ORGANISASI KEAGAMAAN DAN POLITIK (Studi kasus Peran Politik Organisasi Muhammadihah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat Pasca Orde Baru) Hardi Putra Wirman* Abstract: The closeness of two major organizations Muhammadiyah and the Union of Tarbiyah Islamiyah in West Sumatra with the political constellation can not be avoided. Although these organizations have declared themselves not to engage in practical politics, but some of their cadres entered into a political party. Muhammadiyah's closeness to political parties reflected in the many elite Muhammadiyah entering "Partai Amanat Nasional" (PAN), while the Union of Tarbiyah Islamiyah have closeness with the Golkar Party. The closeness to political parties on the one hand will bring negative stigma that this organization is not independent because affiliated to any political party, but on the other hand will provide benefits to these two great organizations, because their access to the legislative or executive can be more effective as leaders they exist in these institutions. Keywords: Muhammadiyah, Unity of Tarbiyah Islamiyah, Practical Politics
MELIHAT AKAR MASALAH DALAM ORGANISASI SOSIAL KE AGAMAAN DI SUMATERA BARAT
Organisasi Islam di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dipelajari, mengingat bahwa organisasi Islam merupakan representasi dari umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia. Hal ini menjadikan organisasi Islam menjadi sebuah kekuatan sosial maupun politik yang diperhitungkan dalam pentas politik di Indonesia. Dari aspek *
Dosen STAIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi
Hardi Putra Wirman, Organisasi Keagamaan dan Politik ...
kesejarahan, dapat ditangkap bahwa kehadiran organisasi-organisasi Is lam baik itu yang bergerak dalam bidang politik maupun organisasi sosial membawa sebuah pembaruan bagi bangsa, seperti kelahiran Serikat Islam sebagai cikal bakal terbentuknya organisasi politik, Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama), Serikat Dagang, dan lain-lainnya pada masa pra-kemerde kaan membangkitkan sebuah semangat pembaruan yang begitu mendasar di tengah masyarakat. Di samping itu, terbentuknya berbagai organisasi ini memberikan akses terhadap kesadaran untuk memperjuangkan nasib sendiri melalui instrumen organisasi yang bersifat nasional. Di Sumatera Barat, terdapat dua organisasi besar yaitu Muhammadi yah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Kedua organisasi besar ini berasal dari dua kubu yang berbeda: Muhammadiyah mewakili kubu modernis yang berbasis urban/kota, pedagang atau pegawai, sedangkan Persatuan Tarbiyah Islamiyah mewakili kubu tradisionalis berbasis pedesaan, agraris, dan pesantren.1 Dalam perkembangannya, Muhammadiyah memainkan fungsi sebagai gerakan sosial dan politik. Hal ini dapat dilihat pada sikap organisasi yang berusaha untuk menciptakan sebuah struktur masyarakat yang sejatera, adil, dan makmur, yang Muhammadiyah sebut sebagai masyarakat utama.2 Dalam bidang politik, Muhammadiyah pernah terlibat aktif dalam percatur an politik nasional dengan keterlibatannya dalam partai politik. Sementara Persatuan Tarbiyah Islamiyah juga tidak bisa dilepaskan dari pusaran politik praktis. Terbentuknya varian-varian politik elite-elite Persatuan Tarbiyah Islamiyah ini tidak terlepas dari aspek kesejarahan or ganisasi ini, dimana organisasi ini diawal perkembangannya telah menjadi partai politik dengan nama Partai Politik Persatuan Tarbiyah Islamiyah (P.I. PERTI), yang pada tahun 1955 mengikuti pemilu. Namun eksistensi organ sasi ini dalam bidang politik hanya bertahan sampai tahun 1970-an selepas kemelut panjang yang menimpa Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Sehingga organisasi ini mendeklarasikan diri untuk melapaskan baju politiknya dan kembali khitah perjuangan yaitu di bidang pendidikan, sosial dan dakwah. Pada masa pasca Orde Baru, untuk menjaga independensi organisasi agar tidak berpolitik praktis, maka pada Munas ke IV Tarbiyah tahun 1999 di Hotel Jaya Raya Cisarua Puncak. Organisasi ini mengambil sebuah kepu tusan yang penting yaitu “untuk tidak berafiliasi lagi dengan partai politik
