BAB I I.
LATAR BELAKANG Ada sebuah percakapan menarik antara Chuang Tzu, seorang pemikir mistik dan banyak
belajar dari Lao Tzu, dengan Hui Tzu, seorang ahli logika yang tergabung dalam Aliran Namanama (Ming Chia), begini:
U
KD
W
Ketika berjalan bersama Hui Tzu di sepanjang bendungan sungai Han, Chuang Tzu berkata, “Ikan putih itu berenang dengan tenang. Itulah kebahagiaan ikan itu.” “Engkau bukan ikan,” kata Hui Tzu. “Bagaimana engkau tahu bahwa itulah kebahagiaannya?” “Engkau bukan aku,” kata Chuang Tzu. “Bagaimana engkau tahu bahwa aku tidak mengenal kebahagiaan ikan itu?” Hui Tzu berkata, “Jelas aku tidak mengetahuinya, karena aku bukanlah engkau. Tetapi engkau bukanlah ikan itu, dan jelas sekali bahwa engkau tidak mengetahui kebahagiaan ikan itu.” “Marilah kita membahas akar permasalahannya,“ kata Chuang Tzu. “Ketika engkau bertanya bagaimana aku mengetahui kebahagiaan ikan itu, engkau sudah tahu bahwa aku mengetahui kebahagiaan ikan itu, tetapi malah bertanya bagaimana. Aku mengetahuinya di sepanjang sungai ini.”1
IK
Cerita ini berkenaan dengan “sudut pandang”. Choan Seng-Song menggunakannya untuk menjelaskan Allah yang mau melihat dari sudut pandang kemanusiaan, ‘masuk’ ke dalam
M IL
kehidupan manusia, dan secara khusus ikut merasakan bagaimana penderitaan manusia itu sendiri. Tentu Song dengan sadar menggunakan cerita religius yang terdapat dalam tradisi aliran agama di luar Kristen, lebih tepatnya Taoisme, untuk memperkaya pemahaman kekristenan sendiri. Dengan kata lain, ia menunjukkan perjumpaan antara tradisi-tradisi religius yang berbeda dan hasilnya tampaknya dapat memperkaya orang Kristen sendiri dalam memahami dan menghayati Sabda Allah di dalam Kitab Sucinya. Perjumpaan dialogis membuahkan suatu kekayaaan sekaligus memberikan kesadaran bahwa masing-masing tradisi religius mempunyai keunikannya tersendiri. Dan ketika masingmasing keunikan ini diperjumpakan, bukan tidak mungkin terjadi ketegangan kreatif yang dialektis. Tentunya dalam kesadaran akan adanya ketegangan kreatif yang dialektis inilah skripsi ini ditulis. Dalam skripsi ini, Penulis ingin menggumuli dua tradisi religius yang berbeda, yakni 1
Choan-seng Song, Allah Yang Turut Menderita, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007, hal. xiii. Cerita ini sebenarnya terdapat dalam buku “Master Chuang” yang ditulis oleh pengikut-pengikut Taoisme. Lihat T. Patrick Burke, The Majors Religions. An Introduction with Texts, Oxford: Blackwell Publishers, 1996, p. 159, 163.
Yohanes 4: 1-42 dan wu-wei dalam tradisi religius Taoisme. Minat ini didasarkan pada ketertarikan akan kajian seputar dialog interreligius.
