BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pada tahun 1996 Indonesia telah mengalami krisis ekonomi dan puncak
krisis ekonomi pada tahun 1997. Hal ini mendorong pendelegasian sebagian wewenang pemerintah pusat untuk pengelolaan keuangan kepada daerah, sehingga daerah dapat membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri. Pada tahun 1998 terjadi reformasi birokrasi di Indonesia yang telah membawa perubahan bagi politik dan sistem pemerintahan maupun administrasi keuangan negara yang diawali dengan perubahan sistem organisasi (DJPK,
2012).
Transformasi
sistem
pemerintahan
dari
sentralistik
ke
desentralistik mengubah hubungan antara rakyat Indonesia dan negara. Otonomi daerah memberikan porsi kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk dapat mengelola keuangan daerahnya (Bennet, 2010). Penthury (2011) juga mengatakan bahwa dalam penyelenggaraan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mampu memberikan fasilitas pelayanan publik yang lebih baik untuk masyarakat lokal. Infrastruktur merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi, dengan menyiapkan infrastruktur yang baik, maka akan meningkatkan produktivitas (Modebe et al, 2012). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan penyelenggaraan
Daerah
menyatakan
pemerintah
daerah
bahwa
efisiensi
perlu
ditingkatkan
dan
efektivitas
dengan
lebih
memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar
1
pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintah negara. Oleh karena itu pemerintah daerah harus mampu menyelenggarakan pemerintahannya agar tercipta tata kelola pemerintahan daerah yang baik. Sistem evaluasi, monitoring, dan pengukuran kinerja yang sistematis guna mengukur kemajuan yang dicapai pemerintah daerah dalam kurun waktu tertentu juga perlu diterapkan (Marfiana, 2013). Terkait dengan masalah akuntabilitas di Indonesia, menurut Wahyudi Kumorotomo (2009) ada beberapa permasalahan yang berhubungan dengan kinerja akuntabilitas pemerintah daerah. Berkaitan dengan administrative accountability dan professional accountability, isu pokok yang muncul adalah buruknya kinerja pengelolaan anggaran daerah. Kenyataan tersebut bisa diketahui dari semakin sedikitnya laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tahun 2009 jumlahnya hanya 8 dari 164 LKPD yang dilaporkan. Padahal pada tahun 2004 lalu jumlah laporan keuangan daerah yang mendapat opini terbaik berjumlah 21 laporan. Pada Tahun 2005 turun menjadi 17 laporan. Sehubungan dengan ethical accountability, dari pengalaman juga menunjukkan bahwa buruknya kinerja akuntabilitas hal itu bisa dilihat dari banyaknya dana yang tidak terserap dan belum lagi banyaknya Pemda yang kemudian menyimpan dananya daripada untuk merealisasikannya bagi masyarakat.
2
PP No.6/2008 menyebutkan bahwa salah satu Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) adalah berupa evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Peraturan ini dilengkapi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.73 tahun 2009 tentang tata cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Permendagri Nomor 74 tahun 2009
tentang
Pedoman
Pemberian
Penghargaan
kepada
Penyelenggara
Pemerintahan Daerah. Pasal 5 Permendagri No.73/2009 ini disebutkan bahwa EKPPD menggunakan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) sebagai sumber informasi utama. EKPPD dilakukan dengan menilai total Indeks Komposit Kinerja (IKK) penyelenggaraan pemerintahan daerah. Total Indeks Komposit Kinerja (IKK) penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan penjumlahan hasil penilaian yang meliputi indeks capaian kinerja dan indeks kesesuaian materi. Indeks capaian kinerja diukur dengan menilai IKK pada aspek tatanan pengambil kebijakan dan pelaksanaan kebijakan. Hasil dari EKPPD tersebut berupa laporan hasil Evaluasi Pemeringkatan Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Laporan hasil EKPPD dikeluarkan pertama kali oleh kementrian dalam negeri tahun 2009. Riset di beberapa negara menunjukkan, salah satu bentuk transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah dilakukan dengan mempublikasikan laporan keuangan di internet (Laswad et.al, 2005). Sepuluh besar Penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten yang berprestasi paling rendah secara nasional adalah Indonesia wilayah timur dengan rata-rata mendapat skor yang tergolong rendah (Kemendagri, 2013).
