Bab 5 Ringkasan Setelah melakukan analisis pada bab tiga, penulis mengambil kesimpulan bahwa tokoh Kazue Sato mengalami gejala gangguan kepribadian ambang, karena ditemukan 5 kriteria gangguan kepribadian ambang tokoh Kazue Sato dalam tingkah laku, sikap, dan perkataannya. Kazue Sato merupakan seorang lulusan sekolah dan universitas ternama Q, ia juga adalah seorang karyawan perusahaan G yang merupakan perusahaan kelas 1 saat itu. Kemudian di malam hari ia berprofesi sebagai seorang pekerja seks komersial. Dalam karakter Kazue, ia memiliki pemikiran, sikap dan perasaan yang sangat kompleks. Kerumitan dalam perilaku dan karakter Kazue ini menjadi sebuah hal yang menarik untuk diteliti lebih dalam. Penulis menggunakan teori-teori mengenai perkembangan remaja, gangguan kepribadian, dan gangguan kepribadian ambang. Pada masa-masa sekolah lanjutan, Kazue mulai menunjukkan sifat ambisiusnya dan segala upaya yang ia lakukan dengan agresif untuk dapat diterima dan menerima penilaian yang tinggi terhadap dirinya oleh orang-orang di sekitarnya. Ciri 1 gangguan kepribadian ambang, yaitu usaha yang dilakukan dengan ketakutan untuk menghindari penolakan ditunjukkan Kazue dalam tingkah lakunya. Salah satu contoh upayanya adalah dengan mengikuti gaya berpakaian murid-murid golongan dalam di sekolah Q. Murid golongan dalam merupakan murid-murid yang berasal dari keluarga kaya raya dan memiliki status sosial yang tinggi seperti keturunan bangsawan. Kazue memalsukan kaus kakinya menyerupai kaus kaki bermerek Ralph Lauren yang selalu dikenakan semua murid lingkaran dalam. Upaya keras Kazue agar diterima oleh teman-teman sebayanya
80
menggambarkan kriteria nomor satu pada gangguan kepribadian ambang, yaitu usaha yang tidak beraturan untuk menghindari penolakan. (APA, 1994). Upaya-upaya tersebut dilatar belakangi keinginan Kazue untuk dapat diterima lingkungannya. Ini dijelaskan oleh Santrock (1998, hal.351), para remaja memiliki kebutuhan yang besar untuk disukai dan diterima oleh teman-temannya dan juga oleh kelompok-kelompok sosial yang lebih besar, hal ini akan menimbulkan perasaan senang ketika diterima atau bahkan sebaliknya akan menimbulkan stres yang ekstrim dan kecemasan ketika tersisih dan diremehkan oleh teman-teman sepantarannya. Kebutuhan akan penerimaan ini membuat Kazue merasa takut merasakan kesendirian. Saat Kazue menerima ancaman penggertakan dari murid-murid lingkaran dalam, ia merasa ketakutan karena ia sadar, ia tidak memiliki teman yang dapat dijadikan tempatnya bergantung. Ini berhubungan dengan kepanikan ektrim yang dialami saat merasakan kesendirian. (Sarason, 1999, hal. 285). Tekanan ini yang membuat Kazue akhirnya mengalami gangguan identitas, khususnya dalam citra dirinya. Gangguan identitas merupakan kriteria kedua dalam gangguan kepribadian ambang. Kriteria dua gangguan kepribadian ambang adalah gangguan identitas: ketidakstabilan citra diri atau pemahaman diri yang nyata dan terus-menerus. (APA, 1994). Citra diri Kazue sebagai gadis yang pandai dan cantik merupakan citra dirinya yang diberikan ayahnya. Ayah Kazue adalah seorang pegawai perusahaan kelas atas yang selalu ambisius dan berusaha sekuat tenaga untuk mencapai keberhasilan dan harga diri yang tinggi. Ia menanamkan prinsip yang sama pada Kazue sehingga ayahnya menjadi satu-satunya panutan hidup Kazue. Hal ini dijelaskan oleh Allen (2003, hal. 24) sebagai proses mirroring yang dialami oleh penderita gangguan kepribadian ambang. Mirroring atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pencerminan, merupakan proses pengesahan rasa harga diri seseorang berdasarkan 81