1.1. Teks Yohanes 4:1-42 dan “wu-wei” sebagai ajuan Menurut Theo Witkamp, Injil Yohanes dalam berbagai narasi dialognya banyak memakai gaya “kesalahpahaman” atas siapapun yang sedang berdialog dengan Yesus. Contohnya dapat ditemui dalam Yohanes 2:19-21; 3: 1-21; 4: 10-15, 33-34; 6:5-9, 41-42, 52; 7:27-28 dll. Tetapi sebenarnya gejala “kesalahpahaman”, yang nantinya akan mendorong si pembaca untuk mengerti dengan lebih baik daripada tokoh-tokoh di dalam cerita, jelasnya mempunyai arti
W
teologis yang penting yaitu tidak mungkin mengenal Yesus kalau tidak dilahirkan kembali, atau dengan kata lain, kalau matanya tidak dibuka oleh Allah. Tanpa mata yang baru, identitas Yesus
KD
yang benar tidak bisa dilihat.2 Jika pendapat Witkamp ini diperhadapkan ke dalam Yohanes 4:142, tentulah menarik untuk dipertanyakan: apa yang membuat si perempuan Samaria (ay 10-15) dan para murid (ay 31-33) salah paham terhadap maksud Yesus? Apakah jawabnya hanya bahwa
U
kesalahpahaman itu disebabkan mata mereka belum dibukakan oleh Allah? Dengan kata lain, Penulis ingin mempertanyakan: apakah terbuka kemungkinan lain dari jawaban Witkamp ketika
IK
persoalan kesalahpahaman itu ditafsirkan dari perspektif wu-wei? Dalam Yohanes 4:1-42 terdapat beberapa pertanyaan kunci yang kiranya membutuhkan
M IL
penafsiran untuk memperoleh jawaban, misalnya: apakah yang membuat Yesus pergi dari Yudea ke Galilea tetapi harus melalui Samaria pada saat Dia diterangkan narator memperoleh banyak murid ketimbang Yohanes (ay 1-4)? Bagaimana memahami air hidup yang dimaksudkan Yesus di ayat 10? Bagaimana memahami ungkapan si perempuan di ayat 19 dan 26, dan ungkapan orang Samaria sekampung di ayat 42? Lalu apakah sebenarnya tujuan narator menceritakan soal ungkapan-ungkapan mereka itu? Bagaimana menjelaskan keberadaan narasi ayat 31-38 yang kelihatannya kurang berhubungan dengan narasi ayat 1-30 dan ayat 39-42? Melalui pertanyaanpertanyaan kunci ini ingin dikatakan bahwa bisa jadi jawaban dari semuanya ini dapat diperoleh dengan berbeda dan semakin kaya, tetapi jika ditafsirkan dari perspektif wu-wei. Alasan Penulis untuk mendialogkan narasi Yohanes 4:1-42 dengan wu-wei adalah adanya kesamaan “spirit” yang bisa dipertemukan diantara keduanya. Sebagaimana inti ajaran wu-wei ialah mementingkan tindakan spontanitas dan mengalir mengikuti Tao, begitulah dapat dirasakan tindakan spontanitas 2
Lih. Theo Witkamp, “Mengenal Narasi Yohanes”, dalam GEMA DUTA WACANA No. 46, 1993, hal. 71-72.
dari Yesus dalam melakukan pekerjaan-Nya di Samaria yang digambarkan di dalam narasi. Dugaan inilah yang kemudian akan dibuktikan melalui skripsi ini. Menyangkut alasan terhadap ajuan ini sebagai suatu upaya tafsir yang sah, penulis didukung oleh suatu wacana tentang hermeneutik Alkitabiah Asia dan/ atau hermeneutik multi iman.3
1.2. Hermeneutik Alkitabiah Asia dan/ atau Hermeneutik Multi Iman Menurut Robert Setio, dalam menafsirkan Alkitab orang seringkali langsung masuk pada metode, padahal metode adalah alat. Dan sebagai alat, penggunaannya tergantung dari untuk
W
tujuan apa ia digunakan. Oleh sebab itu, sebelum si penafsir memikirkan metode penafsiran yang akan dipakai maka terlebih dahulu ia harus mempertimbangkan strategi penafsiran mana yang
KD
