BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Studi ini bermaksud untuk mengkaji lebih dalam permasalahan peran politisi
perempuan di parlemen dalam perumusan kebijakan, dimana peran politisi perempuan di DPRD Provinsi DIY dalam proses perumusan Peraturan Daerah (Perda) nomor 3 tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan akan dijadikan sebagai tolak ukur dari peran politisi perempuan DIY. Isu peran perempuan dalam kegiatan politik di Indonesia menemukan momentum sangat penting sejak tumbangnya rezim otoriter orde baru pada tahun 1998, yang menjadi simbol bangkitnya kembali demokrasi di Negara ini. Seiring dengan semakin merebaknya isu pemberdayaan masyarakat sipil, kebebasan berpendapat dan berkumpul, kebebasan pers, sistem kepartaian multipartai, serta politik lokal dan otonomi daerah, makin berkembang pula isu pemberdayaan perempuan dalam politik. Sepanjang tahun 2001, perdebatan mengenai representasi dan peran politik perempuan makin meningkat dan mendominasi agenda politik, antara lain berkat gigihnya organisasi-organisasi aktivis masyarakat sipil yang vokal dalam menyuarakan isu ini. Salah satu isu yang paling penting yang mereka serukan adalah penerapan kuota 30% bagi perempuan dalam proses pemilu dan peran politik perempuan dalam parlemen1. Era reformasi politik sejak tahun 1999 ini ditandai salah satunya dengan semakin gigihnya kaum perempuan sadar politik untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga perwakilan rakyat, baik DPR maupun DPRD, dan lembaga-lembaga lainnya yang mereflesikan perwakilan perempuan dalam politik2. Upaya pelembagaan politik melalui pemberdayaan dan pemberian ruang peran perempuan dalam politik tersebut menunjukkan kemauan politik (political will) pemerintah yang apresiasif terhadap perkembangan pengarus-utamaan gender dalam pusaran politik nasional3. Dengan pemberian jaminan keterlibatan perempuan di lembaga legislatif tersebut,
1
Cecilia Bylesjo dan Julio Ballington, Dalam Laporan Konferensi dan Lokakarya, Memperkuat Peran Politik Perempuan di Indonesia, International IDEA,(2002), hal.3, download pada Maret 2014,
http://www.komunitasdemokrasi.or.id/article/memperkuat.pdf 2
Di antara tanda merebaknya gerakan pemberdayaan politik dalam perempuan di dalam politik ini adalah pembentukan dan pengembangan berbagai kaukus perempuan yang menjadi mitra Kementrian Pemberdayaan antara lain: KOWANI, Kaukus Perempuan Parlemen, Kaukus Perempuan Politik Indonesia, Dharma Wanita Persatuan. Lihat Perempuan dan Politik, (2003), Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI, hal.8 3 Tari Siwi Utami (2001), Perempuan Politik di Parlemen, Yogyakarta: Gama Media, hal.7
1
perempuan dapat berperan dan mempengaruhi pengambilan keputusan yang secara khusus akan dapat menaikkan harkat dan martabat perempuan itu sendiri, baik dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum. Dengan menjadi bagian dari penentu utama kebijakan publik, baik pada tingkat nasional maupun lokal, perempuan yang berperan dalam politik legislatif diharapkan dapat lebih maksimal melahirkan kebijakan-kebijakan yang pro perempuan. Karena pentingnya posisi strategis dari peran perempuan dalam kegiatan politik legislatif tersebut, respon pemerintah yang pada akhirnya menetapkan kuota 30% untuk perempuan di lembaga legislatif tersebut dapat di anggap sebagai langkah kebijakan publik yang sangat berarti. Demikianlah, kebijakan politik memang sangat berarti bagi pemberdayaan perempuan karena melalui keputusan politik ini segala aktivitas kehidupan dapat di tentukan. Namun, ternyata pemberian hak legal perempuan untuk terlibat dalam politik dan proses perumusan kebijakan publik seperti itu tidak akan serta merta mendorong berkembangnya banyak peran perempuan didalamnya. Tak bisa dilepaskan dari tradisi perpolitikan politik di era orde baru, dimana program-program pemberdayaan perempuan di warnai dengan pembisuan dan kooptasi oleh organisasi dominan seperti Dharma wanita dan PKK, tak sedikit perempuan yang lebih senang dipengaruhi oleh kebijakan yang melanggengkan domestifikasi perempuan. Akibatnya, ketika keran politik dibuka bagi perempuan, melalui kuota 30% di lembaga legislatif tersebut, maka terjadi kelambanan peningkatan peran perempuan dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks kekinian juga, kurangnya pendidikan politik untuk perempuan membuat politisi perempuan di parlemen lebih banyak
pasif. Machya
menjelaskan pasifnya anggota legislatif perempuan diakibatkan kurangnya pemahaman mereka tentang agenda apa yang harus menjadi skala prioritas yang harus diperjuangkan di Dewan4. Seperti dijelaskan diatas bahwa politisi perempuan belum banyak berperan dalam perumusan kebijakan diparlemen, politisi perempuan hanya menjadi peserta ketika dirapat perumusan kebijakan tentang perempuan dan menjadi penikmat ketika kebijakan tersebut disahkan. Rendahnya peran politisi perempuan dalam proses lahirnya suatu kebijakan merupakan salah satu tema besar yang selalu muncul dalam diskursus mengenai reposisi peran perempuan dalam pembangunan dan politik. Salah satu aspek yang selalu muncul 4
Machya Astuti Dewi (2009),Potret Anggota Legislatif Perempuan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Antara Misi dan Kapasitas Personal, Dalam Gender dan Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal.196
2
