BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1
Simpulan Sampel peneliti terbagi dalam 2 kelompok yaitu gamers DotA dan gamers
Ragnarok Online. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan tingkat agresivitas antara gamers DotA dengan Ragnarok yang dibagi ke dalam 4 dimensi berdasarkan jenis perilaku agresif : physical aggression, verbal aggression, anger, dan hostility. Dari hasil uji perbedaan tingkat agresivitas antara gamers DotA dan Ragnarok Online, diperoleh bahwa : 1. Tidak terdapat perbedaan tingkat agresivitas untuk dimensi physical aggression antara gamers DotA dan gamers Ragnarok Online. 2. Terdapat perbedaan tingkat agresivitas untuk dimensi verbal aggression antara gamers DotA dan gamers Ragnarok Online. 3. Terdapat perbedaan tingkat agresivitas untuk dimensi anger antara gamers DotA dan gamers Ragnarok Online. 4. Terdapat perbedaan tingkat agresivitas untuk dimensi hostility antara gamers DotA dan gamers Ragnarok Online. Hasil dalam penelitian menjelaskan tingkat agresivitas antara kedua kelompok yang dilihat dari 4 dimensi perilaku agresi dan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat agresivitas antara gamers Ragnarok Online dengan gamers DotA di Jakarta untuk 3 dimensi perilaku agresi yaitu; verbal aggression, anger, dan hostility. Dan untuk physical aggression tidak terdapat perbedaan dimana berbeda dengan asumsi awal peneliti bahwa physical aggression secara
keseluruhan dari kelompok gamers DotA berbeda dan lebih tinggi dibandingkan kelompok gamers Ragnarok.
5.2
Diskusi Hasil uji beda physical aggression menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan tingkat agresivitas antara kedua kelompok. Menurut Buss dan Perry (1992) terdapat 4 aspek penyebab agresivitas dan salah satunya adalah agresi fisik. Kemudian ditambahkan lagi menurut Baron dan Byrne (1994), timbulnya perilaku agresi muncul dari kondisi eksternal yaitu frustasi. Frustasi disini berupa provokasi langsung yang bersifat verbal ataupun fisik yang mengenai kondisi pribadi. Sejalan dengan pemikiran tersebut, walaupun tidak memiliki perbedaan tingkatan yang signifkan, physical aggression dari kedua kelompok cukup tinggi. Terlihat dalam tingkatan yang dimiliki dari kedua kelompok terdapat 38,2% untuk tingkat agresi sedang dan 34,5% untuk tingkat agresi tinggi menunjukkan bahwa kelompok gamers DotA tergolong memiliki tingkat physical aggression yang tinggi. Sedangkan untuk gamers Ragnarok hanya memiliki 14,5% untuk kategori agresi yang tinggi dan sebagian besar berada dalam kategori sedang dengan persentase 49,1%. Secara keseluruhan, akhirnya didapat bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok pada dimensi ini. Namun terdapat hal-hal yang dapat menjelaskan sedikit perbedaan perilaku antara kedua kelompok dalam dimensi
ini.
