BAB 7 KESIMPULAN, KONTRIBUSI, REKOMENASI, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI Saya pikir, yang penting adalah suatu pengelolaan Negara Republik Indonesia, yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 sedemikian rupa sehingga cita-cita perjuangan bangsa kita benar-benar terlaksana dan tercapai dengan sebaikbaiknya, (Soeharto dalamAbeng, 1997:XXVIII).
7.1 Kesimpulan Berdasar kajian dan hasil pembahasan tentang “Strategi manajemen dan kepemimpinan Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia”, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Perencanaan Strategis (strategic planning), sebagai bagian dari strategi manajemen Soeharto, adalah merupakan visi organisasi Negara Republik Indonesia, yaitu suatu kondisi ideal yang akan dicapai, sebagaimana tersirat dalam Pembukaan UUD 1945 (alenia ke-iv). Sedangkan untuk mewujudkan visi tersebut, kemudian disusun
rencana strategis yang berupa program-
program pembangunan, baik jangka panjang (25 tahun) jangka menengah (5tahun) dan program jangka pendek, yang secara operasional tiap tahun disusun Pemerintah bersama Dewan Perwaklan Rakyat (DPR). Rencana pembangunan lima tahun (Repelita) sebagai misi organisasi, disusun menurut skala prioritas yang berbeda-beda. Pada setiap awal penyusunan Repelita terlebih dahulu dilakukan evaluasi dan revisi program, untuk mempermudah proses pelaksanaan kontrol dan pengawasan dari lembaga-lembaga terkait. Perencanaan
Operasional
(operational
planning)
dalam
manajemen
organisasi, terkait dengan fungsi-fungsi organisasi, yaitu: fungsi perencanaan 202
(planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan (controlling). Fungsi perencanaan dilakukan dengan membuat program-program pembangunan baik jangka panjang, menengah maupun jangka pendek. Sedangkan untuk pengorganisasian, Soeharto sejak awal telah melakukan reorganisasi birokrasi.
Penataan organisasi dalam bidang
birokrasi, telah dilakukan pembenahan melalui Surat Keputusan Presiden No. 44 tahun 1974, dengan tujuan untuk menyusun hierarkis otoritas modern dari tingkat pusat sampai daerah. Untuk merekrut para pembantunya, Soeharto lebih mengutamakan aspek kejujuran, akuntabilitas dan profesional. Proses peyusunan teamwork
didasarkan pada teori “learning organization”, dalam
menciptakan karya yang kompetitif, karena teamwork membutuhkan kebersamaan, kepercayaan dan bisa bekerjasama. Untuk melaksanakan program-program pembangunan, Soeharto banyak melakukan pendelegasian wewenang (desentralisasi outority) kepada para pembantunya (menterimenteri). Dari perspektif kekuasaan (power), Soeharto
menggabungkan
antara manajemen “Barat” dan manajemen “Timur”, yaitu model commanding digabungkan dengan model benevolent yang humanistis. Model commanding diterapkan manakala harus bertindak secara cepat, tegas dan tepat, yaitu jika menghadapi masalah-masalah
krusial yang mendesak.
Tetapi dalam
kesehariannya, Soeharto selalu berlaku sabar, tidak pernah marah dan sangat humanistis. Pelaksanaan manajemen ini berakar pada aspek nilai-nilai budaya bangsa yang disebut “Hasta Brata”, digabungkan dengan “Sapta Marga”, yang dikemas dalam konsep “ngluruk tanpo wadyo bolo, menang tanpo 203
ngasorake dan weweh tanpo kelangan” serta waspodo purbowaseso. Nilai budaya “Jawa” yang dikenal dengan watak: Susilo, Sudiro, Sambegono dan Anurogo, serta model kepemimpinan Ki Hajar Dewantoro “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tutwuri handayani, melengkapi model manajemennya. Pada ranah manajemen politik, Soeharto menggunakan mesin politik modern, yaitu dengan menjalankan fungsi input, throughput dan output.
Aspek ini
penting untuk
mencapai tujuan organisasi dengan
meminimalkan konflik. Secara filosofis ideologis untuk mewujudkan visi dan misi organisasi, yaitu untuk melaksankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen (misi Orde Baru), Soeharto membudayakan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 melalui budaya “Wayang” dengan lakon “Semar Mbabar Jati Diri”. Melalui medium ini ternyata hasilnya efektif.
