58
BAB 6 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bagian ini peneliti memaparkan mengenai kesimpulan—yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian berdasarkan analisis data yang telah dilakukan; diskusi hasil penelitian—yang terdiri dari diskusi hasil utama penelitian, diskusi hasil tambahan penelitian, dan diskusi metodologis; dan juga saran bagi penelitian selanjutnya. Saran yang akan diberikan terbagi menjadi saran metodologis dan juga saran praktis.
6.1. Kesimpulan Pada penelitian ini, terdapat tiga masalah penelitian yang hendak dijawab. Berdasarkan hasil dan analisis hasil penelitian yang didapat, maka diperoleh kesimpulan bahwa: a.
Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara Adversity Quotient dengan intensi berwirausaha. Artinya, semakin tinggi Adversity Quotient seseorang, maka semakin tinggi pula intensi berwirausaha yang dimiliki oleh individu tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah Adversity Quotient seseorang, maka intensi untuk berwirausahanya semakin rendah pula.
b.
Karyawan yang menjadi responden dalam penelitian ini sebagian besar memiliki tingkat Adversity Quotient yang sedang atau dengan kata lain mereka mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam menghadapi kesulitan yang dihadapi.
c.
Karyawan yang menjadi responden dalam penelitian ini sebagian besar memiliki intensi berwirausaha yang tinggi.
Selain kesimpulan yang telah dikemukakan untuk menjawab permasalahan utama, terdapat juga kesimpulan dari hasil analisis tambahan yang dilakukan pada penelitian ini, antara lain :
Universitas Indonesia
Hubungan adversity quotient..., Nadia Setyaningrum, FPsi UI, 2009
59
a. Terdapat hubungan yang signifikan antara intensi berwirausaha dengan dimensi kontrol (C) pada karyawan. Hal ini berarti semakin tinggi kemampuan
seseorang
dalam
mengendalikan
situasi
sulit
yang
dihadapinya maka semakin tinggi intensi untuk berwirausaha, dan demikian pula sebaliknya. b. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara intensi berwirausaha dengan dimensi kepemilikan (O) pada karyawan. c. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara intensi berwirausaha dengan dimensi jangkauan (R) pada karyawan. d. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara intensi berwirausaha dengan dimensi ketahanan (E) pada karyawan.
6.2. Diskusi Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan beberapa temuan yang mendukung dan tidak mendukung hipotesis penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya. Pada bagian ini akan dibahas beberapa temuan tersebut.
6.2.1. Diskusi Hasil Utama Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah melihat apakah terdapat hubungan antara Adversity Quotient (AQ) dengan intensi berwirausaha pada karyawan. Berdasarkan hasil analisis, peneliti menemukan adanya korelasi yang signifikan antara Adversity Quotient (AQ) dengan intensi berwirausaha pada karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan yang dihadapinya (AQ tinggi), maka semakin tinggi intensi untuk berwirausaha. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan yang dihadapinya (AQ rendah), maka semakin rendah pula intensi berwirausaha yang dimiliki orang tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Stoltz (2000), yang mengatakan bahwa individu yang memiliki skor AQ yang tinggi secara garis besar adalah orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk mengubah segala kesulitan menjadi suatu peluang. Mereka memiliki karakteristik tangkas dan gesit sebagai pemecah masalah, berinovasi untuk menemukan solusi, mengambil tantangan yang sulit,
Universitas Indonesia
Hubungan adversity quotient..., Nadia Setyaningrum, FPsi UI, 2009
60