figur orang tua. Oleh karena itu, Kazue selalu percaya bahwa dirinya akan dihargai dan diterima jika ia berusaha lebih keras lagi. Sedangkan lingkungan sekolah Q tidak dapat menerima Kazue sebagai murid yang pandai dan berbakat seperti yang ayahnya katakan. Perbedaan inilah yang membuat Kazue akhirnya mengalami gangguan pada identitasnya. Identitas yang selama ini ia yakini, bahwa ia adalah seorang gadis yang pandai dan berbakat kemudian tidak mendapat pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Usaha agar tidak ditolak ini menyebabkan penderita gangguan kepribadian ambang mengalami perubahan pada mood mereka. Ini sesuai dengan kriteria tiga gangguan kepribadian ambang yaitu afek yang tidak stabil yang ditandai mood yang reaktif (contoh: episode disforia yang sering, iritabel atau kecemasan yang berlangsung beberapa jam dan jarang lebih dari 2 hari). Kazue memiliki seorang teman di sekolah Q. Ia adalah kakak Yuriko. Kakak Yuriko hanya berpura-pura menjadi teman Kazue, karena ia senang dapat menipu dan mempermainkan Kazue. Kakak Yuriko yang mengatakan bahwa jika Kazue semakin kurus maka Kazue akan semakin cantik. Pernyataan ini diyakini Kazue hingga akhir hidupnya. Karena hal inilah akhirnya Kazue mengalami gangguan makan. Kakak Yuriko berpendapat bahwa Kazue adalah perempuan yang tidak mengenali dirinya sendiri. Selalu menjadi bayang-bayang orang lain atau bergantung pada penilaian orang lain terhadap dirinya. Hal inilah yang disebut gangguan identitas pada kriteria dua gangguan kepribadian ambang, yaitu gangguan identitas: ketidakstabilan gambaran diri atau perasaan diri yang nyata dan terus-menerus. Identitas sendiri menurut Ishihara (1991) adalah: “bukti dari keberadaan diri”, “kenyataan diri sendiri”, “karakteristik” dari cara
hidup,
“penilaian
terhadap
diri”,
dan
juga
“individualitas.
Kazue 82
menggantungkan pandangan terhadap dirinya kepada orang lain. Ia selalu mencari pengakuan dari orang lain mengenai identitasnya. Citra diri Kazue menjadi tidak menentu, karena ia tidak memiliki teman yang mengakui kemampuan dan bakatnya. Kazue hanya menggantungkan harga dirinya sesuai dengan yang ayahnya katakan, bahwa Kazue adalah gadis yang pandai, cantik, dan berbakat. Kazuepun meyakini sepenuhnya tentang nilai-nilai yang diberikan ayahnya. Dan ia menjadikan ayahnya panutan utamanya. Prinsip yang paling diyakini Kazue sebagai prinsip hidupnya adalah jika kita berusaha sekuat tenaga maka kita dapat mencapai semua yang kita inginkan. Selain itu, hanya diri kita sendiri lah yang dapat menaikkan nilai diri kita sendiri. itulah sebabnya, Kazue selalu mencoba untuk meningkatkan citra dirinya dengan berbagai upaya. Proses ini dijelaskan oleh Gunarsa sebagai proses identifikasi. Identifikasi hampir dapat disamakan dengan peniruan, akan tetapi sifatnya lebih mendalam dan menetap. Dengan identifikasi dimaksud bahwa tingkah laku, pandangan, pendapat, nilai-nilai, norma, minat, dan aspek-aspek lain dari kepribadian seseorang akan diambilnya dan dijadikan bagian daripada kepribadian seseorang akan diambilnya dan dijadikan bagian daripada kepribadiannya sendiri. Identifikasi ini dapat juga terjadi pada masa sebelumnya di mana anak mengidentifikasikan dirinya dengan orang tua, guru atau teman, secara tidak disengaja. (Gunarsa, 2010, hal. 88-89). Kazue mengidentifikasi pandangan, pendapat, nilai-nilai, norma, minat dan aspek lain dari kepribadian ayahnya menjadi kepribadiannya. Karena itu sejak ayahnya meninggal dunia, Kazue mengalami gangguan identitas yang semakin parah. Kematian ayahnya mengubah seluruh kehidupan Kazue. Kazue yang membenci ibunya karena tidak seperti ayahnya yang pandai dan berbakat menjadi semakin membencinya sejak kematian ayahnya. Karena pada saat ayahnya terjatuh di kamar 83
