BAB I LATAR BELAKANG A. Pendahuluan Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi menular yang masih menjadi permasalah utama kesehatan di dunia. Dengan meningkatnya jumlah penderita dan tingkat kematian akibat TB (termasuk pasien TB dengan HIV/AIDS) sejak tahun 1993, maka organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan TB sebagai permasalahan darurat di seluruh dunia. Jumlah penderita TB aktif di Indonesia termasuk tinggi dari tahun ke tahun. Dalam laporan tahunan pengendalian TB yang dikeluarkan oleh WHO tahun 2011 menyatakan bahwa Indonesia termasuk dalam 5 negara penyumbang terbesar kasus TB dengan menempati peringkat ke-empat setelah India, Cina dan Afrika Selatan dengan jumlah insiden kasus baru antara 370 – 540 ribu (WHO, 2011). Pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat anti tuberkulosis (OAT) berupa isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol dan streptomisin dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas yang lebih baik dan mencegah terjadinya resistensi pada monoterapi. Pengobatan TB dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif selama 2 bulan, diharapkan pasien TB BTA (+) menjadi BTA (-) yang dikenal dengan konversi dahak. Sedangkan pada tahap lanjutan selama 4 bulan, pengobatan bertujuan untuk membunuh kuman yang dormant (pasif). Penggunaan paduan OAT dalam program nasional penanggulangan tuberkulosis di Indonesia didasarkan pada karakteristik infeksi TB yang dialami pasien (Depkes, 2007).
1
Penggunaan kombinasi OAT tersebut dan lamanya waktu terapi yang harus dijalani pasien TB, meningkatkan resiko efek samping obat pada pasien TB selama menjalani pengobatannya. Salah satu efek samping yang perlu mendapat perhatian dari penggunaan kombinasi OAT adalah hepatotoksisitas yang ditandai dengan peningkatan enzim transaminase. Insiden hepatotoksisitas karena obat anti tuberkulosis berkisar antara 2 - 27,7% pada pasien yang sedang menjalani pengobatan TB (Tostmann et al., 2007). Obat anti TB yang potensial menyebabkan hepatotoksisitas pada pasien TB adalah isoniazid, rifampisin dan pirazinamid. Penggunaan obat tersebut secara tunggal (monoterapi) terbukti menyebabkan kejadian hepatotoksisitas pada sebagian pasien TB. (Steel et al., 1991; Yee et al., 2003). Potensi hepatotoksisitas akan semakin besar apabila obat tersebut dikombinasikan. Tingkat kejadian hepatotoksisitas pada pasien yang mendapat kombinasi rifampisin dan isoniazid atau rifampisin dan pirazinamid terbukti lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasien yang mendapat terapi obat tunggal. Jika dibandingkan, pada penggunaan tunggal isoniazid menyebabkan kejadian hepatotoksisitas pada 1,6% pasien dan penggunaan rifampisin tunggal menyebabkan hepatotoksisitas pada 1,1% pasien TB. Sedangkan penggunaan kombinasi isoniazid dan rifampisin menyebabkan insiden hepatotoksisitas karena obat TB pada 2,6% pasien (Steel et al., 1991, Hest et al., 2004). Efek samping hepatotoksik karena OAT terjadi jika terdapat peningkatan enzim transaminase lebih dari lima kali nilai normal atas (ULN) dengan atau tanpa menunjukkan gejala dan atau terjadinya peningkatan enzim transaminase lebih dari tiga kali nilai normal yang disertai dengan gejala hepatitis seperti
2
jaundice, mual, muntah atau nyeri abdomen, dan terjadi setelah memulai menggunakan OAT (Saukkonen et al., 2006). Hepatotoksisitas seringkali muncul pada pasien TB pada 2 minggu sampai dengan 2 bulan setelah memulai pengobatan dengan OAT (Khalili et al.,2009). Pasien TB yang mengalami hepatotoksisitas harus segera dilakukan monitoring dan evaluasi pengobatan. Pasien akan dihentikan sementara pengobatannya sampai enzim transaminase pasien kembali normal dan memulai kembali pengobatan dari awal dengan dosis ataupun komposisi obat yang berbeda, yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Timbulnya efek samping hepatotoksisitas ini selain dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien, juga dapat menyebabkan waktu terapi lebih lama. Namun demikian, kejadian hepatotoksisitas selama penggunaan OAT dapat diminimalkan dengan memberikan hepatoprotektor pada pasien TB. Penggunaan hepatoprotektor ataupun antioksidan pada kejadian efek samping hepatotoksisitas karena OAT pernah dilakukan dalam beberapa penelitian. Pada penelitian evaluasi hepatoprotektor yang mengandung silimarin, Curcuma longa, Liquiritae radix, kolin bitartrat dan Schizandrae fructus efektif menurunkan SGOT dan SGPT pasien yang mendapat OAT (Gunawan, 2010). Dalam penelitian lainnya menunjukkan efektivitas N-acetylcystein dalam mencegah
terjadinya
menggunakan
OAT
efek
samping
dibandingkan
hepatotoksisitas
pada
kelompok
pada
pasien
yang
kontrol
yang
tidak
mendapatkan N-acetylcystein (Baniasadi et al., 2010). Banyaknya produk herbal sebagai hepatoprotektor di Indonesia seharusnya dapat digunakan secara klinik dalam penanganan hepatotoksisitas karena obat
3
ataupun hepatoprotektif pada penyakit hati kronis. Namun karena minimnya bukti klinis, sehingga belum dapat digunakan secara optimal. Beberapa herbal telah terbukti mempunyai efek hepatoprotektif secara in vitro maupun in vivo pada hewan coba, seperti meniran (Phyllanthus niruri), temulawak (Curcuma xanthorrhiza) dan kunyit (Curcuma domestica). Pada percobaan terhadap hewan coba, meniran terbukti dapat melindungi kerusakan hati karena penggunaan nimesulide, parasetamol dan OAT (Chatterjee et al., 2006; Tabassum et al., 2005; Sulistyoningrum
dkk.,
2010).
