BAB I Memahami Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta “What is The City but The People?” (Shakespeare)
A. Latar Belakang Studi ini dilakukan untuk memahami bagaimana karakter patronase yang menguasai Alun-Alun Kidul Yogyakarta. Penelitian ini penting untuk dilakukan, sebab, studi mengenai karakter patronase yang terintegrasi ke dalam tata nilai kultural, dipengaruhi oleh kekuasaan kraton, serta pengaruhnya dalam ikut menumbuh-kembangkan rezim lokal masih terbatas. Dari sisi politik, kajian patronase hingga kini banyak dilakukan dari sisi elektoral dan sosiologis. Implikasinya adalah, kajian yang dilahirkan di setiap lokus penelitian masih terbatas pada dua topik utama: apakah patronase telah terjadi dan bagaimana ia terjadi. Terjadinya patronase bukan sekedar pemahaman yang dikembangkan dari relasi saling bergantung antara patron dan klien. Dari sisi elektoral, kajian patronase diawali oleh tulisan Lewis Namier yang menjelaskan bahwa Partai Whig dan Partai Tory (kini dikenal sebagai Partai Liberal dan Partai Konservatif) meraih suara bukan dari ideologi dan program, melainkan dari relasi patron-klien antara elit dan massa partai.1 Kajian ini membuka pintu kajian politik yang meniscayakan relasi erat antara elit dan massa untuk kepentingan-kepentingan elektoral di masa-masa mendatang.
1
Hal yang sama juga ditulis oleh Pahrudin. Selain itu, Musafir juga menulis, dalam Musafir Pababbari, 2010, Patronase Agama dalam Kehidupan Politik Lokal (Melemahnya Nilai-Nilai Tradisional Agama Masyarakat), disampaikan dalam Annual Conferenceon Islamic Studies (ACIS) ke 10 di Banjarmasin. Selain itu, salah satu studi patronase yang cukup menarik yang membahas terjadinya patronase dalam politik elektoral dapat dibaca pada buku karya Herbert Kitschelt dan Steven I. Wilkinson, Patrons, Clients, and Policies, Cambridge.
Dari sisi sosiologis; beberapa karya seperti kajian Burke2, Putra3, Wolf4, Jackson5, Scott6, Pelras7, begitu berlimpah dalam membantu memahami relasi patronase yang terjadi. Ciri penting kajian patronase dari sisi sosiologis terletak pada cara memahami relasi patron-klien sebagai sebuah fenomena sosial yang didasarkan pada ketidaksetaraan posisi antara patron dan klien. Ketidaksetaraan posisi ini dalam konteks kapasitas penguasaan atas sumber daya kemakmuran, baik berupa barang maupun jasa. Oleh sebab itu, relasi ini mensyaratkan adanya kesadaran terhadap posisi masing-masing; patron sebagai pengayom/pemberi dan klien sebagai loyalis. Dengan demikian, apa yang diberikan patron pada klien dan apa yang dipersembahkan klien kepada patron, menjadi bernilai karena asas kemanfaatan sumber daya yang dipertukarkan tersebut. Jika ditelaah lebih dalam, relasi patronase tidak hanya terjadi karena relasi antara patron dan klien saja. Ada satu pra-kondisi khas sebagai ladang yang menumbuh-suburkan relasi patronase, yakni, struktur sosial yang kental dengan tata nilai kultural-feodalistik. Kondisi ini menyebabkan relasi patronase bukan sekedar pertukaran sumber daya, tetapi juga persoalan kondisi sosio-kultural yang begitu feodalistik. Oleh sebab itu, dibutuhkan kajian mendalam untuk mengembangkan studi patronase yang terintegrasi ke dalam tata nilai kultural feodalistik; dengan mengurai relasi kuasa yang terbentuk di tiap struktur sosial. Pada akhirnya, diharapkan dapat menjelaskan karakter patronase lokal serta memahami mengapa dan bagaimana patron utama dapat memiliki pengaruh yang kuat secara politik, sosial, budaya, dan ekonomi.
2
Peter Burke, 2001, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Heddy Shri Ahimsa Putra, 1988, Minawang, Hubungan Patron-Client di Sulawesi Selatan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 4 Erick R. Wolf, 1983, Petani, Suatu Tinjauan Antropologis, Jakarta: CV. Rajawali. 5 Karl D. Jackson, 1981, Urbanisasi dan Pertumbuhan Hubungan Patron-Klien: Perubahan Kualitas Komunikasi Interpersonal di Sekitar Bandung dan Desa-Desa di Jawa Barat, Jakarta: Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia. 6 James C. Scott, 1972, ‘Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia’, dalam Friends, Followers, and Factions A Reader in Political Clientalism, Steffen W. Schmidt (Ed.), Berkeley: University of California Press. 7 Christian Pelras, 2009, ‘Hubungan Patron Klien pada Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan’ dalam Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan, Roger Tol dkk (Ed.), Makassar-Jakarta: Ininnawa-KITLV Jakarta 3
Saat ini, Alun-Alun Kidul semakin terbuka bagi khalayak dan menjadi salah satu destinasi wisata di Yogyakarta. Alun-Alun Kidul dengan selaksa ciri khas arsitektur dan mitos yang mengelilinginya, melahirkan daya tarik tersendiri. Implikasinya adalah, ada banyak aktor dan paguyuban pedagang yang berkepentingan untuk mengambil “berkah” di sini, seiring dengan makin ramainya orang yang mengunjunginya. Fenomena ini menyebabkan Alun-Alun Kidul macet dan penuh sesak akibat keramaian yang tak juga terurai. Dengan keramaian seperti ini, Alun-Alun Kidul seringkali dianggap sebagai ruang terbuka tanpa penguasa yang bisa dimanfaatkan oleh siapapun, kapanpun, dan dengan cara apapun. Jika kita menyeksamai, Alun-Alun Kidul bukanlah ruang terbuka tanpa penguasa. Ia merupakan wilayah kraton dan termasuk bagian jero benteng. Dalam konteks ini, Alun-Alun Kidul dikuasai, diawasi, dan dikelola oleh kraton. Penguasaan
Alun-Alun
mengkerangkai
kajian
Kidul ini
oleh
tentang
kraton
menjadi
bagaimana
titik
struktur
pijak
dalam
kuasa
dalam
pengelolaannya. Pengaruh kraton terhadap pengelolaan Alun-Alun Kidul begitu kuat. Kraton bahkan menjadi patron utama, sebab di wilayah kraton inilah, para pencari berkah mencari rezeki. Maka di titik ini, penelitian tentang karakter patronase diletakkan untuk menjelaskan bahwa patronase yang terjadi berkelindan dengan setting budaya feodalistik yang melingkupi Alun-Alun Kidul. Kendati sebagai ruang yang dikuasai kraton, Alun-Alun Kidul menjadi ruang yang terbuka untuk dinikmati dan diakses oleh siapapun. Bahkan AlunAlun Kidul menjadi salah satu tujuan wisata favorit yang menawarkan diri sebagai ruang relaksasi dan menyediakan beragam sarana untuk bersantai dan bersenang-senang. Salah satu yang ditawarkan adalah permainan tradisional yang masyhur dan sarat dengan mitos yang berkembang secara turun-temurun dalam masyarakat tradisional Kota Yogyakarta. Dari sisi filosofi, permainan ini pun hendak menjelaskan, betapa Alun-Alun Kidul merupakan ruang yang penting dan sakral bagi kraton Yogyakarta. Permainan yang legendaris tersebut bernama masangin yang berarti masuk dua beringin. Cara permainan itu cukup mudah, yakni menutup kedua mata dan
