sistem Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek jera dari sudut pandang instrumental input yaitu paradigma nasional sebagai kekuatan inti, peraturan perundangundangan sebagai landasan operasional, landasan teori dan tinjauan pustaka.
3)
Bab III. Kondisi penerapan sistem Hukuman minimum khusus
bagi pelaku tindak pidana narkotika Saat Ini, dan Permasalahan yang Dihadapi. Pada bab ini diuraikan tentang penerapan sistem Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika dan implikasinya terhadap organisasi TNI yang bebas Narkoba.
Disamping itu dalam
bab ini juga dijelaskan tentang kondisi permasalahan yang dihadapi penerapan sistem Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika saat ini.
4)
Bab IV. Pengaruh Perkembangan Lingkungan Strategis.
Bab ini
menjelaskan dan menganalisis mengenai pengaruh-pengaruh langsung maupun tidak langsung perkembangan lingkungan global, regional dan nasional terhadap tindak pidana narkotika yang di lakukan prajurit TNI, yang diuraikan dari yang umum ke khusus.
Setelah diperoleh
kesimpulan dari masing-masing perkembangan lingkungan strategis selanjutnya ditelaah dan dirumuskan, sehingga diperoleh unsur-unsur peluang dan kendala.
5)
Bab V. Kondisi penerapan sistem Hukuman minimum khusus
bagi pelaku tindak pidana narkotika yang Diharapkan.
Dalam bab ini
dijelaskan tentang kondisi ideal penerapan sistem Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika
guna memberikan efek
5
jera, kontribusi kondisi ideal tersebut terhadap organisasi TNI yang bebas Narkoba serta indikator keberhasilan kondisi yang diharapkan.
6)
Bab VI. Konsepsi
optimalisasi
penerapan
sistem
Hukuman
minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika. Bab ini berisi suatu diskusi dan analisis yang menggambarkan pengaruh, korelasi, saling ketergantungan dari aspek-aspek yang dibahas bab-bab sebelumnya, sehingga sampai kepada sebuah rumusan perlunya diambil suatu kebijaksanaan, strategi dan upaya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. 7)
Bab VII. Penutup.
Penutup
merupakan
kesimpulan
yang
merupakan jawaban dari masalah-masalah yang disampaikan dalam bab-bab sebelumnya, dan saran yang memuat harapan dan reaksi tindak lanjut dari pihak berwenang yang merupakan tugas dan tanggung jawabnya. 4.
Metode dan Pendekatan. a.
Metode.
Pembahasan permasalahan dalam naskah ini bersifat
kualitatif dan menggunakan metode deskriptif-analitis berbasiskan pada penelitian yang dilakukan pada beragam sumber pustaka yakni buku-buku, makalah-makalah ilmiah nasional dan internasional dalam bentuk jurnal, prosiding, dan majalah serta sumber-sumber dari situs-situs di Internet. b.
Pendekatan.
Pendekatan kesisteman yang merupakan keterpaduan
dari unsur-unsur yang masing-masing saling berhubungan, saling terkait, saling mempengaruhi dan saling ketergantungan menuju tujuan yang diharapkan sehingga diperoleh penjelasan yang lebih lengkap guna mendapatkan pemecahan yang terbaik. 5.
Pengertian.
Untuk
menyamakan
persepsi
dalam
pembahasan
permasalahan yang disampaikan dalam naskah ini, disampaikan pengertianpengertian yang telah dirangkum pada Lampiran ( terlampir )
6
BAB II LANDASAN PEMIKIRAN
6.
Umum.
TNI sebagai institusi yang mengemban tugas Pertahanan
negara mempunyai kewajiban membentengi dirinya untuk menangkal setiap bentuk ancaman yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan negara termasuk bahaya yang di akibatkan oleh tindak pidana narkotika yang di lakukan oleh anggota TNI.
Peran penegakan Hukum sangatlah penting guna menghadapi maraknya
peredaran narkotika saat ini, salah satu upaya untuk menegakkan Hukum adalah dengan menerapkan sanksi pidana yang memberikan efek jera terhadap pelaku dan efek Deterrence terhadap masyarakat Militer dan masyarakat pada umumnya. Dengan penerapan sistem Hukuman minimum khusus tujuan pemidanaan akan tercapai dan kepentingan Militer terlindungi. Untuk itu diperlukan dasar pemikiran yang relevan dan kuat. 7.
Paradigma Nasional. a.
Pancasila sebagai Landasan Idiil. Pancasila adalah falsafah dan
pandangan hidup Bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai dasar dan cita-cita luhur serta tujuan yang hendak dicapai bangsa Indonesia. Pancasila memberikan nilai-nilai keselarasan, keseimbangan dan keserasian, persatuan dan kesatuan, kekeluargaan dan kebersamaan yang senantiasa menjadi bagian dari setiap manusia Indonesia dalam hubungan dengan antar sesamanya, dengan masyarakat, dengan alam, serta dalam hubungan dengan Tuhannya. Nilai persatuan dan kesatuan menghendaki kebhinekaan yang melekat pada bangsa Indonesia untuk dijadikan sebagai kekuatan guna mewujudkan tujuan nasional yang telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI (UUD) Tahun 1945. Hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak terlepas dari sumbernya yaitu pancasila. Demikian juga dengan perundangundangan di bidang narkotika merupakan manifestasi nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. b.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai
Landasan Konstitusionil. UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis NKRI yang
7
memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara dan mengamanatkan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pasal 30 ayat 2 dan ayat 3 menyebutkan bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia (Polri), sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung, dan TNI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.4 Untuk mencapai cita-cita tersebut dan menjaga kelangsungan pembangunan nasional dalam suasana aman, tenteram, tertib dan dinamis dalam lingkungan nasional maupun internasional, perlu di tingkatkan pengendalian terhadap halhal yang dapat mengganggu kestabilan nasional antara lain terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. c.
Wawasan
Nusantara
sebagai
Landasan
Visional.
Wawasan
Nusantara merupakan wawasan nasional yang pada hakikatnya merupakan pandangan geopolitik dan geostrategi bangsa Indonesia yang memanfaatkan dan mendaya gunakan wilayah nasional beserta segenap isinya, agar dapat diatur sebaik baiknya guna menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara salah satunya ditentukan oleh kestabilan bidang politik, ekonomi, sosial, budaya. Dalam rangka menjamin kestabilan gatra-gatra tersebut dalam kehidupan berbangsa
dan
bernegara diperlukan situasi
dan
kondisi
pertahanan keamanan yang kondusif tanpa ada gangguan berarti dari pihak manapun, dari dalam maupun luar wilayah nasional secara vertikal maupun horisontal. Salah satu yang dapat menggagu stabilitas nasional adalah dampak negatif penyalah gunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengancam keselamatan bangsa dan negara. TNI sebagai alat pertahanan negara mempunyai kewajiaban untuk ikut berperan dalam menanggulanginya. d.
Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konsepsional. Ketahanan
Nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa Indonesia yang memiliki kemampuan, daya tahan, dan daya tangkal dalam menghadapi berbagai
4 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Kedua, Pasal 30, ayat (2) dan ayat (3).
8
bentuk ancaman. Salah satu komponen bangsa yang merupakan ujung tombak dalam melaksanakan pertahanan negara adalah TNI yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai dalam mengantisipasi ancaman yang dihadapi, untuk menjamin integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya.5 Untuk mewujudkan ketahanan nasional TNI sebagai alat pertahanan negara harus mampu mengatasi setiap bentuk ancaman. Salah satu bentuk ancaman yang berdimensi ketahanan nasional adalah penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika. 8.
Perundangan-Undangan sebagai Landasan Operasional. Perundang-
undangan sebagai landasan operasional yang digunakan dalam pembahasan naskah ini adalah sebagai berikut: a.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
Undang-undang Peradilan Militer Nomor 31 Tahun 1997 berisikan tentang, ketentuan-ketentuan umum, susunan dan kekuasaan pengadilan, hukum acara Pidana Militer dan hukum acara Tata Usaha Militer, pada pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa “ Pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di
lingkungan Peradilan Militer
yang
meliputi
Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer Pertempuran. Secara teknis undang-undang ini dijadikan dasar proses beracara perkara pidana yang menjadi kewenangan Peradilan Militer. Demikian juga terhadap prajurit pelaku tindak pidana narkotika, perkaranya diselesaikan melalui proses berdasarkan hukum acara Peradilan Militer sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ini. b.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang
Pertahanan Negara. Undang-Undang Republik Indonesia (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara pada Pasal 10 ayat (1) yang menyebutkan TNI berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan ayat (3) yang melaksanakan
kebijakan
pertahanan
menyebutkan TNI bertugas
negara
untuk
mempertahankan
5 Seskoa, Naskah Sekolah Ketahanan Nasional Tahun Pelajaran 2012 ,Seskoau, Lembang , 2012, hal. 10.
9
kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa, melaksanakan OMSP, dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Mengingat tugas yang di amanahkan oleh undang-undang kepada TNI maka sudah sepatutnya TNI selalu melakukan upaya penangkalan setiap bentuk ancaman yang dapat melemahkan ketahanan nasioanal termasuk kejahatan narkotika. c.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004
Tentang
Kekuasaan
Kehakiman. Perubahan UUD 1945 yang membawa perubahan mendasar mengenai
penyelengaraan
kekuasaan
dilakukan
perubahan secara
kehakiman,
komprehensif
membuat
mengenai
perlunya
Undang-Undang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana yang Sudah dirubah menjadi undang undang No.48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Konsekuensi dari UU Kekuasaan Kehakiman adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, pembinaan badan-badan peradilan berada di bawah eksekutif (Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Agama, Departemen Keuangan) dan TNI, namun saat ini seluruh badan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung. Organisasi, administrasi, dan finansial pada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama, terhitung sejak tanggal 1 September 2004 dialihkan dari TNI ke Mahkamah Agung. Akibat peralihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer beralih menjadi personel organik Mahkamah Agung, meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI. d.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004
Tentang Tentara Nasional Indonesia. UU Nomor 34/2004 tentang TNI pada pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan
negara,
mempertahankan
keutuhan
wilayah
NKRI
yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan
10
seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara, dan ayat (2) sub ayat a dan b bahwa dalam melaksanakan tugas pokoknya, TNI menyelenggarakan dua macam operasi militer yakni OMP dan OMSP. Penyelenggaraan kedua macam operasi tersebut berjalan dengan optimal bila di dukung dengan Alutsista yang memadai dan SDM yang Profesional. Untuk menjadikan prajurit profesional maka institusi TNI harus melakukan penegakan hukum guna menjaga sendisendi kehidupan prajurit agar senantiasa mempunyai tingkat disiplin yang tinggi dan selalu siap dalam melaksanakan tugas. Kejahatan narkotika di lingkungan TNI berdampak terhadap tingkat kedisiplinan dan moral prajurit serta kelangsungan hidup organisasi, oleh karenanya terhadap prajurit pelaku kejahatan narkotika perlu di terapkan hukuman yang berefek jera. e.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Saat ini
Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009 huruf e dikemukakan: bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut. Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan 153 Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, bahwa dengan berlakunya Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, maka UndangUndangNomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Undangundang ini memuat ketentuan pidana yang mengancam pelakunya dengan sanksi pidana minimum khusus dengan tujuan dapat meberikan efek jera.
11
9.
Landasan
Teori.
Landasan-landasan
teoritis
yang
digunakan
dalam
pembahasan permasalahan dalam naskah ini adalah sebagai berikut:
a.
Teori Tentang Penghapusan Tindak Pidana Dalam Masyarakat.
Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, di situ ada tindak pidana. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat dikurangi atau diminimalisir intensitasnya. Menurut Mardjono Reksodiputro, untuk menjelaskan bahwa tindak pidana sama sekali tidak dapat dihapus dalam masyarakat,
melainkan
hanya
dapat digunakan istilah “untuk
menghapuskan tindak pidana sampai pada batas-batas toleransi”.6 Hal ini disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara sempurna. Disamping itu, manusia juga cenderung memiliki kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan tidak mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul berbagai pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak pidana juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada ketertiban sosial. b.
Teori Tujuan Pemidanaan. Banyak teori yang menjelaskan masalah
tujuan pemidanaan diantaranya adalah sebagai berikut : 1)
Herbert L Packer mengemukakan ada 4 teori yang merupakan
tujuan pemidanaan7, yaitu :
a)
Untuk Pembalasan (Teori Retributif atau Teori Absolut);
Ada dua versi utama dari teori retributif yaitu pembalasan dendam dan penebusan dosa. Pembalasan dendam merupakan suatu pembenaran yang berakar pada pengalaman manusia bahwa setiap serangan yang dilakukan seseorang akan
6 7
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hal. 23. Ibid, hal 25.
12
menimbulkan reaksi dari pihak yang diserang. Misalnya penjatuhan
pidana
mati
terhadap
pelaku
pembunuhan.
Sedangkan penebusan dosa maksudnya adalah bahwa hanya dengan penderitaan sebagai akibat pemidanaan maka penjahat dapat menebus dosanya sehingga pemidanaan yang memakan waktu lama dianggap sebagai hal yang wajar.
b)
Untuk
Pencegahan
(Teori
Pencegahan/Deterrence)
Terdapat dua versi tentang pencegahan yaitu pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum didasarkan pada asumsi bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana secara individu akan menjadi contoh bagi individu yang lain sehingga mereka
tidak
akan
berbuat
tindak
pidana
yang
sama.
Pencegahan umum ini menggunakan pengaruh pemidanaan untuk ditujukan kepada masyarakat umum, artinya pencegahan tindak pidana ingin dicapai melalui pemidanaan dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana melalui pembentukan Undang-undang yang
bersifat
represif
terhadap
tindak
pidana
tertentu.
Sedangkan pencegahan khusus didasarkan pada asumsi bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana akan menimbulkan efek jera kepada pelaku untuk tidak mengulangi tindak pidananya di masa yang akan datang. Pencegahan khusus ini mengarahkan secara langsung pengaruh pemidanaan kepada pribadi terpidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi dengan menghukum terpidana
selama-lamanya
di
penjara.
Sebagai
contoh,
penjatuhan pidana yang berat kepada pelakupelaku tindak pidana di bidang narkotika.
c)
Untuk
Membuat
Pelaku
Menjadi
Tidak
Berdaya
(Incapacitation); Tujuan pemidanaan menurut teori ini hampir sama dengan Teori pencegahan yaitu agar seorang terpidana tidak mengulangi tindak pidananya maka terpidana harus dipenjara
selama-lamanya
sehingga
ia
tidak
memiliki
13
kesempatan dan akhirnya menjadi tidak berdaya untuk berbuat tindak pidana lagi.
d)
Untuk
Pemasyarakatan
atau
Resosialisasi
(Rehabilitation); Tujuan dari pemidanaan adalah untuk membina pelaku tindak pidana sehingga ia dapat sadar dan kembali ke masyarakat.
2)
Menurut Muladi dalam bukunya “ Lembaga Pidana Bersyarat “
yang menyatakan bahwa “Meskipun arti, sifat, bentuk dan tujuannya bervariasi namun kehadiran pidana sebagai sarana pemberantasan tindak pidana tetap sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena pidana dianggap sebagai satu-satunya jawaban final dalam pemberantasan tindak pidana yang masih dianut hingga sekarang. Namun demikian, tidak berarti bahwa dengan pidana semua permasalahan akan berakhir. Salah satu masalah pokok dalam pidana yang sering menjadi perdebatan para ahli hukum adalah masalah pidana, disamping masalah pokok yang lain yaitu masalah tindak pidana dan masalah kesalahan. Ketiga masalah pokok tersebut masing-masing mempunyai persoalannya sendiri, dimana satu sama lain berkaitan erat dengan persoalan dasar manusia yakni hak-hak asasi manusia”.8 Selanjutnya Muladi menjelaskan bahwa masalah pidana akan menimbulkan persoalan-persoalan tentang pemberian pidana serta tentang masalah pelaksanaan
pidana.
Sementara
masalah
tindak
pidana
akan
menyangkut persoalan kriminalisasi dan dekriminilisasi dengan segala syarat-syarat yang terkandung di dalamnya. Sedangkan masalah kesalahan akan menyangkut berbagai persoalan yang sangat rumit. Misalnya saja tentang subyek hukum pidana berupa korporasi dan masalah strict liability (suatu bentuk pertanggungjawaban yang tidak memerlukan
adanya
kesalahan)
yang sampai
saat
ini
belum
terpecahkan dalam hubungannya dengan penyusunan Rancangan KUHP baru.9
8 9
Ibid.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985, hal. 16.
