ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT ANALITIK A Pendahuluan Seiring dengan perkembangan filsafat, abad XX ini ditandai dengan adanya suatu tema pemikiran tentang bahasa yang disebabkan oleh adanya situasi politik, ekonomi, dan perkembangan intelektual (Bertens,1991:11). Para tokoh filsafat memberikan nama pada gerakan filsafat abad XX ini dengan filsafat analitik atau filsafat bahasa, karena gerakan ini memiliki perhatian penuh pada bahasa dan usahausaha menganalisis ungkapan kebahasaan yang logis. Menurut Lorens Bagus(1996:249) filsafat analitik merupakan suatu ungkapan yang menghimpun semua karya filsafati abad XX yang bersandar kuat pada teknik linguistik dan analisis logis. Banyak istilah yang digunakan untuk nama gerakan filsafat bahasa abad XX ini seperti “analisis bahasa ”(linguistic analisis), “analitik logika”(logical analisis) ”madzhab cambridge”(cambridge schooll),”filsafat oxford (oxford philoshopy)” dan filsafat bahasa yang biasa (the philoshopy of ordinary languange). Adapun istilah analitik atau analisis dalam bahasa Ingggris merujuk kepada alasan Charlesworth yang menganggap bahwa pemilihan nama analitik adalah yang terbaik karena berdasarkan pada konsep umum dari sifat dan tujuan filsafat yang sering disebut oleh para filosof yaitu menganalisis. Charlesworth menganggap bahwa nama”analitik” tidak semestinya diterima secara sungguhsungguh seperti “eksistensialisme”, tetapi “analitik” seharusnya diterima sebagai istilah untuk kedudukan filsafat, misalnya Heidegger, Gabriel Marcel, Marleu Ponty
dan Sartre disebut orang-orang
eksistensialisme ( exsistensialis), begitu juga Moore, Rusell, Witgenstein, Ayer, Wisdom dan Ryle, bisa disebut orang-orang analitik (analysis). Timbulnya filsafat analitik(sebagaimana di jelaskan dimuka), dilatarbelakakngi oleh beberapa kondisi masyarakat dunia pada waktu itu diantaranya: kondisi politik, ekonomi, dan perkembangan intelektual. Akibatnya pada perkembangan bahasa , khususnya bahasa Inggris menjadi bahasa yang
paling penting pada abad XX, peranan ekspansi Amerika Serikat sebagai kekuatan politik dan ekonomi dunia, telah mendorong bahasa Inggris menjadi bahasa internasional pada abad XX walaupun sebelumnya bahasa Inggris telah berperan namun peranannya telah terisolir (Bertens, 1990:11) dengan demikian filsafat analitik sebagai suatu gerakan filsafat abad XX sangat berperan di Inggris dan Amerika. Gerakan filsafat analitik tidak dapat dilepaskan dengan gerakan filsafat sebelumnya , karena sudah menjadi kebiasaan bahwa untuk mengakaji suatu aliran filsafat tidak lepas dari aliran filsafat sebelumnya.
