BAB I I. PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang Masalah I.1.1 Perubahan Politik Pasca Pemerintahan Soeharto Proses perubahan politik yang berlangsung di Indonesia sejak pertengahan tahun 1998 pada dasarnya bertujuan untuk menata ulang tatanan seluruh tatanan politik, sosial dan ekonomi yang ada dan bukan sekedar melakukan suksesi kepemimpinan nasional semata. Agenda yang mendasar dan yang paling penting untuk dituntaskan dalam proses perubahan politik adalah memecahkan kekuasaan yang monolitik. Sebab kekuasaan yang terkonsentrasi dianggap sebagai biang keladi bagi terwujudnya negara yang otoriter, korup dan omnipotent. Proses instalasi demokrasi ini diawali dengan membuka kran kebebasan ekspresi politik dalam makna yang sebenarnya (liberalisasi politik). Harapannya, berbagai kekuatan politik yang sebelumnya tidak memiliki suara karena dibungkam atau menjadi institusi korporatis kini dengan mudah mengartikulasikan kepentingan politik mereka dalam berbagai proses politik yang ada. Rakyat yang sebelumnya
dipaksa menjadi penonton melalui kebijaksanaan massa mengambang sekarang turut memberikan sumbangan pikiran dan menentukan nasib bangsa secara bersama-sama. 1 Setelah liberalisasi politik berhasil didorong, upaya redesain lembagalembaga politik formal yang ada menjadi agenda instalasi demokrasi berikutnya. Negara sekarang tidak lagi menjadi entitas otonom dan monolitik karena kekuasaannya disebar. Proses ini dimulai dengan menguatkan kembali ide dispersion of power antar lembaga-lembaga trias politica sehingga mekanisme checks and balance berjalan secara optimal. Lembaga yudikatif dan legislatif kini tidak lagi menjadi sekedar bayang-bayang subordinasi eksekutif. Penyebaran kekuasaan tidak hanya berlangsung secara horizontal. Politik penataan teritori baru melalui kebijakan devolusi politik, desentralisasi asimetris, serta penggabungan dan pemekaran daerah juga menjadi bagian dari upaya penyebaran kekuasaan secara vertikal dan penciptaan watak polisentrisme ruang publik. Adapun yang dimaksud dengan devolusi yaitu: merupakan penyerahan atau pemberian kewenangan dan tanggung jawab secara politis kepada pemerintah daerah/ subnasional. Sedangkan polisentrisme adalah serangkaian ide yang meyakini bahwa aktor-aktor masyarakat sipil, pelaku pasar dan pemerintah lokal akan bersinergi dan berkelindan satu dengan yang lain dalam pola hubungan yang saling menguntungkan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik untuk seluruh rakyat. Jatuhnya Soeharto bukanlah denting akhir dari kematian sebuah rezim. Transisi politik yang muncul merupakan hasil prematur dari proses transplacements 1
Hasrul Hanif, Mengembalikan Daulat Warga Pesisir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Hal: 65.
yang tidak bisa dikatakan sempurna. Hal ini menunjukkan sebuah rezim tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Apalagi bila kekuasaan tersebut berada pada interval waktu yang begitu panjang dengan cakupan intervensi yang sangat meluas dan mengakar kedalam sebuah pori-pori kehidupan sosial, ekonomi dan politik bangsa. Ada beberapa perubahan yang mendasar yang pelan-pelan tetapi pasti yang telah terjadi di dalam masyarakat selama rezim Otoritarian-Birokratik berkuasa, yaitu: 2 a. Terciptanya
konflik-konflik
dan
pemilahan-pemilahan
baru
dalam
masyarakat. b. Redefenisi terhadapa kepercayaan dan loyalitas politik warga negara. c. Upaya-upaya pembatasan dan manipulasi arus informasi. d. Pembatasan aktivitas politik bagi berbagai potensi politis baik dengan cara statisasi mapun privatisasi. e. Redefenisi kebijakan-kebijakan umum. f. Perubahan mendasar dalam aturan-aturan serta kegiatan-kegiatan pemilihan. Politik pembangunan pasca jatuhnya Soeharto di ranah politik lokal juga mengidentifikasikan adanya pluralitas aktor dan kepentingan yang terlibat. kepentingan lokal yang sebelumnya merupakan bagian jaringan patronase dari Orde Baru yang sedang berkuasa menjadi saling bersaing untuk berkuasa. Seiring dengan jatuhnya Soeharto, aktor-aktor tersebut melakukan metamorfosis dirinya dalam sebuah jaringan baru patronase yang lebih cair, terdesentralisasi dan kompetitif. 2
Ibid,. Hal: 65.
Aktor-aktor lokal tersebut adalah: Kalangan birokrat lokal yang korup dan predator, politisi ambisius, jaringan pebisnis, gengster politik, dan paramiliter sipil. Tujuan politik adalah mempertahankan kekuasaan semaksimal mungkin. Satu-satunya prasyarat yang harus dilewati adalah memperoleh “popularitas” di mata publik. Masalah ini begitu pentingnya, sehingga setiap perjuangan politik bertujuan memperebutkan popularitas ini. Terlebih lagi dari sistem politik demokrasi dimana keputusan itu ditentukan oleh suara mayoritas, maka untuk menjadi pengambil keputusan politik atau menjadi penguasa maka seseorang atau sekelompok orang harus meraih suara terbanyak dari publik sebuah negara. 3 Mempertahankan
kekuasaan
politik
berkenaan
dengan
sejauh
mana
keuntungan ekonomi diperoleh bagi para konstituennya atau pemberi suara atau yang memungkinkannya memenangkan pemilihan umum. Dalam demokrasi, yang berkuasa adalah masyarakat. Untuk memenangkan masyarakat, yang diperlukan adalah popularitas. Popularitas diperoleh dari citra. Dan citra diperoleh dari hasil kerja atau fakta yang ada di lapangan. Dalam mencapai citra tersebut, biasanya pemerintah (atau penguasa) berada dalam dua kondisi untuk memenangkan popularitas terlebih bila dihadapkan dengan kondisi mendekati pemilihan umum. Kondisi pertama adalah, pembangunan terselenggara dengan baik atau pembangunan terselenggara dengan kurang baik. Dalam negara Indonesia pemerintah atau pihak penguasa juga mengalami dan menjalankan hal yang sama demi mempertahankan kekuasaannya. Popularitas adalah 3
Riant Nugroho D, Reinventing Indonesia, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2001. Hal: 99.