berkembang di dalam keadaan yang berubah-ubah, dapat mengambil resiko yang sesuai dengan yang diperlukan, dan mempertahankan kinerja yang terbaik (Stoltz, 2000). Karakteristik tersebut terkait dengan karakteristik yang dimiliki oleh para wirausaha yang menujukkan ciri-ciri serupa dengan orang yang memiliki tingkat AQ yang tinggi. Zimmerer & Scarborough (2002) menyatakan bahwa wirausaha yang berhasil umumnya memiliki rasa percaya diri yang tinggi, tegar dan sangat ulet. Mereka tidak mudah putus asa, ketika mengalami masalah akan dihadapi dan bukan dihindari. Mereka tidak akan berhenti memikirkan jalan keluar walaupun bagi orang lain, jalan keluar sudah buntu. Kegagalan akan dibuatnya menjadi pelajaran dan pengalaman yang mahal (Zimmerer & Scarborough, 2002). Selain itu, adanya hubungan antara Adversity Quotient (AQ) dan intensi berwirausaha dapat dilihat berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini, variabel Adversity Quotient telah banyak dikaitkan dengan perilaku kewirausahaan pada berbagai penelitian yang telah ada. Salah satunya adalah Stoltz (2000), yang meneliti pola sukses diantara wirausahawan dan Markman (2004) yang meneliti mengenai perbedaan tingkat adversity quotient pada kelompok wirausaha dan non-wirausaha. Dalam hal ini, individu-individu yang berprofesi sebagai wirausaha memiliki tingkat Adversity Quotient yang lebih tinggi daripada individu non-wirausaha (tidak berprofesi sebagai wirausaha). Lebih lanjut lagi, dikatakan bahwa kelompok wirausaha menunjukkan respon yang baik dalam menghadapi kesulitan atau dengan kata lain memiliki tingkat Adversity Quotient yang tinggi (Markman, 2004). Para wirausaha ini tidak menyerah ketika kesulitan datang, tetap bertahan di masa sulit dan menjadikan kesulitan tersebut sebagai penguat untuk menghadapi rintangan selanjutnya (Markman, 2004). Dalam hal ini, setiap wirausaha pasti pernah mengalami kegagalan, namun yang menarik 60% wirausahawan yang gagal ternyata tidak menyerah (Sasmito, 2007). Berdasarkan hal tersebut, seorang individu yang memiliki tingkat Adversity Quotient yang tinggi sangatlah erat kaitannya dengan perilaku kewirausahaan, termasuk dalam intensi berwirausaha. Di dalam penelitian dengan karakteristik sampel yang berbeda, juga ditemukan hubungan antara variabel Adversity Quotient dengan variabel intensi berwirausaha. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2007) mengenai
Universitas Indonesia
Hubungan adversity quotient..., Nadia Setyaningrum, FPsi UI, 2009
61
adversity intelligence dan intensi berwirausaha pada siswa SMK di Yogyakarta, didapatkan hasil bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara adversity intelligence dengan intensi berwirausaha. Dalam penelitian ini, komponen adversity intelligence memberikan kontribusi 11% terhadap intensi berwirausaha (Wijaya, 2007). Di sisi lain, hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian dari Fransiskus (2009), yang meneliti tentang hubungan antara Adversity Quotient dengan intensi berwirausaha pada mahasiswa UI yang mengambil mata kuliah kewirausahaan. Dalam penelitian ini, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara Adversity Quotient dengan intensi berwirausaha. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini memiliki tingkat kemampuan dalam menghadapi situasi sulit dalam tingkat yang sedang. Orang-orang dengan skor Adversity Quotient (AQ) yang sedang mencerminkan bahwa mereka sampai dengan taraf tertentu memiliki kemampuan yang cukup baik dalam menghadapi berbagai tantangan, hambatan dan kesulitan (Stoltz, 1997). Mereka juga mengerahkan semua potensi yang mereka miliki untuk mengembangkan diri dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, mereka masih rentan dengan tingkat kesulitan, tantangan dan hambatan yang berat. Orang-orang dengan AQ sedang memiliki kemungkinan untuk merasakan kerugian, kekecewaan dan frustasi seiring dengan tingkat kesulitan, tantangan dan hambatan yang bertambah melampaui taraf yang dapat mereka terima (Stoltz, 1997). Hal ini dapat menjadi masukan bagi perusahaan untuk meningkatkan AQ yang dimiliki karyawannya agar tercipta produktivitas kerja yang optimal. Dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa karyawan dalam perusahaan X memiliki intensi berwirausaha yang tinggi. Hal ini dapat menjadi masukan bagi perusahaan X untuk mengembangkan jiwa dan potensi-potensi wirausaha yang ada pada karyawan mereka. Karyawan yang bekerja pada suatu perusahaan dan memiliki jiwa dan mental wirausaha dalam bekerja dikenal dengan intrapreneur (Astamoen, 2005; Hisrich, Peters,& Shepherd, 2008). Karyawan ini bekerja dengan kemampuan wirausaha yang dimilikinya, seperti kreatif dan berinovasi untuk menemukan solusi, mengambil tantangan yang sulit, berkembang di dalam keadaan yang berubah-ubah, dapat mengambil resiko yang sesuai dengan yang diperlukan, dan mempertahankan kinerja yang terbaik dalam bekerja (Astamoen, 2005).