akan ia gunakan supaya menjadi jelas apa yang akan ia lakukan.4 Robert Setio mengemukakan 4 macam strategi penafsiran yang dipinjamnya dari pengertian ahli sastra M.H. Abrams, yakni: 1) strategi mimetik, yaitu teks Alkitab dipahami sebagai representasi dari suatu realitas. Bila dalam
U
teks ada keterangan mengenai lokasi, tokoh, ataupun peristiwa, maka semua itu harus dibayangkan benar-benar terjadi dalam realitas. 2) strategi expressive, yang menjadi pusat
IK
perhatian adalah pengarang atau penulis, sebab teks dipahami sebagai ekspresi pikiran penulis, sehingga yang perlu ditentukan adalah apa yang dipikirkan atau dimaksudkan penulis tersebut. 3)
M IL
strategi objective, yang memusatkan perhatian pada teksnya sendiri apa adanya, dan bukan teks seperti menurut strategi no. 1 dan 2. Penelitian difokuskan pada unsur-unsur yang membentuk teks dengan asumsi bahwa dari situ akan menjadi jelas makna dari teks. 4) strategi pragmatis, yang memfokuskan perhatian pada pembaca (reader-oriented). Persoalan yang dibahas adalah bagaimana efek cerita bagi pembaca. Bagaimana pikiran dibentuk atau diarahkan oleh narator sehingga akhirnya pembaca akan menyetujui pemikiran tertentu atau mendukung serta mau mempraktikkan nilai tertentu dan sebaliknya menolak nilai yang bertentangan.5 Dengan kata 3
Sebagai pemula yang baru belajar penafsiran model “cross textual/ dialogical imagination/ multi iman”, saya mendasarkan inspirasi penjelasan teori hermeneutik Alkitabiah Asia dan/atau hermeneutik Multi Iman ini pada tesis (Bab 1) Pdt. Daniel K. Listijabudi, M.Th yang berjudul “Bukankah Hati Kita Berkobar-kobar?: Upaya Menafsirkan Kisah Emaus dari Perspektif Zen Secara Kritis” (tesis Program Pasca Sarjana UKDW tahun 2006) yang telah lebih dahulu melakukannya. Begitu juga Tujuan, Metode, dan Sistematika Penilisan dalam Bab 1 saya ini adalah juga mengikuti Tujuan, Metode dan Sistematika Penulisan dalam Bab1 tesis tersebut. Oleh sebab itu, saya sangat berterimakasih kepada beliau. 4 Robert Setio, Membaca Alkitab Menurut Pembaca, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2006, hal. 13. 5 Robert Setio, “Membaca Alkitab Secara Pragmatis”, dalam Forum Biblika no. 11, Jakarta, 2000, hal. 52-53.
lain, tidak mungkin bisa melepaskan tafsir dari si penafsirnya, bahwa kepentingan si penafsir pun ikut bermain dalam tafsir yang dibuatnya.6 Robert Setio menegaskan, bahwa jika di Barat sendiri perkembangan penafsiran mengarah ke strategi pragmatis maka sangat dimungkinkan memperhatikan muatan-muatan budaya kita yang membentuk diri kita sebagai pembaca untuk ikut berperan dalam penafsiran.7 John H. Hayes dalam Dictionary of Biblical Interpretation mengemukakan bahwa dalam dunia penafsiran Alkitab, para penafsir Asia telah banyak menafsirkan Alkitab di dalam konteks kultural dan tradisi religius asli mereka sendiri. Pendekatan yang mereka gunakan ini mereka sebut sebagai “cross-textual”, “dialogical”, atau “dialogical imagination”, dimana fokus
W
utamanya adalah sebuah percakapan/ ‘perjumpaan’ antara berbagai realitas kultural Asia dengan tradisi Alkitabiah.8 Archie Lee misalnya menjelaskan hermeneutik “cross-textual” sebagai
KD
berikut,
M IL
IK
U
