BAB I KERENTANAN RELASI ORGANISASI KOLATERAL INDEPENDEN DAN PARTAI POLITIK
A. Latar Belakang Organisasi kepemudaan seringkali terlihat mempunyai kedekatan dengan partai politik. Kedekatan ini seringkali menimbulkan dilema bagi organisasi kepemudaan meskipun kedekatan diantara keduanya wajar terjadi. Organisasi kepemudaan mempunyai kepentingan (tujuan organisasinya) yang seringkali tak mampu diw ujudkan sendiri karena tidak mempunyai akses langsung dalam mengambil kebijakan. M aka dari itu organisasi ke pemudaan secara alami akan mendekat kepada
kekuatan politik formal. Selain mempunyai tujuan untuk
menyalurkan aspirasi politik, organisasi kepemudaan juga membutuhkan beragam bentuk dukungan dari seniornya yang telah menjadi elit partai politik.
M eskipun
dekat dengan partai politik, organisasi kepemudaan seringkali tidak mau dianggap berpihak pada salah
satu partai politik. M ereka tidak mau mengorbankan sifat
independen yang selalu didengung-dengungkan banyak organisasi kepemudaan. Telah banyak kajian yang mengerangkai organisasi kepemudaan sebagai kelompok kepentingan akan tetapi masih sedikit yang membahasnya dalam kerangka organisasi kolateral partai politik. Istilah organisasi kolateral belum familiar dalam kajian Ilmu Politik. Istilah tersebut sering kali dipakai dalam kajian Ekonomi yang
kemudian diserap menjadi istilah dalam kajian Ilmu Politik. Di Indonesia, organisasi kolateral seringkali disebut sebagai organisasi sayap, underbow, badan otonom, dan sebagainya. Organisasi kolateral bagi partai politik berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan pemilihnya.
kemampuan
jangkauan
pada
pemilih,
terlebih
di
luar
basis
1
Kajian mengenai relasi organisasi kolateral dan partai politik telah dibahas oleh Thomas Poguntke. M enurut Poguntke, ada empat tipe organis asi kolateral , yaitu independent collateral organization, corporately linked collateral organization, affiliated
organization,
ancillary
organization.
2
Independent
collateral
organization/organisasi kolateral independen merupakan bentuk organisasi kolateral yang sering dimainkan oleh organisasi kepemudaan dalam
upayanya mendekat
kepada partai politik. Organisasi ini bisa mendekat dan menjauh sesuai dengan kepentingan yang ada saat itu. Gerakan M ahasiswa
Islam
Indonesia
(GM II), merupakan perwujudan
organisasi kepemudaan yang muncul belakangan ini. Organisasi ini merupakan organisasi yang berisikan aktivis kampus yang masih duduk di bangku kuliah maupun yang sudah meninggalkan bangku kuliah. M ereka mengorganisasikan diri sebagai organisasi kader denga n tujuan membentuk m ahasiswa Islam yang berilm u,
1
Katz dan W illiam J. Crotty,Handbook Of Party Politics, (London: SAGE, 2006), hlm.396
2
Ibid.,, hlm. 397.
beriman dan memiliki semangat kebangsaan demi tercapainya Indonesia yang berkeadilan sosial.
3
GM II terlihat dekat dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak awal berdirinya. Penggagas GM II memang mempunyai kedekatan dengan beberapa elit PPP sehingga kemunculannya seringkali dilihat sebagai bentukan PPP. Sebagai partai politik yang merasa turut serta dalam sejarah terbentuknya GM II, wajar saja bila PPP mengeluarkan pernyataan bahwa GM II merupakan salah sa tu badan otonomnya di beberapa media. Pernyataan dari PPP tersebut tidak disanggah ataupun disetujui oleh GM II. Sebagai organisasi kepemudaan yang relatif baru terbentuk, GM II tentu membutuhkan dukungan dari pihak lain untuk mendukung perkembangannya. Selama
perjalanan
sebagai
salah
satu
organisasi
kepemudaan
yang
mempunyai kedekatan dengan PPP, GM II dan PPP menunjukkan dinamika relasi yang berbeda dari hubungan PPP dengan organisasi kolateral lain yang dimilikinya. Organisasi kolateral yang dimiliki PP P adalah Gerakan Pemuda Ka‟bah (GPK), Angkatan M uda Ka‟bah (AM K), Generasi M uda Pembangunan Indonesia (GM PI), dan Wanita Persatuan Pembangunan (WPP).