dalam diskursus ini adalah persoalan representasi kaum perempuan dalam struktur politik nasional maupun daerah, termasuk pula keterlibatan perempuan dalam proses perumusan kebijakan publik di pusat hingga daerah yang dirasakan belum cukup memadai. Persoalan ini muncul terutama bila membandingkannya secara dikotomis dengan eksistensi kaum perempuan dalam konteks kuantitatif yang rata-rata sebanding dengan setengah populasi nasional maupun daerah. Oleh karena itu studi ini menjadi penting untuk dilakukan, mengingat kebanyakan masyarakat berpendapat bahwa umumnya politisi perempuan yang duduk di parlemen hanya sebagai kosmetik atau pelengkap kuota yang 30% saja. Padahal wakil perempuan yang duduk di lembaga legislatif mengemban misi penting untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Berangkat dari fenomena rendahnya peran politisi perempuan di Provinsi DIY dalam menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan perempuan, seperti dalam tulisan Machya Astuti Dewi tentang potret anggota legislatif perempuan di DIY : antara misi dan kapasitas personal dalam gender dan politik, studi ini tidak hanya memaparkan bagaimana peran politisi perempuan dalam proses perumusan perda nomor 3 tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan, tetapi juga menelisik lebih dalam tentang faktor keberhasilan politisi perempuan di DPRD DIY periode 2009-2014 dalam proses perumusan perda nomor 3 tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut : “Bagaimana peran politisi perempuan di parlemen dalam proses perumusan Perda Provinsi DIY no. 3 tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan??”
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini diharapkan menjadi rekam jejak terhadap dampak kehadiran perempuan
di parlemen dan juga sebagai referensi sejauh mana peran politisi perempuan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.Sebab, hak politik perempuan memang selalu menjadi pembicaraan yang hangat dan masih terus bergulir sampai saat ini. Adapun peran politisi perempuan dalam proses perumusan Perda Provinsis DIY No.3 tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan akan di jadikan sebagai tolak ukur.
D.
Literatur Review 3
Studi tentang peran politisi perempuan dalam suatu proses perumusan kebijakan publik sebelumnya telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti dan aktivis perempuan. Rosawati misalkan dalam tulisannya Kinerja anggota legislatif perempuan di DPRD Banyumas periode 2009-2014 menuliskan bahwa peran perempuan dalam pembuatan dan pengambilan keputusan di DPRD masih relatif terbatas dalam memanfaatkan hak inisiatifnya untuk merumuskan rancangan peraturan daerah, sehingga kurangnya respon anggota DPRD perempuan membuat permasalahan perempuan di Kabupaten Banyumas masih tidak teratasi.5 Sama halnya dengan hasil penelitian Sarah Nuraini Siregar yang meneliti tentang pemberontakan perempuan Aceh dalam dunia politik : Studi keterwakilan perempuan di parlemen lokal6, mengungkapkan bahwa anggota DPRD perempuan dianggap kurang mengakomodir aspirasi maupun kepentingan perempuan Aceh. Secara kualitas, perfoma anggota DPRD perempuan ini belum berperan ketika mengawal isu-isu perempuan dalam setiap perumusan kebijakan di dewan. Senada dengan Machya Astuti Dewi7 dalam tulisannya potret anggota legislatif perempuan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta : antara misi dan kapasitas personal, menemukan bahwa perempuan yang duduk dalam parlemen, khususnya di Yogyakarta sangat jarang menyampaikan usulan atau pendapat dalam sidang-sidang komisi atau rapat dalam panitia khusus perumusan suatu kebijakan. Menurutnya kebanyakan anggota legislatif perempuan bersikap pasif. Machya menjelaskan pasifnya anggota legislatif perempuan diakibatkan kurangnya pemahaman mereka tentang agenda apa yang harus menjadi skala prioritas yang harus diperjuangkan di Dewan. Karena mereka tidak paham tentang agenda apa yang harus menjadi prioritas maka mereka juga tidak bisa berperan aktif dalam proses lahirnya suatu kebijakan publik yang pro perempuan. Berbeda dengan tiga penelitian di atas yang hasil penelitiaannya berkesimpulan bahwa kurangnya peran politisi perempuan dalam suatu perumusan kebijakan publik di parlemen. Penelitian oleh Sri Yanuarti8, dalam pergulatan ditengah marginalisasi dan dominasi kultur patriarkhi : perempuan, partai politik dan parlemen di NTB menuliskan tentang peran anggota legislatif perempuan dalam merumuskan suatu kebijakan publik. 5
Rosawati (2014), Kinerja anggota legislatif perempuan di DPRD Banyumas periode 2009-2014, dalam yayasan jurnal perempuan 6 Sarah Nuraini Siregar (2012), pemberontakan perempuan Aceh dalam dunia politik : Studi keterwakilan perempuan di parlemen lokal, LIPI, Jakarta : PT. Gading Inti Prima, hal. 68 7 Machya Astuti Dewi, Op.Cit., hal.190 dan 196 8
Sri Yanuarti (2012),Pergulatan di Tengah Marginalisasi dan Dominasi Kultur Patriarkhi : Perempuan, Partai
Politik dan Parlemen di NT, LIPI, Jakarta : PT. Gading Inti Prima, hal. 152
4
Menurutnya anggota DPRD perempuan sangat berperan dalam perumusan kebijakan publik yang dilahirkan oleh parlemen. Hal itu terlihat ketika para anggota legislatif berupaya untuk menyuarakan aspirasinya pada saat rapat-rapat komisi dan fraksi. Meskipun penelitian ini memiliki kemiripan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, satu hal yang membedakannya dengan penelitian yang lain adalah, penelitian ini berusaha mengetahui peran politisi perempuan dalam proses perumusan suatu kebijakan publik, dalam hal ini peran politisi perempuan dalam merumuskan perda no.3 tahun 2012 akan di jadikan suatu contoh konkrit atau kasus. Tuntutan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan harus di imbangi dengan upaya untuk menjamin bahwa perempuan yang akan menjadi wakil rakyat harus benar-benar berkualitas, memahami kepentingan perempuan dan mampu memperjuangkannya. Penelitian ini memberikan bekal untuk melakukan telaah kritis sekaligus akan menjadi rekam jejak terhadap peran perempuan dalam pengambilan keputusan di parlemen. Peran politisi perempuan di DIY dalam proses perumusan Perda akan dijadikan tolak ukur. Berdasarkan penjelasan diatas, secara skematis pemetaan peran politisi perempuan menurut penelitian-penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Literatur Review
No. Penelitian
Topik
Metode
5
Temuan
1.