14
c.
Teori kebijakan Hukum Pidana (Penal policy). Teori-teori yang
menjelaskan Kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah sebagai berikut :
1)
Menurut Solly Lubis dalam bukunya “Serba Serbi Politik dan
Hukum Pidana” bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.10
2)
Menurut Mahfud M.D. dalam bukunya “ Politik Hukum Indonesia”
bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.11
Mahfud. M.D. juga
memberikan defenisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara
melihat konfigurasi
kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam
perumusan
materinya
(pasal-pasal),
maupun
dalam
penegakannya.12 d.
Teori Efektivitas Hukum. efektifitas hukum adalah kesesuaian antara
apa yang diatur dalam hukum dengan pelaksanaannya. Bisa juga karena kepatuhan masyarakat kepada hukum karena adanya unsur memaksa dari hukum. Hukum yang dibuat oleh otoritas berwenang adakalanya bukan abstraksi nilai dalam masayarakat. Jika demikian, maka terjadilah hukum 10
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hal. 19. 11 Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni,1989, hal. 159. 12 Mahfud M.D,Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES,1998, hal. 1-2.
15
tidak efektif, tidak bisa dijalankan (unworkable), atau bahkan –atas hal tertentu terbit Pembangkangan Sipil
13
. Pada hakekatnya persoalan efektivitas Hukum
seperti yang diungkapkan DR. Syamsuddin Pasamai, SH., MH., dalam bukunya Sosiologi dan Sosiologi Hukum, persoalan efektivitas Hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan persoalan-persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan Hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan Hukum. Artinya Hukum berlaku secara filosofis, Yuridis dan sosiologis. Untuk membahas masalah ketidak efektifvan Hukum ada baiknya juga memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu penerapan Hukum. Hal ini sejalan dengan apa yang di ungkapkan oleh Ishaq, SH., MHum., dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Hukum yang menyebutkan dalam proses penegakan Hukum, ada faktor-faktor yang mempengaruhi dan mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatif terletak pada isi faktor tersebut. Menurut Soerjono Soekamto faktor tersebut ada lima, yaitu :
10.
1)
Hukum itu sendiri.
2)
Penegak Hukum.
3)
Sarana dan Fasilitas.
4)
Masyarakat.
5)
Kebudayaan14.
Tinjauan Kepustaka. Tinjauan kepustakaan dari naskah ini adalah sebagai
berikut :
a.
Buku “ Politik Hukum Dalam Undang-undang Narkotika (UU Nomor 35
Tahun 2009)” pengarang DR. H. Siswanto S. S.H., MH., M.Kn. dalam buku tersebut membahas tentang penerapan Undang-undang Narkotika dengan pendekatan teori dan praktik. Buku ini mengilhami penulis untuk melakukan penulisan mengenai penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika yang telah diterapkan di lingkungan Peradilan Militer.
13
http://www.advokatmuhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas-penerapanhukum.html. diakses tanggal 2 Pebruari 2012. 14 http://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html. diakses tanggal 2 Pebruari 2012.
16
b.
Buku “
Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence)” pengarang Prof. DR. Achmad Ali, S.H., M.H. buku ini merupakan buku yang banyak di baca oleh kalangan akademisi dan praktisi hukum karena buku ini kaya dengan pemikiran-pemikiran mengenai teori hukum khususnya teori hukum yang berkaitan dengan dunia peradilan. Ada beberapa teori yang dibahas dalam buku ini yang penulis ambil sebagai bahan acuan dalam menerapkan sistem hukuman minimum khusus pada tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI, teori tersebut yaitu: Teori Tentang Penghapusan Tindak Pidana Dalam Masyarakat, Teori Tujuan Pemidanaan, Teori kebijakan Hukum Pidana (Penal policy) dan Teori Efektivitas Hukum. Teori-teori ini sangat relevan dengan pembahasan naskah ini sehingga memberikan dasar yang kuat dilihat dari aspek hukum.
c.
Buku “Cetak Biru (Blue Print) Pembaruan Peradilan Indonesia 2010-
2035”. Cetak Biru ini merupakan penyempurnaan dari Cetak Biru yang diterbitkan tahun 2003, guna lebih mempertajam arah dan mencapai
langkah
cita-cita pembaruan badan peradilan secara utuh. Berdasarkan
sebuah proses yang partisipatif bersama para perwakilan staf
dari
dalam
Mahkamah
Agung
hakim
dan
dan pengadilan dari 4 (empat) lingkungan
peradilan di bawahnya, serta pemangku kepentingan seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, para pakar dari berbagai universitas, masyarakat madani (civil society organization)
dan lain-lain, Mahkamah Agung berhasil menyepakati visi
serta misi yang akan dicapai dalam 25 (dua puluh lima) tahun mendatang. “Mewujudkan Badan Peradilan yang Agung” adalah visi Mahkamah Agung yang akan menjadi arah
dan
tujuan
bagi
setiap
pengembangan
program dan kegiatan yang akan dilakukan di area-area fungsi teknis dan fungsi pendukung serta fungsi akuntabilitas. Cetak biru ini menjadi pedoman penulis dalam menentukan kebijakan, starategi dan upaya yang terkait dengan penulisan naskah ini. d.
Buku “Pedoman Teknis Administrasi dan Pemeriksaan Sidang
Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Militer”. Merupakan konkritisasi Hukum Acara Peradilan militer yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugas dan fungsi Pengadilan Militer dan memberikan kemudahan bagi Hakim,
17
Panitera dan personel pengadilan lainnya sebagai dasar penulis dalam penulisan naskah ini terurama dalam hal yang berkaitan dengan penerapan Hukum Acara Peradilan Militer.
18
BAB III
KONDISI PENERAPAN SISTEM HUKUMAN MINIMUM KHUSUS BAGI PRAJURIT PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA SAAT INI DAN PERMASALAHAN YANG DI HADAPI
11.
Umum.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.15 Di satu sisi narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama. Permasalahan penyalahgunaan narkotika dan ketergantungan narkotika mempunyai dimensi yang sangat luas dan kompleks, baik dari sudut medis, maupun psikososial (ekonomi, politik, sosial, budaya, kriminalitas, kerusuhan massal dan lain sebagainya). Seringkali terjadi dimasyarakat, dampak dari penyalahgunaan ketergantungan narkotika antara lain: merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara drastis, sulit membedakan mana perbuatan baik maupun perbuatan buruk, perubahan perilaku menjadi perilaku antisosial, gangguan kesehatan, mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, tindak kekerasan, dan kriminalitas lainnya.16
12.
Kondisi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit
Pelaku Tindak Pidana Narkotika Saat Ini. Kondisi penerapan hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika saat ini dapat di jelaskan sebagai berikut.
a.
Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus. Berdasarkan data
perkara yang telah di putus pada tahun 2010 dan 2011 hukuman penjara dibawah minimum dari ancaman hukuman sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, pada tahun 2010 jika di prosentase 15 16
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Mardani, Bunga Rampai Hukum Aktual ,Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008, hal. 11.
19
dari jumlah perkara yang di putus sebanyak 7,4% putusan hakim dibawah minimum. Pada tahun 2011 perkara narkotika yang masuk di Pengadilan Militer sebanyak 165, telah di putus dengan hukuman penjara dan pemecatan sebanyak 102 perkara, 63 perkara di putus dengan hukuman penjara tanpa pemecatan dan 16 perkara diputus dibawah hukuman minimum. Prosentase penjatuhan hukuman dibawah minimum naik 2,3% menjadi 9,7%. Hal ini merupakan indikator bahwa penerapan hukuman minimum khusus belum sepenuhnya di terapkan oleh semua Hakim yang memutus perkara narkotika, ini menunjukkan bahwa norma sebagaimana diatur dalam undang narkotika tidak selaras dengan praktek penegakan hukum (Das solen dan Das sain tidak selaras)
b.
Kewenangan Mengadili.
Mengingat tindak pidana Narkotika
termasuk tindak pidana umum, berkaitan dengan kewenangan mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum, Sebagai akibat lahirnya ketentuan
sebagaimana
yang
tertuang
dalam
TAP
MPR
Nomor
VII/MPR/2000 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 65 ayat (2) yang menyatakan bahwa prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. Karena belum berfungsinya sistem penegakan hukum terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum, berdasarkan Pasal 65 Ayat (3) menyatakan apabila kekuasaan peradilan umum tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang. Oleh karenanya hingga saat ini penerapan sistem hukuman minimum khusus kepada prajurit pelaku tindak pidana narkotika masih dilakukan oleh institusi penegak hukum dilingkungan TNI sebagaimana di atur dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Proses penyelesaian perkara terdiri dari empat tahap yaitu :
1)
Tahap penyidikan. Tahap ini dilaksanakan oleh Polisi Militer
angkatan.
2)
Tahap Penuntutan. Tahap ini dilaksanakan oleh Oditur Militer.
20
3)
Tahap Persidangan. Tahap ini dilaksanakan oleh Pengadilan
Militer untuk dilaksanakan proses persidangan yang dilakukan oleh Majelis Hakim sampai adanya putusan. 4)
Tahap Pelaksanaan Hukuman (Eksekusi). Tahap akhir dari dari
proses penyelesaian perkara pidana prajurit TNI adalah pelaksanaan hukuman yang di laksanakan oleh Oditur Militer dengan menempatkan Terpidana pada lembaga pemasyarakatan khusus Militer atau lembaga pemasyarakatan umum apabila Terpidana dipecat dari dinas TNI ( lihat gambar proses penyelesaian perkara pidana pada lingkup Peradilan Militer pada lampiran VI dan VII). c.
Kesenjangan Antar Institusi Penegak Hukum di Lingkungan TNI.
Masing-masing tahapan sebagaimana tersebut diatas merupakan suatu sistem yang saling terkait dan saling mempengaruhi sehingga dalam pelaksanaannya harus bersinergi agar sistem dapat berjalan secara efektif dan efisien. Kondisi saat ini diantara ketiga institusi yang melaksanakan penegakan hukum dilingkungan TNI terjadi kesenjangan sebagai dampak dari perubahan struktur organisasi jajaran Pengadilan Militer dalam lingkup Peradilan Militer yang berada di bawah Mahkamah Agung RI berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, badan-badan Peradilan berada di bawah Mahkamah Agung, meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara dan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2004 tanggal 9 Juli 2004, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 beralih dari Mabes TNI ke Mahkamah Agung RI. Kesenjangan tersebut terlihat dari beberapa aspek yaitu :
1)
Sarana dan Prasarana Penegakan hukum. Sejak berada satu
atap dengan peradilan lain di bawah Mahkamah Agung RI. Peradilan Militer mengalami kemajuan yang sangat pesat dari aspek sarana dan prasarana di bandingkan ketika berada di bawah Mabes TNI hal ini karena anggaran Peradilan Militer meningkat.
21
2)
Kualitas SDM.
Kualitas SDM terutama Hakim Militer dan
Panitera relatif lebih baik di bandingkan dengan Oditur Militer dan Penyidik POM angkatan karena di jajaran Peradilan Militer pembinaan kualitas SDM dilakukan sangat intensif yang didukung dengan sarana pendidikan dan latihan yang sangat memadai serta dukungan anggaran yang cukup.
3)
Peningkatan Kesejahteraan. Kesejahteraan Hakim Militer dan
Panitera jauh lebih baik dibandingkan dengan Oditur Militer dan penyidik. 4)
Modernisasi penangana perkara. Penanganan perkara oleh
Pengadilan Militer telah dilakukan secara modern yang didukung oleh teknologi informasi, sehingga prosesnya dapat dilakukan dengan cepat dan transparan.
5)
Independensi
Hakim
dalam
menjalankan
tugas
dan
kewajibannya lebih terjamin karena dilindungi oleh undang-undang. d.
Kondisi
Penegakan
Hukum
pada
Tingkat
Penyidikan
dan
Penuntutan. Dampak dari kesenjangan sebagaimana dimaksud pada poin 3), berakibat terhadap penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika menjadi tidak optimal. Kondisi ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum secara keseluruhan. Berdasarkan
pengamatan penulis terhadap praktek
penegakan hukum dilingkungan TNI khususnya pada tingkat Penyidikan dan Penuntutan. Dapat di ungkapkan faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Faktor kealpaan. Penerapan sistem hukuman minimum khusus
tidak optimal yang disebabkan tidak profesionalnya (kurang cermat, tidak teliti dan ketidak tahuan) penyidik POM dan Oditur Militer dalam melaksanakan tugasnya. Masih banyak di temui kekurangan baik secara materil maupun formal yang dilakukan oleh penyidik dan Oditur
22
Militer dalam mengolah perkara sehingga sangat menyulitkan pembuktian tindak pidana narkotika dan akhirnya Hakim Militer membebaskan terdakwa karena tidak cukup bukti.
2)
Faktor Kesengajaan. Penerapan sistem hukuman minimum
khusus tidak optimal yang disebabkan karena prilaku yang melanggar kode etik, melakukan kesengajaan menghilangkan fakta-fakta dan alat bukti dengan tujuan agar Terdakwa di tuntut ringan atau bebas dari dakwaan karena tidak cukup bukti atau rekayasa lain yang bertujuan meringankan hukuman dan atau membebaskan terdakwa dari segala tuntutan atau dakwaan. 3)
Faktor sarana dan Prasarana. Selain faktor aparat penegak
hukum, faktor sarana dan prasarana juga dapat menjadi kendala dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika prajurit TNI, karena sarana dan prasarana merupakan faktor penentu dalam proses percepatan penanganan perkara.
4)
Faktor intervensi pihak lain terhadap proses penegakan hukum.
Penegakan hukum dilingkungan TNI sering kali di intervensi oleh pihak lain
yang
menghendaki
penerapan
hukum
dilakukan
tidak
sebagaimana mestinya, independensi terabaikan dan penegakan hukum dilaksanakan berdasarkan kepentingan belaka. Hal ini menyulitkan bagi penegak hukum dalam menjalankan tugasnya sehingga menuai kritik dan hujatan dari lingkungan TNI maupun masyarakat pada umumnya.
e.
Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika. Salah satu komponen
kekuatan angkatan bersenjata adalah kesiapan personel yang menyangkut keterlatihan dan kedisiplinan prajurit. Dalam membangun kekuatan TNI, prajurit merupakan aset yang tak ternilai harganya, oleh karenanya personel harus di bina secara terus menerus agar mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas militer. Untuk melaksanakan tugas-tugas militer kuncinya adalah prajurit terlatih dan mempunyai disiplin yang tinggi sehingga prajurit senantiasa siap sedia melaksanakan tugas. Fenomena yang terjadi
23
saat ini berdasarkan data perkara yang di peroleh menunjukkan bahwa tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI sejak berlakunya Undangundang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika semakin meningkat, data Dinas Penerangan Umum Mabes TNI menyebutkan bahwa prajurit TNI yang terlibat narkoba tahun 2010 sebanyak 150 kasus, tahun 2011 menjadi 165 kasus atau naik 10%. Berikut data perkara yang telah di putus oleh pengadilan militer pada tahun 2010-2011 (lihat lampiran VI grafik Data Perkara Tindak Pidana Narkotika Prajurit TNI Tahun 2010-2011) f.
Disparitas Penjatuhan Hukuman. Dari data Grafik diatas penjatuhan
hukuman bervariasi sesuai dengan pasal yang dilanggar dalam Undangundang Nomor 35 Tahun 2009. Berikut tabel 4 data perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan prajurit TNI pada tahun 2010-2011 berdasarkan penjatuhan hukuman.