Ketika elit organisasi kolateral PPP
lainnya menempati jabatan dalam kepengurusan PPP, elit maupun anggota GM II memilih untuk mempunyai tembok pemisah dengan struktur partai. Hal ini menguntungkan bagi GM II karena GM II bebas mendekat dan menjauh sesuai
3
AD/ART GM II yang disahkan pada 9 Februari 2008. Didapatkan dari Fadhly Alim in (Ketua Umum GM II 2007-2012).
kepentingan saat itu. Hal tersebut merupakan salah satu karakteristik organisasi kolateral independen. GM II dan PPP menunjukkan kedekatannya dalam berbagai bentuk selama lima tahun. Dalam
perjalanan tersebut, sebagai sebuah organisasi kolateral
independen, relasi GM II dan PPP mengalami pasang surut. Keduanya menunjukkan intensitas kedekatan yang tinggi ketika Pemilu legislatif dan suksesi kepemimpinan Ketua Um um partai (M uktamar). Saat-saat itu merupakan saat kedua elit organisasi merasa perlu untuk saling membantu mewujudkan kepentingan masing -masing. Apabila ekspektasi satu sama lain terpenuhi maka hubungan d iantara keduanya akan terus berlangsung, akan tetapi apabila ekspektasi satu sama lain tidak terpenuhi maka hubungan keduanya akan merenggang bahkan putus di tengah jalan.
B. Rumusan Masalah GM II sebagai organisasi kepemudaan membutuhkan PPP untuk saluran aspirasi politiknya akan tetapi di satu sisi, GM II tetap ingin dianggap independen seperti yang sering didengung-dengungkan oleh banyak organisasi kepemudaan. Pola relasi sebagai organisasi kolateral independen menimbulkan sebuah dilema. Pola relasi ini sangat rentan terhadap bubarnya hubungan politis diantara kedua organisasi karena hubungan keduanya berdasar pada kepentingan -kepentingan jangka pendek dan bersifat eksternal.
Dari uraian di atas, penulis merumuskan satu pertanyaan penelitian:
Apakah yang menyebabkan GMII memutuskan tidak lagi dekat dengan PPP dalam kerangka organisasi kolateral independen ?
C. Tujuan Penelitian 1. M enjelaskan
kerentanan
dalam
pola
relasi
independent
collateral
organization. 2. M emberikan gambaran
tentang
bekerjanya
sejumlah
faktor penyebab
berakhirnya hubungan antara organisasi sayap dan partai politik.
D. Kerangka Teori Kedekatan organisasi kepemudaan dan partai politik merupakan sebuah kewajaran. Beragam bentuk kedekatan diantara keduanya sudah ada sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini. Tujuan membangun aliansi dengan partai politik biasanya berdasarkan alasan ideologis (perumusan kebijakan publik), namun tak jarang alasan tersebut dibarengi atau dipatahkan oleh tujuan bersifat oportunistik. Ketidakmauan mengorbankan sifat independen membuat organisasi mahasiswa menjalin kedekatan dalam bentuk organisasi kolateral independen partai politik. Kedekatan terjadi karena adanya relasi antara personil organisasi kemahasiswaan dan elit partai politik. Penyebab kedekata n yang bersifat individual ini kemudian
membawa personil organisasi kemahasiswaan secara langsung maupun tidak langsung masuk ke dalam dinamika internal partai. Apabila personil organisasi kepemudaan dan elit partai politik merasa
mampu membantu pemenuhan
kepentingan satu sama lain maka kedekatan akan terus berjalan bahkan meningkat, tetapi apabila tidak mampu membantu memenuhi kepentingan satu sama lain maka kedekatan tersebut akan berakhir.
D.1. Organisasi Kemahasisw aan Sebagai Organisasi Kolateral Indep enden Partai Politik Organisasi kepentingan.
4
kepemudaan
merupakan
salah
satu
bentuk
kelompok
Pendirian sebuah kelompok kepentingan, jika ditelusuri bisa saja
merupakan hasil dari hasrat politik elitnya. Kepentingan elit seringkali dibungkus dengan kepentingan kelompoknya sehingga kelompok yang dibentuknya dijadikan sebagai kelompok kepentingan untuk mencapai target-target yang dimimpikannya dengan berbagai bentuk.