berjalan lurus sekitar 20 meter ke arah selatan di antara dua beringin kembar. Konon, jika dapat berjalan lurus di antara dua beringin, segala cita akan tercapai. Banyak yang meyakini, hanya orang dengan hati bersih dan ikhlas yang dapat masuk dan berjalan lurus di antara dua beringin kembar bernama supit urang tersebut. Penulis pernah mencoba melakukan masangin. Di percobaan yang kedua, penulis berhasil berjalan lurus dan melewati dua beringin tanpa berbelok arah. Setelah melepaskan kain penutup mata yang disewa seharga lima ribu rupiah, ucapan selamat disertai jabat tangan datang dari pemilik penutup mata untuk masangin. Sungguh dramatis. Namun, permainan masangin hanyalah salah satu daya tarik yang ada di Alun-Alun Kidul Yogyakarta. Halaman belakang kraton Yogyakarta sebagai tempat latihan para prajurit kraton dahulu, kini menawarkan berbagai hiburan dan menjadi salah satu tujuan wisata di Yogyakarta. Saat pagi dan sore hari, banyak orang yang menjadikannya sebagai lokasi olahraga. Siang hari, banyak yang sekedar melepas lelah di bawah pohon di sekitarnya. Menjelang senja, para pedagang kaki lima mulai mendirikan tenda-tenda kecil untuk menjajakan makanan di lapak kecilnya. Para pedagang makanan lesehan juga menggelar tikar di rerumputan di tengah alun-alun Kidul maupun di trotoar yang mengelilinginya. Harapannya, agar orang-orang dapat bersantai dan menikmati makanan yang dijualnya, seperti jagung bakar, roti bakar, lalapan, wedang jahe, wedang ronde, wedang bajigur, dan sebagainya. Tatkala malam tiba, suasana di Alun-Alun Kidul semakin ramai. Odongodong, mobil kayuh-hias, becak hias, diberi lampu kelap-kelip agar tampak menarik. Hal ini tentu saja menarik minat banyak orang untuk mencobanya. Salah satu hal yang menarik minat untuk mencoba adalah kendaraan odong-odong yang memuat sebanyak enam orang. Banyak orang yang menyewa bersama rekanrekannya yang lalu mengayuh secara bersama-sama mengelilingi Alun-Alun Kidul sekitar tiga kali putaran. Hal penting yang perlu ditekankan di sini adalah, dari segala aktivitas untuk mencari berkah di Alun-Alun Kidul –dalam bentuk aktivitas bisnis apapun yang ada- tetap harus mendapat restu dari kraton. Ketaatan pada kepentingan kraton
menjadi norma yang harus diutamakan. Sebab, Alun-Alun Kidul tetaplah merupakan bagian dari kraton Yogyakarta. Oleh sebab itu, para pedagang berupaya menunjukkan loyalitas pada kraton sebagai balas budi atas kesediaan kraton membuka Alun-Alun Kidul untuk umum dan mencari berkah di dalamnya. Kraton menjadi patron yang dihormati dan ditaati kehendaknya. Dari sisi sosio-historis, diskusi mengenai Alun-Alun Kidul dengan pengaruh kraton yang cukup kuat, tidak dapat dilepaskan dari sejarah kelahiran Kota Yogyakarta. Sebagai kota tradisional, pengaturan tata ruang kota Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari tata nilai budaya Jawa. Banyak kajian yang menyebutkan adanya poros imajiner yang menjadi sumbu utama tata ruang Kota Yogyakarta. Namun, terdapat juga kajian yang menolak menggunakan istilah poros imajiner. Sumarwoto, misalnya, menggunakan istilah poros simbolikfilosofis sebagai embrio perkembangan Kota Yogyakarta. Baginya, poros simbolik-filosofis Selatan-Utara telah terbukti dalam risetnya berupa garis lurus dari arah Selatan menuju Utara yang menghubungkan antara ParangkusumoPanggung-Krapyak-Kraton-Tugu-Gunung Merapi. Dengan mengikuti poros simbolik-filosofis inilah Kota Yogyakarta dibangun, kemudian berkembang ke arah Timur-Barat seiring dengan berkembangnya jaringan transportasi pada abad ke-19.8 Perkembangan kota Yogyakarta berawal pada tahun 1756 yang dilahirkan oleh Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi) dan merancangnya sebagai Kota Istana atau Kota Kraton. Pendirian kota dilakukan dengan berpedoman pada kerangka filosofi Jawa dengan cara “babad alas” atau membuka hutan. Kemudian, pembangunan kota dilanjutkan dengan membangun istana di atas lahan terbuka tersebut sebagai kota pusat pemerintahan kerajaan sekaligus sebagai pusat permukiman warga kota kerajaan di sekitarnya.9 Setelah membangun kraton beserta dua buah alun-alun di bagian Selatan dan Utara kraton, Sri Sultan juga membangun tembok benteng yang mengelilingi 8
Djoko Suryo, 2005, Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990 dalam Kota Lama Kota Baru Sejarah Kota-Kota di Indonesia, Freek Colombijn dkk (Ed), Yogyakarta: Ombak, hlm. 33-34. 9 Ibid.
istana, bangunan Taman Sari, dan sebuah Tugu yang berjarak sekitar 2,5 km ke arah Utara dari pusat kraton.10 Tembok benteng itulah yang menjadi penanda dua daerah tradisional utama Kota Yogyakarta: jero benteng dan jaba benteng. Hal ini dilakukan untuk memperkuat legitimasi tradisional yang ditopang oleh struktur nilai dari budaya Jawa yang kuat. Sistem birokrasi kraton dan pemerintahan daerah di wilayah kekuasaannya pun dibentuk dengan sentralistik dengan menempatkan pejabat birokrasi sebagai sosok yang memiliki status sosial yang tinggi.11 Daerah jero benteng meliputi Alun-Alun Utara, Tratag, Pagelaran, Sitihinggil, Prabayaksa, Kraton Kilen, tempat tinggal raja, dan Alun-Alun Kidul. Selain itu juga terdapat kampung para abdi dalem yang bertugas melayani kraton dalam kesehariannya. Sedangkan daerah jaba benteng meliputi tepat tinggal hamba sahaya istana yang lain termasuk kelompok-kelompok profesional lainnya seperti petugas dalam bidang administrasi pemerintahan, prajurit, tukang, pengrajin, dan juga tempat tinggal para bangsawan yang lain.12 Refleksi dari tata ruang ini adalah: sebagai kota tradisional, pembangunan tata ruang Kota Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan dan pengaruh kraton yang sarat dengan tata nilai tradisi Jawa. Alun-Alun Kidul sendiri dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura serta dikelilingi oleh permukiman-permukiman penduduk yang dahulu digunakan sebagai tempat tinggal abdi dalem. Seperti kampung Kemitbumen yang menjadi tempat tinggal abdi dalem kemit bumi yang bertugas sebagai pembersih kraton, kampung Siliran sebagai tempat tinggal abdi dalem Silir, yaitu abdi dalem
10
Ibid. Fenomena ini memiliki implikasi sosial yang cukup luas. Salah satunya adalah meluasnya definisi priyayi. Kelompok priyayi tidak lagi meliputi kerabat kraton, tetapi juga dapat mencakup orang biasa yang menjadi birokrat. Setelah menjadi birokrat, banyak yang berusaha emmpriyayikan diri melalui statusnya sebagai birokrat. Teritama bagi mereka yang juga menjadi kerabat kraton dan mendapat gelar seperti KRT, dan sebagainya. diskusi mengenai struktur birokrasi kraton dari masa ke masa serta fenomena birokrasi yang berpriyayi akibat pengaruh kuat dari kraton dan tata nilai budaya Jawa, dapat dibaya karya Erisandi Arditama, 2013, Mereformasi Birokrasi dari Perspektif Sosio-Kultural: Inspirasi dari Kota Yogyakarta, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 17 No.1 Edisi Juli, hlm. 85 s.d. 100. 12 Ibid. 11