Sedangkan
temulawak
efektif
sebagai
hepatoprotektor pada kerusakan hati tikus yang diinduksi oleh alkohol (Devaraj et al., 2010). Penggunaan poliherbal kombinasi meniran, temulawak dan kunyit pada pasien TB untuk mencegah efek samping hepatotoksisitas belum pernah dilakukan. Untuk itu maka dalam penelitian ini akan dilakukan evaluasi terhadap efek hepatoprotektif dari sediaan poliherbal yang mengandung meniran, temulawak
dan kunyit dalam mencegah peningkatan SGPT pasien TB yang
mendapatkan OAT.
B. Perumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas, rumusan masalah yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah bagaimanakah efektifitas sediaan poliherbal kombinasi meniran, temulawak dan kunyit dalam mencegah peningkatan SGPT pada pasien TB yang menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT)?
4
C. Keaslian Penelitian Beberapa
penelitian
yang
pernah
dilakukan
terhadap
efektifitas
hepatoprotektor pada pasien tuberkulosis antara lain : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al., 2004 tentang efektivitas pemberian poliherbal yang terdiri dari beberapa herbal ayurvedik seperti Berberis aristata, Solanum nigrum, Aloe vera dan Phyllanthus fraternus kepada pasien yang memulai penggunaan OAT. Perlakuan dilakukan selama 3 bulan dan menunjukkan hasil bahwa tidak terjadi peningkatan SGOT dan SGPT pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok plasebo. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Adhvaryu et al., 2008 tentang pencegahan hepatotoksisitas karena obat anti tuberkulosis dengan pemberian poliherbal yang mengandung Curcuma longa (Curcuma domestica) dan Tinospora cordifolia selama 2 bulan pengobatan tahap intensif menunjukkan bahwa terjadi kejadian hepatotoksisitas pada 27 (14%) pasien kelompok kontrol, sedangkan pada kelompok uji terjadi peningkatan kadar SGOT pada 2 (0,63%) pasien. Selain itu pada kelompok perlakuan menunjukkan jumlah pasien yang telah konversi sputum menjadi BTA (-) lebih banyak dibandingkan pasien yang tidak mendapat poliherbal. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Gulati et al., 2009 tentang pemberian poliherbal Livina® yang mengandung masing-masing 50 mg Picrorrhiza kurroa, Phyllanthus niruri, Andrographis paniculata, Cichorium invitybus, Tephrosia purpurea, Solanum dulcamara, Crenum aciaticum, Astonia seholanis, serta 25 mg Holarrhave antidysentric, Tinospora cordifolia, Terminala cebula dan
5
Asterachanta longifolia. Dua puluh dua pasien TB rawat jalan di salah satu rumah sakit universitas di India mendapat poliherbal sedangkan 20 pasien lainnya mendapat plasebo. Hasilnya menunjukkan kadar SGOT, SGPT dan ALP pada kelompok perlakuan lebih rendah dari pada kelompok plasebo. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan, 2010 tentang evaluasi pengaruh hepatoprotektor yang mengandung silimarin, rimpang Curcuma longa, Schizandrae fructus, Liquiritiae radix terhadap kadar enzim transaminase pada pasien TB di RSAL Surabaya menunjukkan hasil bahwa pemberian hepatoprotektor pada pasien yang mengalami peningkatan SGOT/SGPT ternyata efektif menurunkan 49,85% SGOT dan 55,70% SGPT pasien TB yang mendapatkan OAT kategori I, dan terdapat perbedaan rerata kadar SGOT dan SGPT yang bermakna antara sebelum dan sesudah perlakuan. Penelitian yang dilakukan saat ini berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini digunakan sediaan poliherbal yang berbeda dari penelitian sebelumnya, selain itu penelitian juga dilakukan terhadap subjek, waktu dan tempat yang berbeda.
D. Tujuan Penelitian Mengetahui efektifitas sediaan poliherbal meniran, temulawak dan kunyit dalam mencegah peningkatan SGPT karena penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis.
6
E. Manfaat Penelitian 1.
Mendokumentasikan efektivitas hepatoprotektif dari sediaan poliherbal kombinasi meniran, temulawak dan kunyit.
2.
Memberikan pertimbangan dalam pemberian hepatoprotektor pada pasien TB yang mendapatkan OAT guna mencegah efek samping hepatotoksik selama pasien menjalani pengobatan.
7