5
Untuk mewujudkan kepentingan khusus (kepentingan
pribadi) dan kepentingan umum (tujuan orga nisasinya kelak), maka elit kelompok 4
Kelompok kepentingan adalah sejum lah orang yang mempunyai kesamaan sifat, sikap, kepercayaan dan/atau tujuan, yang sepakat mengorganisasikan diri u ntuk melindungi dan mencapai tujuan Leo Agustiono, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan M emahami Ilmu Politik , (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm.96. Definisi lain dari kelom pok kepentingan disampaikan oleh David Truman, ia berpendapat bahwa kelompok kepentingan adalah sebuah kelompok yang berdasar pada satu atau berbagai kepentingan dan merupakan gabungan dari individu atau kelompok atau organisasi lain di sebuah lingkungan. Ronald J. Hrebenar dan Ruth K. Scott, Interest Group Poitics in America, (New Jersey: Prentice Hall, 1982), hlm. 3. 5
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Kelompok Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelaja r, 1986), hlm. 334-338
kepentingan harus merekrut relatif banyak orang. Semakin banyak orang yang bersedia bergabung tentunya akan memberi efek positif bagi organisasi yang diinisiasi oleh elit kelompok.
Kelompok kepentingan mempunyai dua je nis pencapaian, yaitu pencapaian kolektif dan pencapaian selektif. Pencapaian kolektif adalah keuntungan yang diperoleh kelompok dan dirasakan oleh seluruh anggota kelompok. Pencapaian selektif adalah keuntungan yang diperoleh oleh sebagian anggota kelompo k, biasanya oleh elit kelompok.
6
Ada dua faktor yang menjadi alasan berdirinya sebuah organisasi, yaitu faktor ideologis dan kesempatan (opportunity). Pada sisi ideologis, organisasi digunakan sebagai upaya perbaikan dalam sebuah sistem politik, misal memperkuat ideologi atau membuat ideologi sebagai alat untuk memperjuangkan kebijakan yang baik menurut organisasinya. Akan tetapi sisi ideologis ini akan sangat jarang tidak dibersamai dengan adanya alasan oportunistik yaitu menaikkan karir politik diri dan kawan-kawan dalam organisasi tersebut.
Tulisan ini membahas tentang dinamika relasi organisasi kepemudaan dan partai politik akan tetapi dikhususkan pada pembahasan organisasi kepemudaan sebagai organisasi kolateral independen partai politik. Organisasi kepemudaan yang umumnya berisi mahasiswa maupun mantan aktivis mahasiswa, 6
di satu sisi tidak
Danang Arief Sassmartha, Fenomena Kelahiran Laskar Partai Persatuan Pembangunan Pasca Reformasi. (Yoyakarta: Fisipol UGM , 2007). Skripsi. Hlm. 22
7
mau mengotori indepensinya akan tetapi di sisi lain juga ingin berburu rente dengan mendekat ke partai politik. Agar kedua kepentingannya bisa berjalan secara bersamaan, seringkali organisasi mahasiswa menjalin hubungan politis dengan partai politik dalam bentuk informal. Kedekatan tipe tersebut mencapai intensitas tertinggi 8
pada saat menjelang Pemilu maupun suksesi kepemimpinan partai. Dari dua momen tersebut, biasanya organisasi mahasiswa mampu mendapatkan keuntungan baik dalam bentuk akses politik maupun kekuatan finansial.
D.2. Karakteristik Organisasi Kolateral Independen Organisasi kolateral independen merupakan salah satu bentuk relasi antara kelompok kepentingan dan partai politik yang dimunculkan oleh Thomas Poguntke. Seperti yang telah disebutkan di atas, ada empat tipe organisasi kolateral, yaitu independent collateral organization, corporately linked collateral organization, affiliated organization, ancillary organization.
9
Organisasi kolateral independen
merupakantipekedekatan yang paling rentandalam hubungan antara kelom pok
7
Rente berasal dari bahasa Belanda dan seringkali digunakan dalam bidang ekonomi. Seiring perkembangan waktu, bidang politik juga mulai menggunakan kata rente dalam kajiannya. Dalam buku The Rise Ersatz Capitalism in Southeast Asia disebutkan bahwa pa ra aktor politik maupun bisnis di Indonesia banyak yang kemudian menjadi pemburu rente dengan cara mendekati elit -elit politik. Orang dapat dikatakan mencari rente ketika dia mencoba untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Hal tersebut dapat berupa kekuasaan politik maupun keuntungan finansial. 8
Agung Baskoro dalam artikel berjudul Ingar Bingar Golkar, dimuat di Kolom Opini Koran TEM PO, 25 Agustus 2014. 9
Katz dan W illiam J. Crotty, Handbook Of ...., hlm. 397.
kepentingan dan partai politik karena intensitasnya dipengaruhi oleh kepentingan kepentingan yang ada saat itu.