Rosawati
Kinerja
anggota Studi Kasus
Peran
perempuan
dalam
legislatif perempuan di
pembuatan dan pengambilan
DPRD
keputusan di DPRD masih
Banyumas
periode 2009-2014
relatif
terbatas
dalam
memanfaatkan hak inisiatifnya untuk merumuskan rancangan peraturan
daerah,
sehingga
respon
anggota
kurangnya
DPRD perempuan membuat permasalahan
perempuan
di
Kabupaten Banyumas masih tidak teratasi.
2.
Sarah Siregar
Nuraini Pemberontakan
Studi Kasus
Anggota
DPRD
perempuan
perempuan Aceh dalam
dianggap
kurang
dunia politik : Studi
mengakomodir
aspirasi
keterwakilan
maupun
perempuan di parlemen
perempuan
lokal
kualitas,
kepentingan Aceh. perfoma
Secara anggota
DPRD perempuan ini belum berperan ketika mengawal isuisu perempuan dalam setiap perumusan kebijakan di dewan.
3.
Machya Astuti Dewi Potret
anggota Studi kasus
Perempuan yang duduk dalam
legislatif perempuan di
parlemen,
khususnya
Prov.DIY :antara misi
Yogyakarta
dan kapasitas personal
menyampaikan
sangat usulan
di jarang atau
pendapat dalam sidang-sidang komisi atau rapat dalam panitia khusus kebijakan.
perumusan
suatu
Menurutnya
kebanyakan anggota legislatif
6
perempuan
bersikap
pasif.
Machya menjelaskan pasifnya anggota legislatif perempuan diakibatkan
kurangnya
pemahaman
mereka
tentang
agenda apa yang harus menjadi skala
prioritas
yang
harus
diperjuangkan di Dewan.
4.
Sri Yuniarti
Pergulatan di tengah Studi Kasus
Anggota
DPRD
marginalisasi
sangat
berperan
dominasi
dan
perempuan dalam
kultur
perumusan kebijakan publik
patriarkhi : Perempuan,
yang dilahirkan oleh parlemen.
partai
Hal itu terlihat ketika para
politik
dan
parlemen di NTB
anggota
legislatif
berupaya
untuk menyuarakan aspirasinya pada saat rapat-rapat komisi dan fraksi.
E.
Kerangka Teori Dalam konteks Negara-negara modern, sebagian besar teoritisi demokrasi sepakat
bahwa hanya pemerintahan yang diorganisir menggunakan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, persamaan politik, permusyawaratan rakyat, dan kekuasaan mayoritas saja yang layak di sebut demokrasi. Akan tetapi, mereka percaya bahwa peran politik langsung jutaan warga Negara di dalam pengambilan keputusan pemerintahan tidak mungkin dijalankan di Negaranegara moderen. Alternatifnya, perlu dibangun demokrasi perwakilan, dimana peran partai politik dan lembaga legislatif jadi sangat penting, dengan tujuan mendorong peran maksimum 7
oleh semua orang dalam pembuatan kebijakan publik yang mempengaruhi kehidupan mereka9.
a.
Peran politik Perempuan Untuk mengetahui peran politik perempuan di DPRD Provinsi DIY, terlebih dahulu
diketahui pengertian dari peranan itu sendiri. Sebagaimana Soekanto menyatakan bahwa peranan mencakup tiga hal sebagai berikut : 1.
Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturanperaturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
2.
Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3.
Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Dari ketiga peranan tersebut di atas, pengertian peran yang sesuai dengan peran
politik perempuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Hal tersebut dikarenakan perempuan yang terlibat dalam partai politik merupakan perempuan yang berangkat dari kemampuan aktualisasi individu. Kemudian diharapkan dapat mewarnai organisasi yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat. Dalam aspek lain yang berhubungan dengan peranan, Soekanto juga menyebutkan bahwa peranan (role) merupakan aspek dinamis mengenai kedudukan (status). Maksudnya, peranan secara otomatis menunjukkan bahwa kedudukan atau status seseorang merupakan bentuk dari peranan yang dijalankannya. Jadi, dapat juga dikatakan bahwa peranan merupakan harapan yang diinginkan oleh individu atau kelompok masyarakat untuk melakukan sesuatu yang hasilnya dapat dirasakan bagi kepentingan bersama. Selain menyangkut masalah status, peranan juga terkait dengan hak dan kewajiban yang dijalankan seseorang. Dalam hal ini Weber10 menyatakan bahwa peran merupakan aktualisasi yang aktif dari status dan kedudukan yang tercermin dalam hak dan kewajiban orang yang diberi kewenangan atau lazim disebut otoritas. Pendapat ini mempertegas 9
Austin Ranney (1990), Governing: An Introduction to Political Science, (New Jersey : Prentice-Hall International,Inc.), hal. 102 10 Weber dalam Campbell (1993), Tujuh Teori Sosial, Jakarta : Kanisius, hal. 7
8
pendapat Soekanto tersebut di atas dimana status dan kewajiban seseorang dapat menjadi otoritasi seseorang dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Dalam hal pencapaian otoritas dan posisi yang strategis dalam kelembagaan. Peran juga membutuhkan loyalitas dari pendukung. Hal tersebut senada dengan peran perempuan dalam partai politik. Sebagaimana pendapat Uffort11, peranan atau role lebih berkonotasi atau tertumpu pada tekanan kewibawaan, kharisma dan kepribadian unggulan seseorang sehingga layak atau patut mendapat kapatuhan atau loyalitas anggotanya. Dalam hal kelembagaan dan lebih khususnya dalam ranah legislatif. Peran politik perempuan dapat disesuaikan dengan penadapat Pamudji12 yang menyatakan bahwa peranan merupakan refleksi dari keunggulan seseorang yang disebut sebagai primus interpares yang lahir atas kharisma dan dukungan pengikutnya yang secara resmi disalurkan melalui pemberian mandat kepada seorang pemimpin. Artinya perempuan yang memiliki peran dalam partai politik merupakan hasil dari dukungan masyarakat yang memilihnya. Hal tersebut tentu saja dengan kapabilitas yang dimiliki perempuan itu sendiri. Dari beberapa pendapat tersebut, peran politik perempuan, khususnya dalam partai politik maupun dalam parlemen dapat dikatakan sebagai otoritas yang diberikan bagi perempuan untuk menduduki kursi legislatif yang dilengkapi dengan hak dan kewajiban, agar mendapat loyalitas dari pendukungnya yang disertai dengan kemampuan yang dimiliki serta keinginan yang timbul dari dalam diri perempuan. Dalam teori peran ini menunjukkan bahwa peran bukan serta merta pemberian tanpa usaha serta proses yang untuk mencapai peran itu sendiri. Sehingga perempuan yang telah memiliki peran dalam partai politik memiliki tanggung jawab penuh terhadap pendukung atau rakyat yang telah memilihnya.
b.
Politisi Perempuan Di Parlemen Hadirnya politisi perempuan dalam parlemen menimbulkan kontroversi baik dari
perempuan sendiri maupun oleh pihak yang meragukan kapabilitas perempuan dalam politik. Disatu sisi perempuan diharapkan mewakili model khusus perempuan, terkadang mereka dipuji karena menghasilkan perubahan penting dalam kebijakan. Namun tak sedikit, mereka dipersalahkan karena tidak menghasilkan perubahan penting. Pernyataan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang juga dipaparkan oleh Pitkin bahwa kompleksitas perwakilan perempuan di parlemen sebagai sesuatu yang menghadirkan sesuatu yang secara harfiah atau dalam kenyataannya tidak hadir. 11 12
Uffort dalam Quarles (1992), Kepemimpinan Pemerintahan Lokal, Jakarta : LP3ES, hal.7 Pamudji (1985), Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara
9
Hadirnya perempuan dalam politik juga menimbulkan pertanyaan, apakah dengan hadirnya perempuan dalam parlemen telah mewakili suara perempuan lainnya. Atau bahkan suara perempuan telah diwakili oleh laki-laki dalam politik selama ini. Lovenduski menjawab pertanyaan tersebut dengan menyatakan bahwa pola-pola sosial telah berubah, maka lebih mudah untuk menyepakati bahwa kaum perempuan mempunyai hak-hak sebagai warga negara yang memberi mereka kemungkinan untuk berperan dalam pemerintahan, dimana kepentingan-kepentingan tersebut dapat dipertahankan dan dikembangkan. Dari beragam kontroversi tersebut, penting bagi perempuan untuk menunjukkan arah politik yang jelas dan konsistensi terhadap amanah yang dijalankan perempuan dalam politik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada kaumnya bahkan kepada partai politik yang mengusungnya. Hal tersebut pada akhirnya akan merubah wajah politik itu sendiri. Hal tersebut senada dengan ungkapan Mackay yang mengatakan bahwa dalam politik agenda jangka pendek mengenai kehadiran perempuan diparlemen yang meningkat membawa keagenda jangka panjang mengenai perubahan politik. Selanjutnya Philips juga menambahkan bahwa kehadiran perempuan secara deskripstip akan menuntun ke kehadiran secara substantif. Artinya bahwa kaum perempuan seharusnya berada dalam pembuatan keputusan sebanding dengan jumlah penduduk mereka dalam parlemen. Disinilah pentingnya arti kehadiran politisi perempuan diparlemen. Dimana perempuan diharapkan mampu mewakili suara perempuan lainnya. Representasi perempuan dalam politik memiliki tujuan yang harus dipahami oleh perempuan sehingga tidak mengaburkan perannya. Menurut Gabriel A. Almond, ada beberapa factor yang bisa mempengaruhi keaktifan seseorang dalam berperan politik, antara lain : pendidikan tinggi, status sosial ekonomis, keanggotaan dalam partai politik13. Dibanyak Negara, pendidikan tinggi sangat mempengaruhi peran politik, mungkin karena pendidikan tinggi bisa memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan politik, bisa mengembangkan kecakapan dalam menganalisa suatu masalah, menciptakan minat serta kemampuan berpolitik. Disamping pendidikan, perbedaan jenis kelamin dan status sosial ekonomi tinggi lebih aktif ketimbang yang berstatus rendah. Perbedaan jenis kelamin berhubungan pula dengan perbedaan dalam aktivitas politik. Laki-laki dipandang lebih mampu untuk menguasai sumber daya ekonomi dan kelembagaan, sehingga akan mengantarkannya pada aktivitas politik. Sedangkan menurut Shvedova, paling tidak ada tiga wilayah kendala yang seringkali dihadapi perempuan ketika berperan politik, yaitu kendala wilayah politik,sosial-ekonomi,
13
Gabriel A. Almond, Op.Cit., hal.49
10
dan ideologis-psikologis14. Dengan kendala-kendala semacam itu, betapa pun tinggi keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh perempuan untuk berperan politik, peran mereka cenderung menjadi kurang maksimal atau bahkan tidak efektif sama sekali.