2
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2014
apapun”. Dalam hal ini Tarbiyah di deklarasikan sebagai organisasi masa keagamaan yang independen3. Walaupun Tarbiyah menyatakan independen dan tidak lagi terlibat dalam politik praktis, tetapi kondisi ini tidak ditunjukan oleh elite-elite Tarbiyah yang masih terlibat dalam partai politik. Elite-elite Tarbiyah pada pasca Orde Baru masih mendapat fasilitas untuk dicalonkan menjadi anggo ta legislatif di DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Mereka yang terlibat dalam partai politik politik secara tidak langsung telah menarik masa Tarbiyah untuk menyalurkan aspirasi politik mereka ke Partai Golkar. Di sisi lain elite-elite yang berada di luar partai politik (elite non partisan) seperti akademisi dan birokrat juga memiliki kepentingan untuk menjaga eksistensi organisasi ini agar jauh dari kepentingan-kepentingan politik. Faksi-faksi ini semakin tampak ketika elite-elite non partisan melihat bahwa keterlibatan sebagaian kecil tokoh Tarbiyah dalam dunia politik tidak membawa dampak apa-apa terhadap perkembangan Tarbiyah. Misi organisasi yang konsisten dengan tiga tugas pokoknya. Pertama, di bidang pendidikan, memberikan kontribusi bagi kepentingan duniawi dan ukhrawi umat, khususnya menyediakan generasi yang mampu bersaing dalam kuali tas baik di tingkat nasional maupun internasional. Kedua, di bidang dakwah, memberikan dakwah yang menyejukkan dan santun, lebih menonjolkan persamaan untuk mengarifi perbedaan. Ketiga, di bidang kesejahteraan, mengupayakan perluasan wawasan, menjadi sangat terabaikan. Sementara keterlibatan Muhammadiyah dalam dunia politik sudah dimulai semenjak pembentukkan organisasi ini, dimana Ahmad Dahlan dan beberapa tokoh pendiri Muhammadiyah lainnya seperti H.A. Hasan Zaenal, H. Zadzuli, dan lain-lainnya, pernah terlibat langsung dan ikut aktif dalam gerakan yang bernuansa politik. Dalam Sarekat Islam (SI) yang berdiri tahun 1912, aktivitas Dahlan dapat ditunjukkan seperti pada tahun 1913 yang duduk sebagai komisaris dalam Central SI, dan hingga 1918 dia diangkat sebagai penasihat agama pada central SI. Hubungan Muhammadiyah de ngan SI masih tetap erat sampai tahun 1926/1927.4 Pada masa pemerintahan Orde Baru, tokoh-tokoh Muhammadiyah juga banyak terlibat dalam partai politik. Memang pada masa ini, Muham madiyah tidak lagi mempunyai kendaraan politik resmi untuk para elitenya. Sebab saat ini, Muhammadiyah kembali kepada komitmen semula untuk bersikap netral, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan 3
Hardi Putra Wirman, Organisasi Keagamaan dan Politik ...
tidak memiliki afiliasi politik terhadap partai politik atau organisasi apa pun.5 Artinya, secara kelembagaan Muhammadiyah tidak punya lagi “tangan politik” berupa partai politik yang berfungsi sebagai penyalur aspirasi dan kepentingan para elite serta warga Muhammadiyah.6 Namun dalam hal partisipasi politik, para anggota Muhammadiyah diberi keleluasaan untuk aktif di partai politik yang sesuai dengan hati nuraninya, terutama yang memperjuangkan kesejahteraan dan tegaknya keadilan. KERANGKA TEORI Gerakkan Sosial
Gerakan sosial (social movements) sebagai sebuah konsep menurut Tur ner dan Killian7 adalah: ‘a collectivity acting with some continuity to promote or resist a chance in the society or organisation of which it is part’, yakni suatu tindakan kolektif yang bekelanjutan untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau organisasi yang menjAdi bagian dari masyarakat itu. Sementara Sunyoto (2007)8 mengatakan bahwa gerakan sosial lazim di konsepsikan sebagai kegiatan kolektif yang dilakukan oleh sekelompok tertentu untuk menciptakan kondisi sesuai dengan cita-cita kelompok ter sebut. Bagi mereka, kehidupan masyarakat seperti yang ada pada saat ini dirasakan semakin tidak mampu