sesuatu yang sangat dijaga agar tetap dapat berkuasa. Sama halnya dengan Soeharto yang bertahan dengan popularitasnya agar dapat tetap menguasai bisnis yang dijalankannya serta kekuasaannya terhadap negara Indonesia. Soeharto adalah presiden Indonesia yang kedua setelah Soekarno yang memimpin Indonesia. Dalam negara Indonesia, Soeharto adalah presiden pertama yang menjabat sebagai kepala negara terlama. Soeharto memimpin negara Indonesia selama 32 tahun dimulai dari tahun 1966 sampai dengan 1998. Dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto, banyak hal yang menguntungkan bangsa Indonesia sekaligus merugikan bangsa ini juga. Dan Soeharto sangat memberikan pelajaran yang berharga bagi bangsa Indonesia dengan apa yang telah dilakukannya selama dia memimpin. Orde Baru adalah nama sebutan bagi pemerintahan yang dijalankan soeharto pada masa pemerintahannya. Sedang pemerintahan yang dijalankan oleh Soekarno adalah Orde Lama. Orde Baru pernah berperan sangat sentralistik dalam fase waktu terpanjang sejarah Republik Indonesia. Seluruh wacana dan “denyut nadi” kehidupan di negara Indonesia tak bisa lepas dari cengkraman rezim yang dinamakan Orde Baru ini. 4 Rezim Orde Baru lahir berawal dari perjalanan karier politik Jenderal Soeharto yang secara resmi dimulai dari tanggal 11 Maret 1966, ketika Presiden Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret yang kemudian selanjutnya dikenal dengan supersemar. Dengan maksud yaitu memberikan kekuasaan kepada Letjen Soeharto. Tugas Jenderal Soeharto adalah mengembalikan keamanan dan ketertiban serta 4
Mufti Mubarok dan Affan Rasyidin: Soeharto Tak Pernah Mati, Surabaya: IDE, 2008. Hal: 8.
mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Dengan memegang Supersemar, pada tanggal 12 Maret 1966, Soeharto mengumumkan pembubaran PKI, dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang. 5 Tanggal 12 Maret 1967, Jenderal TNI Soeharto oleh MPR ditunjuk sebagai Pejabat Presiden untuk menjalankan tugas kepresidenan menggantikan Presiden Soekarno. Dan setahun kemudian, pada tahun 1968 Soeharto dipilih secara resmi sebagai presiden untuk pertama kalinya sekaligus mengawali era Orde Baru. Dan kemudian Soeharto dilantik kembali oleh MPR secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pelantikannya secara berturut-turut ini tidak lepas dari kebijakan represifnya yang menekan rakyat agar memilih Golongan Karya, yaitu organisasi pendukung pemerintah setara partai yang berkuasa ketika itu. Didalam negara Indonesia, politik birokratik terjelma sebagai persaingan antara lingkaran-lingkaran birokrat yang berkedudukan tinggi dan para perwira militer dalam menggabungkan sasaran-sasaran organisasi yang bukan bertujuan “pelayanan”. Pilihan kaum elit, terutama Presiden , menurut Jackson sangat menentukan apakah perubahan sosial ekonomi yang berkesinambungan itu menuju kepada: 6 a. Pengembangan sistem politik demokratis yang kompetitif berdasarkan partai politik massa dan partisipasi warga negara.
5
H. Ahmad Shahab, Biografi Politik: Presiden Republik Indonesia Kedua Soeharto Pembangunan & Partisipasi, Jakarta: Golden Terayon Press, 2008. Hal: 185. 6 Moh. Mahfud. Demokrasi dan Konstitusi Indonesia, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002. Hal: 113-114.
b. Gerak kearah sebuah partai tunggal, kearah suatu rezim mobilisasi dengan pendasaran ideologis, atau c. Kelangsungan politik birokratis. Masalah dasar politik birokratis, seperti halnya pada model patrimonial, adalah kemampuannya memenuhi dan memuaskan harapan-harapn material pada tingkat elit, menengah dan rakyat banyak. Oleh sebab itu kontinuitas dan kelangsungan politik birokratis ini sangat tergantung pada keberhasilannya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang dilaksanakan oleh negara. Pentingnya pertumbuhan ekonomi ini dapat dipastikan karena tuntutan pemuasan material telah menyebabkan adanya tekanan-tekanan yang semakin besar lagi. Tekanan-tekanan ini datang dari: Pertama, kalangan elit birokrat yang semakin membesar, perwira militer, dan para pemimpin politik yang kerjasamanya diperlukan oleh pemerintah; Kedua, kelas menengah yang berharap dapat meningkatkan keejahteraan dan kebutuhan material, serta harapan mengenai jaminan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka; Ketiga, rakyat yang juga berharap untuk adanya peningkatan pemenuhan kebutuhan material, sehingga perlu digali lebih banyak sumber daya yang harus disisihkan untuk melunakkan rasa tidak puas yang mungkin mendorong mereka kedalam tindakan kekerasan.
I.1.2 Otoritarianisme Negara
Istilah rezim dirumuskan sebagai prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan dan prosedur pengambilan keputusan yang dianut oleh penguasa sebuah negara. Dengan pengertian ini rezim bisa otoriter bisa juga demokratis. Bila muncul perubahan rezim berarti yang dimaksud adalah perubahan prinsip, norma, aturan dan prosedur pengambilan keputusan. Tentunya pengertian rezim yang kedua tersebut lebih sempit dari pada pengertian negara. Bagi negara, prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan dan prosedur dikaitkan dengan tujuan didirikannya negara tersebut. Tujuan negara jelas lebih luas dibandingkan dengan sekedar pengambilan keputusan. Sedangkan prinsip-prinsip, norma aturan, prosedur yang ada pada rezim hanya terbatas pada cara pengambilan keputusan. Rezim Otoritarian-Birokratik (OB) sendiri awalnya dimunculkan untuk menjelaskan fenomena otoritarianisme negara-negara berkembang pada konteks historis tertentu yaitu pada saat berlangsungnya proses perluasan dari industrialisasi dan pembangunan ekonomi di negara-negara kapitalis pinggiran seiring dengan munculnya kejenuhan pertumbuhan dan ekspansi ekonomi secara horizontal yang pernah dicapai lewat strategi Industri Substitusi Impor (ISI) Pada fase deepening (perluasan) inilah negara terpaksa beralih strategi untuk mengupayakan
suatu
integrasi
vertikal
melalui
pendekatan
Industrialisasi
berOrientasi Ekspor (IOE) dengan menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi ortodoks. Ortodoksi dalam kebijakan tersebut menjadi sangat penting dalam rangka menghadapi krisis ekonomi dan untuk menciptakan stabilitas ekonomi jangka panjang yang sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang acap kali ditentukan sendiri
oleh
perusahaan-perusahaan
multinasional
dan
badan-badan
pemberi
dana
internasional. 7 Menurut Herb Feith, Rezim Otoritarian- Birokratik mempunyai bentuk ideologi yang khas dengan tiga unsur karakter penopang yaitu: teknokratisdevelopmentalis,
militeristis
dan
nasionalistis.
