BAB I PENDAHULUAN
A. DEFINISI MASALAH
1. LATAR-BELAKANG MASALAH Konflik merupakan fenomena sosial dalam kehidupan manusia1 sebagai suatu bentuk dari “proses sosial”2 yang terjadi antara dua orang atau lebih maupun antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan berbagai caranya.3 Setiap perselisihan, pertentangan, ataupun percekcokkan merupakan pengalaman hidup yang mendasari terjadinya sebuah konflik, walaupun hal-hal ini tidak sering muncul dalam kenyataan tetapi amat mungkin untuk terjadi setiap saat dan di mana saja, karena itu yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengaturnya supaya konflik tersebut tidak muncul dalam bentuk kekerasan maupun permusuhan.4 Pada umumnya pemahaman konflik seperti ini terjadi karena adanya perbedaan persepsi, pendapat, pemikiran, ucapan ataupun perbuatan yang disebabkan oleh kemungkinan adanya kecenderungan manusia yang sulit untuk menerima dan menghargai adanya perbedaan. Berbagai konflik dalam masyarakat bahkan secara khusus dalam gereja bisa saja ditimbulkan oleh adanya kecenderungan-kecenderungan tersebut. Konflik-konflik seperti 1
J.L. Allen, Love and Conflict A Convenantal Model of Christian Ethics, (Nashville: Abingdon Press, 1984), p.84 2 D. Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, (Yogyakarta : Kanisius, 1989), p. 42. 3 P. Conn, Conflict and Decision Making. An Introduction to Political Science, (New York : Harper & Row Publisher, 1971), p.42; D. Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, p. 42. 4 S.I. Alqadrie, Faktor-Faktor Penyebab Konflik Etnis, Identitas dan Kesadaran Etnis, Serta Indikasi Kearah Disintegrasi di Kalimantan Barat, Dalam : W.A.L. Stokhof, M. Djamal, Konflik Komunal Di Indonesia Saat ini, (Jakarta-Leiden: INIS, 2003), p. 115
1
itu sering terjadi dalam kehidupan bergereja yang berwujud konflik intrapersonal, yaitu pertentangan seseorang dengan dirinya sendiri karena kesalahan atau dosanya dan seterusnya; konflik interpersonal, yaitu pertentangan antar pribadi atau seseorang dengan orang lain karena kepentingan dan keinginan yang berbeda; konflik antar kelompok yang berhubungan dengan cara-cara seseorang ataupun kelompok menghadapi tekanantekanan dari pihak lawan konfliknya; ataupun konflik antar komunitas dan organisasi dalam gereja yang kadang-kadang terjadi karena kegiatan-kegiatan pelayanan diakonia maupun pekabaran Injil. Konflik seperti ini ternyata telah mewarnai kehidupan komunitas Kekristenan Awal, misalnya dalam Kisah Rasul 6:1-7 yang memberi gambaran tentang terjadinya konflik dalam komunitas Kekristenan Awal di Yerusalem antara jemaat Yahudi yang berbahasa Yunani (~Ellhnij) dengan yang berbahasa Ibrani (~Ebrai,oi) karena kelalaian pelayanan dalam hal pembagian makanan kepada para janda oleh para rasul mengingat semakin bertambahnya jumlah orang-orang yang menjadi Kristen.5 Konteks konflik seperti ini menandakan bahwa dalam komunitas Kekristenan Awal di Yerusalem telah ada dua kelompok yang mana konflik tersebut terkait dengan sungut-sungutan orang Kristen Yahudi helenis terhadap ketidak-adilan dalam pelayanan pembagian makanan dari para rasul kepada para janda yang berasal dari kelompok mereka. Kemungkinan, kelompok Kristen Helenis telah membentuk kelompok sendiri dan hidup terpisah dari
5
E.C. Park, Either Jew Or Gentile. Paul’s Unfolding Theology of Inclusivity, (Louisville, London : Westminster John Knox Press, 2003), p. 25. Konflik dalam Jemaat Yerusalem ini telah melahirkan dua kelompok dalam Kekristenan Awal, yaitu kelompok Kristen Yahudi berbahasa Ibrani (~Ebrai,oi,) dan kelompok Kristen berbahasa Yunani (~Ellhnij) yang diakibatkan oleh perbedaan latar belakang sosial budaya. Keperbedaan tersebut akhirnya melahirkan pula struktur dan jabatan baru dalam Kekristenan Awal selain dari jabatan rasul, yaitu diaken.
2
kelompok Kristen Yahudi di Yerusalem karena itu mereka kurang mendapat perhatian dari para rasul.6 Kebiasaan dalam hal pembagian makanan sehari-hari ini selalu dilakukan ketika komunitas Kekristenan Awal di Yerusalem berkumpul dalam acara makan bersama (band. Kisah Rasul 2:42, ”mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa”). Pada umumnya, orang-orang kaya membawakan barang-barang yang pada waktu makan dibagi-bagikan menurut keperluan anggota-anggota komunitas masingmasing. Pada saat seperti inilah timbul sungut-sungutan di antara orang Yahudi Helenis karena mereka merasa kurang diperhatikan. Dalam rangka menghindari konflik yang berakibat pada adanya perpecahan karena sungut-sungutan tersebut maka dipilihlah tujuh orang dari kelompok Kristen Helenis sebagai diaken untuk menjalankan tugas pembagian tersebut. Kondisi ini menunjukkan bahwa sejak permulaan terbentuk komunitas Kekristenan Awal telah terjadi konflik yang bukan saja disebabkan oleh hal-hal praktis dalam pelayanan gereja seperti adanya kelalaian pelayanan dari para rasul, tetapi terlebihlebih lagi karena adanya perbedaan konteks sosial-budaya kemasyarakatan. Di satu pihak ada kelompok Kristen Yahudi Palestina dengan konteks sosial-budaya Yahudi, dan di pihak lain ada kelompok Kristen Yahudi dari luar Palestina dengan latar-belakang sosialbudaya helenis. Karena adanya perbedaan konteks sosial budaya tersebut maka dipilihlah tujuh orang diaken dari antara anggota jemaat helenis untuk membantu tugas-tugas para rasul dalam hal pembagian makanan tersebut. Dengan ditambahnya tujuh orang diaken ini maka firman Allah makin tersebar dan jumlah murid di Yerusalem makin bertambah, juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan menjadi percaya (Kisah Rasul 6:7). 6
E.C. Park, Either Jew Or Gentile. Paul’s Unfolding Theology of Inclusivity, p. 25.