c.
Kebijakan Publik Banyak ahli yang memberikan batasan atau definisi dari kebijakan publik, tetapi
dalam penelitian ini hanya menggunakan teori dari beberapa ahli saja, disesuaikan dengan aspek yang hendak diteliti. Menurut Anderson, kebijakan atau policy dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Batasan lain yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye bahwa “public policy is whatever government choose to do or not to do”15. Definisi lain tentang kebijakan publik seperti dikemukakan Soenarko yang mengutip pendapat H. Hugh Heclo, bahwa kebijakan adalah suatu arah kegiatan yang tertuju kepada tercapainya beberapa tujuan. Suatu kebijakan akan lebih cocok dilihatnya sebagai suatu arah tindakan atau tidak dilakukannya tindakan, daripada sebagai sekedar suatu keputusan atau tindakan belaka16. Dari berbagai definisi tentang kebijakan publik maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik merupakan suatu rangkaian keputusan dan tindakan yang didalamnya terdapat serangkaian tahapan yang saling bergantung. Rangkaian keputusan dan tindakan tersebut menurut Dunn, merupakan tahap-tahap proses perumusan kebijakan yang terdiri dari perumusan
masalah,
penyusunan
agenda,
formulasi
kebijakan,
adopsi
kebijakan,
implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan17. Sesuai dengan proses perumusan kebijakan yang dilakukan oleh para anggota DPRD maka peneliti hanya akan menjelaskan beberapa tahap saja yaitu : 1.
Perumusan Masalah Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental
dalam perumusan kebijakan18. Perumusan masalah merupakan tahap awal dalam proses kebijakan dan karenanya sangat menentukan proses kebijakan berikutnya. Merumuskan 14
Nadezha Shvedova (2008), Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Dalam Sarah Maxim, Jakarta: AMEEPRO. hal.19 15 Budi winarno (2002), Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: MedPress, hal. 14 16 Soenarko (1998), Public Policy: Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah, Surabaya: Papyrus, hal. 17 17 Willian dunn (2000), Pengantar Analisa Kebijakan Publik, Yogyakarta: UGM Press, hal.24 18 Budi winarno (2014),Kebijakan Publik Teori, Proses dan Studi Kasus, Yogyakarta: CAPS, hal.123
11
masalah secara benar penting dilakukan untuk memecahkan masalah. Suatu masalah akan menjadi masalah publik bila ada orang atau kelompok yang menggerakkan ke arah tindakan guna mengatasi masalah tersebut dan juga jika melibatkan banyak orang dan mempunyai akibat tidak hanya pada orang-orang yang secara langsung terlibat, tetapi juga sekelompok orang lain yan secara tidak langsung terlibat19. Ada beberapa karakteristik penting yang perlu diperhatikan didalam mengenali suatu masalah kebijakan yaitu 20: -
Menyangkut kepentingan masyarakat luas.
-
Serius dimana suatu situasi dapat diangkat sebagai masalah kebijakan jika situasi tersebut berada diatas ambang toleransi untuk diabaikan begitu saja.
-
Potensial menjadi serius dalam arti bahwa suatu masalah mungkin pada saat ini belum berkembang cukup serius, tetapi dalam jangka panjang akan menjadi sangat serius.
-
Ada peluang untuk memperbaiki.
2.