Mereka
juga
mempunyai
kecenderungan untuk memperluas dan memperkuat kemampuan aparatur birokrasi mereka. Mereka menggunakan perluasan ini guna memudahkan mobilitas sosial berdasarkan sekolah. Sedangkan bentuk politisnya ditandai oleh kekuasaan yang dominan, besar dan meluas untuk meniadakan atau mengecilkan semua pusat potensial kekuatan tandingan. Oleh karena itu untuk mencapai kondisi politik tersebut, rezim ini biasanya akan menciptakan struktur politik ”represif” sebagai berikut: 8 1. Menghancurkan pusat kekuasaan dari lawan yang telah terkalahkan yang biasanya merupakan aliansi dan koalisi dari sayap kiri dan nasionalis. 2. Mengenakan kontrol yang ketat terhadap koalisi unsur-unsur pendukung, mengurangi kebebasan kelompok yang berpotensi mengarahkan massa, memperluas peranan perwira militer dalam pemerintahan dan bersihkan angkatan bersenjata dari unsur-unsur yang sangat potensial untuk tidak stabil. 3. Menggunakan siasat represi yang sangat kompleks dan universal dalam menjaga agar kontrol tetap terpelihara dengan mengetahui potensi jaringan yang memungkinkan membangkang. 7 8
Hasrul Hanif, Op Cit. Hal: 5-6. Ibid, Hal: 8
Dengan demikian, model rezim Otoritarian – Birokratik menurut O’ Donnell mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: a. Pemerintahan dipegang militer, tidak sebagai diktator pribadi, melainkan sebagai lembaga, berkolaborasi dengan teknokrat sipil. b. Didukung oleh enterpreneur oligopolistik yang bersama negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. c. Pengambilan keputusan dalam rezim ini bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan proses bargaining yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan. d. Massa didemobilisasi. e. Untuk mengendalikan oposisi, pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif. Menatap prospek transformasi kekuasaan dari rezim Otoritarian – Birokratik (OB) atau rezim non demokratis menjadi penting untuk dibedah. Mengidentifikasi proses transformasi yang sangat heterogen sangat penting untuk memprediksikan konsolidasi rezim baru yang demokratisasi atau rekonsolidasi rezim lama. Krisis legitimasi sering sekali muncul akibat semakin menguatnya tuntutan kelas bawah yang disertai fragmentasi yang terjadi pada elemen pendukung rezim Otoritarian-Birokratik yang sedang berkuasa. Upaya reproduksi ideologi melalui aparatus hegemonik negara harus berhadapan dengan counter-hegemony yang semakin menguat dari kekuatan civil-society. Proses perubahan dan transformasi
sebuah rezim tidaklah ditentukan hanya karena faktor pertumbuhan dan pembangunan ekonomi maupun modernisasi semata. Fase yang muncul pasca krisis legitimasi rezim Otoritarian-Birokratik akan ditandai dengan dua fase waktu, yaitu: liberalisasi atau transisi. Fase liberalisasi dan transisi, satu dengan yang lainnya bisa saling mendahului.walaupun liberalisasi sering muncul dalam fase transisi. Fase liberalisasi merupakan fase yang dalam ranah yang tidak demokratis. Membutuhkan campuran antara kebijakan dan perubahan sosial, seperti longgarnya sensor, meluasnya ruang yang memungkinkan adanya ekspresi publik secara meluas, perlindungan hak individu dan lain-lain yang kesemuanya bisa merupakan konsekuensi dari meningkatnya pemerataan pendapatan dan yang paling penting adanya toleransi terhadap oposisi. Liberalisasi juga dapat dimaknai sebagai proses pengefektifan hak-hak politik yang melindungi individu dan kelompokkelompok sosial dari perbuatan kesewenang-wenangan atau tidak sah dari negara atau pihak ketiga. Adapun yang dimaksud dengan fase transisi adalah titik awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim demokratis. Fase ini dimulai dari kejatuhan rezim otoritarian lama yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan (instalasi) lembaga-lembaga politik dan aturan-aturan politik baru dibawah payung demokrasi. Jika transisi hanya menghasilkan otoritarianisme baru, maka konsolidasi yang terjadi merupakan pemantapan rezim otoritarian baru itu, begitu juga sebaliknya. Dalam perpolitikan Orde Baru rezim birokratik otoritarian adalah kata yang tepat. Rezim birokratik otoritarian ini bertujuan membuat keputusan yang sederhana,
tepat, tidak bertele-tele, dan efisien yang tidak memungkinkan adanya proses bargaining yang lama, melainkan mencukupkan diri pada pendekatan “teknokratikbirokratik” dengan pertimbangan semata-mata “efisiensi”. Rezim seperti ini bangkit karena antara lain adanya semacam keyakinan bagi elit politik meyakini bahwa stabilitas merupakan kunci utama untuk mengejar ketinggalan melalui pembangunan ekonomi yang cepat. Rezim ini didukung oleh unsur koalisinya dari kelompokkelompok yang paling mungkin dapat mendukung proses pembangunan yang efisien yaitu ‘militer’, teknokrat sipil, dan pemilik modal (baik domestik maupun luar negeri). Menurut Mohtar Mas’oed tercatat lima macam karakteristik rezim birokratik otoritarian yang disebutnya juga sebagai hegemonik birokratik, yaitu: 9 1.
Pemerintah dipimpin oleh militer sebagai lembaga yang bekerja sama dengan teknokrat sipil.
2.
Pemerintah didukung oleh pemilik modal domestik yang bersama-sama pemerintah bekerja sama dengan masyarakat internasional.
3.
Pendekatan kebijaksanaannya didominasi oleh pendekatan teknokratikteknokratik dan menjauhi proses bargaining yang bertele-tele antara kelompok-kelompok kepentingan.
4.
Massa dimobilisasi.
5.
Pemerintah menggunakan tindakan represif untuk mengontrol oposisi. Dwight Y. King membedakan model perpolitikan birokratik-otoritarian ke
dalam empat ciri, yaitu:
9
Moh Mahfud, Op Cit, Hal: 115-116
Pertama, kewenangan tertinggi lebih terletak kepada oligarki atau militer sebagai suatu institusi dari pada suatu penguasa. Bila sekelompok militer
sebagai
suatu
institusi
memegang
kekuasaan,
mereka
mengadopsi pendekatan yang teknokratik dan birokratik dalam pembuatan kebijakan. Tekanannya ialah pada proses pembuatan kebijakan yang bersifat konsultatif dan konsensual dikalangan penguasa serta peranan sentral dari struktur birokratik yang lebih besar, dan bukan militer
perse.