menciptakan kesejahteraan, karena itu perlu diganti dengan tatanan sosial yang lebih baik. Tatanan baru terse but harus bersumber pada agama. Bagi mereka, di dalam agama terendap ekspresi tatanan suci (the expression of divine order) berupa nilai dan norma yang dapat dipergunakan untuk mengganti dan melawan tatanan sekuler (the secular order). Khusus mengenai gerakan keagamaan atau disebut pula dengan gerakan sosial keagamaan sering juga dikenal dengan gerakan revitalisasi dan gerakan milenari. Gerakan revitalisasi adalah gerakan keagamaan yang berupaya untuk menciptakan eksistensi yang baru atau disebut direvitali sasi yang dipandang tapat untuk kondisi saat ini. Gerakan milenari, yaitu suatu gerakan keagamaan untuk mengantisipasi tibanya suatu masa seribu tahun (millenium), suatu masa yang diyakini penuh kedamaian, harmonis dan makmur dengan hadirnya pemimpin kharismatik yang dipandang me sias (ratu adil)9
4
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2014
Dilain pihak, gerakan keagamaan tersebut bisa mengembangkan relasi sosial yang bersifat komunal, dalam arti lebih mengedepankan hubungan yang bersifat afektual, atau melibatkan hubungan timbal-balik yang ak rab, dan secara bersama-sama oleh kebiasaan dan kearifan lokal. Gerakan keagamaan tersebut bisa pula mengembangkan relasi sosial yang bersifat asosiasional, atau lebih mengedepankan hubungan yang bersifat imperso nal dalam bingkai ideologi politik tertentu yang dianggap sesuai dengan wahyu atau firman Tuhan. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu pen dekatan yang berguna untuk mempelajari fenomena sosial dengan tujuan menjelaskan dan menganalisa perilaku manusia dan kelompok, dari sudut pandang yang sama sebagaimana objek yang di teliti melihat masalah tersebut.10 Penelitian kualitatif ini digunakan karena penelitian ini dilakukan secara berulang-ulang untuk melihat dan memastikan keabsahan data, dengan melakukan beberapa kali wawancara mendalam dengan informan penelitian yang terdiri dari elite yang ada di struktur organisasi Tarbiyah dan Muhammadiyah, elite yang terlibat dalam partai politik dan elite yang menjadi akademisi. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar un tuk memperoleh data yang diperlukan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wa wancara dilakukan untuk mendapatakan informasi kepada informan untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui percakapan. Wawancara yang dilakukan adalah dengan depth interview, wawancara mendalam de ngan pola pertanyaan tidak terstrukur. PEMBAHASAN Realitas Politik Tarbiyah Islamiyah Pasca Orde Baru
Sikap berbeda di tunjukan oleh Tarbiyah ketika berakhirnya pemerin tahan Orde Baru. Dimana Tarbiyah dihadapkan pada badai ‘Reformasi” yang penuh euforia. Salah satu keputusan penting yang diambil oleh Persatuan Tarbiyah Islamiyah dalam Munas VI Tahun 1999 di Hotel Jaya Raya Cisarua 5
Hardi Putra Wirman, Organisasi Keagamaan dan Politik ...
Puncak adalah adanya kesepakatan untuk tidak berafiliasi lagi dengan par tai politik manapun. Persatuan Tarbiyah Islamiyah di deklarasikan sebagai organisasi masa keagamaan yang independen. Keputusan ini disepakati oleh peserta munas setelah mengkaji secara mendalam apa untung ruginya berafiliasi dengan partai politik tertentu. Dengan demikian Tarbiyah ingin muncul sebagai ormas mandiri tanpa ada ketergantungan dengan partai. Kepada kader Tarbiyah diberikan kebebasan untuk bergabung dengan partai yang diperkirakan lebih menguntungkan.11 Namun menurut Usman Husen12 bahwa; walaupun diberi kebebasan kepada warga dan tokoh-tokoh Tarbiyah untuk masuk partai politik lain, namun kecendrungan politik warga dan tokoh-tokoh Tarbiyah masih ke Par tai Golkar, karena hubungan historis tadi yang membuat ikatan emosional itu masih ada sampai sekarang. Kedekatan Tarbiyah dengan Golkar tidak terlepas dari kebijaksanaan organisasi Tarbiyah yang mendukung segala kebijaksanaan pemerintah yang sah dan harus mencegah segala macam usaha