Universitas Indonesia
Hubungan adversity quotient..., Nadia Setyaningrum, FPsi UI, 2009
62
6.2.2. Diskusi Hasil Tambahan Hasil korelasi intensi berwirausaha dengan keempat dimensi AQ menunjukkan bahwa intensi berwirausaha hanya berkorelasi dengan dimensi kontrol (C). Artinya intensi seseorang untuk berwirausaha hanya berhubungan dengan kemampuan mereka dalam mempengaruhi dan mengendalikan kesulitan yang dihadapinya. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian dari Fransiskus (2009) bahwa terdapat asosiasi atau hubungan antara dimensi kontrol (C) dengan intensi berwirausaha. Hal ini sejalan dengan penelitian ini yang juga mendapatkan hasil bahwa dimensi kontrol (C) berhubungan dengan intensi berwirausaha. Artinya, semakin besar kemampuan seseorang dalam mempengaruhi dan mengendalikan situasi sulit yang dialaminya, maka semakin besar pula intensinya untuk berwirausaha. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah kemampuan seseorang dalam mengendalikan situasi sulit yang dialaminya, maka semakin rendah pula intensinya untuk berwirausaha. Dari data responden, peneliti juga mendapatkan informasi tambahan mengenai usia dan jenis kelamin responden. Dari informasi tambahan tersebut, peneliti mendapatkan bahwa responden laki-laki tidak berbeda secara signifikan dengan responden perempuan dalam hal intensi berwirausaha. Peneliti melakukan perhitungan analisis statistik deskritif, yaitu dengan menghitung mean intensi berwirausaha pada kelompok responden laki-laki dan perempuan. Dari hasil perhitungan, peneliti mendapatkan mean sebesar 4.05 pada kelompok responden laki-laki dan mean sebesar 3.93 pada kelompok responden perempuan. Dengan mengacu kepada norma alat ukur intensi berwirausaha, maka kedua kelompok responden, baik laki-laki dan perempuan memiliki intensi berwirausaha dalam tingkat sedang. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Hisrich, Peters, & Shepherd, (2008) bahwa ada peningkatan yang signifikan dari jumlah wanita yang menekuni bidang wirausaha, yakni meningkat hingga sejajar dengan jumlah wirausaha laki-laki yang ada. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa minat kaum wanita terhadap bidang kewirausahaan tidak jauh berbeda dengan laki-laki. Sedangkan dengan kelompok usia, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yang memiliki intensi berwirausaha tinggi berasal dari kelompok usia 36-50 tahun. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Zimmerer & Scarborough
Universitas Indonesia
Hubungan adversity quotient..., Nadia Setyaningrum, FPsi UI, 2009
63
(2002) yang menyatakan bahwa individu mulai berpikir untuk memulai usaha pada rentang usia 30 hingga 40 tahun. Lebih lanjut lagi, Hisrich, Peters, & Shepherd (2008) juga menyatakan bahwa individu memulai karir sebagai wirausaha pada umur 22 hingga 45 tahun.