Dengan
demikian
model
birokratik-otoritarian
menghindari sikap mensejajarkan tujuan dan cara militer serta teknokratik atau menafsirlebih pada kekuasaan yang bisa dipakai semuanya dari pada seseorang individu. Kedua, mentalitas teknokratik yang merata, sebagai lawan dari bentuk ideologi apapun yang dikembangkan, merupakan kriteria lain yang membedakan suatu rezim birokratik-otoritarian terutama dari suatu rezim totaliter. Usaha-usaha pemerintah Orde Baru untuk mempengaruhi transformasi budaya politik, menurut King umumnya terdiri dari tindakan-tindakan represif, seperti pembungkaman atas kritik-kritik dari pihak radikal maupun media massa, dan usaha-usaha untuk menciptakan mentalitas konformis dengan mewariskan nilai-nilai yang kabur dan bersifat umum atau doktrin-doktrin inklusif serta memanipulasikan simbol-simbol patriotik dan chauvinistik yang mengikat bersama elit penguasa, militer, dan sipil lebih pada Konsensus programatik dari pada ideologi modernisasi.
Ketiga, kemauan massa populasi untuk bekerja didalam kerangka acuan penerimaan rezim adalah apatis dan sejalan dengan itu adalah kurangnya perhatian dari sebagian elit penguasa dalam memobilisasikan dukungan massa atas landasan yang berkesinambungan. Keempat, upaya untuk mencapai kemajemukan terbatas dengan menggunakan represi, pemilihan dan yang khas, suatu jaringan organisasi yang korporatis dan dengan demikian mengontrol oposisi terhadap rezim.
I.1.3 Politik Pemerintahan Orde Baru Perubahan politik yang terjadi di saat rezim Otoritarian-Birokratik Orde Baru mengalami krisis legitimasi. Krisis ini merupakan implikasi dari proses perubahan struktur ekonomi kapitalistik di atas regional dan liberalisasi politik di arah domestik. Perubahan politik tersebut sangat berpengaruh terhadap perubahan politik rezim Otoritarian-Birokratik Orde Baru dan membuka peluang struktur kesempatan politik bagi instalasi demokrasi dan pengembangan ruang representasi politik yang lebih demokratis di ranah lokal. Rezim Otoritarian-Birokratik Orde Baru muncul dengan menanggung berbagai beban warisan krisis struktural rezim-rezim sebelumnya. Krisis tersebut berupa inflasi yang merajalela, neraca pembayaran dan beban utang yang sangat berat serta ketidakstabilan politik akibat mobilisasi massa yang intensif dan kudeta berdarah. Krisis-krisis tersebut menciptakan situasi dimana proses politik yang
demokratis, bagi pemimpin baru, dianggap tidak akan menciptakan kebijakankebijakan yang secara ekonomi layak dan secara politis bisa diterima. Rezim Otoritarian-Birokratik Orde Baru tak hanya mampu mereduksi tingkat kemiskinan. Tetapi juga mampu menjadikan negara sedemikian relatif otonom dari kekuatan-kekuatan diluar negara tetapi juga tetap populis. Kekuasaan Soeharto merupakan jelmaan kekuasaan sebuah negara developmentalistI. Kekuasaan negara Orde Baru memanfaatkan dukungan kuat kekuatan internasional, dan kemampuannya mengeksploitasi berbagai sumber daya yang kelihatannya terus meningkat untuk diberikan kepada sekutu-sekutunya atau digunakan untuk melawan musuh-musuhnya sehingga muncul dalam ” kesadaran” masyarakat bahwa negara yang berperan penting dalam kehidupan dan peruntungan mereka atau menjadi negara penentu daya. 10 Pada arah domestik, kuasa negara semakin mengakar secara historis karena hadirnya dukungan serta kondisi ekonomi dan politik berikut : Kuatnya basis dukungan ideologis dan struktural dari aliansi birokrasi-militer-GOLKAR. Patronase lembaga kepresidenan yang mengerus energi kekuasaan secara sentripental pada sosok Soeharto, hadirnya para teknokrat pro pembangunanisme, pengusaha domestik yang membangun jaringan oligopolistik dengan pengusaha transnasional dengan memanfaatkan lisensi negara, melemahnya kekuatan civil society akibat strategi korporatisme negara baik melalui pola privatisasi maupun statisasi. Krisis kapitalisme di asia Tenggara pada paruh waktu 1997 menjadi momen historis yang menandai runtuhnya bangunan kekuasaan rezim otokratik Orde Baru. 10
Hasrul Hanif, Op cit, Hal: 45.
Kekuasaan negara developmentalis harus kehilangan daya kontrol serta berada pada titik nadi krisis ekonomi dan legitimasi tatkala hadir secara beruntun beragam krisis. Orde Baru adalah merupakan entitas yang berwajah ganda: baik dan buruk. Tetapi mungkin bagi sedikit orang, Orde Baru adalah satu dimensi: baik sekali atau buruk sekali. Kelompok yang memandang Orde Baru baik adalah mereka yang di untungkan secara materi dapat dari kalangan kerabat, kroni dan kelompok-kelompok yang berada di lingkar inti kekuasaan baik di pusat maupun di daerah, meskipun hati nurani mereka mengingkari. Sementara mereka yang memandang Orde Baru buruk atau jahat adalah mereka yang melihat, merasakan, mengalami, dan dirugikan secara material, rohani, dan mental-spritual. Kelompok ini adalah mereka yang melihat secara nyata, karena kemampuannya menganalisis dan arena wawasannya, penyelewengan besar-besaran para elite Orde Baru terhadap amanat rakyat baik dibidang ekonomi, sosial-budaya, kehidupan keagamaan maupun ideologi. 11 Ideologi pada dasarnya adalah sebuah istilah yang mengandung norma, nilai, falsafah, kepercayaan religius, sentiment, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos dan sebagainya. Defenisi lainnya, ideologi merupakan kumpulan ide atau gagasan. Ideologi dapat dianggap sebagai cara memandang sesuatu , sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang
11
Baskara T. Wardaya. Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto, Jakarta: Galang Press, 2007. Hal: 56.
dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat. 12 Ketangguhan ideologi sangat ditentukan oleh kecakapan elite politik mengisikan muatan-muatan filosofis kedalamnya. Semakin canggih para elite politik menyusun argumen-argumen filosofisnya, maka kian ampuh juga ideologi itu mempengaruhi masyarakat. Oleh sebab itu Rezim Orde Baru dengan segala upaya mengerahkan semua intelektual untuk membuat, merancang dan mengisikan muatanmuatan baru pada ideologi, sehingga citra rezim Orde Baru tetap kokoh dan terus berkuasa. Di negara Indonesia, konglomerat tumbuh subur di sekitar kekuasaan. Terdapat semacam mekanisme “bagi hasil” di antara pelaku bisnis dan aktor kekuasaan. Bagi hasil yang dilakukan dikemas dalam pola hubungan patron-klien antara penguasa dan pengusaha. Dalam hubungan seperti itu, pengusaha mendapat ruang gerak yang lebih luas untuk mengoleksi harta pribadi dengan cara-cara yang kolutif dan korup. Sementara itu pengusahapun mendapatkan kesempatan akumulasi asset dengan cara-cara berbisnis secara monopoli dan tidak fair. 13 Bisnis dan Politik ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Bisnis adalah pertukaran barang dan jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberikan manfaat. Ketidaktegasan pemerintah dan keterlambatan dalam pengambilan keputusan sehingga pelaku bisnis dan sekaligus penguasa dapat melanggar hukum dengan semaunya tanpa adanya ketegasan hukum yang jelas. Kekuasaan berarti 12
Ibid, hal. 67. Indra Ismawan. Harta dan Yayasan Soeharto, Yogyakarta: Medpress, 2007, Hal. 104. 13
kesempatan untuk berbuat sesuatu. Paling tidak, mereka yang dekat dengan kekuasaan berarti mempunyai kesempatan untuk mendapatkan informasi orisinal tentang kebijakan publik dari tangan pertama. Oleh karena itu memunculkan serangkaian peluang bisnis. Jadi tidak heran bila dilingkaran kekuasaan, bisnis tumbuh subur. Makin besar kekuasaan itu maka makin besar pula skala bisnis tersebut. Dan semakin lama kekuasaan itu bertahan, unit-unit bisnis itu punya kesempatan semakin banyak 14. Kesempatan-kesempatan yang diperoleh semakin banyak, yang utama adalah kesempatan untuk membesarkan diri. Bila tidak ada guncangan politik, maka mereka bisa mengakumulasi kapital dengan aman. Kemudian setelah itu dipikirkan langkahlangkah diversifkasi atau perluasan bidang usaha. Dapat diperluas kemana saja semaunya. Skenario akusisi bisnis melalui pasar modal, menjadi senjata ampuh untuk mengambil alih kendali atas perusahaan publik. Demokrasi Pancasila tidak mengizinkan liberalisme tak terbatas, namun juga jelas tidak menolerir favoritisme dan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme.). Nyatanya, Orde Baru merestui praktik monopoli dan pemberian konsesi-konsesi terhadap segelintir pelaku bisnis tertentu. Rezim Orde Baru tidak pernah kehilangan akal untuk membuat argumentasi bahwa apa yang mereka buat dan lakukan adalah demi kepentingan orang banyak. Mobilisasi dana oleh yayasan-yayasan yang didirikan Soeharto dan kroni-kroninya, pada umumnya dilandasi oleh kepentingan bangsa dan negara, faktanya mobilisasi ini tidak dilandasi dasar hukum yang cukup, dan tidak disertai pertanggungjawaban secara rutin kepada pemberi sumbangan. KKN (korupsi, 14
Ibid, Hal. 105.
kolusi, nepotisme) yang merajalela dalam era Orde Baru, mengalami transformasi penting pada tahun 1980-an dibandingkan satu dekade sebelumnya. Tahun 1980-an keluarga Soeharto yang memegang peran yang lebih signifikan terhadap dunia bisnis. 15 Dunia bisnis dan kekuasaan sangat dekat ini dapat terjadi di karenakan merajut hubungan dengan kepraktisan. Si pengusaha membutuhkan pelanggan, dan si penguasa membutuhkan pemasok (supplier) untuk kebutuhan pemerintah. Sebab setiap tahun pemerintah melakukan transaksi ratusan triliun rupiah (tercatat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Jadi bagi swasta atau pengusaha, pemerintah adalah pasar yang amat besar. Oleh sebab itu penguasa dan pengusaha pun melakukan transaksi. Didalam suatu negara terdapat banyaknya pengusaha atau elit wiraswasta yang berkuasa didalam negaranya dalam bidang bisnis dikarenakan para elit wiraswasta tersebut mempunyai hubungan kedekatan dan dapat menarik hati pemerintah sehingga mereka sama-sama di untungkan dengan kerja sama yang dibuat sendiri. Sementara dari kerja sama yang mereka buat, masyarakatlah yang menjadi terbebani dan dirugikan. Kolusi antara aktor bisnis dan kekuasaan, pada akhirnya berakar pada aspek integritas. Padahal integritas sudah mulai mengalami erosi. Disebabkan karena persaingan semakin ketat, integritas bisa terkikis dalam sekejap. Maka sangat mudah
15
Ibid,. Hal. 7.
sekali penyelewengan terjadi. Itulah sebabnya banyak pihak berpendapat, akar krisis ekonomi kita adalah moral hazard. 16 Kiprah bisnis keluarga soeharto merupakan produk dari proses yang menyerupai cara kerja “perekonomian magersari” (kegiatan perekonomian dalam keluarga batih atau extended family) yang cenderung tidak efisien. Bisnis dalam lingkungan soeharto bukan saja mengacu pada fenomena “ekonomi keluarga inti”. Kenyataannya ada orang-orang di luar keluarga soeharto yang mempunyai hubungan yang begitu erat dalam jangka panjang. 17 Pada struktur hubungan antara Soeharto dengan para pelaku bisnis nya (termasuk juga keluarga intinya), sifat paternalisme atau bapakisme amatlah mencolok. Hubungan yang bersifat paternalistik kekeluargaan menghasilkan konsentrasi kekuasaan pada tangan “ayah” atau pada tangan seorang pemimpin. Juga terdapat monopoli penghormatan sosial dan kewibawaan jatuh dalam tangan sang pemimpin, yaitu sang bapak. Serta sikap ketergantungan klien kepada pemimpinnya, yang mengakibatkan konsentrasi kekuasaan dan pengawasan dalam satu tangan. Antara sang pemimpin dan pengusaha bersama-sama saling membentuk dan memelihara pola hubungan antar manusia yang bersifak vertical. Hubungan tersebut memiliki corak sosial, tetapi mengandung unsure croni capitalism (kapitalisme konco), juga kapitalisme birokrat.