Para filsuf besar biasanya berdialog dengan masa lampaunya
sehingga memahami
pemikiran filsafat tentu senantiasa berhubungan dengan pemikiran atau filsafat-filsafat sebelumnya. Di antara para filsuf sendiri, terdapat filsuf yang lebih mengarahkan perhatiannya kepada masalah sintaktik dan semantik. Kelompok ini beranggapan bahwa bahasa sehari-hari tidak memadai untuk dipakai sebagai ungkapan ide-ide kefilsafatan. Bahasa sehari-hari mengandung banyak kelemahan seperti bermakna ganda, kabur, dan menyesatkan sehingga perlu disusun jenis bahasa khusus untuk filsafat yang bersifat logis, univok dan seragam. Sedangkan pada sisi lain, terdapat kelompok filsuf yang lebih mengarahkan perhatiannya pada aspek pragmatik. Kelompok ini beranggapan bahwa bahasa sehari-hari dapat digunakan untuk menyampaikan ide-ide kefilsafatan, asalkan diberi penjelasan kalau ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi (Mustansyir, 1995:46). Kelompok pertama sering disebut Atomisme Logik dan Positivisme Logik, sedangkan kelompok kedua disebut Filsafat Bahasa Biasa. Dalam pandangan penulis filsafat, Wicoyo (1997:4) dan Mustansyir (1995:37-38), filsafat' analitik terbagi dalam tiga aliran pemikiran filsafat bahasa yaitu atomisme logik (logical atomisme), positivisme logik (logical positivism), dan filsafat bahasa biasa (the ordinary language philosophy). Mereka membagi aliran filsafat analitik berdasarkan pada penggunaan bahasa biasa dalam menjelaskan maksud filsafat. Pada satu sisi ada pandangan bahwa bahasa biasa cukup memadai untuk menjelaskan pemikiran filsafat. Kelemahannya hanya terletak pada penyimpangan terhadap penggunaan bahasa biasa, tanpa diberikan penjelasan atau pengertian apapun terhadap bahasa tersebut. Pada sisi lain ada pandangan
bahwa bahasa biasa tidak cukup memadai untuk menjelaskan maksud pemikiran filsafat, karena bahasa biasa mengandung kekaburan, memiliki arti ganda, tidak dapat mengungkapkan sesuatu secara jelas (Alston, 1964:5-6). B. Aliran dan Tokoh Filsafat Analitik 1. Atomisme Logik Atomisme logik (logical atomism) sebagai salah satu bagian dari filsafat analitik mempunyai corak tertentu dalam pemahamannya. Salah satu tokoh filsafat analitik yakni Bertrand Russell (18721970) menjelaskan tentang pemahaman atomisme logik dalam suatu artikelnya sebagai berikut: There is nothing in logic that can help us to decide between monism and pluralism or between the view that there are ultimate relational facts and the view that there are none. My owns decision in favour of pluralism and relations is taken on empirical grounds, after convincing myself that the a priori arguments to the contrary are invalid (Charlesworth, 1959:49). (Tidak ada satupun dalam logika yang mampu membantu memutuskan antara monisme dan pluralisme, atau antara pandangan adanya suatu fakta rasional yang menjadi hal pokok dan tidak adanya pandangan tersebut. Keputusan saya dalam memperlakukan pluralisme dan hubunganhubungannya diterima sebagai pekerjaan empirik, setelah keyakinan saya yang berdasarkan beberapa argumen teori yang menentangnya menjadi tidak valid).
Sesuai penjelasan tersebut, Russell berusaha menghubungkan pemahaman monisme dengan pluralisme atau pandangan rasional dengan empiris. Sesuatu yang dipikirkan harus sesuai dengan kenyataan, atau sesuatu yang diungkapkan dengan kata-kata harus logis sesuai dengan akal sehat dan sesuai dengan faktanya. Monisme, pluralisme, rasionalisme dan empirisme, merupakan unsur-unsur pemikiran (atomisme) yang dapat membangun suatu pemikiran yang logis lewat bahasa, sehingga pemahaman atomisme logik
merupakan suatu pemahaman yang dibangun oleh unsur bahasa atau
proposisi atomik dengan analisa bahasa yang logis. Untuk memahami jenis pemikiran logis, Russell menjelaskan definisi dari jenis pemikiran logis sebagai berikut:
A and B are of the same logical type if, and only if given any fact of which A is a constituent, there is a corresponding fact which has B as a constituent, which either result by substituting B for A, or is the negation of what so result. To take an illustration, Socrates and Aristotle are of the same type because Socrates was a philosopher and Aristotle was a philosopher, are both facts. To love and to kill are of same type, because Plato loved Socrates and Plato did not kill Socrates are both facts (Charlesworth, 1959:53). (A dan B adalah jenis logika yang sama, jika dan hanya jika diberikan beberapa fakta untuk A sebagai unsur pokok ada kesesuaian fakta yang dimiliki oleh B sebagai unsur pokok, yang hasilnya merupakan pergantian B terhadap A atau sebaliknya. Sebagai ilustrasinya, Socrates dan Aristoteles adalah jenis yang sama karena Socrates adalah filsuf dan Aristoteles adalah filsuf, keduanya merupakan fakta. Mencintai dan membunuh adalah jenis yang sama, karena Plato mencintai Socrates dan Plato tidak membunuh Socrates, keduanya merupakan fakta).