yang bertugas mengurusi lampu penerangan kraton, dan sebagainya.13 Di AlunAlun Kidul juga terdapat dua pohon beringin besar yang melegenda: Supit Urang terletak di tengah Alun-Alun Kidul dan sepasang lagi bernama Wok yang terletak di sisi kanan-kiri gapura di bagian Selatan. Dari tata ruang yang melingkupi Alun-Alun Kidul, nuansa jero benteng begitu terasa. Alun-Alun Kidul menjadi salah satu wilayah yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah kraton sebagai pusat kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono I setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755 M. Sesuai dengan namanya, lokasi Alun-Alun Kidul terletak di Selatan atau di belakang kraton. Oleh sebab itu, Alun-Alun Kidul juga dikenal dengan nama Pangkeran sebagai bentuk kata krama inggil bahasa Jawa yang bermakna “belakang”. Jika ditelisik dari sisi tata ruang kota tradisional, terdapat kajian menarik yang ditulis oleh Santoso. Dalam tulisannya, dia menegaskan bahwa, kota-kota di Indonesia -terutama kota tradisional- tidak mengenal ruang publik. Baginya, dalam masyarakat tradisional, setiap ruang memiliki penguasa sendiri dan setiap orang baik secara individual maupun kelompok selalu berusaha menguasai kota seluas mungkin. Di titik inilah, kontestasi memperebutkan ruang selalu terjadi dalam masyarakat dan kota tradisional.14 Saling klaim wilayah menjadi fenomena yang seringkali terjadi. Oleh sebab itu, diskusi tentang aktor dan cara pengelolaan Alun-Alun Kidul di Kota Yogyakarta menarik untuk dilakukan. Sebab, diskusi ini juga untuk meluruskan mindset publik yang menganggap Alun-Alun Kidul sebagai ruang terbuka yang tanpa penguasa. Padahal, dari sisi sosio-historis dan space, daerah yang terletak di daerah jero benteng ini mutlak berada di bawah kekuasaan kraton. Implikasinya, karakter patronase dalam mengelola Alun-Alun Kidul dalam struktur sosial feodalistik tidak terelakkan. Melalui restu kraton, semua aktivitas bisnis di dalamnya dapat dilakukan, atau bahkan harus ditiadakan. Setelah restu 13
Untuk mendiskusikan secara lebih cermat mengenai permukiman yang ada di daerah jero banteng maupun di daerah jaba banteng serta sejarah perkembangan Kota Yogyakarta dan kotakota lain di Indonesia, dapat dibaca tulisan Djoko Suryo, 2005, Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990 dalam Freek Colombijn dkk (Ed), 2005, Kota Lama Kota Baru Sejarah Kota-Kota di Indonesia, Yogyakarta: Ombak, hlm. 30-43. 14 Jo Santoso, 2006, (Menyiasati) Kota tanpa Warga, Jakarta: KPG dan Centropolis, hlm. 84-85.
didapat, pengaturan operasional baru dapat dilakukan oleh paguyuban-paguyuban pedagang, seperti tata ruang dan tarif jasa. Pengaturan tata ruang misalnya, disepakati bahwa, wisata kuliner diletakkan di sayap barat dan timur. Pada malam hari boleh digelar lesehan di rerumputan. Untuk tarif jasa, menyewa odong-odong misalnya, dibutuhkan dana sekitar tiga puluh ribu rupiah untuk sekitar tiga kali putaran mengelilingi Alun-Alun Kidul. Membeli makanan di lapak pedagang maupun di lesehan, menyewa kain untuk permainan masangin, membeli air sabun agar dapat meniupnya menjadi gelembung-gelembung sabun di udara, bahkan untuk parkir kendaraan, merupakan ranah operasional yang disepakati bersama di antara paguyuban yang ada. Dengan demikian, perlu ditegaskan lagi, bahwa Alun-Alun bukanlah ruang terbuka yang tanpa penguasa. Alun-Alun Kidul merupakan bagian dari jero benteng. Struktur sosial di Alun-Alun Kidul tidak dibentuk dari gagasan yang menghendaki persamaan posisi. Sebaliknya, pondasi utama struktur sosial justru dibangun dari secara feodalistik dalam tata nilai budaya Jawa. Kondisi sosial makin kuat sebab pada tataran akar rumput, tidak semua pedagang adalah pemilik kios, tukang parkir adalah satu-satunya pemilik wilayah parkir, dan penjaga transportasi hias (sepeda hias dan odong-odong) sebagai pemiliknya. Sebaliknya, banyak di antara mereka adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pemilik sumber daya ekonomi. Para pemilik sumber daya menggunakan mereka dalam relasi bisnis yang saling menguntungkan. Pemilik sumber daya meraih keuntungan; sebaliknya para pekerja mendapatkan kesejahteraan berupa upah, ruang untuk melakukan bisnis, serta keamanan wilayah dari pemilik sumber daya. Mereka yang dikuasai membutuhkan perlindungan dan kesejahteraan dari yang berkuasa. Sebaliknya, mereka yang berkuasa membutuhkan loyalitas para pekerja di tengah persaingan sengit dengan pemilik sumber daya yang lain.15
15
Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: Universitas Indonesia Press, hlm. 161.
Dari sinilah relasi hierarki sosial yang khas berawal, sebagai relasi sosial yang menarik, antara elit sosial yang menguasai sumber daya ekonomi16 dengan individu yang bekerja padanya. Relasi ini memiliki karakter yang khas: relasi yang saling bergantung di antara aktor yang terlibat di dalamnya. Banyak ilmuwan sosial yang menjelaskan relasi ini, termasuk Pelras, sebagai patronase: suatu relasi di mana para patron dianggap sebagai pamong dan pelindung sehingga memberikan rasa nyaman dan aman bagi para klien. Relasi ini membentuk relasi sosial di dalam struktur sosial yang terintegrasi ke dalam tata nilai kultural, yang mendikotomikan dua kelas sosial: kelas yang menguasai (patron) dan kelas yang dikuasai (klien). Pada titik ini, struktur sosial dibangun dari lapis-lapis kekuasaan patronase yang lebih kecil hingga nantinya membentuk struktur sosial yang lebih besar dan kompleks. Dengan demikian, struktur keteraturan di Alun-Alun Kidul pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial terkecil dan mendasar; yakni relasi antara pemilik sumber daya dan para pekerjanya. Setting budaya feodalistik pun menghendaki terawatnya praktek patronase di dalam ruang terbuka, walaupun ia merupakan ruang yang dikuasai kraton. Oleh sebab itu, dari relasi sosial yang terbangun di antara patron dan klien di dalam setting budaya feodalistik, akan membentuk relasi sosial yang lebih besar dan kompleks. Relasi ini menghendaki terawatnya relasi patronase yang saling menguntungkan dengan melibatkan ragam aktor yang lebih kompleks pula. Maka, rezim lokal lahir dari kondisi seperti ini; sebagai persinggungan antara relasi patronase dengan setting budaya feodalistik. Fenomena ini menyebabkan Alun-Alun Kidul menjadi ruang para patron (dengan ragam kapasitas pengaruh yang dimilikinya) untuk menanamkan kuasanya. Studi ini mencoba mendalami praktek patronase yang terjadi di tiap lapis struktur sosial sehingga berimplikasi pada terbentuknya sebuah rezim lokal dengan lapis-lapis kekuasaan yang beragam. Studi ini dilakukan untuk memahaminya, sehingga dapat menjelaskan bagaimana karakter patronase yang 16
Christian Pelras, 2009, Hubungan Patron Klien pada Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan dalam Kuasa dan Usaha di masyarakat Sulawesi Selatan, Roger Tol dkk (Ed), Makassar-Jakarta: Ininnawa-KITLV Jakarta.