6.4. Saran 6.4.1. Saran Metodologis Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, peneliti mengajukan beberapa saran metodologis yang dapat menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya. Berikut ini adalah beberapa saran metodologis yang diajukan: 1. Memperbesar jumlah responden, agar didapatkan proporsi Adversity Quotient dan intensi berwirausaha yang lebih merata, sehingga lebih mudah untuk dilakukan perbandingan hubungan antara adversity quotient dan intensi berwirausaha. 2. Selain faktor Adversity Quotient, terdapat variabel lain yang mempengaruhi intensi berwirausaha. Menurut Kristiansen (2003), ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha, yaitu faktor demografi berupa jenis kelamin, usia, pengalaman kerja, serta faktor eksternal berupa akses modal, informasi
dan
jaringan
sosial,
sehingga
faktor
ini
juga
perlu
dipertimbangkan dalam penelitian selanjutnya. 3. Menguji kembali alat ukur Adversity Quotient. Jika dilihat dari nilai reliabilitasnya, alat ukur ini dapat dikatakan cukup reliabel. Namun, alat ukur ini hanya diuji satu kali pada 10 responden yang representatif. Oleh karena itu peneliti menyarankan dilakukan pengujian kembali dengan jumlah responden yang lebih banyak dan lebih representatif untuk meningkatkan reliabilitas alat ukur. 4. Terdapat korelasi yang tidak signifikan antara intensi berwirausaha dengan dimensi Adversity Quotient yaitu kepemilikan (O), jangkauan (R) dan ketahanan (E). Oleh karena itu peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara dimensi-dimensi tersebut dengan intensi berwirausaha.
Universitas Indonesia
Hubungan adversity quotient..., Nadia Setyaningrum, FPsi UI, 2009
64
6.4.2. Saran Praktis Peneliti juga mengajukan beberapa saran praktis dari hasil penelitian ini, yaitu antara lain: 1. Intensi berwirausaha perlu mendapatkan perhatian lebih besar, karena bidang wirausaha berkontribusi dalam memajukan perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, topik wirausaha perlu diangkat ke permukaan dan diperkenalkan kepada setiap orang bahwa mereka mampu dan dapat untuk berwirausaha. 2. Berdasarkan hasil data yang diperoleh, diketahui bahwa sebagian besar karyawan yang menjadi responden memiliki tingkat adversity quotient yang sedang. Dengan demikian dukungan dan arahan yang tepat dari pihak perusahaan berupa seminar, pelatihan dan training dapat meningkatkan adversity quotient para karyawannya. Hal ini bertujuan agar dapat menjaga semangat, kemampuan dan memotivasi para karyawan agar sukses mencapai prestasi kerja yang optimal. 3. Berdasarkan perhitungan mengenai intensi berwirausaha yang dimiliki oleh karyawan yang menjadi responden menunjukkan hasil yang cukup tinggi. Ternyata sebagian besar dari mereka memiliki potensi jiwa-jiwa kewirausahaan dan intensi yang tinggi untuk berwirausaha. Oleh karena itu, perlunya adanya pembekalan dari perusahaan agar dapat menciptakan karyawan yang menerapkan jiwa entrepreneur di dalam bekerja. 4. Alat ukur intensi berwirausaha dapat digunakan secara luas dalam memberi gambaran karyawan mana yang dapat dikembangkan menjadi seorang wirausaha. Hal ini akan membantu seluruh pihak terkait, terutama pihak perusahaan ketika menentukan target retirement planning (program perencanaan masa pensiun) dalam mengembangkan cikal bakal wirausaha. Selain itu, hasil penelitian ini dapat memberi gambaran kepada karyawan mengenai potensi-potensi yang dimiliki oleh dirinya.
Universitas Indonesia
Hubungan adversity quotient..., Nadia Setyaningrum, FPsi UI, 2009