BAB 5 RINGKASAN
Peranan bahasa dalam kehidupan manusia besar sekali. Hampir dalam semua kegiatan, manusia memerlukan bantuan bahasa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila banyak perhatian yang dicurahkan pada masalah yang berhubungan dengan bahasa. Ilmu yang mempelajari tentang bahasa disebut linguistik. Salah satu bidang ilmu dalam linguistik adalah sintaksis. Sintaksis adalah studi gramatikal mengenai kalimat. Berdasarkan jumlah klausanya, kalimat Bahasa Jepang dibagi menjadi dua, yaitu kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Berikut ini adalah contoh kalimat tunggal dan kalimat majemuk: 1. ひろしはテレビを見る。 'Hiroshi menonton TV.' 1. 「転校」という言葉の意味は学校を変えることです。 'Makna dari kata ‘tenkou’ adalah berpindah sekolah.' くつ
ぬ
2. 日本では靴を脱いで部屋に入るのが一般的である。 'Di Jepang, melepas sepatu sebelum memasuki ruangan adalah hal yang biasa.'
58
Kalimat nomor 1 adalah kalimat tunggal, sedangkan kalimat nomor 2 dan 3 adalah kalimat majemuk. Dalam kalimat majemuk terdapat sebuah klausa utama atau induk kalimat dan klausa tambahan atau anak kalimat. Anak kalimat yang digarisbawahi pada kalimat nomor 2 dan 3 adalah umekomisetsu (klausa tersembunyi). Dalam umekomisetsu tersebut terdapat no dan koto. No dan koto tersebut termasuk ke dalam golongan kata benda yaitu keishiki meishi, yang mempunyai fungsi yang sama yaitu membendakan kalimat dan frase. Namun, selama ini saya merasakan adanya keterbatasan pengetahuan dan informasi tentang cara pemakaian no dan koto, sehingga saya merasa kesulitan dalam membedakan pemakaian di antara kedua keishiki meishi tersebut. Oleh karena itu, saya ingin mengetahui bagaimanakah kemampuan pemelajar Bahasa Jepang lainnya dalam membedakan pemakaian no dan koto. Saya membatasi penelitian pada mahasiswa semester enam Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Bina Nusantara Jakarta, dengan menggunakan metode kuesioner atau angket. Angket tersebut berisi soal-soal tentang pemakaian no dan koto, yang terdiri terdiri dari dua bagian. Bagian pertama terdiri dari empat buah soal tentang keishiki meishi. Dan bagian kedua terdiri dari 12 soal tentang pemakaian no dan koto dalam kalimat. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah agar pemelajar Bahasa Jepang
59
tidak lagi mengalami kesulitan dalam membedakan pemakaian no dan koto. Dari analisis jawaban mahasiswa/i yang terdapat pada soal-soal angket, saya memperoleh hasil bahwa sebagian besar mahasiswa/i tidak mengalami kesulitan dalam membedakan pemakaian no dan koto. Pada soal nomor 1A dan 1B, sebagian besar mahasiswa/i mampu menjawab dengan benar. Tetapi, saya melihat adanya kesalahpahaman pada mahasiwa/i tentang pemakaian koto pada soal tersebut. Mereka terfokus pada kata shumi, maksudnya jika suatu kalimat menjelaskan shumi (hobi), maka koto yang dipakai. Padahal koto dipakai karena di belakang predikatnya ada jodoushi desu. Pada soal nomor 2 dan 3 tidak ada mahasiswa/i yang menjawab salah, karena baik no ataupun koto dapat digunakan. Tetapi, saya melihat bahwa kebanyakan mahasiswa/i cenderung memakai no saja atau koto saja. Padahal, jika predikatnya menyatakan perasaan dan penilaian, maka kedua-duanya baik no ataupun koto dapat dipakai tanpa merubah makna kalimat tersebut. Pada soal nomor 4A dan 4B sebagian besar mahasiswa/i mampu menjawab dengan benar. Tetapi, jawaban yang benar lebih banyak ditemukan pada soal nomor 4B. Dari hal tersebut, saya melihat adanya kesalahpahaman lagi pada mahasiswa/i dalam pemakaian koto. Mereka terkecoh oleh ~ga aru di akhir kalimat. Menurut mereka, jika
60
ada ~ga aru, maka koto yang dipakai. Padahal, koto pada soal tersebut dipakai untuk membendakan kata sifat, lalu menyatakannya sebagai suatu hal yang bersifat abstrak. Pada soal nomor 5 dan 6 sebagian besar mahasiswa/i mampu menjawab dengan benar. Mereka mengetahui bahwa no dipakai apabila kata kerja dalam induk kalimatnya adalah aktivitas pengindraan seperti melihat dan mendengar (bunyi atau suara). No dipakai untuk menyatakan bahwa objek dari kata kerja tersebut adalah hal yang bersifat nyata/konkret. Pada soal nomor 7 sebagian besar mahasiswa/i mampu menjawab dengan benar. Mereka mengetahui bahwa no dipakai dalam kalimat penekanan (kyouchoubun). Kesalahan mahasiswa/i paling banyak ditemukan pada soal nomor 8. Pada soal ini, dapat dilihat bahwa mahasiswa/i tidak dapat membedakan apakah perbuatan menunggu itu bersifat nyata/tidak. Dengan kata lain, mahasiswa/i belum menguasai dengan baik konsep konkret dan abstrak yang membedakan pemakaian no dan koto. Pada soal nomor 9 dan 10 sebagian dari mahasiswa/i mampu menjawab dengan benar. Mereka mengetahui bahwa koto dipakai untuk menyatakan suatu hal yang bersifat abstrak. Mereka menyadari bahwa objek dari pemikiran ataupun perintah itu bersifat tidak nyata/abstrak. Pada soal nomor 11A tidak ada mahasiswa/i yang menjawab salah. Tetapi, dapat
61
dilihat bahwa mahasiswa/i cenderung memakai no saja. Padahal, apabila subjek dan predikat dalam suatu kalimat dibendakan maka kedua-duanya baik no ataupun koto dapat dipakai untuk membendakan subjeknya. Berarti mereka tidak mengetahui adanya kesamaan dalam pemakaian no dan koto. Pada soal nomor 11B sebagian besar mahasiswa/i mampu menjawab dengan benar. Pada soal ini, mereka mengetahui no dipakai karena ada jodoushi desu di akhir kalimat. Pada soal nomor 12 sebagian mahasiswa/i mampu menjawab dengan benar. Tetapi sebagiannya lagi tidak mampu menjawab dengan benar. Mahasiswa yang menjawab salah tidak mengetahui bahwa pemakaian no dan koto untuk kata kerja kiku (mendengar) dapat dibedakan menurut objek yang didengar. Pada soal nomor 12, objek yang didengar adalah perkataan/ucapan. Jadi, kiku di sini digolongkan ke dalam aktivitas penyampaian. Dari hasil analisis jawaban kuesioner tersebut saya menyimpulkan bahwa mahasiswa/i sudah mampu membedakan pemakaian no dan koto dengan baik. Tetapi, mahasiswa/i cenderung tidak mengetahui adanya kesamaan dalam pemakaian no dan koto. Jadi, secara garis besar no dipakai untuk menyatakan hal, keadaan, dan aktivitas yang bersifat nyata/konkret, sedangkan koto dipakai untuk menyatakan hal, keadaan, dan aktivitas yang bersifat abstrak/tidak nyata.
62