Untuk
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dan melanggengkan kekuasaannya, maka MPR
tidak melakukan
amandemen terhadap UUD
1945, meskipun secara konstitusional terbuka untuk itu (pasal 37 UUD 1945). Dengan cara itu maka pasal 7 UUD 1945 (tentang masa jabatan presiden adalah 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali), terus dipertahankan sehingga Soeharto
mampu mempertahankan kekuasaan hingga enam kali
masa jabatan, mengingat MPR telah difungsikan sebagai alat kekuasan. Proses manajemen pemerintahan, dilandasi oleh karakter pribadi Soeharto, dengan daya ingatnya yang kuat sampai masalah yang
detil terhadap
program-program yang dicanangkan. Di samping itu ajaran filsafat Jawa tentang: “ojo dumeh, ojo gumunan dan ojo kagetan”, membuat perjalanan 204
hidupnya sangat tenang setiap menghadapi persoalan. Ditambah lagi dengan filsafat “alon-alon waton kelakon” membuatnya selalu sabar dan penuh senyum dalam setiap langkah, sehingga dijuluki “The Smiling General”. Strategi manajemen bidang ekonomi, Soeharto membentuk tim ekonomi dari teknokrat yang umumnya lulusan Amerika Serikat yang kemudian dikenal dengan “Kelompok Berkeley”. Dalam kecintaan dan dedikasinya terhadap profesi, Soeharto menyatakan: “Saya tak ubahnya bangun dari mimpi dalam dunia pembangunan, di rumah saya berpikir tentang itu, di kantor saya bertindak tentang itu, di tempat-tempat yang kelihatannya santai pun saya merenung tentang itu”. Karenanya Soeharto mendapat
predikat sebagai
“Bapak Pembangunan”. 2) Pelaksanaan manajemen Soeharto adalah manajemen yang universal, yaitu suatu manajemen modern yang dilandasi oleh fondasi moral keagamaan serta nilai warisan budaya bangsa, sehingga lebih kokoh dan stabil. Soeharto adalah “seorang pembelajar”, sehingga meskipun tidak memiliki pendidikan formal tentang manajemen, tetapi dapat melaksanakan prinsip-prinsip manajemen modern. Proses yang terjadi secara kumulatif yang dilakukannya, sehingga mampu mengantarkan dirinya menjadi seorang pemimpin sejati sekaligus manajer profesional yang diperhitumgkan dunia. Bagaimana proses untuk menjadi profesional dalam konteks leader sekaligus manajer, Soeharto selalu belajar untuk menumbuh kembangkan manajemen, sehingga memiliki kemampuan manajemen yang mempunyai keunggulan daya saing dan kemandirian.
Simpulan akhir dari strategi manajemen Soeharto, disusun 205
sebuah proposisi sebagai berikut, ”Strategi manajemen Soeharto melalui perencanaan, pengorganisasian dengan mennggabungkan model manajemen Barat dan Timur, berdampak sangat positif terhadap pelaksanaan dan pengendalian organisasi pemerintahan, sehingga setiap kebijakannya menjadi lebih efektif dan efisien. ”. 3) Strategi kepemimpinan
Soeharto, pertama-tama melakukan pembenahan
struktur politik dengan jalan melakukan fusi partai politik Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mampu dikendalikan Soeharto, sehingga dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan, sehingga selalu memilih Soeharto menjadi presiden. Untuk mewujudkan stabilitas nasional yang mantap dan terkendali, Soeharto menetapkan “Dwi Fungsi ABRI” sebagai strategi penguatan mesin politiknya, di samping melalui jalur Birokrasi dan Golkar (jalur ABG). Melalui strategi ini, ditempatkan orang-orang kepercayaan Soeharto (ABRI khususnya) pada pos-pos strategis baik di eksekutif dan legislatif dari tingkat pusat sampai pedesaan. Hal ini sebagai upaya untuk memudahkan sistem pengendalian dan pengawasan, sehingga telah terjadi pergeseran fungsi ABRI dari alat Negara menjadi alat kekuasaan. Untuk menghancurkan
lawan-lawan
politiknya,
tidak
segan-segan
Soeharto
melakukan distorsi politik, seperti yang dilakukan terhadap kelompok “Petisi 50”, gerakan NKK mahasiswa dan lain-lain. Pemerintahan Soeharto juga melakukan pembredelan terhadap mass media yang tidak menyalurkan aspirasi politik pemerintah. Dilakukan penyumbatan terhadap aspirasi politik dengan menetapkan Pancasila sebagai azas tunggal untuk semua organisasi 206
politik dan organisasi kemasyarakatan, melalui UU No. 5 tahun 1975. Pemilihan umum sebagai sarana
demokrasi, dimanfaatkan juga untuk
mendukung kekuasaan Soeharto. Semua lembaga pelaksanaan pemilihan umum (KPU, BANWASLU dan lainnya) dari pusat sampai daerah, ditangani oleh Pemerintah (Menteri Dalam Negeri) yang semuanya orangnya pemerintah (Golkar), sehingga tingkat independensinya
patut diragukan.