16 17
Ibid,. hal. 111. Ibid,. Hal: 91
Croni capitalism dan kapitalisme birokrat adalah bagian integral dalam fenomena perekonomian magersari yang diperaktikkan Soeharto. Keluarga soeharto adalah keluarga yang disekitarnya bergerombol orang-orang yang minta fasilitas dan konsesi.akan tetapi relasi yang lebih bersifat sosial (tanpa orientasi laba) eksis pada pola perekonomian magersari ala cendana. Dan pada zaman soeharto ini juga berkembang istilah jajaran birokrasi sebagai abdi negara. Abdi negara ini kemudian terkumpul dan terhimpun didalam satu wadah yang diberi nama KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia). Selain itu dilingkungan militer juga berlangsung program kekaryaan ABRI. Dalam kekaryaan ini, ABRI masuk atau
“dimasukkan”, ditunjuk dan diangkat menjadi
pejabat yang memimpin posisi kunci di jajaran pemerintahan sipil. Pada tahap-tahap awal kerjasama, pengusaha swasta tertentu benar-benar “membantu” pemimpinnya (kebanyakan pejabat militer). Misalnya membantu menopang keperluan operasi militer tertentu pada akhir era Orde Lama, manakala anggaran negara benar-benar amat terbatas. Hubungan dekat ini hampir selalu dimanfaatkan oleh para pejabat pemerintah tertentu untuk meminta bantuan untuk keperluan dinas atau demi kelancaran keamanan. Fenomena kolusi penguasa dan pengusaha memang bukan cuma ada di Indonesia, melainkan sebuah gambaran umum perekonomian Asia. Namun fenomena inilah yang dinilai menjadi biang kerapuhan perbankan di kawasan ini yang menyebabkan krisis regional terjadi secara menyeluruh. Fenomena “perekonomian magersari” dalam era Orde Baru terbungkus dalam birokrasi yang cenderung berciri paternalistik atau patrimonial. Paternalistik berarti
perlindungan dan pengawasan seperti terhadap sejumlah kecil anak oleh seorang ayah, yang dilakukan oleh pemerintah atas yang diperintah, oleh seorang majikan ataus pekerja-pekerja atau hubungan-hubungan yang lainnya. 18 Perekonomian menjadi cenderung sentralistik sebagaimana kekuasaan itu sendiri. Proses demokratisasi, termasuk di bidang ekonomi, menjadi macet dikarenakan terbentur banyak hambatan. Informasi atau ide yang berasal dari atasan atau pemimpin selalu dianggap benar. Menurut Richard Robison (1978), kapitalisme produk birokrasi patrimonial tidak mengenal pemisahan yang jelas antara fungsi produksi dan kepentingan pribadi. Inilah yang memunculkan istilah “kapitalisme birokrasi”. Fenomena itu terwujud di Indonesia melalui kombinasi antara jabatan birokrasi dan kegiatan ekonomi yang bersifat informal dan tidak langsung, dengan klien yang dependen. Meskipun anakanak Soeharto yang terkenal mulai berbisnis pertengahan dekade 1980-an, anak-anak Soeharto bermanuver bukan atas dasar kekuasaan birokrasi walaupun mereka bekerja pada lapangan bisnis yang telah terpilah-pilah menurut struktur birokrasi. 19 Meskipun mereka bukan birokrat, tetapi dalam batas tertentu mereka mempunyai maksud untuk terlibat langsung dalam penanaman modal, transfer teknologi serta cenderung menggeser posisi non-pribumi atau modal asing. Namun demikian hal itu tidak terlalu mencolok dan pada umumnya gagal karena berbagai alasan.
18 19
Ibid,. Hal: 98. Ibid,. Hal: 99.
I. 2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah di atas, maka dalam penelitian ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagamana gambaran singkat mengenai politik dan pemerintahan soeharto pada tahun 1992-1997? 2. Bagaimana praktek politik negara Birokratik Otoritarianisme pada Negara Berkembang khususnya pada pemerintahan Soeharto?
I.3 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui gambaran singkat mengenai politik dengan pemerintahan Soeharto pada masa Orde Baru periode tahun 1992-1997. 2. Untuk
menganalisa
bagaimana
praktek
politik
negara
Birokratik
Otoritarianisme pada Negara Berkembang khususnya pada pemerintahan Soeharto. I.4 Manfaat Penelitian Setiap penelitian yang dibuat diharapkan mampu memberikan manfaat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, terlebih lagi untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu, yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah dan melatih penulis untuk membiasakan diri dalam membuat dan membaca karya tulis. Melalui penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti.
2. Secara akademis berfungsi sebagai referensi tambahan bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 3. Secara lembaga, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah sebagai pengambilan kebijaksanaan yang tepat.
I.5 Dasar-Dasar Teori 1.5.1 Teori Negara Pemikiran mengenai negara dan hukum akan timbul bersamaan dengan adanya negara itu sendiri. Jauh sebelum negara dan hukum disistematikakan menjadi ilmu pengetahuan, negara sudah ada pada zaman purba (kuno). Pemikiran mengenai negara terjadi pertama kali pada bangsa Yunani Kuno, kira-kira pada abad ke 5 sebelum masehi. Pemikiran ini pertama sekali diungkapkan oleh para filsuf dan pemikir yunani mulai dari Socrates, Plato, aristoteles dan lain-lain. Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batasbatas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik antara individu dan golongan maupun oleh negara sendiri. Dengan demikian ia dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya kearah tujuan bersama. Kata negara, biasanya mengacu pada konsep staaf dalam Jerman atau state dalam inggris, memiliki dua arti :
Pertama, adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan kesatuan politis, Kedua, lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis itu, yang menata dan dengan demikian menguasai wilayah itu. Beberapa pandangan menyatakan bahwa fungsi dasar dan hakekat negara sebagai pemersatu masyarakat adalah penetapan aturan-aturan kelakuan yang mengikat. Negara dalam pengertiannya yang luas, merujuk kepada setiap pengaturan diri sendiri dari orang-orang yang terorganisasi sehingga mereka berhubungan satu sama lain sebagai satu kesatuan. 20 Pengertian Negara menurut beberapa ahli : 21 1. PLATO ( 427-348 s.M. ) mengatakan, bahwa Negara adalah suatu tubuh yang senantiasa maju, ber-evolusi, terdiri dari orang-orang ( individu-individu ). Terbentuknya negara menurut Plato adalah karena adanya kebutuhan dan keinginan manusia yang beraneka ragam. Hal ini menyebabkan terbentuknya kerja sama diantara sejumlah manusia guna terpenuhinya kebutuhan mereka. Manusia tidak sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri-sendiri dan bekerja sama untuk memenuhi kepentingan mereka bersama. Kesatuan mereka ini kemudian membentuk suatu masyarakat yang mendiami suatu desa. Negara terbentuk dari bergabungnya beberapa desa. Pada mulanya terbentuknya negara berbentuk aritokrasi, yang dipimpin oleh para aristokrat. Jika para aristokrat (orang bujaksana yang berpinandita) itu mulai terpengaruh oleh keinginan akan kemahsyuran, nama, pangkat, dan jabatan, maka aristokrasi 20
Dadang Juliantara, Negara Demokrasi untuk Indonesia. Solo, Pondok Edukasi: 2002. Hal. 12-13. 21 Samidjo.SH, Ilmu Negara, Bandung, CV. Armico: 2002. Hal. 28-29.