Tabel Data Perkara Tindak Pidana Narkotika Prajurit TNI Berdasarkan Penjatuhan Hukuman Tahun 2010-1011
Tahun
Jumlah Perkara Putus
Hukuman Penjara dan tambahan pemecatan
2010
150
96
2011
165
102
Hukuman Penjara Tanpa Pemecatan
Hukuman di bawah minimum
Prosentase Hukuman dibawah minimum
11
7,4%
16
9,7%
54
63
Sumber : Pengadilan Militer Utama
Tabel menunjukkan bahwa pada tahun 2010 perkara yang masuk ke pengadilan militer sebanyak 150 dan sudah di putus, 96 perkara diputus dengan hukuman penjara dan pemecatan dari dinas TNI, 54 di putus dengan hukuman penjara tanpa pemecatan dan sebanyak 11 perkara diputus
24
dibawah hukuman penjara dibawah minimum dari ancaman hukuman sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Jika di prosentase dari jumlah perkara yang di putus sebanyak 7,4% putusan hakim dibawah minimum. Pada tahun 2011 perkara narkotika yang masuk di Pengadilan Militer sebanyak 165, telah di putus dengan hukuman penjara dan pemecatan sebanyak 102 perkara, 63 perkara di putus dengan hukuman penjara tanpa pemecatan dan 16 perkara diputus dibawah hukuman minimum. Prosentase penjatuhan hukuman dibawah minimum naik 2,3% menjadi 9,7%. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada hakim yang menjatuhkan hukuman dibawah minimum dengan berbagai alasan dan pertimbangan, dalam praktek peradilan permasalahan ini di kenal dengan istilah disparitas penjatuhan hukuman sebagai akibat dari perbedaan persepsi hakim dalam menerapkan hukum. Hukuman dibawah ancaman minumum ini secara formil menyimpang dari ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang menganut sistem hukuman minimum khusus yang bertujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan melindungi masyarakat dari kejahatan narkotika. Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu di optimalkan penerapan sistem hukuman minimum khusus dengan menjamin terselenggaranya sistem penegakan hukum di lingkungan TNI secara efektif dan efisien. 13.
Implikasi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit
Pelaku Tindak Pidana Narkotika Terhadap Efek Jera dan Terwujudnya Organisasi TNI yang Bebas Narkoba.
a.
Implikasi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi
Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika Terhadap Efek Jera.
Belum
optimalnya penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika akan berpengaruh terhadap tujuan pemidanaan yaitu menimbulkan efek jera sehingga :
1)
Tidak tercapainya tujuan pemidanaan yaitu memberikan efek
jera secara khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika.
25
2)
Tidak tercapainya tujuan pemidanaan yaitu membuat takut (efek
deteren) bagi prajurit lainnya dan masyarakat pada umumnya untuk melakukan tindak pidana narkotika.
3)
Kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI
akan meningkat.
b.
Implikasi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi
Prajurit
Pelaku
Tindak
Pidana
Narkotika
Terhadap
Terwujudnya
Organisasi TNI yang Bebas Narkoba. Jika hukuman bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika tidak memberikan efek jera maka organisasi TNI yang bebas Narkoba tidak akan terwujud sehingga:
1)
Menurunnya tingkat disiplin prajurit disebabkan penegakan
hukum tindak pidana narkotika dilakukan tidak sesuai dengan yang seharusnya. 2)
Prajurit tidak takut melakukan tindak pidana narkotika karena
sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelakunya terlalu ringan di bandingkan dengan bahaya yang di timbulkan akibat penyalahgunaan narkotika. 3)
Meningkatnya penyalahgunaan Narkotika di lingkungan TNI
menyebabkan tidak profesionalnya prajurit dalam melaksanakan tugas sebab narkotika dapat merusak kesehatan baik fisik maupun psikis.
4)
Menimbulkan citra negatif terhadap institusi TNI khususnya
penegak hukum dilingkungan TNI sehingga mendorong keinginan masyarakat untuk merubah sistem penegakan hukum dilingkungan TNI. 14.
Permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan hasil uraian yang disampaikan
di atas, diketahui ada beberapa minimum khusus, sebagai berikut :
masalah
dalam penerapan sistem hukuman
26
a.
Proses Penegakan Hukum di Tingkat Penyidikan dan Penuntutan
Belum Ada Transparansi. Proses penegakan Hukum di tingkat penyidikan dan penuntutan dalam sistem penegakan hukum dilingkungan TNI adalah Ankum ( Atasan yang berhak menghukum) yang dilaksanakan oleh penyidik Pom (Polisi Militer) pada masing-masing angkatan sebagaimana diatur dalam pasal 69 Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Selanjutnya tentang kewenangan penuntutan oleh Oditur Militer yang di atur dalam pasal 124 dan seterusnya, pasal 182 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengatur kewenangan penuntutan oleh Oditur Militer, hal ini di lakukan tanpa kontrol publik sebagaimana yang di wajibkan oleh Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah salah satu produk hukum Indonesia yang dikeluarkan dalam tahun 2008 dan diundangkan pada tanggal 30 April 2008 dan mulai berlaku dua tahun setelah diundangkan. Undang-undang yang terdiri dari 64 pasal ini pada intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu yang tidak boleh di publikasikan. Belum adanya akses publik di tingkat penyidikan dan penuntutan
membuka
peluang terjadinya penyalahgunaan
wewenang.
Adapun kewenangan pada tingkat penyidikan dan penuntutan yang berpengaruh langsung terhadap Penjatuhan Hukuman bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika adalah sebagai berikut : 1)
Kewenangan Penyidik pada tingkat Penyidikan. Kewenangan
Penyidik berdasarkan pasal 71 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 adalah :
a)
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana;
b)
Mlakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat
kejadian;
c)
Mencari keterangan dan barang bukti;
27
d)
Menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai
Tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya;
e)
Melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan,
dan pemeriksaan surat-surat;
f)
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g)
Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa
sebagai Tersangka atau Saksi;
h)
Meminta
bantuan
pemeriksaan
seorang
ahli
atau
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; dan
i)
Mengadakan
tindakan
lain
menurut
hukum
yang
bertanggung jawab.
2)
Kewenangan
Oditur
Militer
pada
tingkat
penuntutan.
Kewenangan Oditur sebagaimana diatur dalam pasal 130 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 adalah melimpahkan berkas perkara kepada Pengadilan yang berwenang dengan disertai surat dakwaan. Oditur membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi:
a)
Nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan,
kesatuan, tempat
dan
tanggal lahir/umur, jenis
kelamin,
kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal Terdakwa;
b)
Uraian fakta secara cermat, jelas, dan lengkap, mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
c)
Surat
dakwaan
yang
tidak
memenuhi
ketentuan
sebagaimana dimaksud pada poin a) dan b) batal demi hukum.
28
b.
Belum Terintegrasinya Sistem Penanganan Perkara di Lingkungan
TNI. Penanganan tindak pidana narkotika adalah salah satu perkara yang mendapat prioritas penanganan sejak dari tingkat penyidikan sampai tingkat pengadilan, oleh karenanya di butuhkan percepatan penaganan perkara sehingga perkara narkotika yang di lakukan oleh prajurit TNI dapat di selesaikan dengan cepat. Penanganan perkara yang di laksanakan saat ini menghadapi kendala dalam proses penyidikan dan penuntutan yang lamban, hal ini di sebabkan karena belum terintegrasinya sistem penanganan perkara dalam sistem penegakan hukum di lingkungan TNI sehingga menjadi penghambat percepatan penanganan perkara. Dengan kemajuan teknologi informasi (TI) dewasa ini merupakan peluang bagi Peradilan Militer untuk membangun
sistem
penanganan
perkara
berbasis
TI.
Berdasarkan
pengalaman di banyak negara, penggunaan TI masih menitikberatkan pada upaya-upaya pencatatan elektronis saja. TI belum dioptimalkan
secara
maksimal untuk secara progresif meningkatkan kinerja badan peradilan. Oleh karena itu, inisiatif TI yang dilakukan tidak memberikan hasil memuaskan bagi lembaga peradilan. Salah satu penyebabnya adalah Badan Peradilan gagal dalam menetapkan peran dan arah strategis TI di dalam organisasi peradilan itu sendiri. Kegagalan ini berpotensi menciptakan ketidakmampuan dalam memetik hasil maksimal, bahkan dalam implementasi TI itu sendiri.17 c.
Sumber Daya Manusia Masih Terbatas. Masalah sumber daya
manusia menjadi suatu hal yang sangat penting apabila dikaitkan dengan hasil dari proses penaganan perkara berupa produk hukum yang menjadi dasar dilakukan proses pengadilan yang menghasilkan suatu putusan hakim yang berkualitas. Produk hukum yang berkaitan langsung dengan putusan Hakim adalah BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang di buat oleh penyidik POM, Surat Dakwaan dan Tuntutan yang di buat oleh Oditur Militer. Ketiga produk tersebut merupakan dasar dilakukannya pengambilan keputusan oleh majelis Hakim militer guna menentukan dan menerapkan hukuman kepada terdakwa tindak pidana narkotika. Permasalahan yang dihadapi untuk menghasilkan produk yang berkualitas adalah masih terbatasnya personel yang berkualitas yang mampu menerapkan hukum dengan cepat dan tepat 17
Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, Jakarta, Mahkamah Agung RI, 2010, Hal. 63.
29
sehingga menghambat proses penegakan hukum tindak pidana narkotika, selain itu jumlah (kuantitas) aparat penegak hukum di tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan masih terbatas, hal ini dapat menghambat proses penanganan perkara. d.
Sarana dan Prasarana Belum Memadai. Sistim penegakan hukum
harus didukung sarana dan prasarana yang memadai, apabila sarana dan prasarana tidak terpenuhi maka akan membawa dampak tidak optimalnya proses penegakan hukum dan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Tindak pidana narkotika saat ini dilakukan dengan modus operandi yang canggih dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dunia peradilan dalam melaksanakan tugas pokoknya juga harus di dukung oleh Iptek yaitu berupa peralatan yang dapat memudahkan proses pengungkapan fakta yang di dukung oleh alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Peralatan yang dapat membantu pengungkapan fakta baik di tingkat penyidikan maupun di tingkat pengadilan seperti alat pendeteksi kebohongan (lie detector), laboratorium kriminal dan peralatan lainnya yang berbasis Teknologi Informasi untuk mendukung penyelesaian perkara dengan cepat.
e.
Fungsi Pengawasan Terhadap Kualitas Putusan dan Prilaku Hakim
Belum Optimal. Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Dilmiltama berwenang untuk mengadakan pengawasan teknis yustisial terhadap Pengadilan Militer di bawahnya dalam penyelesaian perkara, tingkah laku dan tindakan para hakim militer, agar proses penyelesaian perkara dapat berjalan dengan baik dan benar serta transparan. Fungsi pengawasan terhadap kualitas putusan dan prilaku Hakim ini telah berjalan namun belum optimal khususnya dalam pelaksanaan pengawasan teknis yustisial yang seharusnya direncanakan dalam program kerja Dilmiltama (Pengadilan Militer Utama) baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, antara lain :
1)
Kegiatan langsung yaitu dengan kunjungan kerja/inspeksi ke
daerah-daerah dan mengadakan pemeriksaan terhadap hasil-hasil pelaksanaan sidang serta minutasi perkara, dan pada saat itu pula kepada para hakim, panitera serta personel yang melaksanaan
30
kegiatan tersebut diberikan petunjuk/bimbingan baik dalam hal penerapan hukum acara maupun tata cara administrasi peradilan.
2)
Kegiatan pengawasan tidak langsung dengan mengadakan
eksaminasi
terhadap
putusan-putusan
yang
telah
mempunyai
kekuatan hukum tetap termasuk kelengkapan /administrasi berkas perkara, yang selanjutnya hasil pemeriksaan dituangkan dalam bentuk petunjuk Kadilmiltama ( Kepala Pengadilan Militer Utama) dan dikirimkan kembali kepada Pengadilan Militer yang bersangkutan untuk digunakan sebagai pedoman pelaksanaan tugas selanjutnya.
f.
Peranti Lunak yang Tidak Selaras dengan Praktek Penegakan
Hukum. Undang-Undang Nomor
31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
merupakan hukum formil (hukum acara) dalam sistem Peradilan Militer saat ini.
Jika dikaji lebih mendalam berdasarkan ilmu hukum maka ditemui
beberapa kelemahan yang terdapat dalam sistem Peradilan Militer yang di terapkan saat ini. Menurut pendapat penulis kelemahan tersebut ada pada 3 komponen penegakan hukum, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1)
Subtansi. Subtansi berkaitan dengan norma-norma atau kaidah
yang terdapat dalam aturan hukum, norma atau kaidah ini tidak boleh bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku secara universal dan prinsip-prinsip penegakan hukum yang berkeadilan. Dalam masalah ini terhadap Undang-Undang Peradilan Militer secara subtansi bertentangan dengan asas equality before the law ( asas persamaan di depan hukum), ini terlihat dari adanya pengaturan kewenangan mengadili pengadilan militer berdasarkan tingkat kepangkatan. Selain itu Pengadilan Militer tidak dapat mengadili pejabat Militer yang berpangkat bintang 3 dan bintang 4 hal ini terkait dengan persyaratan formil tingkat kepangkatan Hakim yang mengadili sebagaimana yang di atur dalam pasal 16 Undang-Undang Peradilan Militer.
2)
Struktur. Struktur berkaitan dengan lembaga dan aparat
penegak
hukum.
Secara
struktur
lembaga
penegakan
hukum
dilingkungan TNI pada tingkat penyidikan dan penuntutan yaitu Pom
31
Angkatan dan Oditurat Militer masih berada dibawah garis komando kepala staf angkatan dan Panglima TNI. Sedangkan Pengadilan Militer secara
organisasi,
administrasi
dan
finansial
berada
dibawah
Mahkamah Agung RI, hanya saja pembinaan personel militer masih dilaksanakan oleh Mabes TNI. Perkembangan Peradilan Militer sudah memasuki tahap yang lebih baik, namun masih adanya campur tangan Mabes TNI dalam hal pembinaan personel militer hal ini akan mengurangi
independensi
Pengadilan
Militer
dalam
menangani
perkara.
3)
Kultur. Budaya hukum juga merupakan unsur yang penting
dalam sistem hukum, karena budaya hukum memperlihatkan pemikiran dan kekuatan masyarakat yang menentukan bagaimana hukum tersebut ditaati, dihindari, atau disalahgunakan. Peradilan Militer sebagai suatu sistem penegakan hukum dilingkungan TNI seharusnya didukung oleh budaya hukum masyarakat militer agar penegakan hukum yang berkeadilan dapat tercipta. Kondisi penegakan hukum dilingkungan TNI saat ini masih memprihatinkan, hal ini disebabkan adanya budaya penegakan hukum berdasarkan kepentingan. Jika kepentingannya terlindungi hukum ditaati, apabila kepentingannya terancam atau dirugikan maka hukum dihindari, diabaikan dan bahkan disalahgunakan. Contoh konkrit dari hal ini adalah bahwa masih adanya intervensi pejabat militer terhadap beberapa kasus yang di tangani
oleh
peradilan
militer
dengan
alasan
mengamankan
kepentingan militer, ini sering dijadikan alasan untuk melindungi kepentingan pribadi pejabat militer. Kedepan diharapkan terjadi perubahan kultur hukum dengan menempatkan hukum sebagai panglima sebelum perubahan itu dipaksakan oleh kekuatan lain diluar TNI.
32
BAB IV PENGARUH PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
15.
Umum. Penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku
tindak pidana narkotika juga dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis yang dapat memberikan dampak baik negatif maupun dampak positif. Pengaruh negatif perkembangan lingkungan strategis harus dihadapi dengan menggunakan segala
upaya.
Sedangkan pengaruh positif perkembangan lingkungan strategis
dapat dijadikan peluang untuk lebih mengoptimalkan penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek jera. Pengaruh global, regional dan nasional terhadap penegakan hukum narkotika harus dicermati untuk menentukan kebijakan, strategi dan upaya, agar dapat mengoptimalkan penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek jera dalam rangka terwujudnya organisasi TNI yang bebas Narkoba. 16.
Pengaruh Global. Perkembangan teknologi dan globalisasi pada satu sisi
telah memberikan berbagai macam kemudahan dalam kerjasama dan hubungan internasional, baik dalam bidang ekonomi dan perdagangan, sosial budaya serta pertahanan keamanan. Namun di sisi lain juga telah mempermudah para pelaku kejahatan
untuk memperluas
aksinya. Perkembangan
kejahatan tidak lagi
memperhatikan batas-batas wilayah negara. Salah satu kejahatan yang menjadi pusat perhatian masyarakat internasional adalah peredaran gelap narkotika. Masyarakat internasional menyadari bahwa peredaran gelap narkotika adalah kejahatan yang serius sehingga penanganannya hanya bisa dilakukan melalui kerjasama internasional yang intensif. Kejahatan peredaran gelap yang semakin meningkat dari tahun ke tahun perlu mendapat perhatian khusus karena jumlah dan modus operandi yang dilakukan untuk mengedarkan narkotika semakin canggih dan seringkali menimbulkan kesulitan bagi pihak berwajib untuk mengungkapnya. Perkembangan peredaran gelap narkotika yang bersifat lintas batas negara semakin berkembang dewasa ini sehingga merupakan permasalahan bagi masyarakat internasional. Dalam hal ini narkotika tidak hanya menimbulkan masalah bagi kesehatan manusia tetapi juga menjadi bahaya yang serius yang mengancam falsafah kehidupan bangsa-bangsa pada umumnya, termasuk bangsa Indonesia.
