1
BAB I PEDAHULUA
A. Latar Belakang Masalah Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan Negara seperti menjaga keamanan Negara, menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai dan lain sebagainya. Namun setelah terbentuknya suatu Negara, pajak merupakan iuran wajib rakyat kepada negara. Dari pajak ini yang mana akan digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan,pelaksanaan tugas-tugas rutin pemerintahan dan pembangunan daerah. 1
Pada tahun 1999 pembagian pajak menurut wewenang pemungutan pajak dipisahkan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat yang dipungut oleh pemerintah pusat terdiri dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Untuk pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah itu
1
Panca Kurniawan dan Agus Purwanto, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia, Bayumedia, Malang, 2006, hlm 1
2
sendiri. Dasar dilakukan pemungutan oleh pemerintah daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah mengatakan bahwa Pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah Pusat tidak lagi mempatronasi, apalagi mendominasi mereka. Peran Pemerintah Pusat ini adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.
Dengan adanya otonomi daerah, maka
pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Langkah – langkah yang perlu di ambil dengan cara menggali segala kemungkinan sumber keuangannya sendiri sesuai dengan dan dalam batas-batas peraturan perundang-undangan yang berlaku.2
Untuk merealisasikan pelaksanaan Otonomi Daerah maka sumber pembiayaan pemerintah daerah tergantung pada peranan pendapatan asli daerah. Hal ini diharapkan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Oleh karena itu Pemerintah daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri sehingga akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Dengan ini akan semakin memperbesar keleluasaan daerah untuk mengarahkan penggunaan keuangan
2
Erly suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta 2002, hlm 257
3
daerah sesuai dengan rencana, skala prioritas dan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, yang terdiri dari :
1. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD terdiri dari: a. Hasil pajak daerah b. Hasil retribusi daerah c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan d. Lain-lain PAD yang sah 2. Dana Perimbangan yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi 3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.3 Melihat sektor di atas, maka salah satu sektor yang perlu ditingkatkan untuk menunjang penerimaan daerah adalah retribusi daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangganya sebagai badan hukum publik.4
3
Mustaqiem, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, Cetakan Pertama, FH UII PRESS, Yogyakarta, 2008, hlm 22 4 Hamdani Aini, Perpajakan, Bina Aksara, Jakarta,1985, hlm 196
4
Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah mempunyai peran penting dalam pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dimana peranan PAD diharapkan dan diupayakan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri. Dengan demikian akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan yang bersifat mandiri.5
Pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi.6 Keadaan ini diperlihatkan bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh : relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah, perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah, kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah dan kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Kondisi yang ada di Kabupaten Kuala Kapuas dengan potensi sumber daya alam yang sangat minim memaksa Pemerintah Kabupaten Kapuas untuk lebih kreatif mengoptimalkan potensi yang lain. Salah satu potensi yang memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah Kabupaten Kapuas adalah penyelenggaraan retribusi parkir. 5 6
Andrian Sutedi, hukum pajak dan retribusi daerah, Ghalia Indonesia, Bogor 2008, hlm 3 Ibid hlm 20
5
Untuk mendukung kegiatan tersebut Pemerintah Kabupaten Kuala Kapuas telah mengeluarkan dua Perda yang khusus mengatur sektor perparkiran ini, yaitu Perda Nomor 7 Tahun 1999 tentang Tempat Khusus Parkir dan Perda Nomor 2 Tahun 1999 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum
Kabupaten Kapuas sebagai bagian dari Propinsi Kalimantan Tengah tentunya memerlukan dana yang cukup besar dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan daerah di berbagai sektor. Salah satu sumber pendapatan asli daerah kabupaten Kapuas adalah retribusi parkir. Retribusi parkir di tepi jalan umum merupakan jenis retribusi jasa umum yaitu pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan pemerintah daerah. Karena jalan menyangkut kepentingan umum, penetapan jalan umum sebagai tempat parkir mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.7 Sedangkan parkir menurut Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Retribusi di Tepi Jalan Umum Pasal 1 huruf g adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. Setiap pelayanan penyediaan tempat parkir di tepi jalan umum dipungut tertribusi dengan nama retribusi di tepi jalan umum.