3
Konflik dalam konteks komunitas Kekristenan Awal ini tidak berhenti di situ saja tetapi terus berlanjut, misalnya : konflik antara jemaat orang Yahudi dengan Stefanus, salah seorang dari ketujuh orang diaken (Kisah Rasul 6:8-9); konflik antara Petrus dengan para rasul dan jemaat di Yudea (Kisah 11:1-4); konflik di Tesalonika (I Tesalonika 1:9-10; 2:13-16)7, bahkan konflik yang terjadi di Galatia (Galatia 1:1,6-10; 2:4-6; 3:1).8 Pada masa-masa awal setelah Saulus (Paulus) bertobat, jemaat-jemaat di Yudea, Galilea dan Samaria berada dalam keadaan damai (band. Kisah Rasul 9-11; 9:31). Pada waktu itu Petrus berjalan berkeliling untuk mengadakan kunjungan ke mana-mana. Dalam kunjungan itu ia menyinggahi beberapa tempat antara lain : Lida (Kisah Rasul 9:32-35), Yope (Kisah Rasul 9:36-43), dan Kaisarea (Kisah Rasul 10:1-48). Kedatangan Petrus khususnya ke Kaisarea karena adanya permintaan dari seorang perwira pasukan Italia bernama Kornelius, ia seorang yang saleh dan seisi rumahnya adalah orang yang takut akan Allah. Apa yang dilakukan Petrus dalam perjalanan keliling ini menyebabkan munculnya konflik di antara anggota komunitas Kekristenan Awal di Yerusalem. Dalam Kisah Rasul 11:1-3 dikatakan bahwa ketika Petrus tiba di Yerusalem, orang-orang dari golongan yang bersunat ”berselisih paham” (diekri,nonto)9 dengan dia. Menurut orangorang dari golongan bersunat bahwa Petrus telah masuk ke dalam rumah orang tidak bersunat lalu makan bersama-sama dengan mereka. Apa yang dilakukan Petrus ini merupakan suatu pelanggaran terhadap tradisi sosial-budaya Yahudi. Konflik ini akhirnya
7
S. Kim, Paul And the New Perspective. Second Thoughts on the Origin of Paul’s Gospel. (Michigan/Cambridge: Grand Rapids, 2002), p. 85-99. 8 F. Watson, Paul, Judaism and the Gentiles. A Sociological Approach, (Cambridge, Cambridge University Press, 1986), p. 43-53. 9 “Berselisih paham” (diekri,non) adalah sebuah kata kerja dari kata diakri,nw yang artinya evaluasi, penilaian, mengakui, melihat perbedaan diantara. Kata diekri,non dalam konteks Kisah Rasul 11:2 merupakan sebuah kata yang dipergunakan untuk menunjukkan bahwa apa yang terjadi adalah terkait dengan hal-hal yang bersifat diskrimasi sosial karena adanya perbedaan budaya dalam relasi antar manusia antara orang Yahudi dengan orang bukan Yahudi.
4
diselesaikan terkait dengan hal-hal praktis dalam hubungan dengan pelaksanaan tugas pemberitaan Injil, tetapi hal-hal yang mendasari munculnya konflik yang terkait dengan tradisi sosial-budaya yahudi sebenarnya belum terselesaikan. Pada umumnya dalam praktek hidup sehari-hari, orang-orang Yahudi memberlakukan suatu sistim yang disebut politik kemurnian10 yang dinampakkan melalui pola tingkah laku seperti tidak boleh bergaul dengan orang-orang tidak bersunat karena mereka orang berdosa, tidak boleh memasuki ataupun tinggal dengan orang-orang bukan Yahudi karena hal itu menajiskan, tidak boleh makan dan minum dengan orang-orang dari bangsa-bangsa lain karena hal itu akan mendatangkan dosa dan kenajisan dan seterusnya (band. Lukas 5:30). Glover dalam hal ini mengemukakan bahwa sesudah kematian Yesus, Ia telah meninggalkan konflik dan perpecahan dalam komunitas agama Yahudi, yang merupakan fondamen dari Kekristenan Awal. Walaupun komunitas kecil yang ditinggalkan Yesus itu berkembang, tetapi perkembangan itu tidak dapat dilepaskan dari tradisi agama Yahudi. Sehingga corak keyahudian dalam Kekristenan Awal tidak dapat ditinggalkan begitu saja dan mengakibatkan konflik antara dua kelompok dalam Kekristenan Awal yaitu kelompok orang bersunat (orang Yahudi) dan kelompok orang tidak bersunat (orang bukan Yahudi).11 Salah satu alternatif dalam menyikapi konflik-konflik gerejawi sebagaimana disebutkan melalui dua contoh di atas adalah dengan jalan mengolah konflik. Dalam rangka belajar mengolah konflik gerejawi maka dapat dipergunakan teori-teori konflik yang telah ada, tetapi terutama dari realitas keberadaan komunitas Kekristenan Awal itu
10
M.J. Borg, Meeting Jesus again for the First Time, (New York : HarperCollins Publishers, 1995), p.5058. 11 T.R. Glover, The Conflict of Religions in the Early Roman Empire, (Boston: Beacon Press,1990), p. 167.
5
sendiri yang tercermin dalam Alkitab Perjanjian Baru.12 Konflik di Galatia sebagai salah satu fenomena sosial dalam konteks kehidupan komunitas Kekristenan Awal kiranya dapat dipergunakan sebagai salah satu sampel untuk memahami hakekat konflik tentang bagaimana Paulus menyikapi konflik dan mengolahnya bagi pembangunan jemaat.
2. PENTINGNYA MASALAH DAN RELEVANSI Surat Galatia menarik untuk dikaji karena memberikan catatan tentang dua peristiwa konflik yang terjadi, yaitu : Konflik di Galatia antara Paulus dengan para lawannya (1:6-24), dan konflik di Antiokhia antara Paulus dengan Petrus (2:11-14).13 Persoalan-persoalan yang menyebabkan konflik antara Paulus dengan para lawannya di Galatia tentunya berdampak terhadap kehidupan jemaat-jemaatnya. Umumnya konflikkonflik ini muncul oleh adanya perbedaan pendapat, pengertian ataupun pemahaman tentang satu hal yang sama di antara pihak-pihak yang berkonflik. Hal ini disebabkan oleh adanya konteks sosial-budaya dan ideologi yang berbeda antara anggota jemaat Kristen Yahudi dengan orang bukan Yahudi.