Semua pegawai Republik Indonesia tergabung dalam satu wadah “Korpri”, dan diwajibkan
menyalurkan aspirasi potitiknya melalui Golkar, sebagai
partai pemerintah. Pelaksanaan Pemilu tidak ubahnya sebagai pembiusan politik bagi warga Negara, sehingga tak pelak Golkar selalu menjadi single mayority pada setiap pemilihan umum.
Yang perlu untuk dicatat adalah,
bahwa meskipun strategi kepemimpinan Soeharto berhasil, tetapi disinyalir terjadi banyak pelanggaran hak azasi manusi (HAM) berat, yaitu sejak dimulai sentralisasi kekuasaan pasca menerima “Supersemar”. terutama dilakukan terhadap mereka yang dicurigai
Pelanggaran HAM sebagai eks anggota
Partai Komunis Indonesia (PKI), maupun terhadap lawan-lawan politiknya. Zaman selalu berubah dan bergerak, demikian pula masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi sebagai suatu konsep tatanan untuk kemapanan, selalu berubah sehingga selalu melibatkan kontradiksi. Oleh karena itu sikap apresiatif, ketidakpuasan sampai timbulnya pro dan kontra, akan menggugah mereka untuk memberi kesempatan berpikir dan berinspirasi
baru untuk
melakukan penelitian lanjut. Sebagai hasil akhir analisis terhadap strategi kepemimpinan Soeharto, disusun suatu proposisi sebagai berikut: “Strategi 207
kepemimpinan Soeharto melalui struktur politik, ideologi, dan birokrasi, berdampak sangat positif terhadap kebijakan dalam menyusun kekuatan untuk mempertahakan kekuasaan”. 4) Formulasi baru strategi manajemen dan kepemimpinan Soeharto,
dengan
melaksanakan prinsip-prinsip manajemen modern, yang dilandasi dan mengakar pada nilai-nilai falsafah budaya bangsa sendiri, agar tidak terjadi westernisasi. Strategi kepemimpinan dengan tetap menjunjung tinggi nilainilai Demokrasi Pancasila dan UUD 1945, harus terhindar dari terjadinya distorsi politik, dengan pendekatan repressive dan coercive. Penguasa tidak memaksanaan kehendak dengan kekerasan-kekerasan agar tidak terjadi “absolute power” dan “tirani mayority”. Formulasi baru manajemen dan kepemimpinan
Soeharto
ini
dibangun
untuk
melaksanakan
dan
menyempurnakan strategi para pemimpin Negara terdahulu, sehingga membentuk seorang manajer profesional, sekaligus seorang pemimpin sejati yang complete leader. Menjauhkan dari semua aspek negatif,
seperti
pelanggaran terhadap hak azasi manusia (HAM), pembrangusan pers yang konstruktif, mereposisi ABRI, mengharamkan perbedaan pandangan dan oposisi, serta penggunaan kekerasan melalui ABRI untuk mnciptakan stabilitas keamanan, dalam upaya menumbuh kembangkan deregulasi “suksesi” kepemimpinan.