Gambaran pola ini seringkali dapat diamati dalam hubungan partai p olitik dan organisasi kepemudaan. D i Indonesia, ada beberapa contoh yang dapat menjelaskan bentuk hubungan organisasi kolateral independen dan partai politik . Lihat saja hubungan antara Kesatuan Aksi M ahasiswa M uslim Indonesia (KAM M I) yang mempunyai kedekatan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Pergerakan M ahasiswa Islam Indonesia (PM II) yang seringkali dihu bung-hubungkan dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Ikatan M ahasiswa M uhammadiyah (IM M ) yang dekat dengan Partai Amanat Nasional (PAN), dan beberapa lainnya.
Kedekatan
personil organisasi kepemudaan dengan elit partai politik seringkali membawa efek terhadap organisasinya. Organisasinya dianggap sebagai perpanjangan tangan partai politik yang setiap langkahnya selalu berhubungan dengan partai.
Karakteristik organisasi kolateral independen dapat
dilihat dari beberapa
indikator, antara lain dilihat melalui pola relasinya, hak keanggotaan dalam partai, tumpang tindih kedudukan dalam organisasi, tingkat otonomi, dan pengaruhnya bagi partai politik. Hubungan antara organisasi kepemudaan dan partai politik dalam kerangka organisasi kolateral independen bia sanya bersifat informal. Kedekatan tersebut terjalin antara elit kedua organisasi secara alamiah sesuai dengan keterdesakan kepentingan. Personil partai politik, pada umum nya adalah mantan aktivis mahasiswa yang pernah tergabung dalam sebuah organisasi kep emudaan.
Wajar adanya apabila ketika si senior berada dalam sebuah partai maka si junior akan mempunyai kedekatan dengan partai tersebut. S i senior membantu junior dalam hal pendanaan kegiatan organisasi, membukakan akses untuk berkarir di partai tersebut, dan beberapa bentuk kedekatan lainnya. Si junior akan membantu mendukung si senior agar menduduki jabatan strategis dalam partai, memobilisasi teman -temannya untuk mendukung partai tersebut, dan berbagai jenis dukungan lainnya.
Pada level keanggotaan, anggota dari organisasi kolateral dibebaska n untuk memilih menjadi kader partai atau tidak. Hak keanggotaannya dalam partai bersifat individual. A da yang memilih masuk dalam kepengurusan partai sehingga bisa memulai karir politiknya di dalam tubuh partai, ad a pula yang hanya ingin menikmati keuntungan dekat dengan elit partai tanpa secara resmi masuk dalam kepengurusan partai.
Seringkali banyak anggota organisasi kolateral independen yang memilih
untuk berada di luar partai politik. M endekat bila ada keuntun gan yang bisa di dapat, menjauh apabila ada keuntungan lebih bila dekat dengan partai lain.
Sedikitnya
keterlibatan
anggota
organisasi kolateral
independen
pada
kepengurusan partai politik membuat kemungkinan terjadinya tumpang tindih keanggotaan kedua organisasi tersebut sangat kecil. Hal ini berimbas pada derajat otonomi kedua organisasi. Organisasi kolateral independen menempunyai derajat otonomi yang cukup tinggi. Kontrol partai relatif lemah terhadap orga nisasi kolateral
independen.
10
Kedua organisasi tersebut mempunyai ranah masing-masing yang tidak
bisa dipengaruhi secara kuat oleh pihak satunya.
Berikut ini adalah tabel yang diberikan Thomas Poguntke dalam menjelaskan empat jenis organisasi kolateral partai politik:
11
Jenis Organisasi
Organisasi Kolateral Independen
Organisasi Kolateral Korporat
Organisasi Kolateral Afiliasi
Organisasi Kolateral Pendukung
Jenis keanggotaan partai
Keanggotaan Individual Opsional
Keanggotaan kolektif (individual opsional)
Keanggotaan individual
Keanggotaan individual
Tumpang tindih keanggotaan
Parsial
Parsial
Parsial
Total
Hak keanggotaan Jenis hubungan
Individual
Kolektif
Individual
Individual
Informal
Formal
Formal
Formal
Kontrol oleh partai Pengaruh organisasi kolateral
Rendah
Rendah
Tinggi
Sangat tinggi
Bervariasi
Tinggi ke sangat tinggi
Bervariasi
Bervariasi
Jenis kepentingan yang paling sering muncul
10
Eksternal
Internal
Thomas Poguntke,” Political parties and Other Organizations”, dalam buku “Handbook of Party Politics”, editor : Richard S Katz dan W illiam Crotty, Sage Publication, 2006, hal 398. 11
Ibid.,
Kedekatan organisasi kepemudaan dan partai politik seringkali dilandaskan pada kepentingan eksternal. Organisasi kepemudaan jarang menghiraukan bagaimana partai tersebut menjadi lebih baik atau tidak, menjadi partai yang terinstitusionalisasi, dan lain sebagainya . M ereka lebih hirau kepada bagaimana elit partai yang dekat dengan organisasinya mempunyai posisi yang baik di dalam partai sehingga memberikan keuntungan bagi organisasinya. Dalam mewujudkan hal ini, organisasi kepemudaan seringkali tak jarang turut serta dalam konflik internal partai.