mandi, ibunya ada di rumahnya tetapi terlambat menolongnya. Inilah yang membuat Kazue semakin membenci ibunya dan sering kali melampiaskan kemarahannya kepada ibunya. Suatu kali ibunya sedang mengingatkan Kazue agar bergegas pergi ke kantornya karena sudah hampir terlambat. Tetapi reaksi Kazue adalah ia berteriak marah pada ibunya, dan meminta ibunya untuk tidak mencampuri urusannya. Reaksi yang spontan dan emosional ini sesuai dengan kriteria tiga gangguan kepribadian ambang yakni afek yang tidak stabil yang ditandai mood yang reaktif (contoh: episode disforia yang sering, iritabel atau kecemasan yang berlangsung beberapa jam dan jarang lebih dari 2 hari). (APA, 1994). Reaksi Kazue dapat dikatakan sebagai disforia atau depresi. Kazue yang depresi atas kematian ayahnya terus melampiaskan emosinya pada orang-orang di sekitarnya. Terutama ibunya. Ia tidak tahu siapakah yang pantas disalahkan atas kematian ayahnya dan beban yang ditanggungnya. Kazue merasa tertekan oleh beban sebagai tulang punggung bagi keluarganya. Karena ibunya hanya mengurusi taman di rumahnya, jadi Kazue merasa ibunya tidak berarti dan berguna bagi dirinya. Depresi yang dialami Kazue dijelaskan oleh Nolen. Nolen menyatakan bahwa mood yang tidak stabil ditandai dengan serangan depresi yang cukup parah dan kecemasan atau kemarahan yang sering timbul tanpa alasan yang jelas. (Nolen, 1998, hal 441). Kematian ayahnya membuat Kazue merasa telah kehilangan segalanya. Termasuk kehilangan dirinya sendiri. Hal ini yang membuat Kazue sering merasakan kesendirian dan kekosongan dalam dirinya. Perasaan kosong dan kesendirian ini sesuai dengan kriteria empat gangguan kepribadian ambang yaitu perasaan kosong yang kronis. (APA, 1994). Terlebih lagi setelah mendengar kabar mengenai kematian Yuriko, Kazue semakin merasa ia tidak memiliki siapapun dalam hidupnya. Yuriko juga berprofesi sebagai pekerja seks komersial seperti Kazue. Perasaan kosong yang 84
kronis ini berkaitan erat dengan gangguan identitas seorang penderita gangguan kepribadian ambang. Ini dijelaskan oleh Hurt dan Clarkin yaitu, seseorang yang mengalami gangguan pada identitasnya tercermin melalui perasaan kosong dan kebosanan yang kronis, serta ketidaktoleranan pada rasa kesendirian. Orang-orang ini memiliki kebutuhan yang besar akan keterlibatan dengan orang lain dan kepercayaan pada dukungan dari luar dalam hal definisi diri. (Hurt dan Clarkin dalam Sarason, 1990, hal.288). Tidak tersedianya dukungan dalam mempertegas definisi diri juga membuat Kazue sering mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosinya. Seperti salah satu contohnya, saat Kazue secara tidak sengaja bertemu dengan Takashi yang dulu adalah laki-laki yang ia sukai semasa sekolah lanjutan. Takashi mengatakan bahwa Kazue telah merosot dari yang dulu. Dan memperingatkan Kazue agar berhati-hati karena sepertinya Kazue mengalami gangguan jiwa. Mendengar hal itu, kemarahan Kazue pun meledak dan tidak dapat dikendalikan. Kemarahan Kazue sesuai dengan kriteria lima gangguan kepribadian ambang yaitu kemarahan yang tidak tepat, sering atau kesulitan dalam mengendalikan amarah (contoh: sering menunjukkan kemarahan, marah yang terus-menerus, sering berkelahi). (APA, 1994). Ia merasa kesulitan mengendalikan emosinya. Sehingga ia marah dan menangis. Reaksi ini sesuai dengan pernyataan Nolen mengenai mood. Mood yang tidak stabil ditandai dengan serangan depresi yang cukup parah dan kecemasan atau kemarahan yang sering timbul tanpa alasan yang jelas. (Nolen, 1998, hal. 441). Kemarahan yang timbul dalam diri Kazue ini tidak lain adalah karena ia merasa Kijima semakin meyakinkan dirinya bahwa ia memiliki harga diri yang rendah. Sesuai dengan penjelasan Santrock (1998, hal. 188), yaitu emosi sangat berkaitan erat dengan harga diri. Emosi yang negatif, seperti kesedihan, berkaitan dengan rendahnya harga diri seseorang. Sedangkan, emosi positif seperti kesenangan berkaitan dengan harga diri 85
yang tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap perubahan emosi dan keanehan sikap Kazue merupakan ekspresi atas gangguan pada identitasnya.
86