Di satu pihak orang Kristen Yahudi
mengklaim diri dan tradisinya sebagai dasar kehidupan komunitas Kekristenan Awal, sementara di pihak lain Paulus mempertahankan pola pekabaran Injilnya kepada orang bukan Yahudi dengan melakukan ”reinterpretasi” Injil ke dalam konteks kehidupan mereka.14 Konflik yang didasari oleh adanya perbedaan konteks sosiologis-ideologis ini lahir dari suatu sikap yang dibentuk oleh ideologi dalam kehidupan masyarakat pada masing-masing pihak. Ideologi tersebut mengakibatkan masing-masing pihak tidak ingin 12
Perjanjian Baru selanjutnya ditulis PB. T. Jacobs , Paulus. Hidup, Karya dan Teologinya , (Yogyakarta : Kanisius, 1982), p. 25. 14 T.R. Glover, The Conflict of Religions in the Early Roman Empire, p.168-169. 13
6
menerima dan menghargai berbagai perbedaan yang ada, maka dirasa penting untuk mengetahui faktor-faktor sosiologi-ideologis dalam kehidupan komunitas Kekristenan Awal sebagai unsur-unsur dasar dalam pembentukkan sebuah kelompok dalam komunitas masyarakat.15 Dalam rangka itu maka konflik di Galatia dipilih untuk dibahas dalam tesis ini karena surat Galatia adalah sebuah surat yang diperkirakan merupakan surat yang paling tua dalam PB. Jika Surat Galatia ditulis kira-kira tahun 48/49 AD maka waktunya sangat dekat dengan awal-mula berdirinya komunitas Kekristenan Awal.16 Dari teks I Korintus 16:1, kita mendapat gambaran bahwa Paulus meminta kepada jemaat di Korintus untuk meneladani perbuatan iman dari jemaat-jemaat di Galatia, karena mereka sejak awal dilihat sebagai jemaat yang dapat menjadi teladan bagi kehidupan Kekristenan pada umumnya. Jadi memahami konteks konflik di Galatia sama artinya dengan memahami permulaan munculnya konflik dalam kehidupan komunitas Kekristenan Awal (1:6-9,11; 3:1 dsb).17 Beberapa pakar teologi seperti J. Munck, C.J. Roetzel, ataupun E. Watson telah menelusuri masalah yang menjadi pokok konflik di Galatia dan memberikan argumentasi-argumentasinya. Menurut J. Munck, konflik di Galatia disebabkan oleh adanya pertanyaan anggota jemaat tentang posisi Paulus dalam kedudukannya sebagai rasul orang bukan Yahudi dan bagaimana hubungannya dengan para rasul di Yerusalem sebagai pusat Kekristenan Awal. Apa kedudukan Paulus di antara dua belas rasul ?18 Persoalannya bukan terletak pada bagaimana Paulus telah dipilih dan dipanggil menjadi 15
D. Hendropuspito, Sosiologi Sistimatik, p. 40-62 S. Neill, Paul to the Galatians, (London : Lutterworth Press, 11958), p. 9; Band. : M.E. Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru. (Jakarta, BPK GM, 2003), p. 123; T. Jacobs, Paulus. Hidup, Karya dan Teologinya, p. 101. 17 S. Neill, Paul To The Galatians, p. 9-10. Neill menyatakan bahwa Paulus belum akan menulis surat seperti ini, kecuali jika ia telah merasakan bahwa orang bertobatnya (mualafnya) sedang berada di dalam keadaan yang berbahaya. 18 J. Munck, Paul and the Salvation of Humankind, (Atlanta: John Knox Press, 1977), p. 36-37, 87-100. 16
7
rasul tetapi apakah kedudukan Paulus sebagai rasul sederajat dengan kedudukan dua belas rasul ? Hubungan ini terkait dengan isi pemberitaan Injilnya yang menurut Munck, para lawan Paulus dalam konflik di Galatia adalah dengan kelompok Kristen Yahudi dari Yerusalem sebagaimana nampak dalam teks Galatia 1:17-19; 2:7-9. Munck menyadari bahwa panggilan dan pilihan Allah terhadap Paulus untuk menjadi rasul di antara orang bukan Yahudi didasarkan pada tradisi kenabian (profetis) dalam Perjanian Lama.19 Paulus disejajarkan dengan nabi Yeremia maupun nabi Deutero Yesaya, tetapi perbedaannya terletak pada jabatan pengutusan di mana Yeremia dan Deutero Yesaya diutus sebagai seorang ”nabi” untuk memberitakan keselamatan di antara bangsa-bangsa, sedangkan Paulus diutus sebagai seorang ”rasul” untuk memberitakan tentang Yesus Kristus yang bangkit dari antara orang mati di antara bangsa-bangsa (orang bukan Yahudi).20
Penjelasan Munck ini bertujuan untuk memperlihatkan tentang
perbedaan cara menafsirkan teks PL antara Paulus dan para lawannya yang mengakibatkan konflik di Galatia. Pengakuan para rasul sebagaimana disebutkan Paulus dalam 2:7 adalah mengenai kesejajaran kedudukannya sebagai rasul dalam hubungan dengan dua belas rasul di Yerusalem. C.J. Roetzel menjelaskan bahwa ketika Paulus berangkat meninggalkan Galatia, keadaan jemaat-jemaat tidak berada dalam masalah (4:13-14). Tetapi suatu ketika Paulus menyadari bahwa jemaat-jemaatnya di Galatia sedang mengadopsi sesuatu yang lain dari Injil yang telah diberitakannya di antara mereka (band. 1:6; 4:15-16). Injil dari yang lain, yang diberitakan para lawan Paulus ternyata telah diterima oleh jemaat-jemaat di Galatia karena mereka mempertanyakan tentang dari mana Paulus menerima Injilnya serta
19 20
Perjanjian Lama selanjutnya disebut PL. J. Munck, Paul and the Salvation of Humankind, p. 11-68
8
siapakah yang memberikan legalitas jabatan rasuli kepadanya untuk memberitakan Injil di antara bangsa-bangsa ?21 Para lawan Paulus di Galatia ingin mengetahui tentang identitasnya sebagai rasul yang berada dalam lingkaran apostolis dari para pengikut asli Yesus seperti Petrus dan Yohanes.22 Hubungan Petrus dan Yohanes dengan Yesus terjadi secara langsung dan mereka telah menerima otoritas kepemimpinan dari Yesus, sedangkan Paulus tidak pernah mengenal bahkan bertemu dengan Yesus secara langsung, bagaimana mungkin ia dapat mengakui dirinya sebagai rasul Yesus Kristus.23 Roetzel memahami konflik di Galatia dalam hubungan dengan tradisi apostolis, di mana setiap orang yang menjadi rasul harus memenuhi syarat sebagaimana nampak dalam teks Kisah Rasul 1:21 yaitu ”mereka yang senantiasa datang berkumpul dengan para rasul selama Tuhan Yesus bersama-sama dengan mereka, mulai dari baptisan Yohanes sampai hari Yesus terangkat ke sorga meninggalkan mereka, untuk menjadi saksi tentang kebangkitan-Nya”. Dengan demikian maka konflik di Galatia terjadi karena Paulus dianggap sebagai orang yang menyusup masuk ke dalam lingkaran apostolis dan merubah pengajaran tentang sunat sebagai syarat keselamatan bagi orang bukan Yahudi yang hendak menjadi Kristen dengan ajaran tentang keselamatan oleh iman sebagai kasih karunia Allah tanpa syarat-syarat tertentu.