khas di tingkat lokal, yakni karakter patronase yang menguasai Alun-Alun Kidul di Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Untuk memahami karakter patronase yang terjadi, maka penelitian ini akan meneliti Alun-Alun Kidul Yogyakarta sebagai lokus penelitian. Oleh sebab itu, rumusan masalah yang diajukan adalah: bagaimana karakter patronase yang menguasai Alun-Alun Kidul Yogyakarta? Tujuan dari penelitian ini adalah; pertama, untuk memahami bagaimana cara patron menguasai sumber daya, berrelasi, dan menanamkan pengaruhnya dengan mengurai relasi kuasa di tiap lapis-lapis kekuasan. Kedua, untuk menjelaskan bagaimana karakter patronase yang terjadi dapat melahirkan rezim lokal
yang
meniscayakan
para
patron
menanamkan
pengaruhnya
dan
menghendaki terawatnya praktek patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta.
C. Kerangka Teori Di dalam sub bab ini, kerangka teori digunakan untuk menemu-kenali permasalahan penelitian, untuk meraba bayangan data yang diperlukan, serta untuk membimbing bagaimana menarasikan hasil temuan dan membangun argumentasi penelitian. Menggunakan teori di dalam penelitian juga untuk membantu menjelaskan fokus penelitian agar dapat memberikan jawaban yang tepat, berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang diajukan. Ide pokok dari sub bab ini akan mendiskusikan mengenai konsep patronase untuk membangun argumentasi dalam menjelaskan bagaimana karakter patronase terjadi di Alun-Alun Kidul. Kajian patronase digunakan sebagai pisau utama untuk menjelaskan bagaimana karakter patronase di Alun-Alun Kidul di Yogyakarta. Hal ini penting untuk mengurai relasi kuasa yang ada di tiap lapislapis kekuasaan para patron. Dengan memahami studi patronase, diharapkan dapat memudahkan penelitian ini dalam menjelaskan karakter patronase dan merumuskan model patronase yang terjadi di Alun-Alun Kidul Yogyakarta
C.1. Relasi Patronase; Cara Patron Melestarikan Kuasa Banyak kajian yang telah mendiskusikan konsep patronase, baik dari sisi elektoral maupun sisi sosio-kultural. Kajian patronase terkini yang dilakukan oleh beberapa akademisi dengan editor Aspinall dan Sukmajati telah menjelaskan bahwa patronase masih terjadi dalam dinamika politik elektoral lokal di tingkat akar rumput melalui politik uang dan pemberian sumber daya.17 Di dalam karya tersebut, argumentasi Shefter digunakan untuk mengkerangkai definisi patronase yang dipahami sebagai ‘sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau pegiat kampanye, dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari mereka’.18 Gagasan tersebut sekaligus menjadi pembeda antara konsep patronase dan klientelisme. Patronase lebih menekankan pada materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau pendukung, sedangkan klientelisme merupakan karakter relasi antara politisi dan pemilih atau pendukung.19 Karya tersebut juga mendiskusikan ragam bentuk patronase yang bervariasi selama pemilu legislatif 2014 silam, seperti pembelian suara, pemberian-pemberian pribadi, pelayanan dan aktivitas, barang-barang kelompok, serta proyek-proyek gentong babi.20 Pertukaran sumber daya tersebut dilakukan untuk mendapatkan dukungan politik dari pemilih. Namun, tidak setiap praktek patronase juga bersifat klientelistik. Kandidat yang memberikan sumber daya baik berupa barang maupun jasa kepada pemilih yang tidak pernah ditemui oleh sang kandidat atau tidak akan ditemui lagi tidak dapat dipahami sebagai klientelisme. Sebab, karakter lain yang melekat pada relasi klientelistik adalah adanya relasi berulang
17
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati (Ed.), 2015, Politik Uang di Indonesia Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, Yogyakarta: Penerbit PolGov. 18 Ibid., hlm. 3. 19 Ibid., hlm. 4. 20 Ibid., hlm. 24 s.d. 33.
(iterative) dan bukan relasi tunggal (one-off).21 Oleh sebab itu, bagi kajian tersebut, relasi pertukaran sumber daya yang saling menguntungkan dapat menjadi relasi patronase, namun tidak semua relasi patronase memiliki karakter relasi klientelistik. Argumentasi ini menjadi menarik di tengah perdebatan teoritik antara pendukung gagasan yang menyamakan antara patronase dan klientelisme dengan para sarjana yang membedakan konsep keduanya.22 Secara konseptual, praktek patronase meniscayakan adanya aktor kuat yang memiliki kapasitas untuk mempengaruhi aktor yang lain. Aktor kuat ini dalam konteks kuasa dipahami sebagai individu yang menguasai sumber daya sehingga menjadikannya sebagai elit dan menjadi bagian kecil dari kelompok yang memerintah di dalam struktur sosio-kultural tertentu23. Dalam perkembangannya, relasi elit dengan non elit yang didasarkan pada hubungan sukarela tanpa paksaan, akan melahirkan relasi yang khas. Relasi tersebut dibangun dari perbedaan kapasitas penguasaan sumber daya sehingga menghasilkan relasi saling ketergantungan: elit membutuhkan non elit untuk membantu elit menjaga sumber daya. Sedangkan non elit membutuhkan perlindungan dan kesejahteraan dari elit. Berawal dari relasi yang khas inilah, kajian mengenai praktek patronase lahir. Secara historis, istilah patron-klien diyakini berasal dari bahasa Romawi kuno sebagai suatu model relasi sosial di zaman itu. Seorang patronus adalah bangsawan yang memiliki sejumlah warga dari tingkat rendah yang disebut clientes dan di bawah perlindungan patronus. Para clientes adalah orang merdeka namun tidak sepenuhnya bebas24. Hubungan patronase bersifat sukarela dan dapat diakhiri kapan saja, sebab, seorang
21
Ibid., hlm. 5. Ibid., hlm. 3. 23 Lihat teorisasi mengenai elit yang digagas oleh Pareto dan Mosca, misalnya di dalam karya SP Varma, 2003, Teori Politik Modern, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Juga lihat karya Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit Suatu Bahasan Pengantar, Yogyakarta: PLOD-JPP UGM. 24 Christian Pelras, 2009, Hubungan Patron Klien pada Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan dalam Kuasa dan Usaha di masyarakat Sulawesi Selatan, Roger Tol dkk (Ed), Makassar-Jakarta: Ininnawa-KITLV Jakarta, hlm. 21. 22