Russell memahami bahwa dalam mengungkapkan pemikiran, terkadang tidak sesuai dengan faktanya dikarenakan kesalahan bahasanya. Kesalahan bahasa berkaitan dengan struktur bahasa, bentuk kalimat, atau kosa kata. Suatu kalimat atau bahasa yang menimbulkan keraguan seharusnya dianalisis untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna. Dalam hal ini Russell menjelaskan tentang kesalahan bahasa sebagai berikut: Language misleads us both by its vocabulary and by its syntax. We must be on out guard in both respects if our logic is not to lead to a false aphysic ..... The influence of vocabulary is towards a kind of platonic pluralism of things and ideas. The influence of syntax in the case of the Indo-European languages is quite different. Almost any proposition can be put into a form in which it has a subject and a predicate united by a copula. It is natural to infer that every fact has a corresponding form and consists in the possession of a quality by a substance (Charlesworth, 1959: 53). (Bahasa menyesatkan kita, baik dengan kosakatanya maupun dengan susunan kalimatnya. Kita hams menjaga kedua hal tersebut jika logika kita tidak menunjukkan suatu bentuk kesalahan.....kosakata mempunyai pengaruh terhadap beberapa hal atau ide pluralisme platonik. Pengaruh bentuk kalimat dalam kasus bahasa Indo-Eropa sangat berbeda. Hampir semua posisi dapat menempati dalam suatu bentuk yang menyatukan subjek dan predikat dengan kata kerja penghubung. Hal itu merupakan suatu yang wajar untuk menduga bahwa setiap fakta memiliki bentuk yang sesuai dan terbuat dalam sifat kedudukannya melalui substansi).
Berdasarkan penjelasan tersebut tugas utama filsafat adalah untuk menemukan bentuk logika yang nyata dari proposisi dan ungkapan analitiknya atau terjemahannya dalam bentuk tata bahasa yang netral. Dengn kata lain suatu bentuk yang tidak menimbulkan keraguan dari pemikiran kita yang akibatnya tidak memberikan kesimpulan metafisik yang sesat. Tugas utama filsuf analitik adalah menyusun bahasa ideal. Seseorang bisa menyusun bahasa ideal yang dapat memberikan keyakinan penuh terhadap struktur logika pemikiran. Dalam hal ini Russell berusaha membentuk filsafat yang bercirikan
ilmiah yaitu memberikan lebih penekanan pada analisa logis. Analisa logis ini merupakan dasar logika bagi Russell bahwa fungsi filsafat adalah untuk menganalisis bahasa. Tokoh atomisme logik lainnya adalah Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Pembahasan filsafat yang disampaikan oleh Wittgenstein terbagi dua bagian. Salah satu bagian pembahasannya, menjelaskan atomistme logik, dan di bagian lainnya menjelasakan filsafat bahasa biasa. Ia menjelaskan bahasa logis sebagai berikut: The right method of philosophy would be to say nothing except what can be said i.e. the propositions of natural science, i.e. something that has nothing to do with philosophy; and then always, when someone else wished to say something metaphysical, to demonstrate to him that he had given no meaning to certain signs in his propositions. The method would be unsatisfying to the other — he would not have the feeling we were teaching him philosophy but it would be the only strictly correct method (Charlesworth, 1959:80). Tidak akan ada metode yang paling baik kecuali apa yang dapat dikatakan dengan proposisi ilmu pengetahuan alam yaitu sesuatu yang tidak mesti dilakukan dengan filsafat, kemudian ketika orang lain ingin mengatakan sesuatu yang bersifat metafisik, dia melakukannya dengan sesuatu yang tidak diberi makna untuk tanda-tanda tertentu dalam proposisinya. Metode tersebut tak memuaskan bagi orang lain — dia tidak akan mempunyai perasaan bahwa kita sedang mengajarkan filsafat kepadanya, namun hal itu akan menjadi satu-satunya metode yang benar dan yang paling tepat).