Soeharto memang memiliki kecanggihan dalam
mengoperasionalkan manajemen sebagai ilmu dan seni, dan sukses menggunakan strategi kepemimpinan untuk menggerakkan semua sumber daya manusia, sehingga mampu membuktikan sebagai seorang ahli strategi. 208
Formulasi baru tentang
strategi manajemen dan kepemimpinan Soeharto
tersebut kemudian penulis namakan “WIRAYUDASAMORA” (Prawira Yuda Sahaja Among Rasa). Prawira berarti ksatria, perkasa dan gagah berani. Artinya,
sebagai seorang pemimpin,
Soeharto berani dengan tegas
mengambil langkah-langkah bijak untuk kepentingan bangsa dan negara, bilamana hal tersebut dipandang sangat perlu
untuk dilakukan apapun
risikonya (manajemen Barat). Sahaja artinya sederhana, perilaku dan tutur katanya polos. Dalam keseharian Soeharto selalu bersahaja, penampilannya sederhana, merakyat dan selalu berperilaku sabar, penuh dengan senyum yang menyejukkan, sehingga terkenal sebagai seorang jendral yang murah senyum (the smiling general) dan itulah manajemen Timur. Yuda artinya perang, yaitu untuk keberhasilan suatu strategi, perlu ditempuh dengan cara sedikit distortif dalam berdemokrasi, asal “tidak melanggar HAM”. Maksudnya dalam memimpin negeri ini, masih diperlukan pemimpin model militer, untuk mewujudkan jaminan rasa aman kepada masyarakat. Among, berasal dari bahasa Jawa “ngemong”. Sebagai seorang pemimpin, Soeharto bisa “ngemong” dan menjadi “pamong”, yaitu memberi keteladanan, pengayoman serta perlindungan kepada masyarakat. Oleh karenanya tidak mengherankan kalau saat ini masih banyak yang mengidolakan kepemimpinannya. “Pamong” juga sebutan guru di sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantoro. Rasa adalah tanggapan hati melalui indera, maksudnya dalam bertindak, pemimpin harus selalu memperhatikan perasaan orang lain, jangan
209
sampai menyinggung perasaan (Jawa= tepo sliro, mowo roso), jangan adigang, adigung, adiguno, dan ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh.
7.2 Kontribusi Hasil Penelitian Kontribusi Teoretis Penelitian tentang ilmu manajemen sudah banyak dilakukan dimana-mana, khususnya manajmen yang terkait dengan ilmu ekonomi. Bidang-bidang yang dikaji dalam ilmu manjemen terkait dengan ilmu ekonomi, bisa berfokus pada: manajemen keuangan, manajemen pemasaran dan manajemen sumber daya manusia. Penelitian manajemen terkait dengan manajemen publik yang penulis lakukan ini sebagai suatu upaya pengembangan
ilmu manajemen. Fokus
penelitian adalah manajemen publik, dengan kajian dari kacamata “strategi” manajemen dan kepemimpinan Soeharto. Terjadinya perbedaan pandangan antara yang pro dan kontra atas ketokohan seorang negarawan, dapat mengundang pengembangan ilmu manajemen publik dari sudut pandang yang berbeda. Setidaknya jika dilihat dari sudut pandang yang sama, tetapi dengan pendekatan yang berbeda, dapat memunculkan perbedaan simpulan pula. Apalagi dengan sudut pandang yang berbeda, seperti memandang manajemen publik dari kacamata komunikasi politik, perilaku politik, model manajemen,
gaya
kepemimpinan, administrasi publik dan masih banyak lagi sudut pandang lain yang dapat dipakai sebagai pendekatan. Kontribusi hasil penelitian pada tataran teoretis sebagaimana dimaksud, bisa membuka pemikiran dan kesempatan yang lain untuk melakukan penelitian 210
lanjut dari sudut pandang yang berbeda. Mengingat penelitian dengan pendekatan kualitatif, bisa memberikan peluang kepada peneliti untuk membuat interpretasi dengan berbagai argumen yang berbeda. Sesuai dengan sifat keterbukaan dari ilmu pengetahuan, hasil penelitian lain akan keterbukaan untuk
berbeda pendapat,
memberi kesempatan dan
karena perbedaan argumentasi, dan
perbedaan sudut pandang. Itulah kontribusi teoretis yang dapat dikemukakan sebagai refleksi akhir dari penelitian ini untuk pengembangan ilmu manajemen.