D.3. Konflik Internal Partai Politik M asalah klasik yang yang seringkali terdapat di dalam tubuh partai adalah adanya faksionalisasi. Faksionalisasi merupakan sebuah keniscayaan dalam tubuh partai politik terlebih pada partai yang awal terbentuknya berasal dari gabungan beragam kelompok.D i Indonesia, faksionalisasi sangat mencolok dapat kita amati pada partai-partai Orde Baru. Paksaan negara untuk menekan jum lah partai yang ada saat Orde Baru membuat faksionalisasi tak dapat terhindarkan dalam tubuh Golkar, PPP, dan PDI (saat ini bertransformasi menjadi PDIP). Faksionalisasi kepartaian sejatinya merupakan hal yang wajar terjadi. Faksionalisasi menjadi masalah serius ketika demokrasi internal tidak berjalan sehingga menghambat upaya pelembagaan partai politik .Secara konseptual, Françoise Boucek dalam
“Rethinking Factionalism”
(2009) membedakan „tiga
wajah‟
12
faksionalisme, yaitu kooperatif, kompetitif, dan degeneratif. Pertama, faksionalisme kooperatif akan muncul jikalau ada kapasitas agregatif partai untuk mem fasilitasi kerjasama antar berbagai kelompok di dalam partai. Berbagai faksi atas dasar pengelom pokan militansi ideologis, primordial, ketokohan, dan lain sebagainya dapat mendinamisasi partai jika ada kepemimpinan yang berorientasi pada consensusbuilding.Kedua, faksionalisme kompetitif akan tampak ketika perbedaan pendapat, konflik
kepentingan,
maupun
perebutan
jabatan-jabatan
strategis
di
partai
menghadirkan gaya politik sentrifugal dan fragmentasi yang semakin mengeraskan perkubuan di dalam partai. Jika tidak dikelola dengan baik, energi kompetisi faksional ini dapat mendestabilisasi partai dan membuat kebuntuan pembuatan keputusan di partai.Ketiga, faksionalisme degeneratif terjadi ketika muncul banyak faksi yang berorientasi pada kepentingan kelompoknya semata dan beroperasi sebagai kanal untuk penyaluran patronase. Privatisasi faksi dan insentif ini tentu mendorong konflik internal yang parah dan dapat menjerumuskan partai pada perpecahan. Kedekatan antara organisasi kolateral independen dan partai po litik tentunya membawa organisasi kolateral turut secara langsung maupun tidak langsung dalam dinamika internal partai. Organisasi kolateral partai tentunya akan memiliki kecenderungan untuk berpihak kepada salah satu faksi. Keberpihakan tersebut bisa saja dikarenakan kedekatan kebanyakan anggota organisasi sayap dengan elit partai dari sebuah faksi. Ketika kebanyakan anggota organisasi kolateral dekat dengan elit
12
hlm.85
Francoise Boucek. Rethinking Factionalism (New York: Palgrave M ac M illan, 2009),
faksi A maka mereka cenderung untuk mendukung faksi A dalam kebijakan internal partai.
Hubungan organisasi kolateral dan partai politik biasanya mencapai titik intensitas tertinggi keharmonisannya ketika menjelang Pemilu legislatif. Organisasi kolateral menjadi sumber basis massa bagi partai politik dan partai politik menjadi jalur promosi di bidang politik bagi para anggota kelompok kolateral.
13
Sedangkan
setelah hajatan tersebut, organisasi kolateral akan terlibat dalam dinamika internal partai yang bisa semakin mengharmoniskan atau malah bisa merenggangkan hubungan keduanya.