33
Perkembangan peredaran gelap narkotika ini memerlukan suatu kerjasama untuk menanggulanginya baik secara nasional maupun internasional.
17.
Pengaruh Regional. Kawasan regional dalam hal ini negara-negara di
kawasan Asia Tenggara telah membuat kesepakatan untuk membentuk Kerjasama Bidang Penanggulangan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Obat-obat Terlarang (P4GN). Secara umum, inti dari kerjasama penanggulangan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (P4GN) di tingkat regional ASEAN diarahkan pada upaya realisasi komitmen Drug Free ASEAN 2015 (Kawasan Bebas Narkoba ASEAN 2015), yang dipertegas dalam Rencana Aksi Komunitas Sosial-Budaya. Upaya di tingkat regional tersebut diselaraskan dengan langkah-langkah di tingkat nasional yang menetapkan pencapaian Kawasan Bebas Narkoba Indonesia 2015.18 Dengan adanya kerja sama di bidang pemberantasan peredaran gelap narkotika maka hal ini merupakan suatu kondisi yang dapat mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika dilingkungan TNI dengan menggunakan sarana penegakan hukum. 18.
Pengaruh Nasional.
Pengaruh kehidupan nasional terhadap penerapan
sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika adalah kemampuan Asta Gatra yang kuat maka Penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika dapat ditegakkan. Asta Gatra yang kuat akan memperkuat pula posisi tawar baik di lingkungan nasional maupun regional. Pengaruh kehidupan Nasional mengalami pasang surut dipengaruhi oleh dinamika perkembangan lingkungan internasional dan regional19,
kecenderungan
stategis nasional yang berkembang hingga saat ini dapat dikategorikan ke dalam aspek-aspek kehidupan nasional sebagai berikut : a.
Geografi.
Luas wilayah negara Republik Indonesia secara politis
merupakan negara kesatuan, namun struktur fisiknya terdiri dari pulau besar dan kecil yang menurut perhitungan terakhir berjumlah 17.508 buah. Luas wilayah Republik Indonesia termasuk ZEE kurang lebih 7,7 juta km², wilayah daratan 1,9 juta km², serta lautan sebesar 5,5 juta km². 18
Sebagai negara
http://www.suarapembaruan.com/home/asean-teken-deklarasi-kawasan-bebas-narkotika2015/18806 diakses pada tanggal 28 juli 2012. 19 http://www.docstoc.com/docs/43191288/Pendekatan-Asta-Gatra di akses pada tanggal 7 juli 2012.
34
kepulauan Indonesia memiliki posisi yang strategis
berada di antara dua
benua Asia-Australia dan dua samudera, Hindia dan Pasifik mengakibatkan tingkat kerawanan sangat tinggi dan sangat potensial untuk di jadikan tempat dilakukan kejahatan transional diantaranya kejahatan peredaran gelap narkotika. b.
Demografi.
Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010,
jumlah penduduk Indonesia adalah sebesar 237.556.363 orang (Buku Hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 data Agregat per Provinsi - BPS 2010), yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan. Distribusi penduduk Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa yaitu sebesar 58 persen, yang diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21 persen. Selanjutnya untuk pulau-pulau/kelompok kepulauan lain berturut-turut adalah sebagai berikut: Sulawesi sebesar 7 persen; Kalimantan sebesar 6 persen; Bali dan Nusa Tenggara sebesar 6 persen; dan Maluku dan Papua sebesar 3 persen. Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah tiga provinsi dengan urutan teratas yang berpenduduk terbanyak, yaitu masing-masing berjumlah 43.021.826 orang, 37.476.011 orang, dan 32.380.687 orang. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah yang terbanyak penduduknya di luar Jawa, yaitu sebanyak 12.985.075 orang. Dengan luas wilayah Indonesia yang sekitar 1.910.931 km2, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Indonesia adalah sebesar 124 orang per km2. Provinsi yang paling tinggi kepadatan penduduknya adalah Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 14.440 orang per km2. .20 mempunyai
Jumlah penduduk Indonesia yang besar sebenarnya
potensi
untuk
meningkatkan
mempertahankan kedaulatan NKRI.
kemampuan
Negara
dalam
Tetapi di sisi lain, jumlah penduduk
Indonesia yang besar dengan kualitas yang masih rendah dan terbatasnya lapangan
kerja
merupakan potensi kerawanan yang perlu diwaspadai,
jumlah penduduk yang besar apabila dapat didayagunakan dan dimanfaatkan dengan baik maka menjadi aset dalam pembangunan, namun sebaliknya juga akan menjadi beban negara apabila pertumbuhan ekonomi rendah, karena akan tercipta pengangguran dan kemiskinan. Penduduk yang jumlahnya besar
20 http://wartapedia.com/nasional/statistik/167-sosial-demografi-secara-umum-pendudukindonesia.htm diakses tanggal 7 Juli 2012.
35
jika di kaitkan dengan peredaran gelap narkotika merupakan pangsa pasar yang potensial untuk bisnis narkotika.
c.
Sumber Kekayaan Alam.
Wilayah
Indonesia dikarunia beraneka
ragam sumber kekayaan alam, baik dari pertambangan, hutan, potensi perikanan maupun kondisi lahan pertanian yang subur. Namun pengelolaan kekayaan alam ini belum dilaksanakan dengan optimal. Sumber Kekayaan alam yang memiliki potensi sebagai bahan untuk penggerakan industri-industri dalam negeri. Industri tersebut merupakan obyek vital nasional yang harus dilindungi. Untuk melindungi dan memanfaatkan kekayaan alam indonesia maka di butuhkan SDM yang baik dan profesional, untuk itu negara wajib meningkatkannya dengan melakukan pembinaan melaui pendidikan dan kegiatan lain sebagai upaya meningkatkan SDM. Selain itu negara juga mempunyai kewajiban melindungi seluruh bangsa indonesia dari berbagai bentuk
ancaman
termasuk
ancaman
bahaya
narkotika
yang
dapat
melemahkan ketahanan nasional dengan hancurnya genarasi muda harapan bangsa. d.
Ideologi.
Pancasila adalah pandangan hidup dan sekaligus sebagai
ideologi telah diterima oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pada era globalisasi ini maka Pancasila mendapat tantangan dengan masuknya informasi dan ideologi lain yang begitu bebas ke Indonesia. Dengan arus informasi seolah-olah dunia tidak mempunyai batas-batas negara. Derasnya arus globalisasi berdampak terhadap Indonesia yakni masuknya faham negara lain dan tatanan nilai budaya barat yang dapat merubah pola pikir, pola tindak dan pola sikap bangsa Indonesia. Dengan masuknya paham yang tidak selaras dengan Pancasila khususnya sila ke-3 Persatuan Indonesia akan menimbulkan permasalahan disintegrasi bangsa. Hal ini harus
mendapat
perhatian
serius
dari
seluruh
penyelenggara
pemerintahan negara untuk mengambil tindakan yang tepat termasuk meningkatkan ketahanan nasional. Salah satu bentuk ancaman yang dapat melemahkan ketahanan nasional adalah bahaya peredaran gelap narkotika.
36
e.
Politik. Perkembangan politik nasional sebagai dampak dari reformasi
melahirkan proses politik yang cukup demokratis dan signifikan , telah meletakkan TNI kepada profesi dirinya dengan peran yang cukup realistis yakni sebagai alat pertahanan. TNI di tuntut untuk profesional di bidangnya sebagai alat pertahanan negara, untuk mewujudkan TNI yang profesional dibutuhkan personel yang terlatih dan berdisiplin tinggi. TNI berkepentingan terhadap segala bentuk ancaman yang dapat menggoyahkan ketahanan nasional karena TNI mengemban tugas tersebut. Salah satu bentuk ancaman yang dapat menggoyahkan ketahanan nasional dan merusak sendi-sendi kehidupan prajurit adalah bahaya penyalahgunaan narkotika.
f.
Ekonomi.
Daya
dukung
anggaran
negara
untuk
mewujudkan
kemampuan pertahanan negara sangat terbatas, sedangkan Indonesia termasuk negara yang tingkat ancamannya sangat tinggi. Anggaran pertahanan negara yang paling rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, hal ini berpengaruh terhadap kemampuan Alutsista di TNI khususnya TNI AU. Demikian juga dengan anggaran bidang lain diantaranya anggaran di bidang penegakan hukum termasuk penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika masih terbatas sehingga berdampak belum optimalnya penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika. g.
Pertahanan dan Keamanan. Ancaman militer berupa invasi atau agresi
militer diperkirakan kecil, walaupun demikian pembangunan komponen utama, cadangan dan pendukung tetap perlu dipersiapkan secara dini demi kewibawaan dan martabat bangsa terutama dalam mengatasi konflik perbatasan.
Ancaman non militer seperti terorisme, narkoba, separatis, dan
konflik komunal dapat terjadi karena faktor kurangnya rasa nasionalisme dan sistem ekonomi yang belum kondusif. Untuk itu perlu adanya pembangunan postur TNI yang kuat, sehingga ancaman militer maupun non militer dapat teratasi. Permasalahan perbatasan dengan negara tetangga masih banyak yang tersisa, dan diantaranya rawan menjadi potensi konflik terbatas dengan Indonesia.
Aktivitas kegiatan transnasional seperti penyelundupan barang
dan senjata, drugs dan human trafficking, illegal logging, illegal fishing, juga masih menonjol. Walaupun pemerintah telah berupaya melakukan berbagai
37
cara, termasuk dengan menggelar operasi keamanan, tetapi aktivitas ilegal tersebut masih tinggi.
19.
Peluang dan Kendala.
Perkembangan lingkungan strategis yang terus
berkembang secara dinamis akan berdampak adanya peluang dan kendala dalam optimalisasi penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek jera dalam rangka terwujudnya organisasi TNI yang bebas Narkoba, sebagai berikut : a.
Peluang.
Perkembangan lingkungan strategis yang dapat menjadi
peluang adalah :
1)
Aspek Global.
a)
Adanya
fakta
kejahatan
transnaional
dan
kesadaran
masyarakat internasional akan bahaya peredaran gelap narkotika sehingga ada paradigma pemikiran untuk memperberat ancaman pidana bagi pelaku kejahatan narkotika sebagaimana yang telah di tuangkan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
b)
Kemajuan Teknologi membawa dampak positif dan negatif.
Dampak positif dari kemajuan di bidang teknologi khususnya teknologi informasi dapat di manfaatkan guna mendukung upayaupaya pemberantasan tindak pidana narkotika.
2)
Aspek Regional. Adanya kerjasama negara-negara ASEAN di
bidang Penanggulangan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Obat-obat Terlarang (P4GN). hal ini merupakan
suatu
kondisi
yang
dapat
mendukung
pemberantasan tindak pidana narkotika dilingkungan TNI
upaya dengan
menggunakan sarana penegakan hukum 3)
Aspek Nasional. Guna peningkatan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Narkotika dilakukan pembaruan terhadap
38
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Pemerintah berkomitmen untuk memberantas peredaran gelap narkotika dengan menandatangani kerjasama baik nasional maupun internasional. kondisi ini sangat mendukung upaya TNI untuk memberantas kejahatan narkotika dilingkungan TNI. b.
Kendala. Perkembangan lingkungan strategis yang dapat menjadi
kendala adalah :
1)
Aspek Global.
Globalisasi selain memberikan dampak positif
dengan pesatnya kemajuan teknologi yang memudahkan hubungan antar individu-individu yang tidak mengenal batas negara, tetapi di sisi lain globalisasi juga memberikan dampak terhadap kegiatan kegiatan bisnis narkotika. Peredaran gelap dilakukan dengan modus operandi yang canggih dengan menggunakan teknologi untuk memudahkan peredaran narkotika, dilakukan dengan terorganisir dan transnasioanal. Dalam beberapa kasus peredaran narkoba internasional melibatkan anggota
TNI
untuk
melancarkan
peredaran
gelapnya.
Fakta
menunjukkan bahwa anggota TNI sering kali dimanfaatkan oleh bandar narkoba untuk memuluskan jalannya dalam peredaran gelap narkoba. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan anggota TNI dalam beberapa kasus, salah satu kasusnya adalah keterlibatan anggota TNI dalam peredaran gelap ekstasi sebesar 1.412.476 butir ekstasi atau ineks dengan berat total 3.784.358 gram yang ditangkap aparat Gabungan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tanggal 8 Mei 2012. Dengan fakta ini menunjukkan bahwa adanya korelasi antara perkembangan lingkungan strategis khususnya perkembangan kejahatan narkotika internasional terhadap meningkatnya tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anggota TNI. Gambar berikut menunjukkan bahwa indonesia adalah salah satu negara yang sangat strategis bagi jalur perdagangan dan penyelundupan narkoba, sehingga dari aspek
39
kriminologi faktor ini dapat menjadi penyebab meningkatnya tindak pidana narkotika oleh prajurit TNI.(lihat lampiran VII jalur penrdagangan dan penyelundupan narkoba jenis kokain)
2)
Aspek Regional.
Negara-negara Asean merupakan negara-
negara yang menjadi pangsa pasar bagi bisnis narkotika beberapa diantaranya merupakan negara-negara produsen narkoba termasuk indonesia. Indonesia saat ini tidak hanya sebagai negara yang menjadi salah satu tempat peredaran narkoba, bahkan ditemukan beberapa pabrik pembuatan narkoba. Ini menunjukkan bahwa begitu besarnya pasar narkoba di Indonesia. Kondisi lingkungan strategis dikawasan regional ini secara faktual berkorelasi terhadap meningkatnya tindak pidana narkotika di indonesia khususnya tindak pidana narkotika yang di lakukan prajurit TNI sebagaimana yang telah penulis buktikan pada bab terdahulu melalui data statistik yang di himpun dari sumber-sumber terpercaya. Dari data tersebut memperlihatkan keterlibatan anggota TNI dalam peredaran gelap narkoba dan beberapa diantaranya terjerumus sebagai penyalahuna narkoba karena faktor lingkungan dan pergaulan yang kurang tepat. Gambar berikut menunjukkan perkembangan lingkungan strategis regional kejahatan narkotika.(lihat lampiran IX)
3)
Aspek Nasional. Indonesia dikenal sebagai produsen extasi
nomor 1 didunia, tetapi sebagai pengedar, Indonesia dikenal sebagai pengedar ganja terbesar didunia. Hal tersebut memungkinkan karena ganja dari Indonesia merupakan mariyuana dengan kualitas no.1 di dunia.21 Untuk kasus ganja, mengutip data dari Badan Narkotika Nasional yang bersumber dari Direktorat Tindak Pidana Narkoba, per Maret 2012 telah disita ganja dengan total 23.891.244,25 gram, pohon ganja (stalks) 1.839.664 batang dan luas area penanaman ganja 305,83 hektare. Hasil pengungkapan Polri Per 2011 terdapat 5.909 kasus berkaitan dengan ganja. Kondisi lingkungan strategis secara nasional juga berkorelasi terhadap meningkatnya tindak pidana narkotika secara nasional khususnya peningkatan tindak pidana 21 http://veromons.blogspot.com/2012/02/6-negara-produksi-narkoba-terbesar-di.html di akses pada tanggal 11 Agustus 2012.
40
narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI. Pernyataan ini juga didukung oleh pengalaman penulis selama bertugas di Pengadilan Militer I-01 Banda aceh dengan wilayah hukum provinsi aceh yang di kenal secara internasional sebagai daerah penghasil ganja dengan kualitas nomor 1 didunia. Jika di kalkulasi dalam prosentase berdasarkan jenis tindak pidana yang di tangani oleh Pengadilan Militer I-01 Banda Aceh menunjukkan bahwa tindak pidana narkotika menduduki rengking teratas yakni berkisar 30% dari semua jenis tindak pidana yang di lakukan prajurit TNI. Ini membuktikan bahwa kondisi lingstra secara nasional berpengaruh terhadap meningkatnya tindak pidana narkotika yang
dilakukan
prajurit TNI.