Kontribusi Praktis Dan Kebijakan Kontribusi praktis dari penelitian ini, bahwa problematika yang muncul dari praktek manajemen dan kepemimpinan Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru, bukan lagi sebagai sesuatu yang asing. Perbedaan
yang muncul
sehingga menimbulkan pro dan kontra atas kepemimpinan Soeharto, bisa karena berbeda sudut pandang. Di samping itu perbedaan akan muncul, karena perbedaan waktu, kapan suatu fenomena sosial itu dikaji karena dalam penelitian kualitatif tidak bisa direplikasi.
Apakah setelah terjadi reformasi besar-besaran pasca
tumbangnya rezim Orde Baru, pemerintahan reformasi sudah bisa memberikan kontribusil yang maksimal. Apakah kondisi setelah reformasi sudah tidak terjadi lagi KKN, supremasi hukum dan masih banyak indikator lain. Disadari atau tidak, pemerintahan rezim Orde
Lama, rezim Orde Baru dan rezim Orde
Reformasi, masih ada kelemahan dan kekurangannya. Kelemahan baik di bidang penegakan hukum (Yudikatif), bidang pemerintahan (Eksekutif), dan di bidang perundang-undangan (Legislatif). Pluralisme dan keberagaman pandangan harus 211
diterima sebagai jalan menuju kebersamaan, dan membuka kontrol sosial menuju kesempurnaan. Fakta ini merefleksikan bahwa tidak pernah ada yang sempurna secara totalitas. Tidak ada suatu fenomena sosial yang sama jika dilihat dari sisi berbeda, yang tetap ada justru perubahan itu sendiri.
Pluralisme dan
kemajemukan harus dipandang sebagai jalan untuk memberikan kesempatan yang lain untuk bersifat kritis, agar keterbukaan dan demokratisasi berpikir tetap terjaga dan terbuka. Kontribusi kebijakan bagi pemegang otoritas, berdasarkan fakta di atas dapat disampaikan: Pertama, harus diakui oleh pengambil kebijakan, baik pada rezim Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi, tidak ada satupun rezim tersebut yang sempurna secara total, semua ada kelemahan
di samping
keberhasilannya. Meskipun Soekarno jatuh karena terseret oleh ideologi komunis, tetapi sejarah tetap mencatatnya sebagai “Proklamator”.Soeharto jatuh di saat terjadi krisis ekonomi yang luar biasa dan kemudian dilengserkan oleh kekuatan rakyat (people power), tetapi sejarah tetap mencatat Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan”.
Di tangan B.J. Habibie, Timor Timur lepas dari kekuasaan
Negara Republik Indonesia, saat menjabat Presiden pada masa transisi. Gus Dur yang dikenal sebagai “tokoh pluralis”, “pejuang hak azasi manusia” serta sebagai “guru bangsa”, jatuh
karena kasus Bruneigate dan Buloggate.
Di tangan
Megawati Soekarnoputri awal dilaksanakan amandemen UUD 1945 dan dilaksanakan pemilihan Presiden/Wakil Presiden serta Pilkada secara langsung, yang ternyata banyak menyerap anggaran negara.
Kedua, bagi pemegang
otoritas, kebijakan yang ditempuh adalah dengan meneladani kebaikan rezim 212
yang lalu, dan meninggalkan serta memperbaiki semua kelemahannya (mikul duwur mendem jero). Refleksi dari semua peristiwa tersebut memberikan arah pada suatu tatanan kehidupan demokratis, sehingga tidak terulang lagi kejatuhan Presiden Republik Indonesia melalui makanisme politik yang inkonstitusional. Itulah inti formulasi baru yang diinginkan sebagai kebijakan pemerintah, khususnya dalam menetapkan strategi manajemen dan kepemimpinannya.
7.3 Rekomendasi Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan eksploratori dan studi pustaka. Untuk mengkaji manajemen dan kepemimpinan Soeharto dari kacamata yang sama, direkomendasikan agar ke depan dilakukan penelitian lanjut dengan menggunakan pendekatan studi lapangan (fild research). Pendekatan studi lapangan untuk melengkapi hasil penelitian studi pustaka, dengan cara melakukan crosscek kepada informan yang pro dan kontra terhadap pemerintahan Soeharto, melalui wawancara mendalam (dept interview). Informan yang dibutuhkan adalah para saksi dan pelaku sejarah, politisi, para mantan pembantu dekat Soeharto, serta mereka yang berseberangan pandangan dengan pemerintahan Soeharto.