yang menentang pemerintahan itu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Alaidin13 bahwa Persatuan Tar biyah Islamiyah ingin menjadikan dirinya sebagai kaum Sunni yang anti konfrontaassi dengan sistem yang sedang berlaku. Mereka menginginkan lestarinya suatu nilai yang dirasa baik dan telah diamalkan oleh masyarakat untuk waktu yang cukup lama. Sebab dengan cara yang seperti ini, diharap kan terciptanya harmonisasi yang membuat masyarakat secara aman dan terbebas dari segala gejolak. Dengan cara ini pula, mereka dapat beramal menjalankan syariat agmanya dengan baik. Lebih lanjut dikatakan bahwa sikap konfrontatif tehadap suatu kema panan memang ada manfaatnya. Ia tidak akan menimbulkan keresahan, dan dengan sendirinya juga tidak akan melahirkan disharomi. Tapi dilain pihak, ia bisa menciptakan suatu kondisi statis yang akan menghilangkan dinamika komuntas manusia.14 Dengan posisi yang semacam ini, orang akan jadi paham akan apa yang terjadi di kalangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah setelah berkiprah di dunia politik. Garapannya yang bercabang dua; pendidikan keagamaan dan politik kenegaraan, adalah lahan yang jelas menuntut dinamisasi dan penalaran intelektual dengan segala macam sistemnya. Artinya, para to koh Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang memiliki kemampuan intelektual, punya dua wajah fundamental garapan penalarannya. Hanya, karena telah 6
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2014
mengambil kata sepakat untuk tidak membicarakan nilai-nilai keagamaan, ibadah dan akidah yang sudah menjadi amalan banyak orang, mereka men jadi segan untuk mengggarap lahan itu. Lalu, sebagai manusia, dan apalagi sebagai tokoh-tokoh yang berpotensi intelektual dan butuh penyalurannya, disengaja atau tidak, potensi nalar itu teralirkan ke potensi kedua, dunia politik dengan segala macam tipu daya.15 Kerangka pemikiran seperti inilah yang dikembangkan oleh Tarbiyah dalam mengambil sikap politik yang kemudian di ikuti oleh elite-elite, ba nyak elite-elite Tarbiyah yang masuk kedalam Partai Golkar. Sebagai sebuah kekuatan politik yang mapan Golkar sangat mengerti bagaimana menarik masa untuk memperkuat posisi partai. Tarbiyah dengan masa yang relatif cukup banyak mendapat tempat bagi Golkar. Partai ini mencoba mencari masa yang mengakar dalam masyarakat, dalam hal ini Tarbiyah adalah organisasi yang sangat mengakar di Sumatera Barat, pengikutnya banyak terdapat di daerah-daerah pedesaan yang sangat fanatik, beberapa daearah yang menjadi basis masa terkuat Tarbiyah adalah Kabupaten Agam, Pasa man dan Pesisir Selatan. Jika partai memiliki akar yang kuat di masyarakat, maka tingkat peralihan suara (volatility) masyarakat dapat ditekan sekecil mungkin karena partai telah memilki dukungan basis yang stabil. Dari beberapa wawancara yang dilakukan terhadap elite Tarbiyah yang terlibat dalam partai politik mengatakan bahwa adanya hubungan simbiosis-mutualisme antara Tarbiyah dan Golkar. Dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Tarbiyah seperti mengadakan Musyawarah Nasional (Munas), Musyawarah Wilayah (Muswil) dan lain-lain, Golkar sangat intensif dalam membantu baik dari segi materi maupun non materi yaitu dengan memberikan dukungan-dukungan politik terhadap Tarbiyah. Golkar dalam hal ini juga mempunyai kepentingan untuk menjaga ma sa yang begitu besar dari Tarbiyah. Langkah yang dilakukan adalah dengan mendekati beberapa elite di tubuh Tarbiyah untuk masuk kedalam Partai Golkar. Asumsi ini bisa dibangun mengingat pilihan politik individu warga suatu ormas keagamaan diduga akan sama dengan pilihan politik organisasi atau pemimpinnya. Mungkin asumsi ini bisa saja diterima, khususnya pada pemilih yang memiliki kedekatan emosional yang kuat dengan organisasi atau pemimpinnya. Sehingga hubungan yang telah dibangun sejak muncul nya rezim Orde Baru sampai pasca Orde Baru tetap di jaga dan dipelihara.
7
Hardi Putra Wirman, Organisasi Keagamaan dan Politik ...