“kata cross mempunyai makna ‘interaksi’, ‘perjumpaan’, dsb, seperti melintasi tepian sungai ke tepian yang selanjutnya. Penafsiran cross-textual, di samping meletakkan dua teks9 berdampingan juga mengindikasikan suatu pencerahan dari satu teks dengan menggunakan sudut pandang yang lain. Melalui ‘perjumpaan’ dan ‘interaksi’ inilah makna-makna baru dapat ditemukan. Saya menyebut proses ini crossing. Penafsiran “cross-textual” tidak akan berhenti pada satu crossing, melainkan bisa menjadi banyak crossing, atau tidak juga dimulai dari hanya satu teks dan berakhir dengan teks yang satunya. Penggunaan banyak crossing bukanlah bertujuan pada studi-studi perbandingan, melainkan untuk meraih transformasi dan pengayaan. Inilah transformasi dari seluruh hidup yang diikutsertakan, sebuah proses penemuan diri. Hasil akhirnya merupakan “eksistensi yang dikayakan-diubahkan”.10
Maka dalam usaha penafsiran cross-textual inilah diperlukan perhatian yang memadai terhadap respon pembaca dalam interaksinya dengan teks.11 Kwok Pui-lan mengemukakan hal yang kurang lebih senada mengenai percakapan/ ‘perjumpaan’ antara berbagai realitas kultural Asia dengan tradisi Alkitabiah, tetapi menyebutnya dengan istilah “hermeneutik multi iman” (multifaith hermeneutics). Istilah ini 6
Robert Setio, Membaca Alkitab Menurut Pembaca, hal. 28. Setio, “Membaca Alkitab Secara Pragmatis”, hal. 53-54. 8 John H. Hayes (Ed), Dictionary of Biblical Interpretation, Nashville: Abingdon Press, 1999, p. 71. 9 Pengertian “teks” di sini bukan hanya tulisan-tulisan religius klasik, tradisi-tradisi literal, dokumen-dokumen historis, melainkan juga bentuk-bentuk tak tertulis seperti tradisi-tradisi lisan Kitab Suci, bahkan konteks sosial, situasi ekonomi-politikal dan pengalaman hidup. Lih. Archie Lee, “Cross-textual Interpretation and its Implication for Biblical Studies”, dalam Teologi Operatif (Peny. Asnath N. Natar, dkk), Jakarta: BPK, 2003, hal. 9-10. 10 Archie Lee, “Cross-textual Interpretation and its Implication for Biblical Studies”, hal. 11. 11 Archie Lee, “Cross-textual Interpretation and its Implication for Biblical Studies”, hal. 5. 7
diperkenalkannya dalam salah satu dari sepuluh tesisnya yang membahas mengenai rasisme dan etnosentrisme dalam penafsiran Alkitab. Rumusan Kwok itu berbunyi, ”Alkitab harus juga dibaca dari perpektif berbagai tradisi iman yang lain. Hermeneutik multi-iman memperlihatkan (siapa) diri kita sebagaimana orang lain melihat kita, sehingga kita dimampukan untuk melihat diri kita dengan lebih jelas.12 Dasarnya, menurut Kwok, ialah bahwa orang Kristen Asia tinggal dan hidup dalam lingkungan realitas yang terdiri dari keberbagaimacaman tradisi religius. Maka pertanyaan mendasar bagi hermeneutik ialah bagaimana menginterpretasi Alkitab bagi orangorang dari berbagai tradisi iman yang lain (non Kristen). Bukankah juga orang-orang dari berbagai tradisi iman yang lain ini memiliki kebisaan-kebiasaan religius dan tulisan sucinya
W
masing-masing? Itulah makanya dengan mengakui keberbagaimacaman tradisi religius (non Kristen tersebut) yang tidak diasah oleh cara pandang yang Alkitabiah ini, terbukalah
KD
kemungkinan untuk bukan hanya mempelajari Alkitab dalam perbandingannya dengan tulisantulisan suci lain, melainkan juga menafsirkan Alkitab dari perspektif religius (non Kristen) tersebut. Untuk itu diperlukan kerendahan hati intelektual sekaligus keterbukaan radikal terhadap
U
penyingkapan ilahi yang terdapat di dalam budaya dan iman lain itu. Dan pada saat yang sama haruslah disadari bahwa masukan dan kebijaksanaan yang terdapat dalam Alkitab adalah juga suatu sumber religius bagi kemanusiaan, dan oleh sebab itu perlu dibagikan, diuji, dan dikoreksi
IK