Penyusunan Agenda Kebijakan Para perumus kebijakan,seperti kalangan legislatif,eksekutif,agen-agen pemerintah
dan yudikatif menempatkan masalah pada agenda publik untuk dapat dipecahkan melalui suatu kebijakan. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk kedalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan dan perumusan kebijakan.Tahapan pembuatan agenda kebijakan adalah langkah pertama yang sangat penting dalam proses perumusan suatu kebijakan. Tahapan ini bahkan sering disebut langkah kunci yang harus dilalui sebelum suatu isu kebijakan diangkat dalam agenda kebijakan pemerintah dan akhirnya menjadi suatu kebijakan. Selanjutnya apabila suatu isu telah masuk dalam agenda kebijakan pemerintah, maka isu itu telah menjadi benarbenar masalah publik yang dapat dipecahkan melalui tindakan kebijakan21. Mark Rushefky menyatakan bahwa suatu isu akan menjadi agenda melalui konjungsi tiga urutan. Pertama, pengidentifikasian, yakni tahap pengidentifikasian masalah yang didiskusikan sebelumnya. Urutan kedua, menitikberatkan pada kebijakan atau pemecahan masalah. Urutan kedua ini biasanya terdiri dari para spesialis di bidang kebijakan, seperti misalnya para birokrat, staf legislatif, akademisi, para ahli dalam kelompok-kelompok 19
Ibid. hal.80 Muhandjir Darwin (1995), Tahap-tahap Perumusan Masalah,Makalah disampaikan pada Pelatihan Analisis Ke bijakan Sosial, Pusat Penelitian Kependudukan UGM Yogyakarta, hal. 2-4 21 Agus Dwiyanto Dalam Mesrawan (2005), Proses perumusan Kebijakan Pembentukan Pesawaran Provinsi Lampung, Yogyakarta: UGM, hal. 13 20
12
kepentingan dan proposal yang dibawa oleh komunitas-komunitas tersebut. Urutan ketiga merupakan urutan politik. Pada urutan ini biasanya disusun dari perubahan-perubahan dalam opini publik, hasil pemilihan umum, perubahan dalam administrasi dan pergantian peran atau ideologi dalam lembaga legislatif22. Sedangkan Budi Winarno menyatakan bahwa suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Pertama, isu-isu publik akan mencapai status agenda karena suatu krisis atau peristiwa yang kritis, seperti misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilakukan. Kedua, dengan melakukan protes. Faktor ketiga adalah perhatian media massa terhadap suatu isu. Dalam hal ini, media massa berperan dalam menentukan peristiwa-peristiwa apa yang layak diberitakan dan mendapat penekanan yang lebih besar dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa yang lain. Penekanan ini pada akhirnya akan mendorong suatu masalah masuk ke dalam agenda kebijakan23. Masalah publik yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti kalangan legislatif, eksekutif dan agen-agen pemerintah lainnya. Masalah-masalah tersebut dibahas berdasarkan tingkat urgensinya.
3.
Formulasi/Perumusan Kebijakan Setelah beberapa problema umum dapat dimasukkan ke dalam agenda pemerintah,
maka langkah selanjutnya adalah perumusan alternatif-alternatif kebijakan. Perumusan alternatif kebijakan adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah. Termasuk dalam kegiatan ini antara lain adalah mengidentifikasi alternatif, mendefinisikan dan merumuskan alternatif, menilai masingmasing alternatif yang tersedia dan memilih alternatif yang paling memuaskan atau paling memungkinkan untuk terlaksanakan24. Pada tahap ini para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Dalam kondisi seperti ini , maka pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antaraktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Sehingga dalam tahap perumusan masalah maka mengetahui siapa yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik merupakan sesuatu yang esensial. Hal ini karena siapa aktor yang terlibat 22
Budi Winarno (2014),Op.Cit., hal. 85 Ibid, hal.92 24 Irfan Islamy (2001), Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, hal.92 23
13
dalam perumusan kebijakan publik akan menentukan seperti apakah kebijakan publik tersebut akan dirumuskan
4.
Penetapan Kebijakan Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus
kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dan kesepakatan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan25. Setelah suatu rancangan kebijakan diformulasikan dengan baik maka kebijakan tersebut haruslah diberi “legitimacy”. Pengesahan atau pemberian legitimacy
itu hanya
dilakukan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang, yang menurut hukum mempunyai hak dan kewenangan untuk melakukannya26. Dengan demikian maka suatu kebijakan pemerintah akan mempunyai kekuatan hukum yang bersifat memaksa. Setelah itu kebijakan tersebut diumumkan kepada masyarakat atau kepada orang-orang yang bersangkutan sehingga mereka dapat dipaksa untuk mematuhinya. Proses pengesahan kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan persuasion dan bargaining. Persuasion menurut Anderson27 adalah usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang suatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang sehingga mereka mau menerimanya sebagai miliknya sendiri. Kegiatan bargaining dapat diartikan sebagai suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau otoritas, mengatur atau menyesuaikan setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama tetapi tidak perlu terlalu ideal bagi mereka.
d.