Namun keterlibatan elite-elite Tarbiyah dalam politik, tidak begitu saja mudah diterima oleh elite-elite Tarbiyah lainnya yang berasal dari akademi si. Mereka memandang beragam persoalan keterlibatan elite-elite Tarbiyah di kancah politik lokal di Kota Padang. Pandangan pertama adalah keterli batan elite-elite Tarbiyah di kancah politik tidak membawa dampak apa-apa terhadap Tarbiyah secara kelembagaan. Mereka yang masuk partai politik hanya membawa misi pribadi tanpa mencoba memberikan sumbangan fi kiran dan materi untuk perkembangan lembaga kedepan. Kondisi tersebut hanya menyeret Tarbiyah dalam pergolakan politik semata, sehingga inti dari misi lembaga yaitu pendidikan, sosial dan dakwah sering terabaikan. Kekecewaan ini muncul akibat adanya ekses negatif yang diperoleh oleh Tarbiyah, ketika segala keburukan Orde Baru yang disandarkan pada Golkar berdampak pada Tarbiyah sendiri. Pragmatisme politik yang dianut oleh Tarbiyah seakan-akan membenarkan segala tindak tanduk politik yang dimainkan oleh elite-elite Tarbiyah itu sendiri. Hal ini dikarenakan pasca runtuhnya orde baru, Tarbiyah kemudian menanggalkan sikap berafiliasi ke Golkar, dan memproklamirkan diri menjadi organisasi yang indepen den. Dengan mendeklarasikan sebagai organisasi yang independen namun tidak serta merta orang-orang Tarbiyah keluar dari Golkar. Secara personil aktivitas politik para elit Tarbiyah masih banyak di Partai Golkar; sebagi an besar mereka ada dikepengurusan partai dan ada pula yang duduk di lembaga legislatif. Perdebatan yang muncul hanyalah pada tataran elite politik, karena ada perubahan dari pola lama berafiliasi dengan Golkar, namun sekarang telah menyatakan independensi dari partai politik manapun. Orang-orang yang telah lama hidup di partai (golkar) tidak akan bisa begitu saja keluar dari Golkar, mereka umumnya masih tetap di Golkar. Sementara disisi lain elite-elite Tarbiyah yang non partisan juga merasa terbebani dengan keinginan untuk berafiliasi kepartai Golkar. Elite-elite non partisan berkeyakinan bahwa langkah yang mereka lakukan untuk tidak masuk dalam partai politik merupakan pilihan pribadi dari individu-individu yang ada dalam organisasi. Mereka lebih tertarik ke dunia akademisi; menjadi dosen. Mereka memiliki komitmen untuk tidak menggiring kembali Tarbiyah kepada persoalan-persoalan politik yang hanya menimbulkan pertikaian dan perpeca
8
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2014
Namun sistem yang terbentuk di tubuh Tarbiyah telah melanggengkan hubungan yang harmonis antara elite Tarbiyah dengan partai politik. Elite non partisan seperti akademisi tidak dapat menembus sistem yang telah terbentuk tersebut, hal ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2. Harmonisasi Tarbiyah dan Partai Glkar Harmonisasi yang dimaksud disini adalah tidak adanya ketegasan dari lembaga terhadap kader-kader yang memiliki memiliki kepengurusan ganda; menjadi pengurus Tarbiyah dan pengurus di partai politik. Kondisi ini seakan-akan memberikan legitimasi untuk elite-elite yang duduk di ke pengurusan untuk terjun kedunia politik. Sementara garis demakarsi yang terlihat di gambar sangat sulit ditembus oleh elite non partisan, mengingat akan terjadi pergeseran ketika elite-elite non partisan menembus garis ter sebut yang akan dapat merombak sistem yang telah lama terbentuk antara Tarbiyah dan Partai Golkar. Sehingga hubungan simbiosis-mutualisme tetap terbangun antara Tar biyah dengan Partai Golkar. Kondisi ini seakan tidak dapat tersentuh oleh elite-elite non partisan sehingga membiarkan begitu saja pola hubungan yang telah terbangun cukup lama tersebut. Walaupun banyak dari elite non partisan yang menginginkan Tarbiyah menjaga indepensi organisasi untuk tidak terlibat dalam partai politik, namun kondisi tersebut tidak bisa dihalangi mengingat masuk dalam partai politik merupakan bagian dari hak asasi dari individu-individu yang ada di tubuh Tarbiyah. 9
Hardi Putra Wirman, Organisasi Keagamaan dan Politik ...