Dalam
dimensi
physical
aggression
terdapat
total
8
item
(1,5,9,13,17,21,23,25) dari total 25 item. Dalam blue print kuesioner dijelaskan bahwa 7 item (selain item 25) berisi mengenai agresi fisik yang secara langsung diarahkan terhadap individu lainnya, sedangkan item ke-8 (item 25) mengenai agresi fisik yang diarahkan terhadapt objek atau benda mati (merusak barang). Dalam hal
ini peneliti melihat raw score pada item ke-25 secara kasat mata bahwa ditemukan nilai rata-rata dari gamers Ragnarok Online jauh lebih tinggi dibanding gamers DotA. Dan jika dilihat untuk nilai rata-rata keseluruhan dari 7 item lainnya gamers DotA lebih tinggi dibanding gamers Ragnarok. Dengan kata lain, dalam dimensi ini terdapat dua jenis perilaku agresi fisik dan dari kedua kelompok memiliki tingkatan masing-masing untuk setiap perilaku. Berdasarkan hal tersebut dapat terlihat bahwa hanya dengan satu item yang berhubungan dengan agresi fisik terhadap benda sekitar (merusak barang) dari kelompok gamers Ragnarok dapat menarik nilai secara keseluruhan dari dimensi ini. Hal yang dilihat dari diskusi diatas adalah terdapat perbedaan tingkat agresi fisik juga antara kedua kelompok dalam agresi fisik yang ditujukan langsung terhadapt individu/gamers lainnya dan agresi fisik yang ditujukan kepada benda disekitarnya, namun secara keseluruhan tidak terdapat adanya perbedaan tingkat physical aggression. Hasil uji beda yang kedua menunjukkan bahwa tingkat verbal aggression dari kelompok gamers DotA lebih tinggi dibanding dengan gamers Ragnarok Online. Berdasarkan kategorisasi perilaku agresi dalam dimensi ini terdapat 43,6% responden dengan kategori sedang dan 36,4% dengan kategori tinggi untuk gamers DotA. Sedangkan untuk kelompok Ragnarok Online memiliki 47,3% untuk kategori sedang dan hanya 7% untuk kategori tinggi. Terlihat jelas bahwa agresi verbal yang dimiliki oleh kelompok gamers DotA lebih tinggi dibanding dengan gamers Ragnarok Online. Dalam hal ini akan dibahas lebih luas mengenai perbedaan perilaku yang muncul dari kedua kelompok yang dimana jenis game yang dimainkan keduanya tergolong violent video game. Masih terdapat beberapa faktor khusus yang
menyebabkan munculnya perbedaan tingkat agresivitas pada dimensi dari kedua kelompok dimana asumsi mengenai frekuensi bermain akan meningkatkan tingkat agresivitas oleh Anderson (2003) tentunya membuat kedua kelompok tentunya memiliki perilaku agresi yang meningkat. Perbedaan karakteristik dari kedua game menjadi stimulus utama munculnya perbedaan tingkat agresi verbal pada kedua kelompok. Berbeda dengan dimensi sebelumnya dimana dibahas mengenai faktor penyebab munculnya perilaku agresi salah satunya adalah faktor eksternal, dalam dimensi ini sejalan dengan faktor belajar menurut Baron dan Byrne (1994) dimana menjelaskan faktor belajar lebih kompleks dalam menerangkan agresi dan diyakini bahwa agresi merupakan tingkah laku yang dipelajari dan melibatkan stimulus sebagai determinan pembentukan agresi tersebut. Menurut Koeswara (1998) faktor tersebut disebut faktor sosial atau situasional. Sejalan dengan pikiran tersebut, karakteristik kedua game menjadi hal yang membedakan tingkat agresivitas dari kedua kelompok. Faktor situasional dalam hal ini adalah kondisi saat memainkan DotA yang melibatkan interaksi secara langsung dengan gamers lainnya baik rekan maupun lawan secara langsung maupun virtual menjadi stimulus untuk dengan cepat merespon keadaan yang diterima. Adrenalin yang dirasakan saat bermain dan berbagai stimulus membuat gamers pada kelompok DotA bisa dengan cepat berinteraksi dengan rekan maupun lawan. Perbedaan pendapat dengan rekan bermain dapat langsung disampaikan dalam suatu mini game dibanding suatu endless game (Ragnarok Online) yang walaupun frekuensi bermainnya panjang menjadi suatu social learning yang terus berkembang selama bermain. Faktor situasi lainnya juga adalah bagaimana keadaan antar pemain yang tercipta baik selama permainan maupun setelah permainan. Gamers dalam kelompok DotA cenderung lebih kerap berdiskusi mengenai game yang