di dalam komunitas manusia yang lebih luas.13
M IL
Menurut Kwok, ada 3 pendekatan penafsiran Alkitab yang boleh disebut dengan “hermeneutik multi iman” (multifaith hermeneutics) dimana sering dipergunakan oleh para teolog Asia, yakni: 1) membandingkan motif yang sama dari teks Alkitab dan teks non Alkitab melalui studi lintas tekstual dalam rangka mengetengahkan impikasi-implikasi hermeneutis yang muncul. 2) melihat Alkitab melalui perspektif dari tradisi-tradisi religius lain. 3) mendalami masukan biblical-teologis yang ada di dalam cerita, mite, dan legenda rakyat.14 Berangkat dari wacana-wacana di atas, pijakan Penulis untuk mendialogkan kisah Yohanes 4: 1- 42 dengan wu-wei yang bertolak dari pembaca Asia merupakan suatu pijakan yang kuat. Secara khusus, pendekatan yang akan penulis gali dalam dialog Yohanes 4:1-42 dengan wu-wei adalah pendekatan yang kedua menurut “hermeneutik multi iman” (multifaith hermeneutics), yaitu melihat Alkitab melalui perspektif dari tradisi-tradisi religius lain. 12
Kwok Pui Lan, Discovering the Bible in Non-Biblical World, New York: Orbis Book, 1995, hal. 92. Kwok Pui Lan, Discovering the Bible in Non-Biblical World, hal. 92-93. 14 Kwok Pui Lan, Discovering the Bible in Non-Biblical World, hal. 62. 13
II.
PERMASALAHAN Dengan melihat berbagai penjelasan yang dikemukakan di atas, maka permasalahan utama
yang hendak penulis kaji melalui rancangan skripsi ini adalah:
Bagaimanakah menafsirkan Yohanes 4:1-42 sebagai kesatuan narasi yang mempunyai jalan cerita yang mengantarkan pembaca memahami maksudnya secara mendalam dari penafsiran yang berperspektifkan wu-wei?
TUJUAN
W
III.
Tujuan dari skripsi ini terkait dengan permasalahan di atas adalah memaparkan proses dan
KD
hasil dialog kisah Yohanes 4: 1-42 dengan wu-wei, yang berangkat dengan menggumuli titiktitik temu dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada, untuk dapat memperkaya dan
IV.
METODE
U
memberikan alternatif tafsiran terhadap kisah Yohanes 4: 1-42 dengan wu-wei.
IK
Narasi dalam Yohanes 4:1-42 terutama akan didalami dengan cara belajar dari wu-wei, melintas ke ranah wu-wei, belajar dari perspektif wu-wei untuk kemudian menafsirkan teks
M IL
Yohanes 4:1-42. Sambil mengerjakan tafsir dari perspektif wu-wei ini, penulis akan melakukan semacam pembacaan kritis secara dialogis. Penelitian dengan pembacaan kritis yang terutama ditujukan pada pembacaan dari perspektif wu-wei beranjak dari narasi yang ada di dalam kisah Yohanes 4: 1-42 itu sendiri. Melalui metode semacam ini juga dibuka kemungkinan akan didapatinya pengakuan kesamaan “spirit” dan/ atau perbedaan-perbedaan di antara kisah Yohanes 4: 1-42 dan wu-wei itu sendiri. Masukan-masukan dari pendekatan lain sejauh sesuai dengan permasalahan dalam teks akan dipertimbangkan.
V.
JUDUL Memperhatikan wacana yang dikemukakan sebelumnya, maka rancangan skripsi ini akan
diberi judul: Berilah Aku Minum Upaya Menafsirkan Yohanes 4:1-42 dari Perspektif Wu-wei Secara Dialogis
VI.
SISTEMATIKA PENULISAN Bab 1: Menguraikan Latar belakang, Permasalahan, Tujuan, Metode, Judul, dan Sistematika Penulisan. Bab 2: Mengemukakan wacana tentang wu-wei. Bab 3: Menafsirkan kisah Yohanes 4: 1-42 dengan belajar dari perspektif wu-wei secara kritis dan dialogis. Bab 4: Menyajikan kesimpulan hasil tafsir dan refleksi lebih lanjut yang dapat
W
dikembangkan dari hasil tafsiran.
M IL
IK
U
KD