Bab 5 Ringkasan
Humanisme merupakan aliran dalam filsafat yang memandang manusia itu bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri, dan dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan diri. Pandangan ini adalah pandangan humanistis atau humanisme. Humanisme berasal dari kata humanus dan mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti bersifat manusiawi sesuai dengan kodrat manusia (Syariati, 1996:39). Istilah humanisme memiliki suatu nada yang simpatik. Istilah ini menampilkan suatu dunia yang penuh dengan konsep-konsep dan nilai-nilai penting seperti : martabat manusia, nilai-nilai kemanusiaan, hak azasi manusia, dan sebagainya. Pentingnya menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang meliputi segala aspek kehidupan merupakan prinsip seorang humanis (Syariati, 1996:40). Dasar dari humanisme adalah moral yang ada dalam setiap manusia dan etika dalam setiap hubungan antar manusia. Moral dan etika memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menuntun manusia dalam hidup kesehariannya. Ia mengajarkan apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan dan dihindarkan, ia juga mengajarkan apa yang menjadi hak dan kewajiban kita (Syariati, 1996:40). Humanisme atau perasaan kemanusiaan dalam bahasa Jepang disebut dengan ninjo. Ninjo termasuk ke dalam salah satu nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Jepang. Nilai-nilai ini telah banyak memberikan inspirasi dalam tatanan hidup bangsa Jepang. Bangsa Jepang merupakan bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional, meskipun Jepang sudah mengalami modernisasi yang luar biasa. Dari sini dapat
dilihat bahwa karakteristik orang Jepang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan akar-akar dari nilai kebudayaannya. Nilai-nilai tersebut tidak hanya tercermin dalam kehidupan sehari-hari bangsa Jepang, tetapi juga tercermin dalam karya seni dan karya sastra. Karya seni ini berupa kaligrafi, lukisan, atau seni drama. Sedangkan karya sastra berupa nikki (catatan harian), monogatari (cerita), shousetsu (novel), dan lainnya. Karya sastra yang akan penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebuah novel Jepang berjudul Shi No Hana karya Abe Tomoji, sastrawan Jepang yang pernah bermukim di Indonesia sekitar tahun 1940-an. Novel ini menceritakan kisah peperangan dari sisi kemanusiaan (ninjo) tokoh utamanya, Hinobe. Shi No Hana menggambarkan pengalaman Abe Tomoji saat menjadi milisi di Pulau Jawa. Situasi perang yang tidak menyenangkan, kepahitan para ilmuwan tawanan perang hingga dilema yang dialami Tomoji sebagai anggota milisi yang tersiksa oleh hati nurani humanismenya, semua tertulis secara nyata dalam Shi No Hana. Dasar dari humanisme adalah moral yang ada dalam setiap manusia dan etika dalam setiap hubungan antar manusia untuk berbuat baik. Moral dan etika memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menuntun manusia dalam hidup kesehariannya. Ia mengajarkan apa yang baik dan buruk, apa yang harus dilakukan dan dihindarkan, ia juga mengajarkan apa yang menjadi hak dan kewajiban kita (Syariati, 1996:40). Syariati (1996:41) mengutarakan bahwa dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, maka sikap dan perilaku kita harus senantiasa mendudukkan manusia lain sebagai mitra sesuai dengan harkat dan martabatnya. Hak dan kewajibannya dihormati secara beradab. Dengan demikian tidak akan terjadi penindasan atau pemerasan. Segala aktivitas bersama berlangsung dalam keseimbangan, kesetaraan,
dan kerelaan. Sikap dan perilaku positif menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dapat ditunjukkan antara lain : 1. Memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. 2. Mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan sebagainya. 3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tenggang rasa dan tidak semena-mena terhadap orang lain. 4. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, seperti : menolong orang lain, memberi bantuan kepada yang membutuhkan.
Demikian halnya dengan Hinobe, dasar dari sisi humanisme yang dimilikinya menuntun ia untuk melakukan hal yang harus dilakukan dengan berbuat baik. Hal ini ia tunjukkan dengan mengurungkan niatnya pulang ke Jepang untuk menolong para ilmuwan Belanda yang ditangkap. Moral dan etika untuk berbuat baik merupakan dasar dari sisi humanisme. Moral dan etika untuk berbuat baik yang dimiliki Hinobe menunjukkan dasar dari sisi humanismenya, sesuai dengan yang diutarakan oleh Syariati (1996:40). Syariati mengutarakan bahwa dasar dari humanisme adalah moral yang ada dalam setiap manusia dan etika dalam setiap hubungan antar manusia. Moral dan etika memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menuntun manusia dalam hidup kesehariannya. Hinobe bukan seorang Kristen, ia tetap menolong para ilmuwan Belanda, sehingga terbebas dari hukuman mati. Tanpa memandang suku, agama, ras, dan antar golongan, Hinobe memperjuangkan hak azasi para ilmuwan Belanda. Hak azasi yang paling mendasar yang dimiliki setiap manusia adalah hak untuk hidup. Hinobe
merasa bahwa itu sudah merupakan tugasnya sebagai manusia, untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Sikap dan perilaku positif menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dapat ditunjukkan dengan memperjuangkan dan menghormati hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, jenis kelamin, dan kedudukan sosial. Memperjuangkan hak azasi manusia tanpa memandang suku, agama, ras, dan antar golongan menunjukkan ciri-ciri perasaan kemanusiaan, seperti yang diungkapkan oleh Syariati (1996 : 41) Hinobe berpandangan bahwa penangkapan para ilmuwan Belanda adalah sebuah ironi. Hinobe memiliki hutang psikologis kepada bangsa Belanda atas ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh bangsa Jepang. Keingian pribadinya untuk menolong para ilmuwan Belanda bertentangan dengan keingian sosial yang wajib dilaksanakannya sebagai seorang milisi Jepang. Naluri kemanusiaan Hinobe mendorongnya pada perang batin dan posisi yang dilematis, karena ia merasa berhutang budi pada bangsa Belanda dan berkeinginan untuk membalas budi baik ini. Naluri kemanusiaan (ninjo) terkadang menimbulkan konflik batin dan salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan mengikuti tuntutan perasaan-perasaan kemanusiaan itu dan mengabaikan norma yang berlaku di masyarakat (Befu, 2001:167) Rasa simpati Hinobe ditunjukkan melalui perbuatannya dengan mendata para ilmuwan Belanda yang masih hidup. Rasa simpatinya timbul dari lubuk hatinya yang paling dalam, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Hinobe menunjukkan ninjo dengan rasa simpatinya menolong orang lain yang sedang berada dalam kesulitan. Doi (2002:33) mengutarakan bahwa ninjo dilakukan seseorang terutama bila melihat orang lain sedang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan .
Penulis meyakini bahwa tokoh Hinobe dalam melakukan suatu tindakan selalu didasari oleh perasaan-perasaan kemanusiaan. Di bawah tekanan sebagai seorang milisi Jepang, Hinobe merasa sangat menderita, karena apa yang telah dilakukannya sangat menusuk jiwa humanisnya. Oleh karena itu, Hinobe mulai melindungi para budayawan dan ilmuwan Belanda yang ditangkap, agar mereka terhindar dari hukuman mati. Sisi humanisme tokoh Hinobe membuat ia lebih peduli dengan nasib para ilmuwan Belanda yang menjadi tahanan Jepang.