Peran Politisi Perempuan dan Proses Kebijakan Publik Peran politik perempuan adalah kegiatan warga negara khususnya perempuan dalam
aktivitas politik dimana perempuan sebagai subjek yang mempunyai hak atas dasar kesetaraan gender yaitu setiap perempuan mampu melakukan sesuatu apabila dia mampu atau mempunyai kemampuan yang ada pada dirinya dalam melakukan kegiatan tersebut. 28Adapun tujuan utama dari peran politik ini, agar kaum perempuan mempunyai akses dan kontrol struktural atas kualitas dan kuantitas keterwakilan perempuan di parlemen, tanpa dibedakan 25
Budi winarno (2014), Op.Cit., hal.37 Soenarko, Op.Cit., hal. 197 27 Irfan Islamy, Op.Cit., hal. 100-101 28 Cut Muzita (2009), Op.Cit., hal. 13 26
14
dari keterlibatan laki-laki dalam proses perumusan kebijakan. Dalam perkembangan berikutnya, diharapkan peran politik lewat lembaga legislatif ini dapat mempengaruhi kebijakan publik, yang mendorong diambilnya berbagai kebijakan yang sensitif gender, baik dijalur legislatif sendiri, eksekuitif maupun yudikatif, karena sudah ada kualitas dan kuantitas representasi politik perempuan didalamnya. Dilembaga perwakilan rakyat, peran politisi perempuan dalam mempengaruhi kebijakan publik jadi semakin kuat karena pada dasarnya lembaga ini menduduki posisi kunci didalam mesin pemerintahan. Seperti disebutkan di atas, lembaga politik ini menghasilkan produk kebijakan publik atau undang-undang yang menjadi batas-batas legal pelaksanaan pemerintahan eksekutif. Lembaga ini bertindak sebagai dewan perdebatan nasional, yaitu sebuah forum publik dimana kebijakan-kebijakan pemerintahan dan isu-isu besar yang sedang berkembang bisa dibahas dan dianalisis secara terbuka. Karena itu, lewat lembaga ini, perempuan dapat mencurahkan sebagian besar energi, waktu dan pikirannya dalam proses perumusan undang-undang, yang memberinya sejumlah kapasitas struktural untuk membentuk atau paling tidak mempengaruhi kebijakan publik29. Bentuk dari peran politik perempuan di parlemen dalam suatu proses perumusan kebijakan publik terdapat dalam serangkain tahapan yang saling bergantung. Rangkaian keputusan dan tindakan tersebut menurut Dunn, merupakan tahap-tahap proses perumusan kebijakan publik yang terdiri dari perumusan masalah, penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan30. Pada penelitian ini peran perempuan dilihat dari empat tahapan. Pertama, perumusan masalah dimana politisi perempuan harus bisa mengenali dan mendefinisikan masalahmasalah publik dengan baik karena kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Kedua, penyusunan agenda dimana politisi perempuan pada tahap ini memilih masalah yang akan dimasukkan pada agenda kebijakan dengan memperhatikan syarat-syarat tertentu, seperti apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilakukan. Ketiga, perumusan kebijakan dimana setelah politisi perempuan dan para perumus kebijakan lainnya sepakat untuk memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Disini perumus kebijakan termasuk didalamnya politisi perempuan akan berhadapan dengan alternatifalternatif pilihan kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Keempat, 29 30
Andrew Heywood (2002),Politics(New York:Palgrave),hal . 311 Willian Dunn (1995),Op.Cit., hal,2.
15
pengesahan/adopsi kebijakan dimana setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan diambil sebagai cara untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir yang dilakukan oleh politisi perempuan dan para perumus kebijakan dalam pembentukan kebijakan adalah mengesahkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.31
e.
Kerangka Pikir Kerangka pemikiran dalam penelitian ini ingin menggambarkan peran politisi
perempuan di DPRD DIY dalam proses perumusan kebijakan, dalam hal ini Perda Provinsi DIY No.3 tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
Bagan Kerangka Pikir
Perumusan Masalah
Agenda Kebijakan Peran politisi Perempuan dalam proses perumusan perda no.3tahun 2012
Formulasi/Perumusan Kebijakan
Pengesahan Kebijakan
31
Budi Winarno (2014), Op.Cit., hal.123
16
F.
Definisi Konseptual Adapun definisi konsep yang digunakan berkaitan dengan penelitian ini terdiri dari
beberapa konsep pemikiran, yaitu peran politisi perempuan dan proses perumusan kebijakan publik.
G.
Definisi Operasional Definisi operasional merupakan operasionalisasi dari variabel-variabel penelitian
yang dipergunakan untuk mencari data dan pengumpulan data, untuk menganalisa data dan untuk melakukan interpretasi hasil analisanya. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa peran politisi perempuan di lihat dari perannya pada perumusan kebijakan. Agar tidak menimbulkan kerancuan dalam memaknai penelitian ini, perlu penulis kemukakan definisi operasional dalam penelitian ini.
Peran politisi perempuan dalam perumusan kebijakan, adalah proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu peran politisi perempuan dalam perumusan Perda nomor 3 tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan akan dilihat dari peran mereka dalam beberapa tahap : 1. Peran politisi perempuan dalam perumusan masalah, dilihat dari : a. Usulan politisi perempuan pada rapat Komisi D b. Usulan politisi perempuan pada rapat paripurna 2. Peran politisi perempuan dalam penyusunan agenda kebijakan. 3. Peran politisi perempuan dalam formulasi/merumuskan kebijakan, dilihat dari : a. Usulan politisi perempuan dalam pansus 4. Peran politisi perempuan dalam penetapan kebijakan
H.
Metode Penelitian
a.