Keharmonisan yang tidak stabil dalam hubungan antara organisasi kolateral independen dan partai politik merupakan hal yang wajar karena kedekatan keduanya bergantung pada kepentingan yang tidak menentu. Selain Pemilu legislatif, hubungan organisasi kolateral dan partai politik juga akan meningkat intensitasnya pada suksesi kepemimpinan partai.
14
Organisasi kolateral akan berusaha agar elit partai yang
mempunyai kedekatan dengan organisasinya mendapatkan kedudukan strategis di dalam partai. Posisi strategis yang diperebutkan adalah jabatan Ketua Umum. Bila Ketua Umum partai mempunyai relasi yang baik dengan organisasi kolateral maka anggota organisasi kolateral tersebut kemungkinan besar bisa dimasukkan dalam
13
Danang Arief Sasmartha, Fenomena Kelahiran Laskar Partai Persatuan Pembangunan Pasca Reformasi. (Yoyakarta: Fisipol UGM , 2007). Skripsi. Hlm. 22 14
Agung Baskoro dalam artikel berjudul Ingar Bingar Golkar, dimuat di Kolom Opini Koran TEM PO, 25 Agustus 2014.
kepengurusan partai. Apabila tidak dimasukkan dalam struktur partai, setidaknya organisasi kolateral tersebut lebih mudah mengakses info, dan a, dan lain sebainya dari partai politik.
E. Definisi Konseptual E.1. Organisasi Kolateral Independen Partai Politik Organisasi yang mempunyai kedekatan dengan partai politik. Kedekatan yang terjalin disebabkan oleh kepentingan-kepentingan bersifat eksternal. Intensitas kedekatannya bisa meningkat dan menurun kapan saja karena pola relasinya seringkali berbasis individu (anta relit kedua organisasi).
E.2. Konflik Internal Partai Politik Faksionalisasi merupakan permasalahan klasik yang terjadi dalam banyak partai. Permasalahan ini lebih sering nampak sebagai pelemah kinerja partai politik. Kelompok-kelompok yang dekat partai politik tertentu akan turut terlibat di dalamnya. Apabila pimpinan partai (elit partai) berasal dari faksi yang cenderung dibela oleh kelom pok-kelompok kepentingan tersebut atau setidaknya menguntungkan kelompok-kelompok tersebut maka hubungan keduanya akan harmonis. M enjadi tidak harmonis apabila yang terjadi adalah yang sebaliknya.
F. Metode Penelitian F.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. M etode penelitian kualitatif dipilih dan digunakan karena dianggap mampu mendeskripsikan suatu fenomena secara lebih mendalam. Penelitian kualitatif juga memberikan jawaban atau rincian lebih kompleks yang mungkin tidak bisa diungkapkan dengan menggunakan metode kuantitatif.
15
Dalam penelitian ini fakta/data yang akan dikumpulkan tidak
terbatasi oleh kategori yang sudah ditentukan sebelumnya, sehingga menyokong kedalaman dan kerincian data kualitatif.
M etode yang digunakan adalah studi kasus. M etode ini merupakan salah satu teknik dan pendekatan dalam menghimpun data yang didapatkan dari pengamatan intensif terhadap suatu fenomena sosial yang bermaksud menguji sebuah kebenaran. Studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya hanya kepada satu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif. Penelitian menggunakan metode ini dapat memaknai lebih dalam perilaku manusia yang unik dan dinamis dalam meresp on sebuah fenomena. Diantara ragam studi kasus, kecenderungan yang paling menonjol adalah upaya untuk
15
Robert K. Yin, Studi Kasus: Disain dan M etode (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006)
menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan, mengapa keputusan diambil, bagaimana ia ditetapkan, dan apa hasilnya.
16
Studi kasus merupakan sebuah penelitian dimana hal yang diteliti adalah hal yang bersifat kontemporer. Kemunculan kelompok kepentingan yang kemudian menjadi organisasi kolateral partai politik merupakan suatu hal kontemporer. Bersifat kontemporer, berarti kasus tersebut sedang atau telah selesai terjadi, tetapi masih memiliki dampak yang dapat dirasakan pada saat penelitian dilaksanakan, atau yang dapat menunjukkan perbedaan fenomena yang biasa terjadi.
Studi kasus sendiri mempunyai beberapa kelemahan diantaranya kurang ketatnya penelitian studi kasus, kecenderungan ketidakrapian studi kasus karena seringnya mengizinkan bukti yang samar-samar atau pandangan bias mempengaruhi arah temuan-temuan dan konklusinya. Studi kasus juga terlalu sedikit memberikan landasan
bagi
generalisasi
ilm iah. M etode
penelitian
studi
kasus memiliki
karakteristik hasil penelitian bisa berlaku di tempat lain manakala kasus yang diteliti memiliki ciri-ciri yang sama baik tempat maupun fokus penelitian. Hasil dari penelitian ini bisa saja memiliki kemiripan deng an yang terjadi di partai politik lainnya.