3
Pengukuran kinerja keuangan daerah merupakan sesuatu yang penting untuk dilakukan, karena salah satu kunci sukses dari pembaharuan dalam sektor publik adalah dengan melakukan pengukuran kinerja (Greiling, 2005). Yang dan Hsieh (2007) juga mengungkapkan bahwa pengukuran kinerja merupakan bagian penting dalam melakukan reformasi pemerintah di seluruh dunia. Pemerintah daerah dalam melayani masyarakat melakukan pengelolaan atas keuangan daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah, LPPD (Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah) suatu pemerintah daerah merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dan memerlukan pengawasan serta pemeriksaan (audit) yang baik agar tidak terjadi kecurangan. Di Indonesia, pemeriksaan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (Sudarsana, 2013). Berhasil atau tidaknya suatu pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya dapat dilihat dari laporan keuangan yang disajikan oleh pemerintah daerah yang juga dapat dijadikan sebagai dasar pertanggungjawabannya terhadap publik namun demikian, apabila terjadi hal-hal yang terdapat penyimpangan dalam laporan keuangan maka terdapat indikasi opini audit BPK sehingga opini tesebut dapat dijadikan suatu alasan kenapa pemerintah daerah tersebut tidak menjalankan kinerja dengan baik. Secara umum, tujuan pelaporan keuangan adalah untuk menyajikan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan dan untuk menunjukkan akuntabilitas terhadap pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepada entitas pelaporan (Nugroho, 2012). Halacmi (2005) mengungkapkan bahwa pengukuran kinerja merupakan metode yang dapat digunakan pemerintah daerah dalam mencapai tujuannya.
4
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki tugas mengawasi/memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan baik di pemerintah daerah maupun pemerintahan pusat, atau lembaga-lembaga Negara lainnya yang mengelola keuangan Negara. Hasil audit BPK dapat berwujud Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang mencerminkan tingkat akuntabilitas suatu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Pemeriksaan keuangan negara dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan terdiri dari pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan BPK tersebut berupa opini, temuan, kesimpulan atau dalam bentuk rekomendasi. Untuk menilai kewajaran atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah LKPD maka dilakukan audit oleh BPK RI yang hasilnya dituangkan dalam LHP. Salah satu bagian dari LHP atas LKPD adalah Laporan Kepatuhan atas Peraturan Perundang-undangan yang menggambarkan Ketaatan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atas Peraturan Perundang-undangan.
Opini
dalam
laporan
tersebut
mengungkapkan
ketidakpatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan yang berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian laporan keuangan (BPK RI, 2011). (Kuntadi, 2008 dalam Nurdin 2014) menyatakan bahwa dalam LKPD dapat dilihat berapa dana APBD yang digunakan untuk melaksanakan kinerja yang ingin dicapai oleh Pemda. Pengungkapan LKPD yang masih terbilang rendah juga berpengaruh pada opini audit yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yaitu masih banyaknya Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang mendapat opini
5
Tidak Wajar dan Tidak Menyatakan Pendapat. Menurut
Ikhtisar Hasil
Pemeriksaan Semester II tahun 2010 yang dilakukan oleh BPK, opini Wajar Tanpa Pengecualian yang diperoleh Pemerintah Daerah di Indonesia selama tahun 2008-2009 hanya sebanyak 27 LKPD dari 981 LKPD yang diperiksa selama kurun waktu tersebut, sedangakan sisanya mendapatkan opini selain WTP, yaitu mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian sebanyak 645 entitas, opini Tidak Wajar sebanyak 79 entitas dan Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) sebanyak 221 entitas, ini menandakan semakin buruknya kinerja karena tidak mengungkapkan LKPD yang disebabkan oleh faktor-faktor penyelewengan sumber daya. Opini terbagus adalah unqualified yang berarti bahwa laporan LKPD telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material, informasi laporan keuangan bisa digunakan oleh pemakai laporan keuangan. Sedangkan opini terburuk adalah tidak wajar karena informasi laporan keuangan (LKPD) tidak diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material, sehingga informasi dalam laporan keuangan tidak dapat dipakai oleh penggunanya. Dan berbeda dengan disclamer terjadi bila auditor menolak memberikan pendapat, kondisi ini disebabkan karena lingkup audit yang dibatasi atau karena laporan keuangan tidak dapat diaudit sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan Negara (SPKN), sehingga baik opini adverse maupun disclaimer tidak dapat digunakan oleh pengguna laporan keuangan (Heriningsih, 2013). Karakteristik pemerintah daerah merupakan ciri-ciri khusus yang melekat pada daerah, menandai sebuah daerah, dan membedakannya dengan daerah lain. Dengan demikian, perbedaan karakteristik antar daerah satu dengan daerah
6
lainnya diasumsikan dapat mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah (Sumarjo,
2010).