Oleh sebab itu kepada jemaat-jemaat di
Galatia, Paulus menjawab polemik ini dengan mengatakan bahwa ia adalah rasul yang dipanggil bukan karena manusia tetapi oleh penyataan Allah melalui Yesus Kristus (1:1,15). Menurut saya bahwa apa yang dipahami Roetzel ini akan menimbulkan masalah sebab jika konflik ini bersangkut-paut dengan masalah apostolis, maka tidak mungkin
21
C.J. Roetzel, The Letters Of Paul Conversations in Context, (Lousville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 1998), p.98-100 22 C.J Roetzel, The Letters Of Paul Conversations in Context, p.98 23 C.J. Roetzel, The Letters Of Paul Conversations in Context, p.97
9
keputusan kompromistis dalam pertemuan terbatas di Yerusalem dapat mengakui jabatan rasuli dari Paulus sama dengan jabatan rasuli dari dua belas rasul lainnya sebagaimana nampak dalam 2:7-9. Kecuali keputusannya adalah Paulus dianggap bersalah dan kemudian dikeluarkan dari lingkaran apostolis, bukan kemudian pekerjaan Paulus dinyatakan legal atau sah sebagai rasul untuk orang-orang tidak bersunat (orang bukan Yahudi). Menurut F. Watson bahwa awal-mula timbulnya konflik di Galatia disebabkan oleh adanya pemberitaan Injil dari Paulus tentang kebebasan dari tuntutan-tuntutan hukum taurat bagi orang bukan Yahudi yang hendak menjadi Kristen.24 Karena itu maka konflik di Galatia merupakan konflik tentang adanya otoritas kepemimpinan antara pemimpin gereja di Yerusalem sebagai pusat Kekristenan Awal dengan Paulus yang dianggap sebagai pemimpin gereja di luar Yerusalem.25
Paulus dituduh oleh para
lawannya telah merubah pengajaran dalam Kekristenan Awal tentang makna sunat dalam kehidupan Kristen Yahudi. Akibat perobahan makna yang dilakukan oleh Paulus maka berkembanglah isu esensial di Galatia menyangkut persoalan mengenai apakah kelompok-kelompok Kristen orang bukan Yahudi merupakan sebuah gerakan pembaharuan dalam yudaisme ataukah merupakan sebuah sekte. Jika Kekristenan Paulus
24
F. Watson, Paul, Judaism and the Gentiles, p. 49 Kondisi konflik seperti tersebut menurut Gager, ditimbulkan juga oleh legitimasi hak kekuasaan yang diakibatkan karena persaingan paham atau pandangan menyangkut ideologi yang sama. Apalagi kalau hal itu menyangkut kuasa personal dan prestise. Ada tiga moment kritik dalam Kekristenan Awal menyangkut konflik ideologi ini, yaitu : (1) Konflik dengan agama Yahudi karena klaim representasi kebenaran Israel. (2) Konflik dengan agama kafir karena klaim kebenaran hikmat atau kebijaksanaan. (3) Konflik di antara kelompok-kelompok Kristen Awal karena klaim mewujudkan sifat autentik dari Yesus dan para Rasul; J.G. Gager, Kingdom and Community The Social World of Early Christianity, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, 1975), p. 82
25
10
merupakan sebuah gerakan pembaharuan maka pengajarannya dianggap salah dan menyimpang dari tradisi keyahudian.26 Watson melihat adanya suatu pola dasar utama yang menjadi tradisi dalam agama-agama hukum seperti agama Yahudi (dan Kristen Yahudi) maupun agama-agama lain yang memberlakukan sunat sebagai tanda legalitas keanggotaannya.27 Pola dasar utama kehidupan keagamaan inilah yang dipakai oleh para lawan Paulus sehingga mengakibatkan pengajarannya tentang keselamatan sebagai kasih-karunia Allah ditinggalkan oleh jemaat-jemaat di Galatia (1:6-7; 3:1). Dalam konteks ini terlihat bahwa jikalau Watson terlalu menekankan ajaran tentang sunat yang dilawankan dengan ajaran tentang iman oleh para lawan Paulus di Galatia, maka persoalan konfliknya adalah menyangkut perbedaan pemahaman mengenai ajaran gereja tentang keselamatan (soteriologi). Tetapi soteriologi ini terkait dengan budaya sunat sebagai tanda legalitas keanggotaan, sebab ritual sunat merupakan praktek yang umumnya dikenal dan dilaksanakan dalam kehidupan beberapa suku bangsa di daerah Mediterania.28 Namun demikian perlu disadari bahwa sunat yang dalam budaya beberapa suku bangsa itu merupakan ritual inisiasi pada masa pubertas bagi anak-anak lelaki. Sehingga konflik Paulus dengan para lawannya di Galatia merupakan konflik melawan tradisi budaya sunat yang hendak diberlakukan di antara orang bukan Yahudi yang telah menjadi Kristen. Menurut saya konflik di Galatia antara Paulus dengan para lawannya ini lebih disebabkan oleh dua faktor sosiologis, yaitu :
26
F. Watson, Paul, Judaism and the Gentiles, p.49 F. Watson, Paul, Judaism and the Gentiles, p.49. 28 G.F. Moore, Judaism in the First Centuries of the Christian Era Volume II, (New York : Schocken Book, 1971), p. 17-22. 27
11
pertama, Keputusan Paulus untuk berpindah atau beralih dari komunitas agama Yahudi ke dalam komunitas Kristen membawa dampak sosiologis yang besar, sebab komitmennya itu sekaligus berimplikasi pada keputusannya untuk memberitakan Injil di wilayah-wilayah orang bukan Yahudi.29 Permasalahannya terletak pada konteks di mana Injil harus menembus batas-batas perbedaan sosial-budaya orang Yahudi, maka Paulus sendiri perlu menyusun kembali (reformulasi) batasan-batasan sosial keagamaan bagi komunitas barunya dalam konteks orang bukan Yahudi. Orang-orang yang berpindah atau beralih agama (bertobat) ini tentunya perlu belajar untuk mengerti pengalaman mereka di dalam komunitas yang baru.30 Dalam rangka belajar memahami kehidupan dalam komunitas yang baru ini maka reformulasi batasan-batasan sosial keagamaan tersebut dilakukan Paulus untuk menunjukkan tentang perbedaan mereka dengan komunitas yang lama baik dalam agama Yahudi maupun agama-agama Greco-Roman. Hal itu dilakukan Paulus mengingat adanya perbedaan konteks sosial-budaya dan ideologis dari orang Yahudi dan orang bukan Yahudi yang menjadi sasaran pekabaran Injil. Tujuan dari reformulasi batasan-batasan sosial keagamaan yang berakar dalam konteks sosial-budaya dan ideologis helenis adalah untuk menciptakan suatu identitas baru bagi komunitas Kristen yang baru dengan berpusat pada Injil.31 Akibat perubahan hidup dan komitmen Paulus dari seorang Farisi dalam agama Yahudi menjadi seorang Kristen (pengikut Kristus) dan upayanya untuk mereformulasikan batasan-batasan sosial keagamaan bagi kehidupan komunitas Kekristenan Awal di dunia Greco-Roman yang 29
A.F. Segal, Paul the Convert. The Apostolate and Apostasy of Saul the Pharisee, (New Haven and London : Yale University Press, 1990), p. 72. Ada banyak konsekwensi dalam mengubah komitmen dari satu kelompok sosial di Yudea kepada yang lain, apakah dari seorang bukan Yahudi kepada satu kelompok Yahudi, orang bukan Yahudi menjadi orang Yahudi, atau dari satu kelompok dalam masyarakat Yahudi kepada yang lain. 30 A.F. Segal, Paul the Convert, p. 37 31 T.R. Glover, The Conflict of Religions in the Early Roman Empire, p. 168-169.