Gambar
berikut
merupakan
jalur
perdagangan narkoba jenis ganja terkait dengan peningkatan tindak pidana yang dilakukan prajurit TNI (lihat lampiran X)
41
BAB V
KONDISI PENERAPAN SISTEM HUKUMAN MINIMUM KHUSUS BAGI PRAJURIT PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DIHARAPKAN
20.
Umum.
Ketertiban, keteraturan dan kepastian hukum merupakan dambaan
setiap orang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, tidak terlepas kehidupan prajurit TNI.
Namun demikian perwujudan kondisi tersebut tidaklah mudah karena
menyangkut
berbagai
aspek
terkait,
penegakannya, maupun hal-hal lain.
apakah
itu
aturannya,
aparatnya,
Penegakan hukum yang dilakukan dalam
kehidupan prajurit TNI harus dilaksanakan secara cepat, tepat dan memberikan kepastian. Karena prajurit TNI pada dasarnya dituntut adanya kesiap-siagaan, sehingga manakala ada persoalan yang dilakukan oleh prajurit TNI, dan agar tidak mengganggu tingkat kesiapan prajurit dalam pelaksanaan tugasnya, dan terkait sistem pembinaan prajurit dikesatuan, maka penyelesaian perkara yang dilakukan oleh prajurit merupakan sesuatu hal yang menjadi prioritas utama. 21.
Kondisi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit
Pelaku Tindak Pidana Narkotika yang Diharapkan. Kondisi penerapan hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika yang diharapkan dapat di jelaskan sebagai berikut. a.
Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus. Aparat penegak
Hukum dilingkungan TNI berkewajiban menerapkan norma hukum yang selaras dengan praktek penegakan hukum, sehingga tercipta suatu kondisi harmonisasi antara das sollen dan das sain khususnya dalam menerapkan sistem penjatuhan Hukuman Pidana sebagaimana yang di anut oleh UndangUndang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika yaitu Sistem Hukuman Minimum Khusus. b.
Kewenangan Mengadili. Masalah kewenangan mengadili terkait
dengan tindak pidana umum yang dilakukukan oleh prajurit TNI saat ini masih timbul perdebatan antara kalangan yang menghendaki diadili oleh peradilan umum dan kalangan yang mempertahankan yuridiksi peradilan militer terhadap tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer. Diharapkan
42
pemerintah dan DPR dapat menemukan solusi yang terbaik atas masalah ini demi kepentingan bangsa dan negara. Tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI sebaiknya masih diadili oleh pengadilan militer, terutama tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI, berdasarkan argumentasi hukum sebagai berikut : 1)
Tindak
pidana
narkotika
berdimensi
ancaman
terhadap
pertahanan negara sehingga terkandung kepentingan militer yang harus di selamatkan. 2)
Anggota TNI merupakan orang-orang terlatih yang di persiapkan
untuk bertempur dan kepadanya dibebankan tugas dan tanggungjawab yang berat yaitu mempertahankan kedaulatan, menjaga keselamatn bangsa dan negara, sehingga apabila melakukan pelanggaran hukum mereka harus di tanggani oleh institusi khusus yaitu Peradilan Militer guna mendukung tugas pokok TNI. 3)
Masyarakat miiliter mempunyai kebudayaan sendiri yang harus
diakui keberadaannya, terkait dengan hal ini maka pemaksaan pemberlakuan yuridiksi peradilan umum terhadap prajurit yang melakukan tindak pidana umum akan menimbulkan masalah jika dilihat dari aspek penegakan hukum. Hukum tidak dapat berlaku efektif apabila tidak didukung oleh kebudayaan suatu masyarakat yang menjadi objek keberlakuan suatu aturan hukum, berdasarkan
teori
lowrence meir friedmen mengajarkan 3 komponen dalam sistem hukum yang merupakan satu kesatuan dalam upaya penegakan hukum yaitu subtansi, struktur dan kultur. 4)
Pemaksaan keberlakuan yuridiksi peradilan umum terhadap
prajutit TNI yang melakukan tindak pidana umum di khawatirkan justru akan
menimbulkan
ketidaktertiban
dalam
masyarakat
sehingga
bertentangan dengan filosofi tujuan hukum yaitu memberikan rasa keadilan dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
43
c.
Kesenjangan antar Institusi Penegak Hukum Dilingkungan TNI.
kondisi yang diharapkan terhadap kesenjangan yang terjadi antar institusi penegak hukum dilingkungan TNI
yaitu
hilangnya kesenjangan dan
terciptanya sinergi sehingga sistem penegakan hukum dapat berjalan secara efektif dan efisien d.
Kondisi
Penegakan
Hukum
pada
tingkat
Penyidikan
dan
Penuntutan. Diharapkan faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam optimalisasi penerapan sistem hukuman minimum khusus dapat di atasi melalui kebijakan, strategi dan upaya-upaya yang akan di uraikan pada bab berikut. e.
Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika. Penyalahgunaan narkotika
sudah menjadi isu yang umum oleh karena itu setiap masyarakat diharapkan partisipasinya dalam menanggulangi bahaya narkotika. Prajurit TNI sebagai bagian
integral
dari
masyarakat
harus
memberikan
contoh
kepada
masyarakat untuk tidak terlibat dalam tindak pidana narkotika dan ikut berperan dalam pencegahan dan penanggulangannya baik melalui sarana penal maupun non penal. Sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi dimana prajurit TNI bebas dari keterlibatan tindak pidana narkotika.
f.
Disparitas Penjatuhan Hukuman.
Faktor yang menyebabkan
disparitas penjatuhan hukuman adalah belum adanya pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman minimum khusus dan perbedaan persepsi di kalangan hakim tentang penerapan sistem hukuman minimum khusus, kondisi yang di harapkan guna mengatasi persoalan ini yaitu terciptanya suatu pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman dan terwujudnya persamaan persepsi dalam penerapan hukuman minimum khusus. 22.
Kontribusi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit
Pelaku Tindak Pidana Narkotika Terhadap Efek Jera dan Terwujudnya Organisasi TNI yang Bebas Narkoba.
a.
Kontribusi Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi
Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika Terhadap Efek Jera. Optimalnya
44
penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika akan berpengaruh terhadap tujuan pemidanaan yaitu menimbulkan efek jera sehingga :
1)
Tercapainya tujuan pemidanaan yaitu membuat jera prajurit
pelaku tindak pidana narkotika. 2)
Tercapainya tujuan pemidanaan yaitu membuat takut (efek
deteren) bagi prajurit lainnya untuk melakukan tindak pidana narkotika.
3)
Kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI
akan menurun.
b.
Kontribusi
Prajurit
Pelaku
Penerapan Sistem Hukuman Minimum Khusus Bagi Tindak
Pidana
Narkotika
Terhadap
Terwujudnya
Organisasi TNI yang Bebas Narkoba. Jika hukuman bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika memberikan efek jera maka organisasi TNI yang bebas Narkoba akan terwujud sehingga:
1)
Prajurit senantiasa menjaga kedisiplinannya sesuai dengan tata
kehidupan Militer dalam melaksanakan tugas yang di embannya, hal ini disebabkan penegakan hukum khususnya tindak pidana narkotika dilakukan sesuai dengan yang seharusnya.
2)
Prajurit enggan melakukan tindak pidana narkotika karna sanksi
pidana yang dijatuhkan
terhadap pelakunya berat dan menyadari
bahaya yang di timbulkan akibat penyalahgunaan narkotika.
3)
Terciptanya semangat perlawanan di kalangan prajurit terhadap
usaha-usaha melemahkan kekuatan TNI melalui peredaran gelap narkotika.
4)
Terwujudnya prajurit TNI yang bersih dari penyalahgunaan
narkotika dan profesional dalam melaksanakan tugas.
45
5)
Menimbulkan citra positif terhadap institusi TNI
karena
penegakan hukum dilingkungan TNI telah dilaksanakan sebagaimana mestinya.
23.
Indikator Keberhasilan.
Untuk mengukur keberhasilan Penerapan Sistem
Hukuman Minimum Khusus Bagi Prajurit Pelaku Tindak Pidana Narkotika melalui beberapa indikator, baik imput, indikator proses maupun indikator output dan outcome.
Maka
beberapa
hal
yang
dapat
dijadikan
sebagai
indikator
keberhasilannya adalah sebagai berikut : a.
Terwujudnya Transparansi Proses Penegakan Hukum di Tingkat
Penyidikan dan Penuntutan. Terpenuhinya kewajiban kepada setiap Badan Publik termasuk penyidik POM dan Oditurat Militer untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu. Adanya akses publik di tingkat penyidikan dan penuntutan
menutup
peluang
terjadinya
penyalahgunaan
wewenang.
Tranparansi di lakukan dengan menyediakan laporan penaganan perkara sesuai dengan kewenangannya masing-masing. b.
Terintegrasinya Sistem Penanganana Perkara di Lingkungan TNI.
Guna mengatasi percepatan penanganan perkara narkotika dan perkara lainnya kondisi yang di harapkan sebagai indikator keberhasilan adalah terintegrasinya sistem penanganan perkara dengan memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi informasi yaitu terwujudnya pembangunan jaringan penanganan perkara di lingkungan TNI yang terkoneksi dengan Mahkamah Agung RI. c.
Terpenuhinya Sumber Daya Manusia.
Di bidang sumber daya
manusia kondisi yang di harapkan adalah terpenuhinya standarisasi kebutuhan personel baik dari kualitas maupun kuantitas dalam rangka mendukung efektivitas penegakan hukum di lingkungan TNI. Salah satu kriteria Badan Peradilan Indonesia yang Agung adalah bila Badan Peradilan telah mampu mengelola dan membina SDM yang kompeten dengan kriteria obyektif, sehingga tercipta hakim dan aparatur peradilan yang
46
berintegritas dan profesional22. Demikian juga hendaknya pada aparat penegak hukum lain dilingkungan TNI yaitu Polisi Militer dan Oditur Militer harus mengimbangi pembangunan dan pembinaan SDM yang telah di lakukan oleh Mahkamah Agung selama ini agar kinerja Peradilan Militer secara keseluruhan dapat meningkat terutama dalam hal menangani perkara narkotika prajurit TNI.
d.
Terpenuhinya Sarana dan Prasarana. Sistim penegakan hukum harus
didukung sarana dan prasarana yang memadai, apabila sarana dan prasarana tidak terpenuhi maka akan membawa dampak tidak optimalnya proses penegakan hukum dan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Oleh sebab itu kondisi yang di harapkan adalah terpenuhinya sarana dan prasana. Sarana dan prasarana pendukung proses penanganan perkara narkotika dan perkara lainnya adalah dukungan teknologi informasi. Hal ini terkait dengan optimalisasi bagian-bagian lain dalam sistem penegakan hukum di Peradilan Militer sebagai contoh adalah pengembangan SDM, modernisasi manajemen perkara, peningkatan tranparansi dan akses publik terhadap lembaga peradilan dan dukungan terhadap kegiatan peradilan lainnya baik teknis yudisial maupun non teknis yudisial. Gambar berikut merupakan program modernisasi menejemen perkara yang membutuhkan dukungan TI. (lihat lampiran XI Modernisasi Manajemen perkara pengadilan) e.
Terlaksananya Fungsi Pengawasan Terhadap Kualitas Putusan
dan Prilaku Hakim. Fungsi pengawasan pada hakekatnya adalah untuk mengontrol penerapan kewenangan hakim agar dapat berjalan sesuai dengan koridor dan mencegah terjadinya penyimpangan Berkaitan dengan kewenagan Hakim dalam memutus perkara khususnya perkara narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI. Terjadinya disparitas putusan Hakim dalam perkara narkotika yang dilakukan oleh prajurit TNI dapat di mungkinkan disebabkan adanya penyalahgunaan wewenag dan prilaku menyimpang Hakim sebagaimana yang telah di tetapkan dalam kode etik hakim. Selain itu dapat pula disebabkan karena kurang profesionalnya hakim dan perbedaan persepsi dalam menerapkan hukum. Oleh karenanya kondisi yang diharapkan pada fungsi pengawasan ini adalah terlaksananya fungsi 22
Ibid, Hal. 48.
47
pengawasan terhadap putusan dan prilaku Hakim secara efektif dan efisien. f.
Peranti Lunak yang Selaras Dengan Praktek Penegakan Hukum.
Adanya keselarasan antara Undang-undang Nomor : 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai hukum acara pidana militer dan praktek penegakan hukum, maka indikator keberhasilannya adalah terwujudnya Undang-Undang Peradilan Militer yang baru dengan merubah pasal-pasal yang tidak sesuai dengan perkembangan penegakan hukum di lingkungan TNI, selaras dengan kepentingan militer dan kepentingan Hukum, revisi buku petunjuk teknis peradilan dan terciptanya buku pedoman Hakim tentang penerapan sistem hukuman minimum khusus.
48
BAB VI KONSEPSI OPTIMALISASI PENERAPAN SISTEM HUKUMAN MINIMUM KHUSUS BAGI PRAJURIT PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA GUNA MEMBERIKAN EFEK JERA DALAM RANGKA TERWUJUDNYA ORGANISASI TNI YANG BEBAS NARKOBA
24.
Umum.
Penerapan pidana di bawah minimal terhadap prajurit TNI yang
melakukan tindak pidana narkotika
tanpa ada pertimbangan hukum yang logis
terasa tidak adil karena bertentangan dengan kepentingan militer. Hakim Militer, Oditur Militer dan Polisi Militer wajib memperhatikan hal ini sebagaimana yang telah digariskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Asas kepentingan Militer dalam penyelenggaraan Peradilan Militer yaitu, untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan perorangan. Namun, khusus dalam proses peradilan kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum.23 Sehubungan dengan hal tersebut maka sudah sepatutnya aparat penegak hukum dilingkungan TNI melakukan suatu kebijakan, strategi dan upaya untuk mengoptimalkan sistem penegakan hukum di lingkungan TNI guna memberikan efek jera bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika. 25.
Kebijakan.
Terwujudnya Optimalisasi penerapan sistem hukuman minimum
khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika
melalui mewujudkan
transparansi proses penegakan Hukum di tingkat Penyidikan dan Penuntutan, mengitengarasikan sistem penanganana perkara di lingkungan TNI, meningkatkan kualaitas dan kuantitas sumber daya manusia, memenuhi sarana dan prasarana, optimalisasi fungsi pengawasan terhadap kualitas putusan dan prilaku Hakim dan memenuhi piranti lunak yang selaras dengan Praktek penegakan hukum guna memberikan efek jera dalam rangka terwujudnya organisasi TNI AU yang bebas Narkoba. 26.
Strategi.
Dalam mewujudkan kebijakan di atas, maka rumusan strategi
adalah sebagai berikut :
23
Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
49
a.
Strategi 1.
Mewujudkan Transparansi Proses Penegakan Hukum
di Tingkat Penyidikan dan Penuntutan.
1)
Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi ini adalah Sebagai
sarana kontrol publik terhadap penggunaan wewenang oleh Penyidik dan Penuntut agar dalam pelaksanaannya sesuai dengan aturan perundang-undangan dan ketentuan hukum.
2)
Metode yang digunakan dalam strategi ini adalah pengkajian,
pembangunan, koordinasi, kerjasama dan pembinaan.
3)
Sarana yang digunakan adalah koordinasi dan kerjasama antara
kelembagaan Mahkamah Agung, Pengadilan Militer Utama, Babinkum TNI.dan PUSPOM angkatan.
b.
Strategi 2.
Mengintegrasikan
Sistem
Penangana Perkara
di
Lingkungan TNI.
1)
Tujuan
yang
ingin
dicapai
dalam
strategi
ini
adalah
terintegrasinya sistem penanganan perkara dengan memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi informasi yaitu terwujudnya moderenisasi manajemen perkara di lingkungan TNI yang berbasis teknologi informasi guna mempercepat proses penanganan perkara.
2)
Metode yang digunakan dalam strategi ini adalah pengkajian,
pembangunan, pembinaan teknis penanganan perkara, pendidikan dan pelatihan, koordinasi dan kerjasama.
3)
Sarana yang digunakan adalah modernisasi manajemen perkara
dengan menerapkan prinsip Integrated Criminal Justice System” sebagaimana yang telah di atur dalam Undang-Undang Peradilan Militer dengan melibatkan Mabes TNI dalam hal ini Babinkum TNI, PUSPOM angkatan, Pengailan Militer Utama dan Mahkamah Agung RI.
50
c.
Strategi 3.
Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Sumber Daya
Manusia.