Tujuan filsafat analitik ialah menerjemahkan semua pernyataan yang rumit dan deskriptif ke dalam pernyataan dasar atau elementer. Pernyataan dasar itu ditempatkan dalam suatu bagian tertentu yang tidak dapat dianalisis dalam menggambarkan dunia yang sederhana dan tidak dapat melampaui batasan bahasa. Filsafat tidak dapat melukiskan atau menjelaskan bagaimana bahasa dihubungkan dengan dunia nyata. Tugas yang tepat dari filsafat adalah membuat jelas apa yang dapat atau tidak dapat dikatakan secara baku. 2. Positivisme Logik Jenis aliran kedua dari filsafat analitik adalah positivisme logik. Salah sate. tokoh yang terkenal adalah Alfred Jules Ayer (1910-(…) ). 1a berasal dari Inggris dan dikenal sebagai filsuf Oxford. Bukubuku yang ditulisnya berjudul; Language, Truth and Logic (1936), The Foundation of Empirical
Knowledge (1940), The Origins of Pragmatism (1968), Russell and Moore —The Analitical Heritage (1971), Russell (1972), Probability and Evidence 1972, The Central Problems of Philosophy (1973). Pada karya-karya filsafatnya, ia dipengaruhi oleh penuturan-penuturan Russell dan Moore. Ia juga dipengaruhi atau ada kaitannya dengan pemikiran empirismenya David Hume (Bertens, 1990:33). Hubungan pemikiran Ayer dengan filsafat sebelumnya; yaitu Moore dan Russell adalah suatu upaya bentuk kritik terhadap filsafat sebelumnya terutama dalam bahasa-bahasa metafisik. Ada tiga permasalahan pokok dalam pemikiran positivisme logik yang dikemukakan oleh Ayer yaitu prinsip verifikasi, fakta empiris, dan kritik terhadap metafisik. Positivisme logik yang dimaksud Ayer adalah suatu upaya eksperimental untuk menghubungkan analisa logis Russell dan tradisi pemikiran empiris Inggris, terutama David Hume. Suatu pemikiran atau analisa dikatakan memiliki karakter positivisme logis apabila suatu pernyataan bisa dianalisis dengan prisnsip verifikasi. Pemikiran positivisme logik ditandai dengan perumusan prinsip verifikasi. Prinsip verifikasi yang dimaksud adalah: We say that a sentence is factually significant to any given person, if and only if he knows what observations would lead him under certain conditions, to accept the proposition as being true, or reject it as being false. If on the other hand, the putative proposition is of such a character that the assumption of its truth, or falsehood, is consistent with any assumption whatsoever concerning the nature of his future experience, then, as far as he is concerned, it is, if not a tautology, a mere pseudo-proposition. The sentence expressing it may be emotionally significant to him; but it is not literally significant (Bertens, 1990:33).(Kami mengatakan bahwa suatu kalimat pada kenyataannya bermakna bagi orang tertentu, kalau dan hanya kalau, ia tahu observasi-observasi mana yang akan membuat dia dengan syarat-syarat yang tertentu menerima suatu proposisi yang benar atau menolaknya sebagai salah. Sebaliknya, kalau apa yang dianggap sebagai proposisi bersifat demikian rupa sehingga menerima kebenaran atau ketidakbenarannnya dapat dicocokkan dengan pengandaian apapun juga mengenai pengalamannya dikemudian hari, maka bagi orang bersangkutan apa yang disebut proposisi itu tidak lain (kecuali kalau merupakan sutau tautology) dari proposisi semu saja. Mungkin kalimat yang mengungkapkan proposisi itu mempunyai makna emosional bagi dia, tetapi pasti tidak ada makna harafiah.)