sedang dilangsungkan bahkan berakhir pada perdebatan yang memicu emosi masing-masing individu bahkan sampai permainan selesai. Berbeda dengan karaktristik dari Ragnarok yang walaupun jangka waktunya jauh lebih panjang namun kurang mengalami interaksi dengan gamers lainnya secara langsung walaupun stimulus kekerasan dari game-nya sendiri lebih banyak. Hasil uji beda untuk dimensi anger (kemarahan) menunjukkan perbedaan tingkat agresivitas dari kedua kelompok gamers. Dalam penelitian ini terlihat bahwa tingkat anger dari gamers DotA lebih tinggi dibanding dengan tingkat anger dari gamers Ragnarok Online. Kategorisasi perilaku pada dimensi ini terlihat jelas dominasi dari gamers DotA dengan 36,4% memiliki agresi sedang dan 43,6% memiliki agresi tinggi, dibanding dengan gamers Ragnarok dengan 58% dalam kategori sedang dan 7,3% dalam kategori tinggi. Berkowitz (1993) mengatakan bahwa frustasi menyebabkan sifat siaga untuk bertindak secara agresif karena kehadiran kemarahan (anger) yang disebabkan oleh frustasi itu sendiri. Individu bertindak secara agresif maupun tidak bergantung dari kehadiran isyarat agresif yang memicu kejadian aktual agresi tersebut. Sejalan dengan pandangan dari Berkowitz (1993), anger atau kemarahan menjadi salah satu pemicu munculnya perilaku agresi dan dalam penelitian ini adalah gamers Ragnarok Online dan gamers DotA. Tambahan dari Santrock (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya agresivitas diantaranya adalah kontrol diri. Berdasarkan pemikiran tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kondisi-kondisi saat bermain game yang memiliki banyak stimulus seperti tekanan dalam sebuah match (mini game) DotA yang harus dengan cepat diselesaikan dan distimuli oleh lawan maupun penonton dapat mengakitbatkan frustrasi yang bisa memicu munculnya anger (kemarahan). Walaupun Sears (1994) juga menyebutkan bahwa frustrasi tidak
selalu menghasilkan anger (agresivitas) itu muncul, namun dalam konteks ini berbicara mengenai kondisi permainan yang penuh tekanan dan timelimit yang juga berhubungan dengan kontrol diri. Gamers yang memiliki rentan usia remaja akhir menurut Gunarsa (1989) masih memiliki ketidakstabilan emosi dan sikap menentang tentunya akan menghasilkan suatu kontrol diri yang kurang baik dan mempengaruhi munculnya agresivitas. Dengan kontrol diri yang kurang dan frustrasi yang menyebabkan munculnya agresivitas, gamers DotA memiliki kesempatan secara langsung untuk mengekspresikan kemarahan yang mereka rasakan baik dalam bentuk agresi fisik maupun verbal dikarenakan interaksi dengan gamers lainnya bisa dilakukan secara langsung sehingga dapat dilihat dengan hasil dari dimensi sebelumnya. Berbeda dengan Ragnarok Online yang kurang mendapatkan stimuli seperti faktor-faktor yang dirasakan oleh gamers DotA. Seperti halnya dimensi verbal aggression, karakteristik dalam memainkan menjadi salah satu faktor besar munculnya tingkat agresi yang berbeda dan pada hal ini adalah lebih tinggi dari kelompok gamers DotA dan telah dibahas dalam diskusi diatas bagaimana munculnya perbedaan tingkat agresivitas antara kedua kelompok. Hasil uji beda hostility (permusuhan) menunjukkan ada perbedaan tingkat agresivitas untuk kedua kelompok gamers. Dalam penelitian ini terlihat bahwa tingkat hostility dari gamers Ragnarok Online lebih tinggi dibanding dengan tingkat hostility dari gamers DotA. Kategorisasi data dari dimensi ini menyebutkan bahwa 49,1% gamers Ragnarok memiliki tingkat hostility sedang dan 38,2% memiliki tingkat hostility tinggi, sedangkan gamers DotA persentase didominasi pada kategori rendah dengan 56,4%. Jelas terlihat bahwa tingkat hostility yang dimiliki oleh kelompok gamers