12
bercorak helenis (band. Galatia 1:13-14; Filipi 3:5-6; Kisah Rasul 22:1-5) lalu menimbulkan konflik dengan para lawannya yang kemungkinan berlatar-belakang yahudi sebagai fondamen lahirnya komunitas Kekristenan Awal. kedua, Menembusi batas-batas perbedaan sosial-budaya dan ideologi, berarti Injil perlu ”di-reinterpretasi” untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh seorang Kristen bukan Yahudi di luar Yerusalem.32 Pada umumnya orang yang berpindah agama secara alami mengerti perubahan atau pertobatannya dan visinya dalam menilai komunitas baru yang dimasukinya. Dalam kaitan dengan berbagai masalah yang akan dihadapi orang bukan Yahudi ketika bersatu dalam kelompok Kristen sebagai komunitasnya yang baru disebutkan oleh Segal bahwa ”orang bukan Yahudi hidup bersama keluarga-keluarga mereka tetapi serentak dengan itu ia memiliki pula dasar kehidupan yang baru sebagai seorang Kristen dalam komunitas Kristen Yahudi, terpisah dari kehidupan kekafiran mereka yang lama”.33 Dalam konteks ini secara kognitif terjadi ketidak-cocokkan dalam dua lingkungan masyarakat, yaitu di satu sisi seorang Yahudi tidak memprioritaskan untuk hidup sebagai seorang bukan Yahudi atau kafir, tetapi sebaliknya di sisi yang lain seorang bukan Yahudi diharuskan untuk memprioritaskan hidup sebagai seorang Yahudi.34 Ketidak-cocokkan semacam ini mendorong Paulus untuk melakukan reinterpretasi Injil dalam konteks sosial-budaya dan ideologi orang bukan Yahudi. Berkaca dari kondisi sosiologis komunitas Kristen yang baru seperti ini maka dapat dipahami bahwa konflik yang sesungguhnya bukan terjadi karena masalah-masalah teologi saja seperti masalah sunat ataupun keselamatan. Tetapi pokok utama konflik 32
F.Watson, Paul, Judaism and the Gentiles , p.49,46. A.F. Segal, Paul the Convert, p.208 34 A.F. Segal, Paul the Convert, p.208 33
13
tersebut adalah menyangkut komitmen untuk memasuki sebuah komunitas sosial yang baru dan perlunya satu definisi yang baru sebagai suatu identitas komunitas Kristen.35 Dalam hal inilah reinterpretasi Paulus terhadap kitab suci orang Yahudi bertujuan untuk menciptakan suatu identitas baru bagi komunitas Kristen yang berbeda dari identitas dalam komunitas orang Yahudi maupun komunitas orang bukan Yahudi. Persoalannya terletak pada konteks di mana Paulus sendiri tidak dapat melepaskan diri begitu saja dari pengaruh dan kedudukan para rasul Yerusalem, akibatnya setiap kali Paulus mempertanggung-jawabkan pekerjaannya di antara orang bukan Yahudi, akan nampak adanya perbedaan konteks sosial budaya dan ideologi yang selalu muncul sebagai suatu potensi konflik dalam komunitas Kekristenan Awal. Ancaman konflik yang setiap saat dapat saja menimbulkan perpecahan dalam kehidupan komunitas Kekristenan Awal, secara khusus antara Paulus dengan para lawannya yang berdampak pada kehidupan persekutuan jemaat Kristen Yahudi dengan jemaat Kristen bukan Yahudi perlu diolah. Upaya mengolah konflik gerejawi ini penting agar pemberitaan Injil dapat sampai kepada segala bangsa sebagaimana diamantkan oleh Yesus Kristus (band. Matius 28:19-20). Dalam pemahaman yang demikian maka tesis ini diharapkan bermanfaat untuk meletakan dasar-dasar teologi sosial dalam rangka mengolah konflik-konflik dalam gereja. Sebelum konflik-konflik dalam gereja berdampak menjadi masalah sosial di luar gereja, maka sangatlah penting agar konflik yang terjadi antar anggota gereja atau antar kelompok-kelompok dalam gereja perlu ditangani dan diolah berdasarkan iman Kristen. Penanganan dan pengeolahan konflik-
35
A.F. Segal, Paul the Convert, p.208
14
konflik dalam gereja ini dirasa penting sebagai suatu kekuatan gereja Tuhan untuk membangun sebuah pola kehidupan baru dalam konteks konflik di tengah masyarakat.
3. PEMBATASAN MASALAH Mengingat luasnya masalah konflik dalam surat-surat Paulus, maka tesis ini dibatasi
pada
konteks
konflik antara Paulus dengan para lawannya sebagaimana
tercermin dalam Surat Galatia, secara khusus teks Galatia 1:1-2:10 dan relevansinya bagi kehidupan gereja saat ini. Untuk memahami lebih jauh pokok konflik Galatia secara khusus dalam teks 1:1-2:10 maka terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang makna istilah konflik dan alasan dipilihnya teks Galatia 1:1-2:10 sebagai dasar dari tesis ini. Istilah konflik berasal dari bahasa Latin, conflictus yang artinya pertentangan,36 kemudian dalam bahasa Inggris, conflict yang mengikuti makna aslinya ini diartikan sebagai suatu “bentuk perkelahian, peperangan/perjuangan, perselisihan paham”.37 Dengan demikian maka konflik mengacu pada suatu perselisihan paham yang tajam dan yang selalu berproses, bukannya berakhir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “konflik” diartikan sebagai percekcokkan; perselisihan; pertentangan;38 Berdasarkan pengertian tersebut maka istilah konflik ternyata memiliki arti yang luas sehingga dapat kehilangan makna sebagai sebuah konsep tunggal, karena itu diperlukan satu definisi tentang pemahaman arti konflik bagi penulisan tesis ini.39
36
A.G. Pringgodigdo (Red), Ensiklopedia Umum, (Yogyakarta : Kanisius, 1973), p. 687. D.B. Guralnik (editor), New World Dictionary Webster’s New World Dictionary of the American Lenguage, (Cleveland, Ohio: Williams Colloins Publisher, Inc, 1979), p. 298. 38 H. Alwi (pimpinan redaksi), Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3, (Jakarta: Diknas RI, 2005), p. 587. 39 D.G. Pruitt, J.Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, tanpa tahun), p. 9. 37
15
Konflik yang dimaksud adalah perwujudan adanya perbedaan pemahaman yang tajam dan mengakibatkan pertentangan pendapat intra personal, antar personal ataupun antar kelompok dalam satu komunitas tentang satu hal yang sama. Pertentangan pendapat ini disebabkan oleh adanya perbedaan konteks sosial budaya dan ideologis yang kemudian dapat mempengaruhi tingkah-laku dari pihak-pihak yang berkonflik.40 Berdasarkan definisi ini maka “Konflik di Galatia” dapatlah diartikan sebagai sebuah fenomena sosial tentang “adanya perbedaan pemahaman yang tajam antara Paulus dengan para lawannya yang mengakibatkan pertentangan pendapat intra personal, antar personal ataupun antar kelompok dalam komunitas Kristen di Galatia tentang satu hal yang sama, yaitu permasalahan otentisitas jabatan rasul Paulus dan originalitas dari esensi Injil yang diberitakan di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi. Pertentangan pendapat ini disebabkan oleh adanya perbedaan konteks sosial budaya dan ideologis dari pihak-pihak yang berkonflik sehingga kemudian mempengaruhi pola tingka-laku di antara mereka.” Untuk memahami perbedaan konteks sosial-budaya dan ideologis yang melatarbelakangi munculnya konflik gerejawi dalam kehidupan Kekristenan Awal di Galatia, maka teks Surat Galatia 1:1-2:10 dipilih dengan alasan bahwa surat Galatia merupakan muara dari kenyataan konflik pertama dalam komunitas Kekristenan Awal dan bagaimana Paulus menyikapinya, mengolahnya dan akhirnya menggunakan konteks konflik tersebut bagi pembangunan jemaat di dunia Greeco-Roman. Para penafsir Alkitab telah berusaha memecahkan masalah Galatia dari perspektif mereka dengan pendekatan tafsir historis kritis seperti S. Neill, W. Barclay, ataupun C.H. Pinnock. Tafsiran para 40
Pruitt dan Rubin memberikan definisi konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan, D.G.Pruitt, J.Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, p. 9-10.