Penelitian historical research yang didasarkan hasil
penemuan pada dokumen akan lebih bernilai jika didukung oleh hasil interview terhadap para nara sumber sebagai saksi sejarah yang masih hidup. Masih terkait dengan agenda penelitian ke depan, banyak paradigma lain yang dapat dipakai untuk mengkaji kepemimpinan Soeharto dari kacamata yang berbeda. Kepemimpinan Soeharto bisa dilihat dari kacamata komunikasi politik, 213
gaya kepemimpinannya, model-model manajemennya, dan masih banyak lagi sudut pandang lain. Agenda penelitian ke depan dari sudut pandang yang berbeda akan menghasilkan kontribusi pengetahuan yang lebih luas dan hasil penelitian menjadi semakin lengkap dan utuh. Selanjutnya diharapkan akan mampu mengurai perbedaan pandangan serta meminimalisir pro dan kontra terhadap kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan Soeharto, serta tidak terjadi lagi penyesatan sejarah untuk generasi mendatang.
7.4 Keterbatasan dan Implikasi Penelitian dengan pendekatan studi pustaka, akan menggali secara mendalam terhadap obyek penelitian dengan mencari sumber dari dokumen terkait. Beberapa dokumen yang diperlukan untuk mengkaji dan mendukung penelitian ini, diantaranya adalah dokumen tentang: Naskah Supersemar, Ketetapan MPRS dan MPR terkait mekanisme kepemimpinan Soeharto, UUD 1945 (asli dan hasil amandemen), Undang-Undang Republik Indonesia tentang pemilihan umum, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Partai Politik dan lain-lain. Karena penulis telah menetapkan penelitian ini dari pendekatan studi pustaka, maka pada penelitian ini tidak melibatkan informan.
Berikutnya,
penelitian ini juga hanya membatasi dari sudut pandang “strategi” manajemen dan kepemimpinan Soeharto. Implikasi terhadap sumber-sumber lain dalam mengkaji fenomena sosial terkait dengan kepemimpinan Soeharto sebagai obyek penelitian akan semakin besar manfaatnya pada penelitian ini. Yang demikian ini, adalah merupakan 214
keterbatasan dalam penelitian ini, sehingga hasil penelitian ini belum mampu mengungkap secara mendalam dan maksimal terhadap substansi yang diharapkan. Oleh karenanya masih perlu diagendakan penelitian lanjut, untuk kepentingan pengembangan ilmu manajemen umumnya, serta khususnya
pada ilmu
manajemen publik. Selajutnya perlu disarankan agar kepada siapapun yang akan memimpin negeri ini, mau meneladani keberhasilan yang telah dicapai oleh para pemimpin terdahulu, meninggalkan Setiap
semua aspek negatif dan kekurangan-kekurangannya.
manusia cenderung untuk berkuasa, mengembangkan kekuasaan dan
mempertahankan kekuasaan. Pada kekuasaan yang berlebihan cenderung untuk disalahgunakan. Oleh karena itu siapapun
boleh berkuasa, asalkan melalui
mekanisme yang telah ditentukan dalam perundang-undangan, dan tidak boleh lagi ada pengorbanan manusia demi kekuasaan. Tidak boleh ada lagi manusia yang mati hanya karena berbeda ideologi, hanya karena oposisi, karena ABRI demi menegakkan konstitusi, dan untuk keberhasilan suatu strategi.
Sebagai
Negara Hukum yang menjunjung tinggi hak azasi manusia (HAM), hormatilah setiap nyawa manusia yang memiliki hak azasi,
agar visi dan misi organisasi
terealisasi, dengan tetap menjaga tata kehidupan yang aman, tenteram dan damai. Masyarakat merasakan ada jaminan rasa aman, jaminan ketenangan, jaminan kesehatan, jaminan supremasi hukum
serta jaminan kebebasan untuk
berdemokrasi. Itulah wujud visi organisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
215