1)
Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi ini adalah terpenuhinya
standarisasi kebutuhan personel baik dari kualitas maupun kuantitas dalam rangka mendukung efektivitas penegakan hukum di lingkungan TNI.
2)
Metode yang digunakan dalam strategi ini adalah optimalisasi,
pembinaan mulai dari rekrutmen, bimbingan teknis peradilan (Bintek peradilan), pendidikan dan pelatihan (DIKLAT), koordinasi dan Reward and Punishment.
3)
Sarana yang digunakan adalah dengan pembinaan yang
dilaksanakan oleh Mabes TNI, Mahkamah Agung Republik Indonesia dan PUSPOM angkatan. d.
Strategi 4.
1)
Memenuhi Sarana dan Prasarana.
Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi ini adalah
untuk
mendukung tugas pokok Peradilan Militer mulai dari tingkat Penyidikan sampai tingkat pengadilan serta pada tahap pelaksanaan Hukuman (eksekusi) agar dapat dilaksanakan secara cepat, efektif dan efisien.
2)
Metode yang digunakan dalam strategi ini adalah pembinaan
sistem informasi, pengadaan, dan peningkatan sarana.
3)
Sarana yang digunakan adalah koordinasi antara kelembagaan
Mahkamah Agung Repulik Indonesia, Mabes TNI dan Mabes Angkatan.
51
e.
Strategi 5.
Optimalisasi Fungsi Pengawasan Terhadap Kualitas
Putusan dan Prilaku Hakim.
1)
Tujuan
yang
ingin
di
capai
melaksanakan fungsi pengawasan
dalam strategi
secara
efektif
ini
adalah
dan
efisien
terhadap seluruh hakim, aparatur peradilan dan unit organisasi yang berada di MA dan badan-badan peradilan di bawahnya.
2)
Metode yang digunakan adalah kunjungan kerja, pemeriksaan,
bimbingan teknis, memberikan penghargaan dan melakukan tindakan (Reward and Punishment)
3)
Sarana yang digunakan adalah melaksanakan pengawas interen
oleh badan pengawasan MARI dan Pengadilan Militer Utama. Pengawasan eksteren oleh Komisi Yudisial. f.
Strategi 6.
Memenuhi Peranti Lunak yang Selaras dengan
Praktek Penegakan Hukum.
1)
Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi ini adalah agar proses
penanganan perkara dan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum di lingkungan TNI mempunya dasar hukum yang kuat dan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas.
2)
Metode yang digunakan adalah revisi, kerjasama, sosialisasi,
pokja dan evaluasi.
3)
Sarana yang digunakan melaksanakan Pokja untuk menyusun
peranti lunak yang melibatkan DPR, Pemerintah, Mahkamah Agung RI, Mabes TNI, Dinas hukum Angkatan dan PUSPOM Angkatan.
52
27.
Upaya.
Untuk mewujudkan kebijakan dan strategi guna efektivitas
penegakan hukum di lingkungan TNI dalam rangka optimalisasi penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit TNI pelaku tindak pidana narkotika maka harus dilakukan upaya sebagai berikut : a.
Strategi 1.
Mewujudkan Transparansi Proses Penegakan Hukum
di Tingkat Penyidikan dan Penuntutan.
1)
Mahkamah
Agung
sebagai
lembaga
peradilan
tertinggi
mempunyai kewenangan untuk mengatur semua urusan pengadilan yang ada di bawahnya melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a)
Menciptakan kinerja lembaga Peradilan dan Lembaga
Penegak Hukum lainnya dalam lingkup Peradilan Militer yang lebih terbuka, transparan dan mempunyai akuntabilitas yang tinggi baik dalam kegiatan teknis peradilan maupun non teknis peradilan
dengan
cara
memberikan
bimbingan
melalui
pendidikan dan latihan dan melaksanakan evaluasi secara berkesinambungan guna perbaikan sistem yang sudah ada.
b)
Melakukan perencanaan yang terarah yang di tuangkan
dalam program kerja tahunan tentang pengembangan sistem informasi di jajaran Peradilan Militer dengan melibatkan Mabes TNI dan Puspom Angkatan dengan cara mengadakan koordinasi maupun kerjasama.
c)
Mengajukan anggaran untuk di alokasikan kepada jajaran
Peradilan Militer guna membangun sarana dan prasarana sistem informasi yang terkoneksi dengan Oditurat Militer dan Puspom Angkatan sebagai intitusi yang bertanggung jawab di tingkat penuntutan dan penyidikan perkara pidana di lingkungan TNI.
d)
Melakukan pengawasan terhadap pembangunan sistem
informasi yang dilaksanakan jajaran peradilan militer, Oditurat Militer dan Puspom Angkatan dengan cara melibatkan Mabes
53
TNI dan Mabes Angkatan baik melalui koordinasi maupun kerjasama. 2)
Dirjen
Peradilan
Militer
dan
Peradilan
Usaha
Negara
melaksanakan :
a)
Menyusun standard operating procedur (SOP) tentang
tata cara pemberian informasi kepada publik di jajaran Peradilan Militer yang melibatkan Mabes TNI dan Mabes angkatan.
b)
Menyiapkan
SDM untuk mengawaki dan mengelola
sistem informasi yang akan di bangun di jajaran Peradilan Militer, Oditurat Militer dan Puspom Angkatan dengan cara koordinasi dan kerjasama dengan Badan pendidikan dan latihan MARI yang melibatkan Mabes TNI dan Mabes angkatan,
c)
Menyusun standard kebutuhan minimal sarana dan
prasarana perunit kerja di linkungan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer.
3)
Pengadilan Militer Utama melaksanakan upaya-upaya sebagai
berikut :
a)
Melaksanakan
rapat
koordinasi
dalam
rangka
implementasi reformasi birokrasi, utamanya adalah penguatan Pengadilan Militer Tinggi dengan penguatan kapabilitas dan manajemen SDM serta penerapan SOP tata kerja yang terkait dengan transparansi informasi.
b)
Melaksanakan pembinaan teknis peradilan dalam upaya
mewujudkan
modernisasi
Pengadilan
Militer
dengan
menerapakan sistem otomasi aplikasi minutasi perkara, aplikasi persuratan dan aplikasi pengarsipan digital.
c)
Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Babinkum
TNI dan Puspom Angkatan
guna mendorong terlaksananya
54
pembangunan
sistem
informasi
dan
transparansi
proses
penyelesaian perkara di tingkat penyidikan dan penuntutan. 4)
Pengadilan Militer Tinggi. Melaksanakan upaya-upaya sebagai
berikut : a)
Melaksanakan
pembinaan
yang
menuju
kearah
pengadilan yang bermartabat dan berwibawa. Bermartabat meliputi pembinaan sumber daya Peradilan (Hakim, Panitera dan Pegawai) yang memiliki pengetahuan yang memadai, memiliki integritas yang tinggi sehingga memperoleh kepercayaan publik. Berwibawa artinya dihormati karena penyelesaian suatu perkara dikerjakan secara efisien, efektif, preventif, tidak berpihak, benar dan adil yang memberikan kepuasan pada pencari keadilan.
b)
Melakukan Koordinasi dan kerjasama dengan Oditurat
Militer Tinggi dan Puspom Angkatan dalam hal pembinaan teknis yang berkaitan dengan transparansi proses penanganan perkara pada tingkat penyidikan dan penuntutan kepada seluruh Pengadilan Militer, Oditurat Militer dan Satuan Polisi Militer di wilayah hukumnya.
c)
Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Oditurat
Militer Tinggi dan Puspom Angkatan dalam bidang pengawasan terhadap pelaksanaan penaganan perkara secara transparan dengan memonitor perkembangan penanganan perkara pada tiap-tiap Dilmil, Odmil dan Satpom angkatan.
5)
Pengadilan Militer melaksanakan upaya-upaya sebagai berikut:
a)
Berkoordinasi dan kerjasama dengan Oditurat Militer dan
Satpom
angkatan
dalam
menyiapkan
sistem
informasi
sebagaimana yang telah di lakukan oleh Pengadilan Militer yaitu dengan
membentuk
sistem
pelayanan
menetapkan pedoman pelayanan informasi.
informasi
dan
55
b)
Melakukan pengkajian tentang pembangunan sistem
informasi yang ideal untuk tingkat penuntutan dan penyidikan.
c)
Melaksanakan pembangunan sistem informasi untuk
tingkat penuntutan dan penyidikan. b.
Strategi 2.
Mengintegrasikan Sistem Penanganan Perkara di
Lingkungan TNI.
1)
Mahkamah Agung melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a)
Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Mabes TNI
dan Mabes Angkatan
tentang pengembangan moderenisasi
manajemen perkara di lingkungan Peradilan Militer.
b)
Melakukan
Pengkajian
tentang
sistem
penanganan
perkara di lingkungan TNI yang berbasis teknologi informasi dengan melibatkan Mabes TNI dan Mabes angkatan.
c)
Melakukan pendidikan dan latihan terhadap Hakim Militer,
Oditur Militer dan Penyidik Pom angkatan dalam rangka pengintegrasian sistem penanganan perkara di lingkungan TNI dengan melibatkan Mabes TNI dan Mabes angkatan.
d)
Mengadakan
pembinaan
teknis
Peradilan
Militer
khususnya penggunaan aplikasi teknologi informasi dalam penanganan perkara dilingkungan TNI.
e)
Membentuk kelompok kerja (pokja) yang melibatkan
Mabes TNI dan Mabes angkatan guna merumuskan langkahlangkah konkrit untuk menerapkan sistem penanganan perkara yang terintegrasi.
a)
Mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan intansi
lain terutama intansi penegak hukum (Badan Narkotika Nasional,
56
Kejaksaan Agung RI, Kepolisian RI dan Badan Pengawas Obat dan Makanan) dalam rangka mendukung tugas pokok peradilan
2)
Mabes TNI dalam hal ini Babinkum TNI melakukan upaya-upaya
sebagai berikut:
a)
Berkoordinasi dan kerjasama dengan Mahkamah Agung
RI membangun struktur organisasi peradilan militer yang sesuai dengan kebutuhan tugas yang mencakup struktur organisasi teknis dan non teknis meliputi kesekretariatan, pembinaan keuangan,
logistik
dan
dokumentasi
disamping
struktur
organisasi yang berhubungan dengan pembinaan teknis.
b) RI
Berkoordinasi dan kerjasama dengan Mahkamah Agung dalam
bidang
anggaran
untuk
menyiapkan
dan
melaksanakan program moderenisasi manajemen perkara.
c)
Membangun jaringan penanganan perkara di di jajaran
Oditur Militer dengan berkoordinasi dan kerja sama dengan Mahkamah Agung RI.
d)
Mengadakan Koordinasi dan kerjasama dengan Badan
Narkotika Nasional (BNN), Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI dan Badan Pengawas Obat dan Makanan) untuk mendukung tugas pokok Babinkum TNI khususnya jajaran Oditurat Militer.
3)
Pusat Polisi Militer Angkatan melakukan upaya-upaya sebagai
berikut :
a)
Mengadakan
koordinasi
dan
kerjasama
dengan
Mahkamah Agung RI dan Babinkum TNI terkait dengan pembangunan sistem penanganan perkara terintegrasi.
b)
Menyiapkan SDM dengan mengikuti diklat yang di
selenggarakan oleh Mahkamah Agung RI dan Babinkum TNI
57
untuk mengawaki sistem penanganan perkara terintegrasi yang berbasis teknologi Informasi.
c)
Mengadakan sosialisasi di jajarannya tentang penerapan
sistem penanganan perkara terintegrasi.
d)
Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan BNN,
Polri dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan terkait dengan penyelidikan dan penyidikan kasus narkotika. c.
Strategi 3.
Manusia.
Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Sumber Daya
Personel merupakan unsur utama sebagai penentu dalam setiap
bidang tugas maupun kegiatan yang dilaksanakan oleh TNI. Oleh sebab itu, kemampuan yang harus dimiliki baik secara kuantitas maupun kualitas haruslah memadai sehingga dapat mendukung tercapainya pelaksanaan tugas secara optimal. Berdasarkan hal tersebut, dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Adapun upaya yang dimaksud meliputi :
1)
Mahkamah Agung RI. Mahkamah Agung sebagai pelaksana
kekuasaan
kehakiman
tertinggi
memegang
peran
terhadap
penyelenggaraan organisasi, administrasi dan finansial bagi badanbadan peradilan yang berada dibawahnya termasuk badan Peradilan Militer.
Selain Dilmiltama secara teknis dan non teknis Mahkamah
Agung juga berperan sebagai pembina dan pengawas bagi Peradilan dibawahnya.
Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas
Pengadilan Militer, maka
upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh
Mahkamah Agung adalah sebagai berikut :
a)
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia. Sumber
Daya Manusia yang masih harus di tingkatkan melalui DIKLAT adalah :
(1)
Hakim Militer. Hakim Pengadilan Militer Idealnya
minimal berpendidikan umum setingkat pasca sarjana (S2) ilmu Hukum, lulus seleksi rekrutmen Hakim Militer,
58
memiliki
sertifikasi
sebagai
Hakim
militer
melalui
pendidikan calon Hakim (Cakim), berpengalaman tugas minimal 3 tahun sebagai Panitera Pengadilan Militer dan berpangkat paling rendah Kapten.
(2)
Panitera.
Panitera
mempunyai
peran
penting
dalam menangani perkara yaitu mengemban tugas sebagai
pejabat
yang
mengkoordinasikan
dan
memproses perkara mulai dari perkara masuk sampai dengan perkara berkekuatan hukum tetap (BHT) sesuai dengan tahapan penyelesaian perkara di Pengadilan Militer sebagaimana yang di atur dalam Hukum Acara Peradilan Militer (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997), selain itu Panitera juga mempunyai tugas non teknis yudisial yaitu di bidang pengelolaan anggaran. Idealnya panitera memiliki tingkat pendidikan strata satu (S1) ilmu hukum dan telah mengikuti kursus kepaniteraan yang di selenggarakan oleh Babinkum TNI.
b)
Peningkatan Kuantitas Sumber Daya Manusia. Sumber
Daya Manusia yang masih harus di tambah melalui rekrutmen adalah :
(1)
Hakim Militer.
Keadaan saat ini secara kuantitas,
jumlah Hakim Militer yang ada di Pangadilan Militer sebanyak 218 orang yang tersebar di 15 Pengadadilan Militer (Dilmil), 3 Pengadilan Militer Tinggi (dilmilti) dan Pengadilan Militer Utama (dilmiltama). Hakim Militer Idealnya secara kuantitas pada masing-masing Dilmil tipeB berjumlah 2 Majelis (satu Majelis berjumlah 3 orang) di tambah 1 orang Kepala Pengadilan Militer. Rata-rata dilmil tipe-B saat ini di awaki oleh 1 majelis di tambah 1 orang kadilmil (Kepala pengadilan Militer). Pengadilan Militer Tipe- A saat ini secara kuantitas juga masih belum ideal, seharusnya Dilmil tipe-A di awaki oleh 3 majelis (9 orang
59
Kimmil) ditambah 1 orang kepala Pengadilan Militer. Pengadilan Militer Tinggi saat ini di awaki 3 orang Hakim Militer Tinggi, idealnya 5 orang Kimilti berpangkat Kolonel termasuk Kepala pengadilan Militer tinggi. Pengadilan Militer Utama saat ini di awaki oleh 1 orang Kadilmil tama berpangkat
Mayor
Jenderal
(Bintang
dua),
Wakadilmiltama berpangkat bintang satu dan kelompok Hakim Militer Utama berpangkat bintang satu. Ideal nya kelompok Hakim Militer Utama diisi sesuai struktur organisasi yaitu sebanyak 3 orang yang mewakili masingmasing angkatan.
(2)
Panitera.
Tenaga teknis Panitera yang ada saat
ini di Pengadilan jumlahnya bervariasi dan rata-rata belum memenuhi komposisi, karena bila dilihat dari struktur organisasi yang ada maka dibutuhkan 9 orang pama untuk duduk mengisi jabatan di Kepaniteraan.
(3)
personel bidang non teknis. Keadaan yang hampir
sama dengan kondisi jumlah personel di bidang teknis, dimana personel yang mengawaki bidang non teknis saat ini hanya berjumlah 16 orang, sedangkan dilihat dari kebutuhan organisasi berdasarkan struktur yang ada maka jumlah tersebut masih sangat kurang karena seharusnya staf Pengadilan Militer diawaki oleh 27 orang tenaga non teknis, terdiri dari :
(a)
6 orang Staf TAUD.