tuan dapat memutuskan hubungan dengan pengikut jika dianggap tidak patuh. Sebaliknya, seorang pengikut dapat pindah kepada tuan lain jika sang tuan dianggap tidak lagi dapat memberikan perlindungan25. Dari sisi sosiologis, relasi yang bersifat sukarela di dalam patronase sekaligus menjadi kekhasan yang membedakan dengan relasi sosial yang lain. Relasi patronase tidak menghendaki adanya paksaan (coercion) dalam membangun relasi personal. Ia juga tidak dilahirkan dari hubungan yang diakibatkan karena kewenangan formal. Sebaliknya, relasi patronase bersifat sukarela dan memiliki kesadaran diri penuh. Maka, di dalam patronase, daya sadar personal untuk menyadari posisi masing-masing begitu penting, yakni kewajiban menjadi pengayom bagi patron serta kewajiban menjaga loyalitas bagi klien merupakan hal terpenting di dalam patronase.26 Implikasi dari norma sosial yang menghendaki adanya relasi timbal balik yang saling menguntungkan adalah lahirnya relasi yang tidak setara atau tidak simetris. Relasi tidak setara ini menempatkan patron pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan posisi klien. Patron dapat memerintah klien dan klien harus menunjukkan kepatuhannya.27 Kewajiban klien untuk tunduk-patuh kepada patron akan terus berlangsung hingga hubungan tidak setara ini berakhir –ditandai dengan sang klien berpindah patron atau sang klien mampu menjadi patron yang baru. Pada kondisi seperti ini, relasi patronase dapat terputus dan berakhir. Bagi Chabot, cara untuk memperoleh pengikut dan menjadi patron dapat terjadi melalui 2 cara. Pertama, melalui warisan. Para pengikut seorang patron, ketika patron tersebut meninggal, dapat mengalihkan loyalitasnya kepada salah seorang anaknya, namun tidak secara otomatis. Kedua, dengan membangun hubungan patronase yang baru melalui status, jabatan, sumber daya, dan kepribadian. Penjelasannya: semakin tinggi 25
Ibid., hlm. 25. James C. Scott, 1972, ‘Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia’, dalam Friends, Followers, and Factions A Reader in Political Clientalism, Steffen W. Schmidt (Ed.), Berkeley: University of California Press, hlm. 94. 27 Erick R. Wolf, 1983, Petani, Suatu Tinjauan Antropologis, Jakarta: CV. Rajawali, hlm. 152153. 26
jabatan seseorang, semakin besar peluang mendapatkan pengikut. Apalagi seorang patron yang baru memiliki kualitas kepribadian yang baik: pemberani, dermawan, dan dapat memberikan pelindungan kepada pengikut.28 Pada titik ini, patronase dipahami sebagai relasi timbal balik antara patron dan klien. Relasi ini mensyaratkan hubungan saling bergantung yang dibentuk dengan pertukaran sumber daya. Dengan begitu, secara mendasar, relasi patronase dikunci oleh aktivitas pertukaran sumber daya, baik berupa barang ataupun jasa. Legg menggarisbawahi hal ini, bahwa sumber daya yang dipertukarkan merupakan sumber daya yang memiliki kemanfaatan bagi masing-masing pihak. Dalam konteks ini, kemanfaatan sumber daya yang dipertukarkan bersifat subyektif sebab kebutuhan antara patron dan klien berbeda. Namun, sumber daya yang dipertukarkan tersebut tetap harus memiliki nilai yang sama karena sama-sama dibutuhkan; semakin dibutuhkan maka sumber daya tersebut akan semakin bernilai.29 Untuk memahami patronase secara lebih mendalam, Eisenstadt menjelaskan ada delapan karakteristik patronase: pertama, hubungan patron-klien bersifat partikular dan tersebar secara sporadis; kedua, interaksi didasarkan pada pertukaran berbagai jenis sumber daya, bersifat instrumental, politis, dan ekonomis; ketiga, ada nuansa ketidakbersyaratan dan kewajiban jangka panjang antara kedua belah pihak; keempat, ada solidaritas yang kuat antara patron dan klien; kelima, relasi patron dan klien tidak selalu legal dan kontraktual; keenam, relasi bersifat sukarela dan kedua belah pihak dapat keluar dari hubungan sukarela tersebut; ketujuh, relasi patron dan klien berlangsung antara kelompok-kelompok korporatis yang terorganisir; dan kedelapan, relasi patron dan klien didasarkan atas
28 29
Ibid., hlm. 27. Keith Legg, 1984, Tuan, Hamba, dan Politik, Jakarta: Sinar Harapan, hlm. 10-12.
ketidaksamaan dan perbedaan akses terhadap kekuasaan ekonomi dan politik.30 Oleh sebab itu, karakter patronase terletak pada relasi yang saling tergantung antara patron dan klien. Patron memberikan perlindungan dan kecukupan materi bagi klien yang bekerja ataupun mengabdi pada patron. Sebaliknya, klien tersebut seharusnya bersikap loyal dan patuh pada tuannya sebagai bentuk balas jasa dan pengabdian. Dengan relasi inilah, individu yang dikuasai membutuhkan perlindungan, keamanan, dan kesejahteraan dari yang berkuasa. Sebaliknya, individu yang berkuasa membutuhkan dukungan para klien yang mengabdi dalam menghadapi kontestasi dengan patron yang lain.31 Patron harus dapat memberikan rasa aman dan perlindungan sedangkan sang klien berkewajiban menunjukkan kesetiaan dan pengabdiannya pada sang patron. Ada rasa ngemong yang harus diberikan oleh patron sehingga klien merasakan perlindungan dari patron. Dalam karyanya, Jalong menjelaskan bahwa, menurut Eisenstadt, salah satu karakteristik patronase adalah adanya pertukaran sumber daya yang khas dan dirumuskan sebagai model pertukaran yang digeneralisir. Pertukaran yang digeneralisir merupakan pelembagaan praktek patronase yang tidak sekedar bersifat pragmatis antara patron dan klien saja, melainkan juga mengenai praktek terintegrasinya patronase ke dalam setting budaya dan politik dalam masyarakat di mana praktek tersebut berlangsung. Kondisi ini memberikan penjelasan bahwa patronase dikunci oleh suatu tata nilai sebagai tatanan etis-moral tertentu. Hal ini menyebabkan seorang patron menjadi patron sebagai sesuatu yang alamiah dan dianggap sebagai bagian dari bekerjanya tata nilai tersebut. Begitu juga dengan adanya 30
Lihat karya Fransiskus Agustinus Jalong, Kairos dan Developmentalisme: Politik Wacana Patronase di Manggarai, Tesis S2 JPP UGM, hlm. 15. Mengenai pemikiran-pemikiran Eisenstadt yang lain dapat dibaca dalam karya-karyanya, seperti S.N. Eisenstadt dan Lemarchand R (ed), 1981, Political Clientilism, Patronage and Development, London: Sage Publication; S.N. Eisenstadt dan Louis Roniger, 1980, Patron-Client Relation as a Model of Structuring Social Exchange, Comparative Studies in Society and History, Vol.22, No.1; S.N. Eisendstadt, 1973, Traditional Patrimonialism and Modern Neo-Patrimonialism, California: Sage Publication 31 Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: Universitas Indonesia Press, hlm. 161.