16
penafsir Alkitab terhadap Surat Galatia ini dipahami sebagai sebuah konflik yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pemahaman teologi di antara kelompok-kelompok komunitas Kristen di Galatia, akibatnya maka penjelasan mereka lebih terarah kepada masalah teologis, yaitu bagaimana Paulus menjelaskan tentang doktrin keselamatan oleh iman sebagai kasih-karunia Allah. Tafsiran seperti ini kemudian dilihat sebagai satu bentuk ajaran gereja tentang karya keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus (soteriologi).41 S. Neill mengatakan dalam tafsirannya bahwa ada dua hal yang menimbulkan konflik di Galatia, yaitu : (1) Hilangnya doktrin Paulus yang berpusat pada iman, dan digantikan oleh doktrin yang berpusat pada sunat sebagai prasyarat keselamatan. (2) Apakah tujuan atau maksud Tuhan bagi keselamatan orang bukan Yahudi, dan bagaimana relasi antara orang Yahudi dan orang bukan Yahudi dapat dibangun dalam kehidupan bergereja.42
Menurut W. Barclay bahwa keselamatan sebagaimana nyata
dalam konflik di Galatia berkaitan erat dengan hukum Taurat. Paulus membela inti ajarannya tentang keselamatan oleh iman sebagai anugerah Allah, yang dikonfrontasikan dengan pengajaran para lawannya mengenai keselamatan hanya dapat terjadi bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi kecuali jika mereka melakukan tuntunan Hukum Taurat maupun menjalankan ritual sunat.43 Sedangkan C.H. Pinnock memahami persoalan di Galatia dalam tiga hal, yaitu adanya pemahaman yang berbeda antara Paulus dengan para
41
W. Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Galatia dan Efesus, (Jakarta: BPK GM, 1983); J.J.W. Gunning, Tafsiran Alkitab Surat Galatia, (Jakarta: BPK GM, 2003); S. Neill, Paul To The Galatians, p.910. 42 S. Neill, Paul To The Galatians, p.9-10. “To the Galatians” is the most passionate letter that we have had the pen of the apostle. Paul would not have written like this, unless he had felt that his convert were in very grave danger – the danger, in fact, of losing the central doctrine of the faith. One great problem for the early Christians, was that of the purpose of God for the Gentiles, and of the relationship between Jews and Gentiles within the Church. 43 W. Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari Galatia dan Efesus, p. 10-13
17
lawannya tentang masalah kebenaran yang dibicarakan dalam dua pasal pertama, masalah keselamatan sebagai inti surat yang dibahas pada dua pasal berikutnya dan masalah kekudusan sebagai etika Kristen yang dibicarakannya dalam dua pasal terakhir.44 Betapapun para ahli tafsir Alkitab telah memiliki andil yang besar dalam melakukan penafsiran dan memahami konteks konflik di Galatia tetapi menurut saya, tafsiran mereka ini perlu dilengkapi dengan mangangkat akar permasalahan di sekitar persoalan konflik sosial yang sesungguhnya. Konflik di Galatia sesungguhnya terjadi karena adanya perbedaan konteks sosial-budaya dan ideologis dalam kehidupan masyarakat di dunia Greco-Roman. Para ahli tafsir Alkitab memahami konflik di Galatia sebagai suatu bentuk konflik gerejawi antara Paulus dengan para lawannya yang berkaitan dengan ajaran tentang keselamatan dan pelaksanaan ritual sunat.45 Dengan demikian tesis ini akan memahami teks surat Galatia dari pendekatan tafsir sosiologiideologis untuk melengkapi hasil dari tafsir historis kritis sebagaimana disebutkan di atas, terutama memberikan deskripsi-analitis tentang konteks munculnya konflik dari sudut sosiologis-ideologis
dalam
komunitas
Kekristenan
Awal
yang
tentunya
telah
menghasilkan teks Surat Galatia. Melalui pendekatan tafsir sosiologis-ideologis akan nampak bahwa konflik gerejawi dalam komunitas Kekristenan Awal bukan sekedar sebuah konflik agama yang terlepas dari kenyataan sosial tetapi fenomena ini merupakan sebuah konflik agama yang berimplikasi pada konflik sosial yang jauh lebih besar, karena keanggotaan dari 44
C.H. Pinnock, Truth on Fire. The Message of Galatians, (Michigan : Grand Rapids, 1972), 6-8. T. Jacobs, Iman Dan Agama. Kekhasan Agama Kristiani menurut Santo Paulus Dalam Surat Galatia dan Roma, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), p. 19-20. Menurut Galatia 5:3 bahwa Sunat bukan soal hygiene atau kesehatan Sunat berarti inisiasi ke dalam agama Yahudi: “memelihara…..” (4:10). Bagi orang Kristiani di Galatia, sunat berarti-menurut Paulus menjadi Yahudi...... Bagi mereka sunat bukan soal kebudayaan atau adat, melainkan sungguh masalah agama, khususnya agama Yahudi. Mau disunat berarti ingin menjadi Yahudi dan bukan Kristen lagi. 45
18
komunitas Kekristenan Awal tidak dapat dipisahkan begitu saja dari kelompok orang Yahudi maupun kelompok-kelompok orang bukan Yahudi dalam masyarakat GrecoRoman pada umumnya.46 Dengan demikian maka konflik di Galatia sebenarnya tidak dapat dilihat sebagai suatu bentuk konflik tentang ajaran gereja mengenai karya keselamatan (soteriologi) saja47, tetapi merupakan sebuah bentuk konflik gerejawi yang dipicu pula oleh adanya perbedaan konteks sosial-budaya dan ideologis yang terkait erat dengan konteks identitas dari setiap kelompok dalam komunitas yang berkonflik sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan pemahaman teologi dan prakteknya dalam komunitas Kekristenan Awal.
4. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan pemahaman konteks tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam tesis ini adalah : 1. Persoalan-persoalan sosiologi-ideologis apakah yang menyebabkan munculnya konflik di Galatia, bagaimana dampaknya, serta apa sikap Paulus dalam mengolah konflik tersebut bagi pembangunan jemaat-jemaat ? 2. Bagaimana relevansinya bagi konteks konflik dalam kehidupan gereja saat ini ?
5. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui tentang persoalan-persoalan sosiologi-ideologis sebagai penyebab konflik di Galatia.
46 47
A.F. Segal, Paul the Convert, p.208 A.F. Segal, Paul the Convert, p.208
19
2. Mengetahui dampak konflik di Galatia dan bagaimana sikap Paulus dalam megolah konflik tersebut bagi pembangunan jemaat-jemaat. 3. Membangun hubungan dialogis antara makna teks Galatia 1:1-2:10 dengan konteks kehidupan jemaat-jemaat di Galatia dan relevansinya bagi kehidupan gereja saat ini.