akan berubah menjadi tymokrasi. Jika pembesar negara dapat dipengaruhi oleh kemewahan dan karena ini mereka berada dibawah pengaruh orang kaya, maka timbullah oligarki yang menyedot milik rakyat dan menyebabkan kemiskinan, sehingga rakyatpun berontak dan kemudian mendirikan negara demokrasi. Demokrasi dapat lenyap dikarenakan kurangnya tata tertib, sehingga miuncul anarki di dalam negara yang menggampangkan berdirinya negara tirani yang diktator. Dalam negara tirani para cendikiawan tidak akan tinggal diam, lalu mereka memimpin pemberontakan, tirani jatuh dan digantikan oleh aristokrasi, dan demikian selanjutnya mengikuti kembali gerak berputar siklus di atas. 22 2. THOMAS HOBBES ( 1588-1679 ) mengatakan bahwa Negara adalah suatu tubuh yang dibuat oleh orang banyak beramai-ramai, yang masing-masing berjanji akan memakainya menjadi alat untuk keamanan dan perlindungan bagi mereka. Hobbes berpendapat bahwa negara ibarat Leviathan (monster yang sangat mengerikan). Demikian juga negara, menimbulkan rasa takut kepada siapapun yang melanggar hukum negara tersebut. Bila warga negara melanggar hukum, negara Leviathan akan tidak segan-segan menjatuhkan vonis hukuman mati. Negara Leviathan adalah negara yang kuat. Bila lemah akan menimbulkan anarkhi, perang sipil mudah meletus dan dapat mengakibatkan kekuasaan negara terbelah.
22
Dr. Muchtar Pakpahan, Ilmu Negara dan Politik. Jakarta, PT. Bumi Intitama Sejahtera: 2006. Hal. 24.
3. J.J ROUSSEAU ( 1712-1778 ), mengatakan bahwa Negara adalah perserikatan rakyat bersama-sama yang melindungi dan mempertahankan hak masing-masing diri dan harta benda anggota-anggota yang tetap hidup dengan bebas merdeka. Bentuk-bentuk negara menurut J.J Rousseau adalah: a. Monarki, yaitu apabila kekuasaan negara atau kekuasaan pemerintahan itu ada pada seseorang raja sebagai wakil rakyat. b. Aristokrasi, yaitu apabila kekuasaan negara atau kekusaan pemerintah itu ada pada tangan dua orang atau lebih, dan mereka melakukan tugasnya dengan baik.demokrasi, yaitu apabila kekusaan negara dan kekuasaan pemerintahan itu berada di tangan rakyat dan berjalan dengan baik. Negara mempunyai tujuan, dan yang merupakan tujuan negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal). Sedangkan tujuan dari negara Republik Indonesia adalah sebagaimana tercantum di dalam Undang- Undang Dasar 1945 ialah : “ Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi negara segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” dengan berdasarkan kepada; Ketuhanan Yang Mahaesa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pancasila) .
Lahirnya Orde Baru, berarti sebuah Orde dengan tekad kuat untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen menjadi senjata ampuh bagi Soeharto untuk memperkuat simbol-simbol heroismenya. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat, dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Dan berdasarkan sistem hukum yang berlaku di dalam negara. Dan dalam negara Indonesia Soeharto mempunyai andil yang sangat besar selama 32 tahun memimpin bangsa Indonesia. Soeharto adalah kepala negara dan kepala pemerintahan negara Indonesia selama 32 tahun. Selama Soeharto berkuasa di negara Indonesia banyak hal yang telah dilakukan untuk negara Indonesia. Peran Soeharto kepada negara Indonesia tidak terlepas dari zaman keemasan Orde Baru yang lebih berfokus kepada pembangunan. Pembangunan yang dilakukan Soeharto semasa menjadi kepala negara RI adalah lebih kearah bidang ekonomi negara. Soeharto sebagai tokoh sentral Orde Baru memulai strategi politik dan ideologisnya. Caranya, dengan menggabungkan antara pandangan hierarkis militer yang berpola ketaatan garis komando atasan kepada bawahan yang ketat di satu pihak, dan konsep stratifikasi sosial budaya Jawa yang berpola ketaatan paternalistik serba tertutup di pihak lain. Pada saat memimpin Soeharto menetapkan Trilogi Pembangunan, yaitu:
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya akan menuju tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. 3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis pada gilirannya berbuah kepada kemajuan bangsa dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan menerapkan tujuan ganda, yaitu tercapainya stablitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Soeharto meletakkan dasar-dasar pembangunan berkelanjutan melalui Pelita, dan menetapkan Trilogi pembangunan sebagai strategi untuk tinggal landas menuju masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera. Stabilitas nasional dibutuhkan agar bisa dilakukan pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan setelah adanya pertumbuhan ekonomi maka dapat dilakukan pemerataan. Maka menurut Soeharto, stabilitas nasional diperlukan untuk kelancaran pembangunan juga untuk menarik minat para investor asing guna ikut menggerakkan roda ekonomi dan membuka lapangan kerja. Sebab, tanpa pertumbuhan ekonomi tidak akan ada pemerataan hasilhasil pembangunan.
Trilogi
pembangunan,
Stabilitas
nasional,
Pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan adalah strategi kunci pembangunan yang dilaksanakan dalam pemerintahan Soeharto. 23 Didalam bidang politik, Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yaitu Partai Persatuan Indonesia (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam 23
Dwi Ambar Sari, Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto,Jakarta: PT.Jakarta Citra, Hal:140-4-142.
upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan.