Permasalahan retribusi atau retribusi daerah lebih tepatnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
7
Marihot P Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,PT Grafindo Persada, Jakarta, 2006,
hlm 439
6
dimana yang dimaksud dengan retribusi daerah atau retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Sedangkan retribusi jasa umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis-jenis retribusi jasa umum seperti yang diatur dalam PP No 66/2001 antara lain :
1. Retribusi pelayanan kesehatan 2. Retribusi pelayanan persampahan atau kesehatan 3. Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte jj.jcatatan sipil 4. Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat 5. Retribusi parkir di tepi jalan umum 6. Retribusi pelayanan pasar 7. Retribusi pengujian kendaraan bermotor 8. Retribusi penggantian biaya cetak peta 9. Retribusi pengujian kapal perikanan8
Retribusi parkir di tepi jalan umum yang di kelola oleh pemerintah kabupaten Kapuas merupakan upaya untuk meningkatkan pendapatan asli 8
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
7
daerah dan merupakan salah satu pendapatan terbesar dari sumber pendapatan lain sehingga Pemerintah Kabupaten Kapuas mengawasi pelaksanaan retribusi parkir ini.
Seperti halnya di pasar induk blok M yang merupakan pasar terbesar di kuala kapuas, di sana terdapat pilihan tempat parkir yang memakai bahu jalan sebagai tempat parkir sehingga akan mengganggu penguna jalan ketika melintasi jalur tersebut. Kompetisi antar tukang parkir ini lah yang sering membuat kemacetan di sepanjang jalan mahakam ini. Hal yang membuat kecewa adalah ketika mendapati karcis yang tertera Rp 500,00 namun kenyataannya harga yang dibayarkan adalah Rp 1000,00 bahkan Rp 2000,00 (untuk pengguna sepeda motor), belum lagi juru parkir yang curang yaitu menerbitkan karcis sendiri tanpa persetujuan dari Dinas Pendapatan Daerah yang terkait. Banyaknya lahan parkir di tepi jalan umum sekitar pasar blok M, pasar Modern/pertokoan, dan pelabuhan menjadikan tempat ini sebagai lahan bagi para juru parkir, belum lagi pendapatan yang dihasilkan oleh juru parkir yang cukup lumayan, belum lagi tingginya tingkat pengangguran membuat sebagian orang lebih memilih jadi juru parkir. Banyaknya juru parkir inilah yang membuat persaingan perebutan lahan parkir, sampai kecurangan dalam menentukan tarif yang seolah-olah juru parkir yang menentukan harga yang harus dibayarkan, belum lagi karcis yang dipakai lebih dari satu kali, bahkan
8
sengaja tanpa karcis itu sendiri, padahal mereka terdaftar sebagai juru parkir yang resmi yang mempunyai kartu identitas dan berseragam juru parkir.9
B. RUMUSA MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apa saja bentuk pelanggaran pemungutan retribusi parkir yang dilakukan oleh juru parkir di Kabupaten Kapuas ? 2. Bagaimana penerapan sanksi terhadap juru parkir yang melanggar Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 1999 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum di Kabupaten Kapuas?
C. TUJUA PEELITIA
1. Untuk mengetahui bentuk pelanggaran pemungutan retribusi parkir di tepi jalan umum yang dilakukan oleh para juru parkir di Kabupaten Kapuas
2. Untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap para juru parkir yang melanggar Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum.
9
Hasil observasi di Jalan pasar blok M tanggal 22 Januari 2009
9
D. TIJAUA PUSTAKA
Pemberian kewenagan kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah telah mengakibatkan pemungutan berbagai jenis pajak dan retribusi daerah yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pemungutan ini harus dipahami oleh masyarakat sebagai sumber penerimaan yang dibutuhkan oleh daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Untuk mengatur tentang pemungutan pajak dan retribusi daerah, pemerintah bersama dengan DPR telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 34 tahun 2000. Kedua undang-undang ini menjadi dasar hukum pemungutan pajak dan retribusi daerah yang memberikan kewenangan daerah untuk pungutan atau tidak memungut suatu jenis pajak atau retribusi pada daerahnya.