fenomena ketidakmerataan kemakmuran, seorang klien menjadi klien juga dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan. Patronase, dalam tata nilai ini, justru dimaksudkan untuk mengatasi persoalan kemiskinan.32 Namun, menurut Eisenstadt, kajian klientelisme berbeda dengan kajian patronase. Klientelisme memadukan model pertukaran langsung individualistik dan model pertukaran yang digeneralisir. Sehingga, praktek patronase bersifat korporatis dan konkret dalam organisasi sosial dan politik. Dalam sudut pandang klientelisme, para klien memiliki ruang untuk memobilisasi vertikal sehingga relasi yang ada bersifat kompetitif sehingga patronase kehilangan pijakan: semakin bersifat kaku, formal, dan mengalami depersonalisasi. Klientelisme memandang patronase sebagai sebuah relasi yang dinamis, kompetitif, dan terbuka dengan tiga karakteristik utamanya, yaitu: ketidakmerataan ekonomi dan akses terhadap otoritas politik bukan lagi dipahami dari sisi kosmologi budaya; posisi hierarkis patron dan klien bukan sesuatu yang given sehingga dapat diperjuangkan dan saling berkontestasi; serta adanya peluang para klien untuk menjadi patron setelah dapat menguasai sumber daya ekonomi; tidak hanya dari jalur politik, melainkan juga dari cara yang lain. 33 Struktur kuasa di dalam rezim lokal yang terbentuk melalui praktek patronase menjelaskan bahwa kajian mengenai patronase bukan hanya tentang hubungan saling ketergantungan antara patron dan klien. Dalam konteks pengaturan ruang publik, relasi patronase yang ada telah membentuk sebuah rezim lokal untuk menjamin keberlangsungan penguasaan atas ruang publik itu sendiri. Pembentukan rezim lokal dilakukan oleh para patron dengan menguasai sumber daya ekonomi dan mengatur distribusi sumber daya ekonomi seperti yang disebut Migdal
32
Fransiskus Agustinus Jalong, 2011, Kairos dan Developmentalism: Politik Wacana Patronase di Manggarai, Tesis S2 JPP UGM, hlm. 15. 33 Ibid., hlm. 16. Penjelasan secara lebih mendalam dapat dibaca secara langsung karya Eisenstadt dan Louis Roniger, 1980, Patron-Client Relation as a Model of Structuring Social Exchange, Comparative Studies in Society and History, Vol.22, No.1, hlm. 61.
sebagai “strategic of survival”.34 Dengan cara inilah struktur norma dan mekanisme dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama di antara aktor lokal yang ada.
C.2. Patronase dalam Relasi Kuasa di Tingkat Lokal Studi mengenai mengenai politik lokal mencoba menjelaskan relasi kuasa di tingkat lokal, terutama mengenai praktek ekonomi politik lokal yang tidak dapat dilepaskan dari kajian mengenai informal actors sebagai tema besarnya. Ide pokok dari kajian informal actor adalah kekuatankekuatan bisnis yang berpadu dengan kekuasaan politik dilakukan oleh aktor-aktor informal untuk meraih keuntungan ekonomi dan politik. Di dalam tataran teoritik, setidaknya ada tiga kajian mendasar mengenai relasi kuasa antara bisnis dan politik dalam konteks penguasaan atas sumber daya lokal, yakni kajian local strongmen, bossism, dan shadow state. Studi mengenai local strongmen banyak dilakukan, seperti kajian di McVey di Thailand serta kajian yang dilakukan di Filipina dan dirintis oleh Migdal35. Bagi Migdal, orang kuat lokal ada disebabkan menguatnya society dan melemahnya negara. Di sisi lain, kajian mengenai Bossisme dirintis oleh Sidel.36 Ia menjelaskan bahwa para penguasa lokal (bos-bos) lokal telah melakukan praktek monopoli terhadap perekonomian lokal. Dinasti politik menjadi salah satu fenomena bossism, yang pada beberapa kasus justru difasilitasi kelahirannya oleh negara atau bahkan telah menjadi bagian dari negara. Praktek ekonomi informal yang membentuk negara bayangan atau negara di dalam negara ditawarkan oleh Barbara Harris-White. Dia 34
Bandiyah, 2008, Evolusi Jawara di Banten (Studi Evolusi dari Bandit Menjadi Pejabat), Tesis S2 PLOD UGM, hlm. 34. 35 Mengenai kajian local strongmen yang lain dapat dibaca dalam karya G. Shatkin, 2000, “Obstacles to Empowerment: Local Politics and Civil Society in Metropolitan Manila, the Philipinnes”, Urban Studies, Vol.37, No.12, 237-75, ProQuest5000 dan karya T.C.Rivera, 2002, “Transition Pathway and Democratic Consolidation in Post-Marcos Philipinnes”, Contemporary Southeast Asia, Vol.24, No.3, pp 466-83, ProQuest5000. 36 J.T. Sidel, 1999, “Capital, Coercion, and Crime: Bossisme in the Philippinnes”, Standford: Standford University Press.
menjelaskan temuannya mengenai
perilaku
informal
market
yang
mempengaruhi eksistensi praktek shadow state seperti pengaruh kuasa atas jaringan keluarga Jawara di Banten.37 Hal yang sama juga terdapat dalam kajian Bakti dalam meneliti pengaruh keluarga Wajo di Sulawesi Selatan.38 Kajian yang dilakukan oleh Erman tentang mafia timah di Bangka menemukan bahwa munculnya negara bayangan disebabkan oleh lemahnya kontrol negara formal terhadap kekuatan-kekuatan informal.39 Ketiga studi ini menjelaskan bahwa dinamika politik lokal selama ini banyak dikaji dari pendekatan aktor dalam kemampuannya menguasai sumber daya sekaligus kapasitasnya dalam mengatur pertukaran sumber daya dengan aktor yang lain. Namun, ketiga studi tersebut belum menjelaskan secara spesifik mengenai cara pertukaran sumber daya di antara aktor yang ada. Hal ini penting untuk memahami relasi kuasa yang terjadi untuk menjawab pertanyaan mendasar, seperti: siapa yang memiliki sumber daya yang kuat dan perlu mengatur pertukaran sumber daya dengan aktor lain yang lebih lemah; bagaimana praktek pertukaran sumber daya dilakukan sehingga menghasilkan pola relasi yang khas dan saling ketergantungan di antara aktor yang ada untuk menjaga stabilitas relasi tersebut; serta bagaimana setting sosio-kultural yang ada sehingga meniscayakan adanya praktek pertukaran sumber daya yang didasarkan pada perbedaan atas kepemilikan sumber daya. Ringkas kalimat: kajian mengenai cara pertukaran sumber daya untuk memahami relasi kuasa antar aktor lokal menjadi kajian penting untuk dilakukan. Dalam limitasi kajian mengenai politik lokal tersebut, studi patronase dalam konteks politik lokal membantu memahami dan mengurai relasi 37
Syarif Hidayat, 2009, Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (ed), dan Ireen Karang-Hoogenboom, Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 303. 38 Andi Faisal Bakti, 2009, Kekuasaan Keluarga di Wajo, Sulawesi Selatan dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (editor), dan Ireen Karang-Hoogenboom, Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 491. 39 Erwiza Erman, 2009, Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan Lokal: Studi Kasus Bangka dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (editor), dan Ireen Karang-Hoogenboom, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 265.