B. JUDUL PENULISAN
KONFLIK DI GALATIA Sebuah Tafsir Sosiologis-Ideologis Terhadap Teks Surat Galatia 1:1-2:10 Dan Relevansinya
C. HIPOTESIS
Konflik di Galatia sebagaimana nyata dalam teks 1:1-2:10 memperlihatkan tentang adanya perbedaan konteks sosial budaya dan ideologis dalam keanggotaan komunitas Kekristenan Awal. Di satu pihak ada kelompok Kristen Yahudi dengan latar belakang sosiol-budaya dan ideologinya sementara di pihak lain ada kelompok Kristen bukan Yahudi dengan latar belakang sosiol-budaya dan ideologinya yang berbeda. Dengan demikian konflik di Galatia dapat dipahami sebagai sebuah fenomena sosial yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan konteks sosial-budaya dan ideologis dari pihak-pihak yang berkonflik, sehingga adanya konflik tersebut bukan seluruhnya disebabkan oleh adanya perbedaan pemahaman tentang ajaran keselamatan melalui ritual sunat bagi orang
20
bukan Yahudi yang hendak menjadi Kristen. Adanya perbedaan-perbedaan konteks sosiol-budaya dan ideologis inilah yang kemudian menimbulkan pertentangan pendapat dalam kehidupan komunitas Kekristenan Awal. Ketika Paulus hendak melaksanakan misinya di lingkungan orang-orang bukan Yahudi, ia perlu melakukan reinterpretasi Injil ke dalam konteks sosial yang baru di dunia Greco-Roman. Hal itu lalu menimbulkan konflik dengan orang Kristen Yahudi yang menganggap dirinya sebagai dasar dari kehidupan dan misi dalam Kekristenan Awal. Konflik dalam konteks ini harus dilalui Paulus, sebab jika hal itu tidak dilakukannya maka pekabaran Injil di antara orang-orang bukan Yahudi kemungkinan akan gagal. Dalam rangka itu maka Paulus melakukan reformulasi batasan-batasan sosial keagamaan untuk dipergunakan dalam komunitas Kristen yang baru dan sedang mengalami ketidak-cocokkan di dalam dirinya dan lingkungannya. Reformulasi batasanbatasan sosial keagamaan ini dilakukan Paulus berdasarkan interpretasinya terhadap kitab suci orang Yahudi dan penyataan Injil Yesus Kristus kepadanya. Dalam kaitan dengan pengolahan terhadap berbagai fenomena konflik yang terjadi dalam gereja saat ini, maka faktor-faktor sosiologis-ideologis masyarakat yang kepadanya Injil Kristus hendak diberitakan perlu dipertimbangkan sebaik mungkin, karena pertimbangan-pertimbangan sosiologis yang dilakukan gereja ini didasarkan pada kenyataan bahwa gereja merupakan bagian dari komunitas sosial dalam dunia. Sebagai bagian dari komunitas sosial maka gereja hanya mungkin dapat menjadi gereja yang memberitakan Injil apabila gereja menyadari bahwa “ia ada untuk dunia dan bukan untuk dirinya sendiri.”48 Gereja ada untuk masyarakat dengan segala unsur-unsur sosial-budaya
48
Bandingkan, H. Kraemer, Theologia Kaum Awam, (Jakarta : BPK GM, 2001), p. 97,98. ”... Gereja berada di dunia ini terutama untuk kepentingan dunia ini dan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.....
21
dan ideologisnya, karena itu mempertimbangkan faktor-faktor sosial-budaya dan ideologis dalam menghadapi dan mengolah konflik gerejawi saat ini amat diperlukan bagi penataan pembangunan jemaat.
D. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah studi kepustakaan. Karena tesis ini adalah tesis studi biblika, maka pendekatan yang digunakan dalam penafsiran teks Alkitab adalah metode Tafsir Sosiologis-Ideologis. Metode tafsir sosiologis-ideologis ini dikembangkan berdasarkan definisi yang dibuat oleh Yusak Tridarmanto demikian : ”Tafsir Sosiologi-ideologis adalah tafsir atas teks-teks Alkitab yang dalam prosesnya memperhitungkan pentingnya faktor-faktor sosiologis-ideologis masyarakat yang dari dalamnya teks Alkitab itu lahir. Masyarakat di sini meliputi masyarakat pada umumnya maupun masyarakat ’orang-orang kristen’ itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah para penulis teks Alkitab sebagai anggota masyarakat tersebut.”49 Yang hendak diperlihatkan melalui metode tafsir sosiologi-ideologis adalah bagaimana relasi antar individu maupun kelompok dalam kehidupan masyarakat. Relasi-relasi kemanusiaan dalam masyarakat tersebut tentunya akan turut menentukan lahirnya teks Alkitab. Artinya bahwa teks-teks Alkitab yang nampak sekarang tidak lepas dari konteks sosial masyarakat pada saat teks itu ditulis. Akibatnya maka teks Alkitab itu sebenarnya juga hendak mempengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga ada hubungan dialogis antara kehidupan masyarakat dengan teks Alkitab. Gereja adalah misi mengandung arti bahwa Gereja itu dalam segala waktu dan tempat berada dalam rangkuman yang seluas-dunia dan sedekat-tempat dari dunia, yang ke dalamnya dan kepadanya ia diutus.” 49 Y.Tridarmanto, Tafsir Sosiologis-Ideologis, Materi Kuliah PPST UKDW Yogyakarta 2007-2008 dalam bentuk makalah, (Yogyakarta: PPST UKDW, 2007), p.1
22
Menurut Tridarmanto ada presuposisi yang mendasari munculnya tafsir sosiologiideologis. Presuposisi tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa teks Alkitab lahir sebagai suatu pergumulan penulis berdasarkan kenyataan yang dihadapi dalam suatu masyarakat tertentu di mana penulis tersebut hidup dan berada.50 Hubungan timbal-balik yang saling pengaruh-mempengaruhi ini oleh Peter Berger dalam teorinya mengenai masyarakat disebutnya sebagai kenyataan obyektif dan kenyataan subyektif.51 Hubungan ini adalah hubungan pengaruh-mempengaruhi. Masyarakat mempengaruhi terbentuknya teks Alkitab dan sebaliknya teks Alkitab dihasilkan untuk mempengaruhi masyarakat. Terkait dengan itu perlu dipehatikan dalam tafsir sosiologi-ideologis, adanya world-view masyarakat yang ikut berperan dalam teks Alkitab, dan sebaliknya teks Alkitab yang hendak mempengaruhi world-view masyarakat tersebut.52 Bertitik-tolak dari kenyataan ini maka usaha mendeskripsikan dan memasuki kembali dunia sosial Alkitab sangat berguna untuk memahami berita yang hendak disampaikan, karena itu diperlukan model kajian deskriptif-analitis tentang dunia sosial PB.