(b)
12 orang Staf Kepaniteraan.
(c)
6 orang Staf Keuangan.
(d)
3 orang Staf IT.
60
2)
Babinkum TNI melaksanakan upaya-upaya sebagai berikut : a)
Meningkatkan Kemampuan Teknis Ke Odituran. Untuk
meningkatkan kemampuan teknis Oditur Militer agar mampu melaksanakan tugas-tugas sebagai Oditur Militer,
berbagai
upaya yang dapat dilakukan antara lain : (1)
Pendidikan. Dikarenakan disiplin ilmu hukum yang
dimiliki para Oditur Militer berbeda-beda, demikian pula dari asal almamaternya, maka untuk memberikan kesamaan persepsi, sudut pandang dan pemahaman yang sama, maka Babinkum TNI dan Oditurat Jendral TNI perlu lebih meningkatkan program pendidikan Ke Odituratan kepada para Oditur, atau Perwira Hukum yang ditunjuk, yang selama
ini
sudah
berjalan.
Pendidikan
dimaksud
diantaranya :
(2)
(a)
Kursus Jabatan Oditur Militer.
(b)
Kursus Perwira Administrasi.
(d)
Penataran Oditur Militer (Tarormil).
Latihan.
Latihan
profesionalisme
Oditur
ditujukan Militer
untuk
meningkatkan
dalam menangani perkara,
kegiatan ini dapat di lakukan di lembaga pendidikan maupun tugas praktek di satuan masing-masing Tugas praktek dimaksud antara lain : (a)
Penelitian Berkas Perkara.
(b)
Regristrasi.
(c)
Pengolahan Berkas Perkara.
(d)
Penyerahan Perkara.
61
(e)
Perencanaan
Sidang.
Hal-hal
yang
harus
dilakukan Oditurat setelah menerima rencana sidang sidang dari Pengadilan Militer diantaranya:
(f) b)
i.
Pengumpulan Berkas.
ii
Pemanggilan.
iii.
Menunjuk Oditur.
iv.
Penyiapan Barang Bukti.
Persidangan.
Peningkatan Kemampuan Non Teknis ke Odituratan. Dalam
meningkatakan kemampuan non teknis diantaranya : (1)
Rekruitmen. Babinkum TNI dalam melalukan rekruitmen
personil Oditur yang selama ini berjalan sepertinya hanya lebih mendasarkan terwujudnya
pada
kuantitas
postur
Oditur
bukan
yang
kualitas.
memiliki
Guna
kemampuan
Keodituratan, seharusnya Babinkum TNI melalui Oditurat Jenderal TNI dalam merekrut dan mengangkat Oditur Militer mulai diterapkan sistem seleksi, baik seleksi uji kepatutan maupun kemampuan. (2)
Penempatan
dalam
Jabatan.
Banykanya
jabatan
setingkat Kepala Seksi, maupun Wakil Kepala Oditurat dan bahkan masih ada jabatan Kepala oditurat yang diduduki oleh orang
yang
sebelumnya
sama
sekali
belum
pernah
berkecimpung dalam profesi ke Odituratan. Kedepan Babinkum TNI dan Oditurat Jenderal TNI dalam penempatan jabatan Oditur harus mengutamakan pertimbangan profesi, dan untuk jabatan
strategis
perlu
adanya
uji
kecakapan
maupun
kepatutan. (3)
Pemberian
Reward
and
Punishment.
Pemberian
penghargaan bagi bawahan yang berprestasi dan memberikan
62
hukuman bagi prajurit yang bersalah merupakan hal yang lumrah dan harus dilaksanakan dalam organisasi. mewujudkan
postur
Oditur
yang
diharapkan
Guna
hendaknya
Babinkum TNI dan Oditurat Jenderal TNI dalam pemberian Reward and punishment kepada Oditur harus seimbang baik keberhasilan
dengan
penghargaannya
maupun
kesalahan
dengan hukumannya, dengan tanpa mengesampingkan asas kepantasan dan praduga tak bersalah. (4)
Pegawasan. Pengawasan
dalam
suatu
system
merupakan hal terpenting, oleh sebab itu fungsi pengawasan yang selama ini sudah berjalan Babinkum TNI maupun Oditurat jenderal TNI, dalam mengawasi kinerja Oditur, sepertinya masih harus ditata baik masalah kewenangan, maupun prosesnya. Babinkum
TNI
dan
Oditurat
Jenderal
TNI
harus
lebih
memperjelas tugas dan tanggung jawab Fungsi pengawasan yang
dilaksanakan
oleh
Babinkum
TNI
maupun
fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh Oditurat Jenderal TNI, sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengawasan.
Fungsi
pengawasan yang tepat adalah disesuaikan pada fungsi pembinaan organisasi, pengawasan personil maka fungsi pengawasannya berada di Diswas Babinkum TNI dan demikian pula yang menyangkut teknis maka fungsi pengawasannya berada di Diswas Oditurat Jenderal TNI. 2)
Mabes Angkatan dalam hal ini Puspom angkatan mengadakan
program pendidikan dan pengawasan terhadap pelaksanaa program pendidikan, kursus dan pelatihan hukum personel Pom meliputi: a)
Pendidikan. Pendidikan merupakan bagian dari pembinaan
prajurit
yang
berkualitas
mempunyai dan
tujuan
berpengetahuan
membentuk luas
personel
dalam
yang
mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna mendukung tugas TNI. Untuk mendapatkan Prajurit Pom yang profesional, maka diperlukan pendidikan yang menunjang pelaksanaan tugas yaitu:
63
(1)
Pendidikan
Pengembangan
Umum
(Dikbangum).
Dikbangum lebih dititik beratkan bagi perwira. pengembangan
umum
ini
bertujuan
Pendidikan
memberikan
bekal
pengetahuan dan wawasan pengetahuan agar dapat bersikap dan bertindak sebagai staf pelaksana maupun komandan satuan sesuai kepangkatan dan jabatan yang diembannya. (2)
Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Dik Iptek).
Dik Iptek dapat diberikan kepada seluruh personil Pom tetapi lebih diutamakan bagi Perwira yang memiliki tekad dan kemauan yang keras, khususnya yang sesuai dengan bidang tugas Pomau. Pendidikan tersebut berupa pendidikan S-1 dan S-2
bidang
Hukum
atau
bagi
seluruh
perwira
yang
dilaksanakan di dalam maupun luar negeri. (3) b)
Pendidikan Pengembangan Spesialisasi (Dikbangspes).
Latihan.
Latihan dilakukan bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan prajurit Pom.
Puspom angkatan menyelenggarakan
latihan penyidikan di bidang penegakan hukum dan penanganan terhadap korban berikut barang bukti serta cara pengambilan keterangan terhadap saksi-saksi mengetahui
secara
yang
berada
di
TKP
yang
langsung suatu tindak perkara pidana. Oleh
karena itu latihan-latihan yang dilaksanakan harus terarah, bertingkat dan berlanjut sesuai pola latihan yang telah ditentukan yaitu : (1)
Olah Tempat Kejadian Perkara (TKP).
(2)
Latihan penggunaan alat bantu penyidikan. Latihan ini
dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan pelatihan kepada
penyidik
Pom
tentang
alat
bantu
penyidikan
diantaranya meliputi: (a)
Pemeriksaan
Laboratorium
kriminal
sangat
diperlukan dalam pembuktian suatu tindak pidana tertentu seperti kasus narkoba, penembakan dan pembunuhan.
64
(b)
Latihan penggunaan peralatan dactiloscopy untuk
meneliti yang
dan
menghitung
menyangkut
sidik jari maupun hal lain
terjadinya
suatu
tindak
pidana
bagaimana penyidik mengambil teraan sidik jari yang terdapat di TKP kemudian menghitungnya melalui rumus teraan sidik jari guna membantu pengungkapan kasus tersebut. (c)
Latihan
penggunaan
alat
penyadap.
Alat
penyadapan telephone maupun Handphone. (d)
Latihan penggunaan alat pendeteksi uang palsu.
(e)
Latihan penggunaan alat deteksi kebohongan (Lie
Detector).
(f)
Pelatihan
penggunaan
alat
tes
urine
untuk
pembuktian awal terhadap kasus narkotika dan obatobatan. (g)
Pelatihan penggunaan alat samaran dalam rangka
mencari data yang dilaksanakan secara rutin dan terprogram. (h)
Latihan rekonstruksi terhadap tindak pidana untuk
memperjelas
motif
dan
kronologis
suatu
peristiwa.
Kegiatan latihan rekonstruksi ini harus dimaksimalkan dan diberikan secara rutin atau pada saat di pendidikan. (i)
Melaksanakan latihan penggunaan alat peralatan
olah TKP kejadian Lalu lintas seperti rol meter dan garis batas polisi ( police line) baik itu di pendidikan maupun di satuan. (j)
Memberikan latihan penggunaan foto dan handycam
untuk menyimpan dokumen dan merekam setiap kejadian
65
dan petunjuk yang dapat digunakan untuk kepentingan penyidikan. secara terprogram. (k)
Latihan penggunaan radio rekam untuk merekam
keterangan dari saksi, korban maupun tersangka kepada seluruh jajaran Pomau . (3)
(4)
d.
Strategi 4.
prasarana
yaitu
Taktik dan Teknik Penyidikan. (a)
Pemeriksaan Saksi
(b)
Pemeriksaan saksi Korban.
(c)
Pemeriksaan Tersangka
Pemberkasan Perkara.
Memenuhi Sarana dan Prasarana. perangkat
keras
yang
berkaitan
Sarana dan langsung
dalam
penyelenggaraan hukum di lingkungan TNI, seperti gedung pengadilan, rumah tahanan, sarana transportasi, sarana komunikasi, peralatan kantor dan lain-lain.
Upaya yang perlu dilaksanakan dalam rangka memenuhi sarana
dan prasarana adalah sebagai berikut :
1)
Mahkamah Agung.
a) Melaksanakan Pembinaan sistem informasi.
b)
Membangun
sistem
informasi
yang
bertujuan
membangun keterbukaan sistem peradilan sebagai bentuk pelayanan publik dan suatu bentuk sistem control terhadap sistem dan proses peradilan. Wujud penting keterbukaan yaitu adanya akses publik terhadap kinerja pengadilan yang berkaitan dengan putusan, penetapan pengadilan dan hal-hal lainnya.
c)
Pengembangan jaringan Internet, komputerisasi dan
peralatan pembantu pengungkapan kasus.
66
3)
Mabes TNI.
a)
Melaksanakan pengadaan peralatan komputer dilengkapi
dengan jaringan internet untuk dialokasikan diseluruh jajaran Dinas Hukum TNI. b)
Melaksanakan
pengadaan
perpustakaan
khususnya
tentang pengetahuan hukum di satuan-satuan sehingga dapat dijadikan sebagai sarana sosialisasi tentang hukum terhadap seluruh personel TNI baik secara langsung maupun tidak langsung.
c)
Meningkatkan sarana dan prasarana dibidang hukum
khususnya rumah tahanan militer, pembinaan khusus prajurit yang ditahan. d)
bagi
Upaya yang dilakukan TNI antara lain :
Membantu menyediakan ruang sidang yang dimiliki TNI
untuk digunakan sidang kasus perkara hukum apabila memang dibutuhkan karena sidang yang dimiliki TNI frekuensinya jarang digunakan. e)
Membantu menyediakan tempat-tempat tahanan untuk
digunakan sementara bagi tersangka tindak kejahatan pada tiaptiap satuan maupun pada daerah operasi. f)
Membantu menyediakan tenaga diberbagai ahli psikologi
untuk penyelesaian khususnya masalah kejiwaan. g)
Meningkatkan
pemeliharaan
terhadap
sarana
dan
prasarana yang ada agar dapat digunakan sambil menunggu penggantian dengan yang baru. h)
Mengajukan ke Komando Atas untuk mengganti terhadap
sarana dan prasarana yang sudah tidak layak pakai.
67
e.
Strategi 5.
Optimalisasi Fungsi Pengawasan Terhadap Kualitas
Putusan dan Prilaku Hakim.
1)
Mahkamah Agung RI melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a)
Melakukan koordinasi dengan Pengadilan Militer Utama
dan Pengadilan Tinggi Militer dan membentuk kelompok kerja yang membahas tentang upaya optimalisasi fungsi pengawasan terhadap kualitas putusan dan Prilaku Hakim.
b)
Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan komisi
yudisial dalam melaksanakan pengawasan terhadap prilaku Hakim.
c)
Mengoptimalkan fungsi badan pengawas MARI dengan
melaksanakan pengawasan langsung melalui kunjungan kerja pada setiap satker yang ada di daerah.
e)
Membuka seluas luasnya fungsi kontrol publik dengan
mewajibkan setiap Pengadilan Militer memuat setiap putusan dalam wabesite agar di ketahui oleh kalayak.
2)
Pengadilan Militer Utama melaksanakan fungsi pengawasan
dengan melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a)
Melaksanakan pembinaan teknis peradilan secara terus
menerus
kepada
Hakim
Militer
yang
berkaitan
dengan
peningkatan kualitas putusan.
b)
Melaksanakan eksaminasi putusan untuk mengukur
kualitas putusan Hakim dalam rangka menilai kinerja hakim dalam menangani perkara.
c)
Memberikan
penghargaan
kepada
Hakim
yang
berprestasi dan mempunyai kinerja yang baik serta memberikan
68
hukuman kepada hakim yang melakukan pelanggaran baik pelanggaran terhadap kode etik Hakim maupun pelanggaran hukum lainnya.
f.
Strategi 6.
Memenuhi Peranti Lunak yang Selaras dengan
Praktek Penegakan Hukum.
Piranti lunak yaitu semua produk-produk hukum
dan materi hukum yang mengatur tata kehidupan militer, upaya-upaya yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut :
1)
Mahkamah Agung RI
a)
berkoordinasi
dengan
Kemenhan
dan
Mabes
TNI
bersama-sama DRP RI melakukan revisi terhadap Undangundang Nomor : 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, revisi ini menindaklanjuti isi dari Undang-undang no 34 Tahun 2004 tentang TNI dimana adanya perbedaan tentang penangganan perkara yang dilakukan oleh prajurit TNI yaitu pada pasal 65 Undang-undang TNI menyatakan “ Bahwa prajurit TNI tunduk pada peradilan umum apabila melakukan tindak pidana umum” hal ini kontra produktif/ pertentangan dengan Undang-undang no 31 tahun1997 sehingga untuk memperjelas Pemerintah, DPR perlu melakukan revisi terhadap ketentuan yang mengatur pelaksanaannya sehingga akan mempermudah tugas aparat penegak hukum TNI dalam bekerja dan menghindari terjadinya kesalah pahaman saat pelaksanaan tugas dilapangan.
b)
Membentuk Pokja dalam rangka membuat buku pedoman
untuk Hakim dalam menerapkan hukuman minimum khusus.
c)
Mengadakan sosialisasi buku pedoman Hakim dalam
penerapkan
hukuman
minimum khusus
guna terciptanya
kesamaan persepsi dalam penerapan.
2)
Mabes TNI dan Mabes Angkatan melaksanakan pemenuhan
Produk-produk hukum dengan melaksanakan upaya sebagai berikut :
69
a)
Membentuk pokja gabungan dari praktisi hukum militer
dengan melibatkan pihak praktisi hukum sipil untuk membuat produk hukum sesuai dengan kebutuhan. b)
Menyebarluaskan produk-produk hukum yang sesuai
dengan perkembangan jaman ke seluruh prajurit TNI.
c)
Mengadakan seminar dan diskusi tentang materi yang
berkaitan dengan produk hukum. d)
Mengadakan penelitian dan evaluasi terhadap materi
produk hukum TNI
yang ada serta merevisi materi produk
hukum tersebut untuk disesuaikan dengan perkembangan saat ini. 3)
Mabes TNI dan Mabes Angkatan melaksanakan pemenuhan
materi hukum dengan melaksanakan upaya sebagai berikut :
a)
Mengadakan penelitian dan evaluasi terhadap materi
hukum yang ada. b)
Merevisi materi hukum yang ada apabila sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan jaman.
c)
Koordinasi dengan pihak lain agar materi hukum tidak
keluar dari koridor hukum. 4)
Diskum Angkatan dan Puspom Angkatan.
a) TNI
Bekerjasama dengan Babinkum TNI, Oditurat Jenderal melakukan kajian terhadap pasal-pasal dalam Undang-
undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang selama ini menjadi dasar hukum dalam proses penegakkan hukum.