16
Agus, Salim, Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara W acana, 2006)
F.2. Unit Analisis Data Kemunculan GM II yang dibahas dalam penelitian ini adalah organisasi GM II di tingkat nasional (Pengurus Nasional GM II). Penelitian ini dilaksanakan di lingkup PN GM II. Ketika berbicara tentang GM II tingkat nasional berarti juga berhubungan dengan partai (PPP) di level nasional. Keinginan untuk memperkecil lingkup dengan cara meneliti level daerah memang telah ada tetapi GM II merupakan organisasi kepemudaan yang relatif baru muncul. M eskipu n begitu, kemunculan GM II di level wilayah maupun cabang mendapat fasilitasi berupa surat tertulis dari DPP PPP ke DPW dan DPC PPP sehingga tidak menutup kemungkinan untuk mencari data dari personil partai di tingkat w ilayah dan cabang.
F.3. Teknik Pengum pulan Data F.3.1. Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Proporsi data primer diusahakan lebih besar daripada data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan berbagai narasumber terkait baik anggota GM II maupun pengurus struktural partai pada tingkat pusat. Data yang ingin didapatkan dari hasil wawancara disesuaikan dengan tujuan penelitian. Pertama, menanyakan seputar awal mula terbentuknya GM II. Setting politik apa yang mempengaruhi terbentuknya GM II sebagai
sebuah
kelompok
kepentingan
(organisasi
kepemudaan).Kedua,
terbangunnya relasi politik GM II sebagai organisasi kolateral independen dari
PPP.Ketiga,mengetahui alasan berakhirnya hubungan organisasi kolateral independen antara GM II dan PPP. Data primer yang telah didapat melalui narasum be r yang berkaitan langsung dengan objek penelitian akan diklarifikasi menggunakan data sekunder yang ada. Literatur mengenai PPP memang sudah banyak , namun yang memuat tentang organisasi–organisasi sayapnya (organisasi kolateral) masih sangat minim. Bukan hambatan berarti apabila tidak ada data berupa literatur ilmiah. Data sekunder berupa pemberitaan melalui internet, majalah, dan media massa lainnya tetap bisa digunakan untuk mengklarifikasi data wawancara yang diperoleh dari narasumber.
F.3.2. Cara Menggumpulkan Data Pertama, awal penelitian ini,penulis melakukan observasi terhadap objek penelitian. O bservasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data sebanyak banyaknya tentang PPP dan GM II. Ini dilakukan untuk bekal awal penelitian agar memiliki pengetahuan tentang objek kajian terlebih dahulu. Data awal tentang objek penelitian telah penulis ketahui melalui pemberitaan lewat internet sekitar awal tahun 2008. Kemunculan GM II memang tidak se -booming organisasi-organisasi sayap pemuda di partai-partai lainnya. Hal ini sangat berhubungan dengan semakin melemahnya PPP dalam kancah politik Indonesia. Pemberitaan seputar PPP menjadi tereduksi dengan partai-partai baru yang muncul pasca orde baru dengan citra pluralis. Data dari internet tersebut kemudian terbawa da lam sebuah diskusi informal dengan anggota organisasi sayap lain milik PPP yang menginginkan terbentuknya
GM II di daerahnya. Daerah yang potensial perguruan tinggi seharusnya menjadi lahan basah bagi terbentuknya GM II. Namun, kenyataan berbicara lain. Dalam sebuah jejaring sosial (facebook), peneliti berhasil melakukan wawancara singkat melalui kotak pesan dengan ketua umum PN GM II, Fadhly Alimin Hasyim. Hasil wawancara tersebut kemudian menambah data -data awal tentang GM II yang bersifat data di permukaan karena belum dilakukan analisis mengenai hasil wawancara informal tersebut. Kedua, peneliti melakukan wawancara langsung terhadap pengurus GM II tingkat nasional. Wawancara informal dan relatif pendek yang sudah dilakukan sebelumnya akan dilanjutkan untuk memperoleh data yang lebih detail tentang tumbuh dan berkembangnya kelompok kepentingan yang diketuainya yang kemudian menjadi organisasi kolateral PPP. Setelah mendapat hasil wawancara dengan pengurus GM II, peneliti mewawancara orang-orang partai yang menurut pengurus GM II dekat dengan organisasinya, termasuk pengurus DPP pada jabatan penting seperti wakil Ketua Umum dan Sekretaris Jendral. Ketiga, peneliti melakukan upaya dokumentasi sumber-sumber informasi yang terkait dengan objek. Wujud dokumentasian ini dapat berasal dari data tertulis yang dim iliki para responden maupun data tertulis yang penulis dapatkan dari luar, bisa berupa artikel-artikel, gambar-gambar, atau bentuk lainnya.