Model-model kajian tersebut berkaitan dengan analisa terhadap karakter sosial
seperti hubungan antar pribadi, hubungan pribadi dengan kelompok, hubungan antar kelompok, struktur-struktur kelompok dan stratifikasi sosial dari kebudayaan.53 Perlu juga disadari bahwa selain karakter sosial tersebut, setiap kelompok masyarakat juga memiliki bahasa dan konsep (pola berpikir) yang menunjukkan identitas masyarakat itu
50
Y. Tridarmanto, Tafsir Sosiologis-Ideologis, p.1 Y. Tridarmanto, Tafsir Sosiologis-Ideologis, p.1; lihat juga : D. Hendropuspito, Sosiologi Sistimatik, p. 74-75. Masyarakat adalah suatu jalinan kelompok-kelompok sosial yang saling mengait dalam kesatuan yang lebih besar, berdasarkan kebudayaan yang sama…atau…. Masyarakat adalah kesatuan yang tetap dari orang-orang yang hidup di daerah tertentu dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok, berdasarkan kebudayaan yang sama untuk mencapai kepentingan yang sama. 51 Baca : P.L. Berger, Th. Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, (Jakarta: LP3ES, 1990), p. 66-248. 52 Y. Tridarmanto, Tafsir Sosiologis-Ideologis, p.1 53 A.A. Sitompul, U. Beyer, Metode Penafsiran Alkitab, (Jakarta : BPK GM, 2006), p. 282-284. 50
23
sendiri, sehingga secara otomatis penulisan teks Alkitab merupakan formasi bahasa yang bermakna dan terkait dengan ideologi masyarakat setempat dimana teks Alkitab itu dihasilkan.54 Hubungan antara bahasa dan ideologi masyarakat ini dikemukakan oleh Thompson sebagai sebuah refleksi bahasa.55
Artinya bahwa
”ide-ide” dari bahasa
masyarakat itu tentunya tidak hanya berputar di dunia sosial yang tidak nyata, tetapi ideide itu berputar dalam dunia sosial yang nyata dalam bentuk ucapan-ucapan, ekspresi, sebagai kata-kata yang berbicara dan mengesankan. Dengan demikian maka mempelajari ideologi dalam beberapa hal dan cara berarti mempelajari kehidupan sosial, yaitu mempelajari cara-cara di mana bahasa dipergunakan dalam kehidupan sosial seharihari.56 Dalam kaitan dengan kritik ideologi dan tafsir sosiologi-ideologis, Robert Setio mengemukakan bahwa : ”Istilah ideologi57 kemudian diperkenalkan dalam dunia biblika sebagai suatu alternatif dari istilah teologi yang dipandang kurang mewakili sisi sosio-politik. Jika teologi adalah pemikiran yang semata-mata agama, maka ideologi mengaitkan apa yang nampaknya bersifat agama tersebut dengan konteks sosio-politik. Prinsipnya tidak ada pemikiran agama yang berada di luar kerangka sosiologis dan kepentingan politik tertentu58
54
Y. Tridarmanto, Tafsir Sosiologis-Ideologis, p.2 J.B. Thompson, Analisis Ideologi. Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2007) p. 14-15 56 J.B. Thompson, Analisis Ideologi, p. 14-15. 57 A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Oxford : Oxford University Press, 1995), p. 589, Istilah ”ideologi” berarti gagasan, ide, atau kepercayaan yang membentuk teori ekonomi dan politik; Gagasan atau ide yang dianut oleh seseorang atau komunitas tertentu.; J.B. Thompson, Analisis Ideologi, p.13-14, 17, Istilah tersebut digunakan dalam dua cara yang sangat berbeda. Di satu sisi, ‘ideologi’ digunakan oleh beberapa penulis sebagai istilah yang murni deskriptif: sebagai ‘sistim berpikir’, ‘sistim kepercayaan’, ‘praktek-praktek simbolik’ yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politk. Selain itu istilah ini digunakan oleh para ahli sosiologi, antropologi, serta analis politik; ia juga diintegrasikan ke dalam konsep-konsep yang digunakan untuk ilmu-ilmu sosial. Dalam perkembangan pemakaiannya, istilah ideologi selalu berkonotasi negatif yang diakibatkan oleh pengertian ideologi sebagai suatu pola pemikiran atau cara pandang yang datangnya dari keyakinan pribadi ataupun komunitas tertentu. 58 R. Setio, Manfaat Kristik Ideologi Bagi Pelayanan Gereja, Dalam: Penuntun, Jurnal Teologi dan Gereja, vol.5, no. 20, 2004, p. 391.. 55
24
Dengan demikian maka tafsir sosiologi-ideologis hendak menekankan bahwa teks Alkitab perlu dipelajari dan ditafsirkan berdasarkan konteks sosial persekutuan Kristen Awal dalam dunia Greco-Roman.59 Pertanyaannya adalah bagaimana hubungan timbalbalik manusia sebagai anggota masyarakat dengan segala proses kehidupannya turut mewarnai dan menentukan makna sebuah teks Alkitab, serta bagaimana ideologi teks Alkitab itu ditempatkan dalam konteks sosial dan ideologi masyarakat. Sasaran dari tafsir Sosiologis-Ideologis adalah teks dan pembacanya. Teks merupakan implementasi dari sebuah permasalahan dalam masyarakat yang hendak diseleisaikan secara ideologis. Karena itu hadirnya sebuah teks di dalam konteks masyarakat tertentu adalah untuk mempengaruhi nilai-nilai, ide-ide, dan kesimpulan tertentu dari kelompok-kelompok dalam masyarakat itu atau dapat saja menolak apa yang terdapat dalam konteks masyarakat tersebut karena dianggap berlawanan dengan keinginan dan makna teks.60 Adapun langkah-langkah dalam melakukan tafsir sosiologis-ideologis adalah sebagai berikut : 1. Melakukan deskripsi terhadap faktor-faktor sosiologis-ideologis masyarakat sebagai konteks lahirnya teks Surat Galatia untuk menjawab berbagai polemik di Galatia. Langkah ini dilakukan dengan cara merekonstruksi sistim sosial masyarakat yang berkaitan dengan karakteristik sosiologis. 2. Menghubungkan deskripsi tentang faktor-faktor sosiologis-ideologis masyarakat dengan konteks teks surat Galatia 1:1-2:21 yang sedang ditafsirkan.
59 60
A.A. Sitompul, U. Beyer, Metode Penafsiran Alkitab, p. 282-284. R. Setio, Manfaat Kristik Ideologi Bagi Pelayanan Gereja, Dalam: Penuntun, p. 388-389
25
3. Menempatkan ayat-ayat yang ditafsirkan dalam bingkai sosiologis-ideologi kemasyarakatan dan mencoba menemukan apa makna teks tersebut serta bagaimana teks tersebut berfungsi di dalam sistim sosial kemasyarakatan. 4. Bagaimana makna dan fungsi teks Surat Galatia 1:1-2:10 didialogkan dengan konflik yang dihadapi gereja saat ini.61
E. SISTIMATIKA PENULISAN
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran tersebut di atas maka kajian tesis ini terdiri atas lima bab, yaitu : Bab 1. Merupakan Pendahuluan yang mencakup : Latar-belakang Masalah, Pentingnya Masalah dan Relevansi, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Judul Penulisan, Hipotesis, Metode Penulisan dan Sistimatika Penulisan Bab 2. Mendeskripsikan faktor-faktor sosiologis-ideologis dalam komunitas Kekristenan Awal sebagai konteks munculnya konflik di Galatia. Bab 3. Tafsir sosiologis-ideologis terhadap teks surat Galatia 1:1-2:21. Bab 4. Kesimpulan dan refleksi yang terkait dengan pengembangan teologi kontekstual yang dialogis antara makna teks surat Galatia 1:1-2:10 dengan konteks konflik yang dihadapi gereja saat ini. Bab 5. Merupakan bab penutup berupa respons penulis terhadap konteks konflik yang dihadapi gereja saat ini dalam bentuk rekomendasi. 61
Bandingkan : Y. Tridarmanto, Tafsir Sosiologis-Ideologis; R. Setio, Kritik Ideologi. Hermeneutik Perjanjian Pertama II, Makalah, Materi Kuliah PPST UKDW Yogyakarta, 2007; A.A. Sitompul, U. Beyer, Metode Penafsiran Alkitab, p. 282-283.
26