1.5.2 Birokrasi Di Indonesia Birokrasi berasal dari kata berau yang berarti meja tulis, yang diartikan sebagai suatu tempat yang disana para pejabat bekerja. Dan adanya sisipan cracy, yang diturunkan dari kata yunani yang artinya aturan. Kamus Jerman (1813) menyatakan bahwa birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintahan dan cabang-cabangnya memperebutkan sesuatu untuk kepentingan diri mereka sendiri, atau sesama warga negara. 24 Max Weber memandang birokrasi sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, suatu birokrasi yang legal rasional, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjelaskan tugas-tugas impersonal jabatan (berkemampuan memisahkan urusan pribadi dengan urusan dinas). b. Ada hierarki (penjenjangan, tingkatan) jabatan yang jelas. c. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas (pembagian kerja yang jelas). d. Para pejabat diangkat berdasarkan dengan kontrak. 24
Syafuan Rozi. Zaman Bergerak Birokrasi di Rombak, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Hal:9-10
e. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi professional, berdasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian. f. Mereka memiliki gaji berjenjang menurut kedudukan didalam hierarki dan hak-hak pension. Pejabat dapat selalu menempati posnya dan dalam keadaan tertentu dapat juga diberhentikan. g. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya. Terdapat suatu struktur karir dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian. h. Pejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya, maupun dengan sumber yang tersedia dalam pos tersebut. i. Pejabat tunduk dalam sistem displiner dan kontrol yang seragam. Bagi weber, birokrasi atau aparat administrasi ini merupakan unsur terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan organisasi.organisasi ini merupakan alat untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh sebab itu, perhatian weber tertuju pada struktur yang diatur secara normatif dan mekanisme untuk mempertahankan struktur itu. Max
Weber
membangun
konsep
birokrasi
berdasar
teori
sistem
kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Kewenangan
tradisional
(traditional
authority)
mendasarkan
legitimasi
kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kewenangan kharismatik (charismatic authority) mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural. Dan, Kewenangan legal-rasional (legalrational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada
peraturan perundang-undangan. Dalam analisis Weber, organisasi “tipe ideal” yang dapat menjamin efisiensi yang tinggi harus mendasarkan pada otoritas legal-rasional. Sebagai commpetiting theory atau teori pembanding , Harold Crouch melihat bahwa kepolitikan birokratik di Indonesia mengandung tiga ciri utama, yaitu: 25 Pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuasaan birokrasi. Ketiga, massa diluar birokrasi secara politik adalah pasif, yang sebagian merupakan kelemahan partai politik.
1.5.3. Negara Birokratik-Otoriterisme dan Industrialisasi Seperti yang diungkapkan oleh O’Donnell, bentuk pemerintahan korporatisme berhubungan dengan dua proses yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama, apa yang disebut dengan proses pendalaman, Industrialisasi. Secara sederhana pendalaman Industrialisasi adalah perluasan atau ekspansi produksi industri yang tidak hanya barang-barang konsumsi, akan tetapi juga melingkupi barang-barang setengah jadi (intermediate) dan barang-barang modal. Kedua, terjadi perluasan (expansion) dari tipe baru negara, yakni birokrasi-otoriterisme. Tipe baru negara ini kenyataannya, yaitu lebih: 1. Konprehensif bidang aktifitasnya dalam kontrol atau pengelolaannya secara langsung. 25
Ibid,. Hal: 21.
2. Dinamis dalam laju pertumbuhannya dibandingan masyarakat secara keseluruhan; 3. Penetrasi dengan cara mensubordinasikan berbagai wilayah private dari masyarakat secara keseluruhan; 4. Represif dalam perluasan dan keampuhan koersif yang dijalankan; 5. Birokratis dalam formalitas dan diferensiasi dari strukturnya; dan 6. Teknokratis, yang berkaitan dengan tumbuhnya tim-tim ahli/teknokrat dalam melakukan
aplikasi
teknik-teknik,
rasional-formal
yang
tepat
guna
(efficientis). Selanjutnya negara birokratik-otoriterisme juga berkaitan secara erat dengan modal internasional, karena kebutuhan ekspansi industrialisasi membutuhkan modal asing. Dalam kertas kerjanya, O’Donnel secara lebih terinci menunjukkan ciri-ciri dari negara birokratik-otoratisme sebagai berikut : 1) Posisi pemerintah tertinggi biasanya dipengang oleh kelompok-kelompok setelah melalui jenjang karir yang berhasil dalam organisasi-organisasi yang terbirokratis secara ketat dan kompleks yakni angkatan bersenjata dan perusahaan-perusahaan swasta besar. 2) Peniadaan politik (politik exclusion), yang mempunyai tujuan untuk menutup jalur-jalur akses politik dari sektor populer dan aliansi-aliansinya dari sektor populer dan aliansi-aliasinha sehingga mengdeaktifikasi mereka secara politik. Ini dilakukan tidak hanya melalui cara-cara represif, tetai juga melalui
imposisi vertikal (korporatif) yang dikontrol oleh negara dengan membentuk organisasi-organisasi seperti serikat buruh, misalnya. 3) Peniadaan ekonomi (economi exclusion) yakni bertujuan mengurangi atau menunda untuk jangka waktu yang tidak terbatas aspirasi ekonomi dari sektor populer. 4) Depolitisasi, yang berguna untuk mengurangi isu-isu politik uuntuk kemudian dijadikan masalah-masalah teknis yang hanya dapat dipecahkan melalui caracara interaksi di antara pada eselon tingkat tinggi dalam organisasi-organisasi yang disebutkan diatas. 5) Sangat berkaitan dengan satu tahap transformasi penting di dalam mekanisme akumulasi kapital masyarakat, dimana perubahan-perubahan tersebut, pada dasarnya merupakan bagian dari kapitalisme pinggiran dan bergantung yang dicirikan dengan industrialisasi yang ekstensif.
I.6 Metodologi Penelitian I.6.1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi tokoh. Yaitu metode kualitatif yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan memahami sesuatu di balik fenomena yang belum diketahui. Pengkajian studi tokoh yaitu pengkajian secara sistematis terhadap pemikiran/gagasan seorang pemikir, keseluruhannya ataupun sebahagiannya. Pengkajian yang dibuat penulis adalah untuk mengetahui pikiran dan prilaku politik birokratik otoriter sang tokoh dan penerapannya.
I.6.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Studi Pustaka yaitu penelitian ini menggunakan data-data tertulis baik itu dari buku-buku, internet dll. Data-data tersebut berguna khususnya sebagai referensi yang melengkapi latar belakang masalah dan dasar-dasar teori.
I.6.3 Teknik Analisa Data Setelah data-data yang dibutuhkan dalam penyelesaian penelitian ini diperoleh baik itu dari data pustaka maupun dari internet, kemudian data-data tersebut dikumpulkan dan kemudian penulis olah sehingga dapat di analisis dan di simpulkan sebagai hasil dari penelitian yang dikerjakan.