kuasa berbasis pertukaran sumber daya di antara aktor lokal. Di dalam telaah pustaka, banyak studi yang dilakukan untuk memahami patronase sebagai praktek pertukaran sumber daya akibat adanya ketidakmerataan kemakmuran di antara patron dan klien. Studi patronase dilakukan untuk mengurai relasi yang khas di dalam praktek patronase. Fransiskus Gustinus Jalong dalam tesisnya telah melakukan pelacakan studi patronase dengan begitu cermat. Dari ragam karya yang ada, setidaknya ada tiga pendekatan untuk memahami studi patronase, yakni dari pendekatan birokrasi dan partai politik, pendekatan sosiologis dari perspektif strukturalis-fungsionalis, serta pendekatan pertukaran langsung secara individualistik. Pendekatan dari sisi birokrasi dan partai politik dapat dibaca dalam karya Jonathan Hopkins, 2006, Clientelisme and Political Party, dalam Richard S Katz dan William Croty (ed) Handbook of Party Politics, London: Sage Publication; Wolfgang Muller, Party Patronage and Party Colonization of the state, dalam Richard S Katzdan William Croty (ed) Handbook of Party Politics, London: Sage Publication; Alex Weingrod, 1968, Patrons, Patronase, and Political Parties, Comparative Studies in Society and History, Vo.10, No.4., dan sebagainya. Studi patronase dari pendekatan yang kedua, dapat dibaca dalam karya Marcel Mauss, 1954, The Gift, Forms, and Function of Exchange in Arabic Societes, London: Cohen and West, dan sebagainya. Sedangkan patronase dalam pendekatan ketiga dapat dibaca dalam karya Peter M. Blau, 1964, Exchange and Power in Social Life, New York: Wiley and Sons, dan sebagainya. Yang menarik adalah, studi yang dilakukan oleh Eisenstadt seperti yang telah dinarasikan di atas. Eisenstadt mencoba keluar dari pendekatan lama studi patronase yang masih berkutat pada cara pandang relasi hierarki antara patron dan klien kemudian menawarkan gagasan baru patronase sebagai sumber daya yang tidak dapat dilepaskan dari dimensi simbolis. Bagi Eisenstadt, ada tiga konsep penting mengenai kajian patronase. Pertama, patronase merupakan pengorganisasian dari pertukaran sumber
daya di antara aktor-aktor sosial; kedua, patronase tidak cukup dijelaskan sebagai model pertukaran langsung secara individualistik dalam teori pasar; dan ketiga, patronase merupakan hubungan sosial yang mengkombinasikan pertukaran-pertukaran yang khas dan lebih tepat dirumuskan sebagai model pertukaran yang digeneralisir (generalized exchange).40 Tiga poin penting ini menjadi landasan teoritik yang utama dalam membedah relasi patronase untuk memahami karakter patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta. Di sisi lain, dari relasi inilah, rezim lokal dibangun dan dirawat untuk memastikan penguasaan sumber daya oleh patron sekaligus memastikan relasi hierarkis patronase tetap kokoh; berdasarkan norma dan aturan yang telah disepakati. Hal ini penting bagi patron agar kapasitas patron untuk mengatur pertukaran sumber daya, menggunakan sumber daya, serta menanamkan pengaruh dengan menguasai sumber daya yang ada dapat tetap lestari. Namun, kajian mengenai rezim lokal yang dibangun dari praktek patronase justru masih terbatas, termasuk dalam cakupan kajian yang lebih luas, yakni kajian mengenai rezim lokal secara utuh dari pendekatan politik lokal. Oleh sebab itu, penelitian ini berupaya untuk mengisi limitasi kajian mengenai rezim lokal yang dibangun dari praktek patronase di tingkat lokal.
D. Definisi Konseptual Penelitian ini menggunakan kajian tentang patronase sebagai kata kunci, untuk menjelaskan praktek patronase dalam menguasai Alun-Alun Kidul di Yogyakarta. Definisi konseptual disusun untuk membantu memberikan arah pencarian data dari kata-kata kunci yang disebutkan dalam rumusan masalah dan dirangkai secara logis di dalam kerangka teori. Konsep-konsep kunci di dalam kerangka teori tersebut “diperas” dalam pembagian bahasan pada definisi-definisi (konseptual dan operasional) pada bagian ini.
40
Fransiskus Agustinus Jalong, 2011, Kairos dan Developmentalisme: Politik Wacana Patronase di Manggarai, Tesis S2 JPP UGM, hlm. 14.
D.1. Patronase Patronase dipahami sebagai relasi antara patron dan klien. Praktek patronase dibangun dari adanya perbedaan kondisi ekonomi serta perbedaan kapasitas penguasaan sumber daya sehingga menghasilkan relasi saling ketergantungan; patron membutuhkan klien untuk membantu patron menjaga sumber daya yang dimiliki. Sedangkan klien membutuhkan perlindungan dan kesejahteraan dari patron. Salah satu karakteristik patronase adalah adanya pertukaran sumber daya yang khas melalui praktek terintegrasinya patronase ke dalam setting budaya dan politik dalam masyarakat di mana praktek tersebut berlangsung. Kondisi ini menjelaskan bahwa patronase dikunci oleh suatu tata nilai sebagai tatanan etis-moral tertentu.
E. Definisi Operasional E.1. Patronase Praktek patronase di dalam Alun-Alun Kidul dianalisis dan dibedah melalui beberapa hal:
Kategorisasi mengenai siapa patron (yang memiliki sumber daya dan sumber daya apa yang dimilikinya), siapa klien (yang bekerja pada patron dan sumber daya apa yang dipercayakan padanya), dan sumber daya apa yang dipertukarkan
Mekanisme rekruitmen pekerja oleh pemilik sumber daya, misalnya untuk menjaga barang dagangan, menjaga lahan parkir, dan menjaga transportasi hias
Mekanisme bagi hasil di antara pemilik sumber daya dan para pekerja
Relasi di dalam paguyuban-paguyuban pedagang yang ada; baik internal paguyuban maupun eksternal paguyuban. Yakni relasi yang meliputi mekanisme penyelesaian konflik yang ada, seperti: perebutan lokasi berjualan atau lokasi sepeda hias di antara aktor, aktor-aktor yang
menjadi juru parkir (juru parkir baru menggantikan juru parkir lama atau juru parkir baru merebut lokasi juru parkir lama)
Relasi
paguyuban
dengan
Paparasi,
kraton,
pemerintah
Kota
Yogyakarta, dan swasta yang menggunakan Alun-Alun Kidul untuk acara-acara tertentu
Pengaturan ruang dan waktu atas setiap aktivitas di Alun-Alun Kidul, seperti lokasi dan bats waktu parkir, lokasi dan waktu berjualan, lokasi dan waktu beroperasinya transportasi-transportasi hias
F. Metode Penelitian F.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan tradisi penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus berjenis intrinsic case study. Metode studi kasus intrinsik dipilih karena metode ini diyakini dapat memahami dan menjelaskan keunikan satu kasus tertentu secara mendalam dan berbeda dengan fenomena pada umumnya. Dalam konteks penelitian ini: keunikan dan kekhususan karakter patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta. Dengan menggunakan studi kasus, penelitian ini dilakukan dengan melakukan kerja-kerja riset paling mendasar41 yang meliputi proses identifikasi kasus, pemilihan informan, kerja (pengamatan) lapangan, serta interpretasi dan pemaparan hasil studi menjadi kekhasan studi kasus. Metode ini dipahami sebagai pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, dan menginterpretasi kekhususan suatu kasus dalam konteksnya yang alamiah tanpa adanya intervensi dari pihak luar.42
F.2. Cakupan Penelitian Agar penelitian ini manageable, maka, cakupan penelitian ini dibatasi pada permasalahan tentang karakter patronase di Alun-Alun Kidul
41
Agus Salim, 2006, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 118. 42 Ibid.
Yogyakarta. Metode penelitian studi kasus diyakini dapat membantu memfokuskan penelitian dan upaya menjelaskan keunikan karakter patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta itu sendiri.
F.3. Informan Untuk memudahkan upaya mencari dan menganalisa data, informan nantinya akan dibagi menjadi dua kategori: para patron dan para klien. Informan yang masuk dalam kategori patron dalam penelitian ini kerabat keraton Yogyakarta, seperti Gusti Hadi, Gusti Prabu, dan Romo Tirun. Penelitian ini juga akan melakukan wawancara dengan Pak Heru Susanto sebagai ketua umum Paparasi, yakni organisasi yang memayungi semua paguyuban pedagang di Alun-Alun Kidul. Politisi lokal seperti Mas Rifki Listianto –anggota DPRD Kota Yogyakarta terpilih periode 2014-2019- juga dijadikan informan karena beliau merupakan salah satu aktor lokal yang dibesarkan di lingkungan Alun-Alun kidul dan menjadi bagian dari penyelenggara pemerintah Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal ini birokrat pada Dinas Perhubungan dan Dinas Ketertiban dirasa perlu untuk dijadikan informan agar mendapat penjelasan komprehensif dari sisi pemerintah kota dalam konteks politik pengaturan ruang di Alun-Alun Kidul. Sedangkan informan yang masuk dalam kategori klien adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pemilik sumber daya seperti penjaga sepeda hias, tukang parkir, dan aktor lain yang dipekerjakan. Pengkategorisasian informan ini merupakan upaya agar data yang didapat menjadi tajam dan mendalam.