F.4. Teknik Analisis D ata 1. Pencarian dan pengumpulan data Data
yang
diperoleh
dari
hasil
wawancara
direkam
sehingga
bisa
menghasilkan transkip hasil wawancara. Sedangkan hasil wawancara yang tidak direkam digabungkan dalam transkip tersebut agar memperoleh data yang lebih komprehensif terkait kepentingan menjawab rum usan masalah. Data yang tidak diperoleh dari hasil wawancara dikelompokkan sendiri agar tidak tercampur karena bisa saja data suatu data tidak sesuai dengan data lainnya. 2. M engelompokkan data dalam suatu bahasan yang sama Runtutan waktu dalam memperoleh data bukanlah suatu hal yang penting untuk dilakukan. Bisa saja data yang penulis dapatkan bukan data yang seharusnya ada di bagian awal isi skripsi. Kemungkinan memperoleh data yang sebenarnya ada dibagian akhir skripsi sangat besar. Hal ini membutuhkan ke jelian peneliti untuk mengelompokkan data sesuai substansi tiap babnya. Tiap data yang sama fokusnya akan dimasukkan dalam folder yang sama untuk memudahkan tahap penulisan skripsi. Sedangkan data yang tidak sesuai dengan fokus penelitian akan disisihkan. 3.
Analisis Data Data yang telah diperoleh kemudian dinarasikan dan dicari hubungan logisnya
dengan teori yang ada. Teori yang dipakai dalam penelitian ini akan membimbing penulis dalam menarasikan data-data. Kesesuaian teori akan membantu penulis untuk lebih cepat menarik kesimpulan. Namun, bukan masalah yang berarti apabila teori yang dipakai tidak sesuai dengan data yang diperoleh karena disinilah letak ujian bagi
penulis untuk mengkorelasikan teori dan data agar dapat menjawab pertanyaan penelitian.
G. Sistematika Penulisan Bab ini berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, kerangka teori, definisi konseptual dan operasional, metode penelitian yang dipakai, serta sistematika penulisan. Bab dua berisikan sejarah terbentuknya GM II di kalangan aktivis kampus, pendeklarasiannya, dan pendekatannya ke DPP PPP.
Pemaparan dalam bab ini
menunjukkan periode awal kedekatan hubungan diantara keduanya. Siapa GM II, siapa PPP,siapa saja elit GM II yang dekat dengan elit PPP dan proses apa saja y ang terjadi sehingga
DPP mau memfasilitasi terbentuknya GM II di level w ilayah dan
cabang akan dibahas dalam bab ini. Bab tiga melihat kedekatan GM II dan PPP. Kegiatan apa saja yang memperlihatkan kedekatan GM II dan PPP. GMII yang awalnya menunjukkan pola pola
sebagai organisasi kolateral independen PPP
kemudian terjebak pada
kepentingan jangka pendek yang dimilikinya. GM II mulai berusaha masuk dalam banyak kegiatan internal PPP. Bab empat membahas tentang konsolidasi internal GM II karena PPP sebagai partai yang dekat dengan organisasinya tidak menempatkan orang -orang PPP yang dekat dengan GM II pada jabatan strategis. GM II yang selama beberapa tahun
menunjukkan kedekatannya dengan PPP kemudian merasa tak lagi menguntungkan apabila organisasinya dekat dengan PPP. Bila elit PPP yang dekat dengan GM II berada di posisi puncak maka akan menguntungkan personil GM II dalam meraih kepentingan-kepentingannya. Hal tersebut membuat GM II perlu untuk menegaskan kepada khalayak agar tidak lagi menganggap organisasinya mempu nyai kedekatan dengan PPP.
Bab lima berisi tentang kesimpulan penelitian. Kesimpulan ini merupakan inti dari jawaban rumusan masalah yang hendak dijawab. Inti jawaban tersebut diperoleh dari hasil korelasi antar bab yang ada dalam pembahasan bab 2, 3, dan 4. Bab ini menjadi bab pamungkas dalam penulisan hasil penelitian.