Ragnarok lebih tinggi dibanding dengan gamers DotA. Berbeda dengan perilaku yang dimiliki oleh gamers DotA, gamers Ragnarok cenderung lebih dominan dalam hostility. Berhubungan dengan pembahasan sebelumnya mengenai tingginya perilaku agresi fisik gamers Ragnarok pada item 25 yang membahas mengenai agresi yang dilangsungkan terhadap benda mati atau merusak barang, maka dapat terlihat salah satu cara kelompok gamers Ragnarok menyalurkan emosinya. Jika saat bermain DotA pemainnya dapat berinteraksi secara langsung dan bisa merespon baik secara verbal dan fisik (ke pemain lainnya), maka karakteristik bermain dari Ragnarok Online yang membatasi perilaku tersebut karena dimainkan secara personal menjadi faktor penyebabnya. Menerima berbagai stimulus yang dapat memunculkan agresi menekan perasaan permusuhan (hostility) yang terus dirasakan oleh gamers Ragnarok hanya bisa disalurkan terhadap media yang ada disekitarnya. Diluar konteks tersebut juga faktor sosial menjadi salah satu pemicu perbedaan tingkat hostility. Dalam dunia permainan DotA walaupun terdapat sangat banyak tim dan kelompok, namun pemain atau gamersnya itu sendiri bukan milik dari kelompok tersebut. Mereka (gamers DotA) dapat berbaur dan mengikuti kompetisi ataupun melakukan war bersama dan berganti-ganti tim. Berbeda dengan kondisi gamers Ragnarok Online yang berada dalam satu guild (kelompok besar seperti sebuah kerajaan dalam game dan komunitas real) terus berperang dan melawan suatu guild sehingga terus terjadi perselihan antar kelompok yang saling memiliki gamersnya satu sama lainnya. Dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat agresivitas dari kedua kelompok gamers berdasarkan dimensi yang dibagi oleh Buss dan Perry (1992). Terdapat beberapa keterbatasan yang dapat didiskusikan lebih lanjut seperti
pembahasan lebih spesifik mengenai keterhubungan data demografis secara keseluruhan dengan setiap dimensi/variabel. Dari segi kuesioner yang diadaptasi dari Buss & Perry Aggression Questionnaire dilakukan sedikit perubahan dengan menghilangkan 4 item dari 29 menjadi 25. Namun esensi dari setiap item tidak berubah dan bentuk pernyataan sangatlah bersifat general sehingga secara kasat mata tidak menggambarkan pernyataan yang ingin melihat gambar perilaku agresivitas dari sebuah kelompok gamers yang bermain violent video games. Isi dari setiap pernyataan merupakan gambaran perilaku agresi secara keseluruhan dari individu. Dalam penelitian ini, terdapat suatu hal yang menggambarkan bagaimana output dari penelitian ini dimana bukan saja hanya melihat perbedaan tingkat agresivitas dari kedua kelompok, namun juga kekhasan/karakter perilaku agresi yang muncul dengan tingkatannya masing-masing kelompok dengan memainkan kedua game ini. Hasil dari data yang diambil dengan menggunakan alat ukur yang pernyataannya bersifat general ini dapat menggambarkan dan mengukur tingkat agresivitas kedua kelompok dikarenakan persepsi yang ditangkap oleh responden saat membaca dan mengisi kuesioner. Dalam mengisi kuesioner pada konteks ini diketahui oleh responden adalah untuk mengukur tingkat agresivitas, terhubung dengan data demografis yang menunjukkan game pilihan mereka membuat responden untuk memikirkan keadaan dan perilaku mereka saat memainkan game. Simpulan singkat dari pembahasan tersebut adalah gambaran agresivitas menunjukkan perilaku agresi responden dalam konteks mereka sebagai gamers (DotA/Ragnarok) baik perilaku saat bermain maupun setelah memainkan ataupun setiap hal yang berhubungan dengan game mereka sehingga dapat terlihat, dibahas dengan karakteristik masing-masing game dan perbedaan tingkat agresivitas antar
kedua kelompok.
5.3
Saran Beberapa saran yang dapat diajukan untuk penelitian ini maupun penelitian
selanjutnya: 1. Pada penelitian ini ditemukan satu dimensi yang bisa untuk diperluas lagi sehingga dapat lebih menggambarkan perilaku yang akan diukur seperti pada dimensi physical aggression dimana dalam dimensi tersebut juga masih memiliki 2 bagian dimana yang satu berhubungan dengan agresi terhadap individu dan yang satunya lagi berhubungan dengan agresi fisik terhadap benda (merusak). Penyebaran item dalam dimensi ini perlu diseimbangkan. 2. Penelitian dapat dilakukan lebih luas lagi dengan melihat berbagai faktor yang dapat menjadi intervening variable dalam penelitian ini seperti perluasan analisa untuk penelitian selanjutnya. 3. Pengembangan faktor analisa dalam penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan menghubungkan variabel-variabel baru terhadap variabel utama dan sampel dalam penelitian ini.