Sumber Pendapatan bagi Pemerintah Daerah otonom salah satunya yaitu dari pajak dan retribusi daerah. Sumber ini sangat penting untuk meningkatkan pendapatan daerah di luar bantuan anggaran dari pemerintah pusat. Dari kenyataan yang ada dapat diketahui keadaan Daerah Tingkat II
10
hampir seluruhnya masih tergantung kepada subsidi/ bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah di atasnya.10
Otonomi yang dikembangkan secara tegas menekankan pemisahan antara asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Mengingat otonomi bertumpu di daerah kabupaten/kota dan bukan di propinsi, maka dalam hal ini propinsi masih merupakan wakil dari pemerintah pusat sedangkan daerah otonom akan berdiri sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah ditentukan oleh faktor-faktor yang menunjang pelaksanaan konsep otonomi daerah. Josef Riwu Kaho mengemukakan 4 faktor yang mempengaruhi pelaksannaan otonomi daerah : 1. Faktor manusia pelaksana yang terdiri dari : a. Kepala Daerah b. Dewan Perwakilan rakyat c. Aparatur Daerah d. Partisipasi Masyarakat 2. Faktor keuangan daerah yang terdiri dari : a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah c. Perusahaan Daerah d. Dinas Daerah dan Pendapatan
10
Soedjono Joso, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, CV Yuliana, Jakarta, 1988, hlm 79.
11
3. Faktor peralatan, sarana dan prasarana 4. Faktor organisasi dan manajemen11
Salah satu faktor keuangan daerah yaitu retribusi daerah menurut The Liang Gie adalah : “pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah baik langsung maupun tidak langsung”12.
Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas merupakan daerah otonom yang berarti mempunyai hak dan kewajiban dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sebagai konsekuensi dari adanya hak dan kewajiban tersebut maka memiliki sumber keuangan sendiri. Sumber keuangan Kabupaten Kuala Kapuas salah satunya dapat diperoleh dari retribusi parkir. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum. Objek Retribusi menurut Pasal 3 ayat 1 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum adalah pelayanan tempat parkir di tepi jalan umum, subjek retribusi
11
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di egara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Cetakan keenam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 59 12 The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di egara Republik Indonesia, Jilid III, Gunung Agung, Jakarta, 2001, hlm 78
12
pada Pasal 4 adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tempat parkir di jalan umum.
E. METODE PEELITIA
1. Obyek penelitian Penegakan hukum terhadap pelanggaran pemungutan retribusi parkir di tepi jalan umum di Kabupaten Kapuas 2. Subyek Penelitian a. Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kapuas b. 20 juru parkir secara acak didaerah yang diduga melakukan pelanggaran yaitu di Jl. Jendral Sudirman (I, II, III), Jl. Barito, Jl. Ujung Murung, Jl. Danumare, Jl. Pasar Blok M, dan Jl. Pangeran Diponegoro. c. Wawancara terhadap pengguna jasa parkir dari 20 juru parkir yang diteliti 3. Sumber Data a. Data Primer Data Primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan. b. Data Sekunder yang meliputi :
13
i. Bahan hukum primer, seperti peraturan perundang-undangan, antara lain:
Undang-undang,
Peraturan
Pemerintah,
Putusan-Putusan
Pengadilan, dan lainnya. ii. Bahan hukum sekunder, seperti literatur-literatur, makalah hasil karya ilmiah para sarjana, tulisan ilmiah di media cetak, artikel-artikel, serta hasil penelitian lainnya yang berkaitan dengan masalah ini. iii. Bahan hukum tersier seperti jurnal-jurnal hukum, kamus dan ensiklopedi. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Interview Pengumpulan data yang menggunakan wawancara dengan para subjek penelitian. b. Observasi Pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh juru parkir c. Studi Kepustakaan Data yang diperoleh dengan mempelajari literatur-literatur, peraturanperaturan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
14
5. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, artinya terhadap data yang telah dikumpulkan akan ditinjau dari aspek peraturan perundang-undangan. 6. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif yaitu data yang dihimpun secara kualitatif yang disajikan dengan bentuk narasi dengan pendekatan yuridis dan dipaparkan secara deskriptif