70
b)
Bekerjasama dengan Spers Angkatan menyusun dan
merevisi petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis yang digunakan aparat penegak hukum sebagai payung hukum dalam melaksanakan tugas.
c)
Melakukan sosialisasi
tentang
petunjuk teknis
dan
petunjuk pelaksanaan kepada seluruh aparat penegak hukum yaitu POM Angkatan dan Diskum Angkatan agar memahami dan digunakan sebagai payung hukum dalam pelaksanaan tugas, agar tidak menimbulkan kesalahan penafsiran terhadap peraturan yang akan diberlakukan.
71
BAB VII PENUTUP 28.
Kesimpulan.
Dari uraian naskah tentang optimalisasi sistem penegakan
Hukum dan penerapan sistem Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek jera dalam rangka mewujudkan organisasi TNI yang bebas Narkoba dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.
Dalam melaksanakan tugasnya prajurit TNI harus mempunyai tingkat
disiplin yang tinggi dan profesional di bidangnya, untuk itu perlu di didukung oleh perangkat hukum yang melindungi kepentingan militer guna menjaga tetap tegaknya sendi-sendi kehidupan prajurit.
b.
Dengan marakan kasus Narkoba yang melibatkan Prajurit TNI maka
perlu di lakukan penegakan Hukum yang tegas dan berkeadilan dengan menerapkan sanksi pidana berefek jera untuk menjaga tingkat disiplin prajurit agar senantiasa berprilaku sesuai dengan tata kehidupan keprajuritan. Untuk dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada seorang prajurit TNI yang melanggar aturan hukum diperlukan sebuah institusi atau lembaga yang memiliki wewenang untuk itu
c.
Penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku
tindak pidana narkotika juga dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis yang dapat memberikan dampak baik negatif maupun dampak positif. Pengaruh negatif perkembangan lingkungan strategis harus dihadapi dengan menggunakan segala
upaya.
Sedangkan pengaruh positif
perkembangan lingkungan strategis dapat dijadikan
peluang untuk lebih
mengoptimalkan penerapan sistem hukuman minimum khusus bagi prajurit pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek jera.
d.
Penerapan sistem Hukuman minimum khusus akan optimal apabila
sistem penegakan hukum berjalan dengan baik dan adanya kesamaan persepsi dalam menerapkan Hukum. Oleh karenanya di perlukan kebijakan, strategi dan upaya-upaya mengoptimalkaan sistem penegakan Hukum di
72
lingkungan TNI guna memberikan efek jera dalam rangka mewujudkan organisasi TNI yang bebas Narkoba
29.
Saran.
Untuk efektivitas sistem penegakan Hukum dan penerapan sistem
Hukuman minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika guna memberikan efek jera dalam rangka mewujudkan organisasi TNI yang bebas Narkoba, disarankan hal-hal sebagai berikut :
a.
Agar Mahkamah Agung RI melakukan kerjasama dengan Babinkum
TNI dan Puspom angkatan di bidang pembinaan teknis penanganan perkara dengan
tujuan
untuk
menyamakan
persepsi
dan
tindakan
dalam
menyelesaikan kasus narkotika yang dilakukan oleh prajurit.
b.
Agar Mahkamah Agung RI dalam mengadakan pembinaan teknis
peradilan melibatkan personel Oditurat Militer dan POM angkatan sebagai peserta
dengan
tujuan
agar
terjadi
pertukaran
informasi
dan
ilmu
pengetahuan hukum khususnya ilmu praktis tentang penanganan perkara.
c.
Agar dalam pelaksanaan penyelesaian perkara narkotika prajurit TNI
hendaknya dilakukan pengawasan yang ketat oleh Pengadilan Militer Utama selaku pembina teknis Peradilan Militer, Babinkum TNI sebagai badan pembina teknis yudisial dilingkungan Oditurat Militer dan Puspom Angkatan dengan tujuan agar aparat penegak hukum di lingkungan TNI melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai dengan yang telah di gariskan oleh peraturan perundang-undangan.
Lembang,15 September 2012
Mirtusin,SH.,MH. Mayor Sus Nrp 520881
73 DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Abdurrahman, Muslan, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Malang: UMM Press, 2009. Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana 2008. -----------------------------, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: CV.Ananta, 1994. ----------------------------, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998. Arief, Dikdik dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2007. Bonger, W.A., Pengantar tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Dirdjosisworo, Soedjono, Pathologi Sosial, Bandung: Alumni, 1982. --------------------------------, Ruang Lingkup Kriminologi, Bandung: Remaja Karya, 1987. -------------------------------, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990. Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 1991. Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Delinquency, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997. Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
74
Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Surabaya: Bayumedia, 2008.
Penelitian
Hukum
Normatif,
Kelana, Momo, Hukum Kepolisian, Jakarta: Grasindo, 1994. Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. Lubis, Solly,Serba Serbi Politik dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni,1989. Makarao, Moh. Taufik, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003. Mardani, Bunga Rampai Hukum Aktual, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008. Marpaung, Leden, Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1991. Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006. M.D, Mahfud, Politik hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1996. Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008. Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Prasetyo, Teguh, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Prakoso, Djoko, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Indonesia 2, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.
Hukum
Pidana
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Bandung: Alumni, 1978.
75
Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru, 1993. Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003. ---------------------, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan dan Pra Peradilan Dalam Teori dan Praktek, cetakan 1, Bandung: Mandar Maju, 2007. Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI:Press, 2005. ----------------------, Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia, 1981. Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Sudarto, Hukum Pidana, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990. ----------, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983. ----------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986. Taufik, Moh. Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003. Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press, 2008.
B. Majalah, Jurnal Ilmiah, Surat Kabar Lubis, Lusiana Andriani, Peranan Komunikasi Dalam Penanggulangan Korban Penyalahgunaan Narkoba, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Pemberdayaan Komunitas Vol. 3 No. 1 Januari 2004 Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, Fakultas Hukum USU tanggal 18 Februari, 2003. Nurmalawaty, Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan
76
Narkoba, Majalah Hukum USU Vol. 9 No. 2 Agustus 2004. Sianipar, Togar M., Perkembangan Kejahatan Narkoba, Makalah dalam seminar Narkoba di Departemen Kehakiman dan HAM tanggal 22 Juli 2003. C. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Bidang Hankam (HANKAM) 1999, Babinkum TNI D.
Internet
http://www.advokatmuhammadjoni.com/opini/artikel-hukum/181-efektifitas penerapan-hukum.html. diakses tanggal 2 Pebruari 2012. http://ilhamidrus.blogspot.com/2009/06/artikel-efektivitas-hukum.html. diakses tanggal 2 Pebruari 2012. Yanen Dwimukti Wibowo, Kasus Penyalahgunaan Narkoba Khususnya pada Remaja, http://www.wikimu.com/News/DisplayNewsRemaja.aspx?id=5309, diakses tanggal 22 Juli 2012. http://www.scribd.com/doc/38464777/Mengenal Jenis Dan penyalahgunaan Napza diakses tanggal 22 Juli 2012.
Faktor Penyebab
http://sawal99.wordpress.com/2009/04/29/penanggulangan-narkoba, diakses tanggal 22 Juli 2012. http://www.anneahira.com/narkoba/penanggulangan-narkoba.htm, diakses tanggal 22 Juli 2012. http://wartapedia.com/nasional/statistik/167-sosial-demografi-secara-umumpenduduk-indonesia.htm diakses tanggal 7 Juli 2012. http://veromons.blogspot.com/2012/02/6-negara-produksi-narkoba-terbesardi.html di akses pada tanggal 11 Agustus 2012.
77
DAFTAR PENGERTIAN
1.
Atasan yang Berhak Menghukum adalah atasan langsung yang mempunyai
wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku
dan
berwenang
melakukan
penyidikan
24
berdasarkan Undang-undang ini. 2.
Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang
selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan.25 3.
Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi, Oditurat Jenderal Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, dan Oditurat Militer Pertempuran yang selanjutnya disebut Oditurat adalah badan di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.26 4.
Das Sollen adalah segala sesuatu yang mengharuskan kita untuk berpikir
dan bersikap. Contoh : dunia norma, dunia kaidah dsb. Dapat diartikan bahwa das sollen merupakan kaidah dan norma serta kenyataan normatif seperti apa yang seharusnya dilakukan.27 5.
Das Sein adalah segala sesuatu yang merupakan implementasi dari segala
hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen dan mogen. Dapat dipahami bahwa das sein merupakan peristiwa konkrit yang terjadi. Peristiwa konkrit (das sein) memerlukan das sollen untuk menjadi peristiwa hukum. Begitu pula sebaliknya, dunia norma (das sollen) juga memerlukan peristiwa konkrit (das sein) untuk menjadi peristiwa hukum. Contoh : terdapat aturan "barangsiapa membunuh harus dihukum..", maka bila tidak terjadi pembunuhan maka tidak berlaku pula aturan ini.28
24
Ibid, Pasal 1 ayat (7). Ibid, Pasal 1 ayat (4). 26 Ibid, Pasal 1 ayat (2). 27 http://belajarhukumindonesia.blogspot.com/2010/03/das-sollen-dan-das-sein.html. di akses pada tanggal 12 Agustus 2012. 28 Ibid. 25
78
6.
Narkoba (Narkotika dan Obat/Bahan Berbahaya) adalah istilah yang
digunakan oleh penegak hukum dan masyarakat. Yang dimaksud dengan bahan berbahaya adalah bahan yang tidak aman digunakan atau membahayakan dan penggunaannya bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum (ilegal).29 7.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.30 8.
Pengadilan Militer. Pengadilan Militer adalah badan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.31 9.
Perwira Penyerah Perkara adalah perwira yang oleh atau atas dasar
Undang-undang ini mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berada di bawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan di luar Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.32 10.
Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut Penyidik adalah Atasan yang Berhak Menghukum, pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan.33 11.
Penegakan hukum (law enforcement), merupakan suatu istilah yang
mempunyai keragaman pengertian. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu
29
http://pakarinfo.blogspot.com/2010/11/pengertian-narkoba-efek-samping-dan.html Diakses Pada 14
Agustus 2012. 30 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 ayat (1). 31 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer Pasal 1 ayat (1). 32 Ibid, Pasal 1 ayat (10). 33 Ibid, Pasal 1 ayat (16)
79
pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan.34 12.
Penerapan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penerapan berasal
dari kata terap yang berarti proses, cara. Penerapan bermakna perbuatan atau tindakan melaksanakan sesuatu atau perihal untuk mempraktikkan suatu hal.35 Blom (1986) menjelaskan penerapan adalah mencakup kemampuan untuk menerapkan informasi pada suatu kasus atau problem yang konkret dan baru. Adanya kemampuan dinyatakan dalam aplikasi suatu rumus ada persoalan yang belum dihadapi atau aplikasi suatu metode kerja pada pemecahan problem baru.36
Berdasarkan pengertian ini dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan
penerapan
sistem
hukuman
minimum
khusus
adalah
tindakan
mempraktikkan atau mengaplikasikan sistem hukuman minimum khusus. Dalam konteks ini untuk menggambarkan kondisi saat ini yang berkaitan dengan penerapan sistem hukuman minimum khusus maka dapat di jelaskan hal-hal sebagai berikut. 13.
Sistem Pidana Minimum Khusus. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa
sistem pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu untuk delikdelik tertentu yang
dipandang
sangat merugikan,
membahayakan
atau
meresahkan masyarakat dan delik-delik yang dikualifikasir oleh akibatnya sebagai ukuran kuantitatif yang dapat dijadikan patokan bahwa delik-delik yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun yang dapat diberi ancaman minimum khusus, karena delik-delik itulah yang digolongkan sangat berat.37 Sistem pemidanaan pada tindak pidana Narko tik a yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menetapkan ancaman minimum khusus dan maksimum khusus, baik mengenai pidana penjara maupun pidana denda dan tidak menggunakan sistem dengan menetapkan ancaman
pidana maksimum umum
dan minimum umum seperti dalam KUHP (Lihat lampiran IV Perumusan Pidana dan Jenis Pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009). Maksimum khusus
pidana
penjara
yang
diancamkan
jauh melebihi maksimum umum
34
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 15. 35 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Balai Pustaka. Jakarta. 1997. Hal. 745. 36
37
www. Petra Christian University Library.co.id. Diakses Pada 14 Agustus 2012.
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2002. Hal..128.
80
dalam KUHP (15 tahun), yakni paling tinggi sampai 20 tahun. Dalam KUHP boleh menjatuhkan pidana penjara sampai melebihi batas maksimum 15 (lima belas) tahun yakni 20 (dua puluh tahun), dalam hal apabila terjadi pengulangan atau perbarengan ( karena dapat ditambah sepertiganya) atau tindak pidana tertentu sebagai alternatif dari pidana mati (misal Pasal 104, 340, 365 ayat 4 KUHP). 14.
Teknologi informasi yang biasa disebut TI, atau IT. Berbagai defines telah
diberikan oleh pakar mengenai pengertian Teknologi informasi yakni : a.
Menurut Haag dan Keen (1996) : teknologi informasi adalah
seperangkat alat yang membantu anda bekerja dengan informasi dan melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan pemrosesan informasi. b.
.Menurut martin (1999) teknologi informasi tidak hanya terbatas pada
teknologi computer yang digunakan untuk memproses dan menyimpan informasi melainkan juga mencakup teknologi komunikasi untuk mengirimkan informasi. c.
Menurut Willams dan Sawyer (2003) : teknologi informasi adalah
teknologi
yang
menggabungkan
komputasi
(computer)
dengan
jalur
komunikasi berkecepatan tinggi yang membawa data, suara dan video. Dari beberapa definisi diatas, teknologi informasi mencakup gabungan antara teknologi computer dan teknologi telekomunikasi.38 15.
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, selanjutnya menurut wujud atau sifatnya tindak pidana itu adalah perbuatan yang melawan hukum dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat dari terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi tindak pidana, apabila perbuatan itu
melawan hukum,
merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana dan pelakunya diancam dengan pidana.39
38
http://id.shvoong.com/society-and-news/2012515-pengertian-teknologi-informasi/. Di akses tanggal 12 Agustus 2012. 39 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hal. 16.
81
82
Grafik Data Perkara Tindak Pidana Narkotika Prajurit TNI Tahun 2010-2011
TNI AU 120
TNI AL 107
97
100 80 60
42 40 20
33 20
16
0 Tahun 2010
Tahun 2011
TNI AD
83
Gambar Perkembangan Lingkungan Strategis Tindak Pidana Narkotika
84
85
86
87
88
89
Perumusan Pidana dan Jenis Pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Perbuatan Melawan Kategori I
Kategori II
Kategori III
Kategori IV
Pidana Penjara Narkotika Gol. I
4-12 th 5-20 th
4-12 th 5-20 th
5-15 th 5-20 th
5-15 th 5-20 th
Pidana Penjara Narkotika Gol. II
X
3-10 th 5-15 th
4-12 th 5-20 th
4-12 th 5-15 th
Pidana Penjara Narkotika Gol. III
X
2-7 th 5-20 th
3-10 th 5-15 th
3-10 th 5-15 th
Penjara seumur hidup Narkotika Gol. I
Berat lebih 1kg/ 5 btg pohon
Berat melebihi 5 gram
X
X
Berat melebihi 5 gram
X
X
X
X
X
Denda 800 JT-4 M
Denda 800 JT-8M denda max +1/3
Denda 1 M-10M denda max +1/3
Denda 1 M-10M denda max +1/3
Hukum Jenis Pidana
Narkotika Gol. II
Mengakibatkan org lain mati/ cacat permanen
Mengakibatkan org lain mati/ cacat permanen
Narkotika Gol. III
Pidana Denda Narkotika Gol. I
90
X
Denda 600 JT-5 M denda max +1/3
Denda 800 JT-5 M denda max +1/3
Denda 800 JT-6 M
X
Denda 400 JT-3 M denda max +1/3
Denda 600 JT-5 M denda max +1/3
Denda 600 JT-5 M denda max +1/3
Narkotika Gol. II
Narkotika Gol. III
Keterangan : Jenis-jenis perbuatan tanpa hak dan melawan hukum yang diatur dalam tindak pidana narkotika di bedakan dalam 4 kategori yakni : 1. Kategori I menyediakan.
: Menanam, memelihara, menyimpan, menguasai, atau
2.
: Memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan.
Kategori II
3. Kategori III : Menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau penyerahan. 4.
Kategori IV
: menggunakan, memberikan untuk di gunakan orang lain.
91