F.4. Teknik Pengumpulan Data Sebagai penelitian yang menggunakan tradisi kualitatif, data dikumpulkan melalui pengamatan lapangan yang berserakan, belum terbentuk satuan data yang utuh, dan bahkan hanya merupakan data jejak
yang harus ditelusuri lebih dalam lagi.43 Teknik wawancara dipilih sebab teknik ini dapat membantu mendapatkan data secara mendalam serta dapat membantu memahami kondisi sosio-kultural yang ada. Hal ini penting, sebab penelitian kualitatif menghendaki tidak adanya pemisahan antara peneliti dengan obyek yang diteliti sehingga data yang dihasilkan tidak dilepaskan dari konteks sosio-kultural obyek yang diteliti. Sedangkan dokumentasi data berupa hasil wawancara dengan informan, pengamatan lapangan secara langsung, dan beberapa telah pustaka dikumpulkan dan ditulis berdasarkan pembagian sistematika bab. Oleh sebab itu, tantangan pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah bagaimana menyajikan dan menarasikan data yang berserak tersebut. Kemudian menyajikan hasil penelitian sebagai narasi argumentatif yang kuat dengan penggunaan metodologi riset secara konsisten.
F.4.1. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data pokok yang dibutuhkan. Data primer diperoleh dari wawancara secara langsung dengan
para
informan
serta
menyeksamai
dan
memperhatikan
mekanisme pengaturan di lapangan secara langsung dan intensif. Data primer yang dibutuhkan menyangkut konsep-konsep kunci mengenai, pertama, siapa saja yang menjadi patron dan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh para patron dalam membangun relasi dengan klien, relasi di antara patron yang lain, relasi di internal dan eksternal paguyuban, terutama relasi dengan kraton. Selain itu, mekanisme menghadapi negara (pemkot Yogyakarta) juga penting untuk didiskusikan.
43
Septiana K Santana, 2010, Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 64.
Data sekunder didapatkan dari telaah pustaka dan dari situs-situs internet untuk menunjang informasi yang. Selain itu, data sekunder digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai pengelolaan AlunAlun Kidul secara sosio-historis.
F.4.2. Cara Mengumpulkan Data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik fieldwork yang mencakup
kegiatan
mencatat,
mengamati,
mendengarkan,
mengumpulkan, dan menangkap semua fenomena data dari kasus yang diteliti.44 Pengumpulan data didasarkan pada kategorisasi informan yang telah dibuat sebelumnya dan dinarasikan berdasarkan hasil wawancara maupun pengamatan perilaku aktor sosial yang ada. Merangkai data kualitatif dengan metode studi kasus bukanlah hal yang mudah. Kategorisasi informan dan dokumentasi data yang ditentukan secara cermat adalah upaya untuk memudahkan penulisan dan menarasikan temuan lapangan. Hal ini penting agar temuan penelitian mudah dinarasikan sekaligus untuk memudahkan pembaca dalam memahami argumentasi utama yang hendak disampaikan. Keterampilan membangun komunikasi dan mengedepankan gaya persuasif selama proses penelitian merupakan hal yang sangat penting bagi penelitian kualitatif. Terutama bagi penelitian kualitatif berjenis intrinsic case study. Sebab, metode ini menekankan pada intensitas komunikasi dengan informan kunci. Dengan cara ini, peneliti diharapkan dapat menjelaskan karakter patronase dan dinamika antar aktor di tiap lapis-lapis kekuasan di dalam struktur sosial di Alun-Alun Kidul Yogyakarta. Data sekunder diolah dari telaah pustaka dan diskusi ringan dengan beberapa pelaku ekonomi di Alun-Alun Kidul Yogyakarta, seperti penjual makanan di lesehan, penjaga odong-odong, tukang parkir, dan sebagainya. 44
Agus Salim, op.cit., hlm. 124.
G. Sistematika Bab Penulisan hasil penelitian ini dibagi ke dalam lima bab. Setelah bab I ini, bab II akan mendiskusikan tentang Alun-Alun Kidul dari sisi sosio-historis. Ide pokok yang hendak disampaikan di dalam bab II adalah pertama, Alun-Alun Kidul sebagai daerah jero benteng yang tidak dapat dipisahkan dari pengaruh dan kekuasaan kraton Yogyakarta. Kedua, memetakan aktor-aktor yang ada di dalamnya. Dengan adanya perubahan karakter Alun-Alun Kidul menjadi lebih terbuka seiring dengan perkembangan Kota Yogyakarta dari kota tradisional, Alun-Alun Kidul kini dapat dinikmati oleh siapapun dan kapanpun. Ada banyak paguyuban pedagang lahir dan berkembang. Seperti ada gula ada semut, AlunAlun Kidul menjadi salah satu destinasi wisata Yogyakarta. Pembahasan di bab II ditutup dengan mendiskusikan bagaimana organisasi Paparasi memayungi semua paguyuban di Alun-Alun Kidul. Bab III akan membahas tentang bagaimana praktek patronase terjadi di dalam Alun-Alun Kidul. Bab III akan mengurai relasi yang terjadi dengan menemu-kenali siapa saja aktor-aktor yang berposisi sebagai patron dan siapa aktor yang berposisi sebagai klien. Pendefinisian ini dilakukan untuk memudahkan upaya memahami relasi patronase dan ‘merumuskan’ model karakter patronase yang terjadi, berdasarkan pemetaan aktor beserta relasirelasinya. Untuk merumuskan model mengenai karakter patronase tersebut, bab III menyajikan data mengenai relasi antar aktor dan sumber daya yang dipertukarkan, di tiap lapis-lapis kekuasaan di dalam struktur sosial di Alun-Alun Kidul; yakni di internal dan eksternal paguyuban terutama relasinya dengan kraton sebagai patron utama. Hingga akhirnya, model segituga kekuasaan lahir dari kajian di bab III ini. Selanjutnya, bab IV akan mendiskusikan tentang relasi antara segitiga kekuasaan di Alun-Alun Kidul dengan pemerintah Kota Yogyakarta. Relasi dengan pemerintah Kota Yogyakarta penting untuk dibahas untuk menjelaskan relasi antara old state dan new state. Penjelasan di bab IV ini akan ditutup dengan menarasikan pandangan kraton terhadap ragam aktivitas bisnis di dalam Alun-
Alun Kidul dan relasi antara kraton dan pemerintah Kota Yogyakarta. Hal ini diharapkan dapat membantu upaya memahami titik temu dua kuasa antara old state dan new state serta karakter segitiga kekuasaan bagi kuat-kokohnya rezim lokal sekaligus menjelaskan kokohnya kuasa patron utama dalam penguasaan atas Alun-Alun Kidul, yakni institusi kraton itu sendiri. Terakhir adalah bab V sebagai kesimpulan dan penutup. Bab V akan menyimpulkan data-data yang ada dan mengeksplisitkan temuan-temuan kunci yang telah disajikan di dalam bab-bab sebelumnya. Selain itu, di dalam bab V ini juga akan dilakukan upaya mengabstraksikan temuan pada tingkat teoritik melalui upaya refleksi teoritis. Dengan demikian, menempatkan posisi riset ini dalam kontribusinya bagi pengembangan keilmuan secara lebih luas menjadi lebih terarah, khususnya bagi kajian politik lokal di Indonesia.