Kondisi diatas akhirnya dapat memunculkan faksi-faksi di tubuh Tar biyah; pertama, elite yang tetap menginginkan adanya hubungan yang harmonis antara Tarbiyah dan Partai Golkar. Kedua; elite non partisan yang terdiri dari akademisi yang menginkan adanya pemisahan yang tegas antara Tarbiyah dan politik, tanpa harus menyeret kembali Tarbiyah kepusaran politik yang hanya akan membawa pada perpecahan di tubuh Tarbiyah seperti yang terjadi pada tahun 1971. Ketiga; elite yang tidak ingin terli bat dalam kegiatan organisasi dan persentuhan-persentuhan politik yang terjadi di tubuh Tarbiyah, kelompok ini adalah mereka yang hanya ingin mengabdikan diri untuk mengembangkan dakwah keagamaan Tarbiyah di Sumatera Barat. Orientasi Politik Muhammadiyah Sumatera Barat Pasca Orde Baru 1998
Pada tingkat wilayah, khususnya di Sumatera Barat, langkah politis Muhammadiyah tidak jauh berbeda dengan kondisi di tingkat pusat. Dalam buku ini, langkah politis diklasifikasikan atas dua orientasi, yaitu orientasi politis struktural dan orientasi politis kultural. Orientasi politis struktural atau politik yang berorientasi kekuasaan dilakukan melalui alat-alat keku asaan dan mobilisasi massa. Dalam konteks Sumatera Barat, keterlibatan Muhammadiyah dalam politik praktis dapat dilihat pada indikator berikut. Pertama, kemenangan PAN di Sumatera Barat. Walaupun Muhamma diyah dan PAN tidak memiliki hubungan organisasi, tetapi tumbuh dan berkembangnya PAN tidak bisa dilepaskan dari peran Muhammadiyah. Kedua, kemenangan Amien Rais dalam Pemilu Presiden 2004. Sebagai mantan Ketua PP Muhammadiyah, Amien Rais mendapat dukungan penuh dari Muhammadiyah. Ketiga, pencalonan Irman Gusman sebagai anggota DPD dari Sumatera Barat. Keempat, pencalonan Jeffri Geovani dan Dasman Lanin sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Barat pada Pilkada 2005. Orientasi politis kultural dijelaskan melalui dua sifat, yaitu pertama, inklusivitas, yaitu Muhammadiyah bersifat mengayomi partai politik yang ada, dan menjaga kedekatan dengan partai politik untuk berjuang ber sama-sama dalam membangun masyarakat. Kedua, sifat horizontal, yaitu Muhammadiyah melakukan strategi pengembangan amal usaha yang di
10
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2014
kembangkan secara merata, dan juga melalui metode dakwah baik formal maupun informal. Sebagai gerakan banyak wajah, Muhammadiyah terlibat aktif dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang politik. Di Sumatera Barat, orien tasi politik struktural lebih mendominasi dibandingkan orientasi politik kultural. Hal ini ditandai dengan keterlibatan Muhammadiyah dalam dina mika politik Sumatera Barat, khususnya dalam proses pemilu dan pilkada. Namun, Muhammadiyah tetap menjalankan fungsinya sebagai organisasi sosial keagamaan dengan tetap menjalankan orientasi kulturalnya. Sedangkan aspek yang memengaruhi orientasi politik tersebut adalah situasi sosial dan politik masyarakat yang makin politis, sikap politik warga Muhammadiyah yang membawa kepentingannya ke Muhammadiyah dan faktor kepemimpinan Amien Rais dan Shofwan Karim yang terlibat dan memiliki konsentrasi terhadap masalah politik. Perubahan orientasi politik juga membawa implikasi terhadap dinami ka Muhammadiyah Sumatera Barat, yaitu konflik yang terjadi dalam tubuh Muhammadiyah, ketidakpercayaan warga Muhammadiyah terhadap strategi high politic, dan membangkitkan kesadaran warga dan pimpinan Muham madiyah untuk kembali ke khittahnya sebagai organisasi sosial keagamaan. Sebagai organisasi non-politik, Muhammadiyah melalui khittahnya di Semarang menegaskan bahwa: pertama, Muhammadiyah adalah gerakan Is lam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat sehingga tidak mempunyai hubungan organisatoris dan bukan merupakan afiliasi dari suatu partai politik, dan kedua, setiap anggota Muhammadiyah, sesuai dengan hak asasinya, bebas untuk menyalurkan aspirasi melalui organisasi lain atau partai politik, sepanjang tidak menyimpang dari Ang garan Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Dari komitmen ini, jelas bahwa persoalan politik sepenuhnya diser ahkan kepada anggota yang mempunyai naluri politik yang cukup tinggi. Dan mereka yang terlibat dalam partai politik diharapkan mampu menjaga nama persyarikatan sehingga ekses-ekses negatif dapat dihindarkan. Hubungan Muhammadiyah dan politik yang bersifat personal tak langsung kadang tidak tegas coraknya. Pada kasus-kasus tertentu, terdapat proses dalam tubuh organisasi Muhammadiyah sendiri yang menunjukkan keterlibatan dalam pembentukan dan dukungan partai politik yang dibidani 11
Hardi Putra Wirman, Organisasi Keagamaan dan Politik ...
oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Pada kasus lain, keterlibatan itu bersifat praktis dan hanya melibatkan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Keterlibatan tokoh Muhammadiyah dalam politik praktis memang sudah dijalani oleh tokoh-tokohnya sejak awal berdirinya organisasi ini, seperti yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan, KH. Fakhruddin, KH. Agus Salim, dan lain-lain. Keterlibatan para elite Muhammadiyah dan Syarikat Islam melahirkan hubungan yang intensif dan dinamis dari kedua organisasi Islam yang merupakan dua sayap Islam yang sangat penting dalam sejarah Islam di Indonesia. Keadaan ini terus berlanjut sampai sekarang, di mana secara individu warga Muhammadiyah dapat memainkan peran politiknya sesuai dengan aspirasi politiknya. Secara kelembagaan, Muhammadiyah memberi kebe basan kepada warganya, sepanjang mampu mengemban misi amar makruf nahi mungkar, sehingga ekses-ekses negatif dapat dieliminasi dan tetap menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tidak berpolitik. Beberapa tokoh Muhammadiyah masuk dalam partai politik dengan di landasi oleh beberapa pemikiran. Pertama, karena mereka ingin menjadikan politik sebagai areal dakwah yang mampu membawa perubahan bagi partai yang mereka masuki. Kedua, mereka melihat bahwa partai tersebut mam pu mengembangkan potensi dan naluri politik yang mereka miliki. Ketiga, masuk dalam partai politik adalah upaya untuk memperoleh kekuasaan dan untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga mengha silkan pemerintahan yang kuat dan dapat menyejahterakan masyarakat. Mereka berpendapat bahwa upaya untuk menyatukan elite Muham madiyah dalam satu partai partai politik adalah hal yang tidak strategis, mengingat banyaknya dampak yang diterima oleh persyarikatan Muham madiyah, seperti: Pertama, partai tersebut akan dicap sebagai partainya orang Muhammadiyah dan di luar Muhammadiyah akan menjaga jarak dan akhirnya partai tersebut tidak berkembang, karena hanya akan diisi oleh warga Muhammadiyah, dan mereka tidak dapat mengembangkan sayap kepada kelompok lain. Kedua, Muhammadiyah akan terkena imbas ketika beberapa tokoh yang ada di partai politik tersebut bermasalah sehingga akan merugikan Muhammadiyah secara kelembagaan. Ketiga, Muhammadi yah tidak mempunyai akses lagi kepada partai lain, sehingga perkembangan Muhammadiyah hanya akan terbatas pada satu partai politik saja.
12
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2014
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas penulis mengambil beberapa ke simpulan terhadap peran politik organisasi sosial keagaman di Sumatera Barat: Pemikiran politik yang digunakan oleh Tarbiyah adalah ingin menja dikan dirinya sebagai kaum Sunni yang anti konfrontasi dengan sistem yang sedang berlaku. Mereka menginginkan lestarinya suatu nilai yang dirasa baik dan telah diamalkan oleh masyarakat untuk waktu yang cukup lama. Sebab dengan cara yang seperti ini, diharapkan terciptanya harmonisasi yang membuat masyarakat secara aman dan terbebas dari segala gejolak. Dengan cara ini pula, mereka dapat beramal menjalankan syariat agmanya dengan baik. Kondisi ini berdampak pada kedekatan elite-elite politik Tarbiyah dengan Golkar. Ketika runtuhnya rezim Orde Baru, Tarbiyah kembali men deklarasikan diri menjadi organisasi yang Independen dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Namun kondisi tersebut tidak berdampak apa-apa tehadap elite-elite Tarbiyah yang telah lama hidup pada Golkar, mereka tetap menganggap bahwa Golkar adalah satu-satunya saluran politik bagi elite dan warga Tarbiyah. Dalam hal ini perilaku politik elite Tarbiyah masih tergolong pragmatis yang masih dekat dengan penguasa dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penguasa. Sementara Muhammadiyah dituntut untuk berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang telah dijalankan oleh Muham madiyah dari awal berdirinya hingga saat sekarang ini. Muhammadiyah Sumatera Barat, potensi besar Muhammadiyah dikembangkan kea rah yang lebih bersifat pemberdayaan masyarakat dengan melakukan pendidikan politik dan penyadaran politik masyarakat. Tanggung jawab besar Mu hammadiyah ini seharusnya diimplementasikan ke dalam fungsi kelompok kepentingan yang tetap menjaga kedekatan dengan kekuasaan, organisasi politik dan organisasi masyarakat lainnya tanpa terlibat dan tersubordinasi pada kepentingan politik praktis. Untuk itu diperlukan disiplin organisasi yang ketat, yang menjadi paying bagi warga Muhammadiyah itu sendiri. [ ]
13
Hardi Putra Wirman, Organisasi Keagamaan dan Politik ...