Besarnya
ketergantungan
pemerintah
daerah
terhadap
pemerintah pusat dapat terlihat dengan adanya fakta bahwa pemerintah daerah masih mengharapkan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Hal ini dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap penyelenggaraan pemerintahan sehingga pelayan publik yang dilakukan pemerintah daerah tidak dapat berjalan dengan maksimal karena belanja aparaturnya belum dapat dibiayai oleh daerahnya sendiri. Hal ini menimbulkan wacana di pemerintah daerah mengenai pengelolaan keuangan yang baik melalui terciptanya good governance. Penelitian yang mengungkapkan bahwa dengan tercapainya good governance maka akan meningkatkan kinerja pemerintah daerah (Sumarjo, 2010). Peningkatan PAD sebenarnya merupakan akses dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang positif akan mendorong investasi yang juga mendorong peningkatan perbaikan infrastruktur
daerah.
Peningkatan
infrastruktur
daerah
diharapkan
akan
meningkatkan kualitas pelayanan publik yang mencerminkan kinerja pemerintah daerah (Marfiana, 2013). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 167 ayat 1 menyatakan bahwa belanja daerah digunakan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan urusan wajib dan pelayanan lain di bidang pendidikan, kesehatan, penyediaan fasilitas sosial, fasilitas umum, dan pengembangan sistem jaminan sosial. Status daerah mempengaruhi kelengkapan pengungkapan dikarenakan adanya perbedaan karakteristik masyarakat dan struktur pendapatan yang dapat berimplikasi pada kontrol sosial pada penduduk
7
kota cenderung lebih kuat, sehingga pemerintah daerah yang berstatus kota akan cenderung mematuhi standar akuntansi (Abdullah, 2006). Terkait dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan variabel hasil audit BPK RI dikaitkan dengan kinerja dilakukan oleh Mustikarini dan Fitriasasi (2012) yang menunjukkan bahwa temuan audit berpengaruh negatif terhadap skor kinerja Pemda Kabupaten/Kota dengan menggunakan data tahun 2007, hasil serupa juga ditunjukkan oleh Sudarsana (2013) dengan menggunakan data tahun 2010 dan penelitian yang dilakukan oleh Nurdin (2014) juga menunjukkan bahwa temuan audit berpengaruh negatif tehadap skor kinerja Pemda Kabupaten/Kota dengan menggunakan tahun 2012. Penelitian ini menggunakan data tahun 2013, karena dengan menggunakan data tahun terkini diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan untuk kondisi saat ini tentang kinerja pemerintah daerah. Motivasi penelitian ini adalah untuk mengembangkan penelitian Nurdin (2014) yang menggunakan karakteristik pemerintah daerah (tingkat kekayaan pemerintah daerah, tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat, belanja daerah) dan temuan audit terhadap akuntabilitas kinerja pemerintah daerah, dalam penelitian ini peneliti menambahkan variabel status daerah, sehingga apakah variabel status daerah berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.
1.2
Rumusan Masalah Berdasakan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari penelitian
ini adalah:
8
1) Apakah kemakmuran pemerintah daerah berpengaruh pada kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia? 2) Apakah status daerah berpengaruh pada kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Indonesia? 3) Apakah tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat berpengaruh pada kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia? 4) Apakah belanja modal daerah berpengaruh pada kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia? 5) Apakah opini audit berpengaruh pada kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai
berikut: 1) Untuk mengetahui pengaruh kemakmuran pemerintah daerah pada kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia. 2) Untuk mengetahui pengaruh status daerah pada kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Indonesia 3) Untuk mengetahui pengaruh tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat pada kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia. 4) Untuk mengetahui pengaruh belanja modal daerah pada kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia.
9
5) Untuk mengetahui pengaruh opini audit pada kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia.
1.4
Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ybang dilakukan diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi berbagai pihak, antara lain: 1) Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan
tambahan informasi serta
sumbangan studi empiris untuk peneliti selanjutnya yng membahas mengenai pengaruh karakteristik pemerintah daerah dan opini audit pada kinerja keuangan pemerintah daerah. 2) Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi kinerja keuangan pemerintah daerah.
1.5
Sistematika Penulisan
Bab I
Pendahuluan Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian Pustaka dan Rumusan Hipotesis Bab ini menguraikan tentang landasan teori, konsep-konsep yang digunakan, dan hasil penelitian sebelumnya yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian.
10
Bab III Metode Penelitian Bab ini menguraikan tentang desain penelitian, lokasi atau ruang lingkup wilayah penelitian, obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel, dan metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, serta teknik analisis data. Bab IV Pembahasan Hasil Penelitian Bab ini menguraikan tentang beberapa materi seperti gambaran umum atau lokasi penelitian, maupun deskripsi dari masing-masing variabel penelitian.
Bab V Simpulan dan Saran Bab ini menyajikan simpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan sesuai dengan tujuan penelitian serta saran-saran.
11