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan studi kasus yang
dimaksudkan untuk menggali penjelasan secara mendalam dan melakukan analisa mengenai peran politisi perempuan di DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam proses perumusan perda nomor 3 tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Jenis penelitian ini digunakan karena deskriptif yang bersifat analisis merupakan studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat, melukiskan secara akurat sifat-sifat 17
dari beberapa fenomena, kelompok atau individu, menentukan frekuensi terjadinya suatu keadaan. Analisisnya dikerjakan berdasarkan data yang dikumpulkan setelah kejadian berlangsung. Sedangkan studi kasus digunakan karena memiliki kelebihan untuk kondisi, bila substansi pertanyaan penelitian apa, bagaimana atau mengapa dan diarahkan pada serangkaian peran politisi perempuan dalam proses perumusan kebijakan. Metode penelitian jenis studi kasus ini dipilih oleh peneliti karena masalah peran politisi perempuan dalam proses perumusan kebijakan juga merupakan masalah yang sampai saat ini masih berdampak tehadap perpolitikan Indonesia,khususnya di DIY. Adapun peran politisi perempuan DIY dijadikan studi kasus dalam penelitian ini, karena nuansa perpolitikan perempuan DIY lebih menarik untuk dikaji. Dimana Yogyakarta merupakan salah satu pusat gerakan perempuan. Munculnya gerakan feminisme dan LSM perempuan bahkan dimulai dari Yogyakarta. Banyak aktivis dan kajian mengenai perempuan yang dilakukan oleh berbagai lembaga, baik oleh LSM maupun Pusat Studi Wanita yang terdapat di berbagai perguruan tinggi. Tokoh perempuan dari akademisi dan LSM banyak ditemui di Yogyakarta dan banyak dari mereka yang terlibat dalam aktivitas politik dan bergabung dengan berbagai partai politik ada. Tentunya mereka inilah yang diharapkan mampu mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan perempuan di dalam sistem politik. Secara spesifik bahwa gerakan perempuan di Yogyakarta mulai dari orde baru sampai reformasi mengalami perkembangan secara jumlah organisatoris. Rifka Annisa, LSM PKBI DIY, Yayasan Annisa Swasti, LSPPA, LSM Kembang, LSM/Yayasan Griya Siloam, Solidaritas Perempuan Kinasih, Forbesmarita dan Rumpun Tjoet Njak Dien adalah lembagalembaga yang merupakan ilustrasi adanya pergerakan perempuan di Yogyakarta yang sangat peduli dengan perempuan. Hal ini yang unik untuk dijadikan suatu studi kasus, dimana daerah yang memiliki tingkat kepedulian yang sangat tinggi terhadap perempuan, namun dari beberapa literature seperti yang dijelaskan dalam literature review dalam penelitian ini ternyata masih banyak politisi DIY yang tidak berperan dalam perumusan kebijakan di DPRD.
b.
Unit Analisis Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran politisi perempuan di DPRD
Provinsi DIY dalam proses perumusan Perda nomor 3 tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Penelitian ini dilakukan terhadap sejumlah politikus 18
perempuan dan juga beberapa politikus laki-laki di DPRD DIY, oleh karena itu unit analisis dari penelitian ini adalah individu.
c.
Teknik pengumpulan data Data yang diperlukan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu data primer dan data
sekunder. Untuk memperoleh kedua jenis data tersebut, penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu wawancara, observasi dan documenter. Dengan teknik wawancara, bisa diharapkan akan diperoleh informasi dan data mengenai peran politisi perempuan di DPRD Provinsi DIY dalam proses perumusan perda nomor 3 tahun 2012 dari sumbernya langsung. Adapun tentang narasumber adalah sebagaimana yang dijelaskan pada point unit analisis dan hal-hal yang akan diwawancarai sebagaimana yang dituangkan dalam point definisi operasional. Adapun Observasi digunakan dalam pengambilan data dengan pengamatan dan pencatatan sistematis di lapangan untuk memperoleh data yang diperlukan terkait dengan peran politisi perempuan dalam proses perumusan perda tersebut tetapi tidak diperoleh dalam wawancara. Dan yang terakhir dokumenter dimana peneliti dalam pengambilan data dengan mempelajari berbagai dokumen yang terkait dengan kasus perda Provinsi DIY nomor 3 tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Misalkan draft-draft pada sidang perumusan kebijakan baik mulai dari rancangan perda sampai pada perda yang telah disahkan.
d.
Teknik Analisa Data Adapun analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
kualitatif, yaitu proses mengatur urutan data, mengorganisasikan data kedalam suatu kategori. Proses pelaksanaan analisa data mulai dilakukan, sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif, yaitu setelah meninggalkan lapangan. Disini peneliti memulai proses analisa data dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, maka langkah berikutnya adalah melakukan reduksi data. Dimana data dipilih dan disederhanakan kemudian data diseleksi. Data yang relevan dengan penelitian diorganisasikan sehingga terbentuk sekumpulan data yang dapat member informasi factual.Reduksi data ini berlangsung secara terus menerus selama penelitian berlangsung. Selama proses reduksi data berlangsung tahapan selanjutnya adalah mengkategorisasikan satuan-satuan data kedalam bagian yang memiliki kesamaan. Tahap akhir dari analisa data penelitian ini adalah
19
mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah selesai tahap ini, mulailah tahap penafsiran data untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian
20
Sistematika Bab
BAB I
Pendahuluan :
Pada bab ini dituangkan tentang latar belakang yang menjelaskan penelitian ini tentang peran politisi perempuan dalam proses perumusan perda nomor 3 tahun 2012 dan mengapa masalah ini penting untuk dijadikan alat teliti. Pada bab ini juga dituangkan tentang rumusan masalah, literature review, kerangka teori dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, sekaligus sistematika bab.
BAB II
Profil Politisi Perempuan DIY :
Dalam bab ini akan disampaikan tentang profil politisi perempuan DIY. Tentang siapa dan apa latar belakang dan motivasi para politisi perempuan menjadi anggota DPRD DIY, serta bagaimana perkembangan jumlah politisi perempuan DIY dari tahun ke tahun.
BAB III
Gambaran Perda Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan dan
Anak Korban Kekerasan : Bab ini akan menjelaskan latar belakang dibuatnya perda no.3 tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan dan tentang raperda tersebut usul Pemerintah DIY.
BAB IV
Politisi Perempuan DIY dan Proses Pembuatan Perda Nomor 3 Tahun 2012 :
Bab ini akan membahas tentang bagaimana peran politisi perempuan DIY dalam proses pembuatan Perda nomor 3 tahun 2012 tentang perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan dan faktor keberhasilan dirumuskannya perda tersebut
BAB IV
Penutup
:
Pada bab ini berisi kesimpulan dan implikasi teoritis.
21