ENDNOTES Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, (Jogjakarta: UII Press, 2001), hlm. 1. Masyarakat utama atau disebut dengan masyarakat madani atau civil society, lihat Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, hlm. 46. 3 Alaidin Koto, Sejarah Perjuangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pentas Nasional, (Jakarta: Tarbiyah Press, 2006) 128-135. 4 Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, hlm. 24-25. 5 Haedar Nashir, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah, (Yogyakarta: BIGRAF Publis hing, 2000), hlm. 53. 6 Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, hlm. 42. 7 Marion Dani, ”The Concept of Socialmovement”, (Molden-Massacahuter; Blockwell Dublishers, 2000:157) dalam Haedar., h.45. 8 Sunyoto Usman, Agama dan Gerakan Sosial di Indonesia Pasca Orde Baru, Materi Sosiologi Politik UGM 2007. h.3. 9 Antoni Giddens, Sociology (Combridge: Polity Press, 1993), h. 643. 10 Anas Saidi, Makalah-Makalah Metodologi Penelitian, tidak dipublikasikan di Perba nyak oleh Pusat Penelitian (Puslit) STAIN Bukittinggi, 2005. h. 43 11 Ibid., h. 135 12 Wawancara tanggal 18 Juli 2008 13 Alaidin., sejarah.,op. cit. h. 101 14 Ibid., 15 Ibid., 1 2
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan, 2003 Analis Data Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Raja Gra findo Persada. Bottomoro, T.B, 2006. Elite dan Masyarakat, Jakarta: Akbar Tandjung Institute Christoper, Llyod, 1986. Teori Sosial dan Praktek Politik, Jakarta: Rajawali Erawan, I Ketut Putera, 2007. Prilaku Politik (Rational Choice), Materi Kuliah S2 Politik UGM. Faisal, Sanapiah, 1990. Penelitian Kualitatif ; Dasar-dasar dan Aplikasi, Y A 3: Malang Firmanzah, 2007. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Relatas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Harrop, Martin dan William Miller, 1987. Election and Voters (A Comparative Introduction), London: The Macmillan Press Ltd Ilyas, Yusran, 1995. Syekh H. Sulaiman Arrasuli, Profil Ulama Pejuang (18711970), Padang
14
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2014
Imawan, Riswanda dan Affan Gaffar, 1993. Analisis Pemilihan Umum 1992 di Indonesia, Laporan Penelitian Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Jurdi, Syafrudin, 2002. Perubahan Perilaku Politik Elite Muhammadiyah Pasca Orde Baru di Bima, Tesis S2 UGM Tim Penyusun. 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta Koto, Alaidin, 1996. Pemikiran Politik Persatuan Tarbiyah Islamiyah 1945-1970, Pekan Baru: Susqa Press ----------------, 2006. Sejarah Perjuangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pentas Nasional, Jakarta: Tarbiyah Press Mansur Fakih dalam Imam Mudofar, 2004. Rekayasa gerak Islam dalam Perubahan Sisitem Ke-Indonesia. Kedaulatan Rakyat 3 Sepetember 2004. Marijan, Kacung, 2001. NU dan Pluralitas Politik Warga NU, artikel di www. google.com. Staf Pengajar FISIP Universitas Arlangga Moleong, Lexy, 2000 Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya: Bandung Murkan, Abdul Munir, 1994. Perubahan Pola Perilaku dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987, Jakarta: Rajawali Press Mustafid, M, 2005. Akar Struktural dan Teologis “Pragmatisme Politik” Ulama NU, Artikel dalam TRADE Jurnal Islam Progresif Transformatif, edisi Februari-April 2005 Nelmawarni, 2002 Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) (Dari Organisasi Sosial Keagamaan ke Partai Politik, 1928-1971) Tesis S2 Program Studi Sejarah UGM. Saidi, Anas, 2005. Makalah-Makalah Metodologi Penelitian, tidak dipublikasikan di Perbanyak oleh Pusat Penelitian (Puslit) STAIN Bukittinggi Sastroatmodjo, Sudijono, 1995 Perilaku Politik, Semarang: IKIP Semarang Press Suwarno, 2001. Muhammadiyah Sebagai Oposisi, Yogyakarta: UII Press Syaifullah, 1997. Gerakan Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: PT Pustaka Grafiti. Usman, Sunyoto, 2007. Agama dan Gerakan Sosial di Indonesia Pasca Orde Baru, Materi Sosiologi Politik UGM YB. Arrusuli, 2004. Kilasan Sejarah: Syekh Sualaiman Arrusuli Pejuang Pendidikan dan Ulama Pejuang Pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, [t,t]: Candung
15