Prinsip verfikasi dapat diketahui dengan: Pertama, verifikasi mempunyai maksud untuk menentukan makna suatu ucapan, bukan kebenarannya atau kesalahannya. Artinya suatu ucapan akan
mempunyai makna walaupun ucapan itu benar atau salah. Contohnya: "Bandung ibukota Indonesia." dan "Jakarta adalah ibukota Indonesia." Kedua, kalimat tersebut mempunyai makna karena adanya ketidakbenaran dan kebenarannya. Pada kalimat pertama mempunyai makna kalimat yang salah dan kalimat kedua mempunyai makna kalimat yang benar. Kedua kalimat mempunyai makna. Suatu kalimat tidak mempunyai makna jika kalimat tersebut tidak diketahui maksud dan tujuannya. Contoh seperti yang diberikan oleh Bertens (1990:35), "Hari ini cuaca lebih bagus daripada di luar." Kalimat ini tidak mempunyai makna, karena tidak diketahui kepada apa atau siapa ditunjukkannya, sehingga orang tidak dapat menilai kalimat itu benar atau salah. Menurut Ayer kalimat atau ucapan harus berdasarkan prinsip verifikasi yaitu ucapan yang bisa di observasi (observation statement). Dengan demikian prinsip verifikasi berdasarkan pengalaman empiris yang menyangkut realitas inderawi atau yang berdasarkan observasi. Positivisme logik menganggap suatu kalimat mempunyai makna jika kalimat itu memuat pengertian benar atau salah dan pernyataan itu menyangkut realitas inderawi yang berdasarkan observasi. Positivisme logik dan prinsip verifikasi Ayer memberikan jenis ucapan yang dapat dikatakan sebagai positivisme logik yaitu jenis ucapan matematika dan logika. Setiap ucapan atau kalimat matematika dan logika mempunyai makna benar dan salah, tetapi belum tentu mempunyai pengalaman realitas inderawi. Contoh: "Semua bilangan genap habis dibagi dua." "Kubus adalah suatu bidang yang mempunyai enam sisi." Ucapan-ucapan tersebut mempunyai nilai kebenaran. dalam menentukan benar dan tidaknya ucapan atau kalimat matematika seolah-olah tidak lepas dari pengalaman bahasa. Dengan demikian kalimat matematika tergantung simbol-simbol yang digunakan khusus untuk ucapan-ucapan kalimat matematika. Ayer dan filsuf lainnya menamakan tautology. Ada batasan-batasan tertentu untuk prinsip verifikasi, misalnya ucapan-ucapan masa lampau termasuk prinsip verifikasi, walaupun kita tidak mengalami peristiwa masa lampau. Contoh: "Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945." Kita yang sekarang hidup atau generasi yang akan datang tidak
ikut mengalami atau mengklarifikasi peristiwa kemerdekaan, tetapi menganggap bahwa kalimat itu benar karena berdasarkan prinsip verifikasi dan pengalaman orang yang dapat dipercaya kebenarannya, sehingga suatu ucapan atau kalimat tidak harus dapat diverifikasi sepenuhnya, tetapi cukup sebagian saja. Pada sisi yang lain, Ayer mengkritik tentang pemakaian bahasa metafisik, etika dan estetika. Menurut Ayer, kalimat atau ucapan yang mengandung metafisik, etika dan estetika tidak memiliki arti positivisme logik, karena tidak dapat diverifikasi. Contoh: "Tuhan menciptakan dunia". "Kita harus saling menghorrnati dengan orang lain". "Lagunya indah sekali." Contoh-contoh seperti ini, menurut Ayer tidak memiliki nilai realitas, namun hanya mempunyai arti bagi orang bersangkutan secara emosional. Dengan upayanya Ayer mengkritik metafisik filsafat sebelumnya agar dipandang sebagai suatu radikalisasi terhadap Russell (Bertens, 1990:37). 3. Filsafat Bahasa Biasa (Ordinary Language Philosophy) Bagian ketiga dari filsafat analitik adalah filsafat bahasa biasa. Ada tiga tokoh yang menjadi filsuf dalam pembahasan filsafat bahasa biasa. Ketiga tokoh yang menjadi filsuf dalam pembahasan filsafat bahasa biasa adalah Ludwig Wittgeinstein (1889-1951), Gilbert Ryle (1900-1976) dan John Langshaw Austin (1911-1960). Pembahasan Wittgeinstein terbagi dalam dua pembahasan. Pada satu sisi filsafatnya dibahas dalam filsafat atomisme logik, di sisi lain dibahas dalam filsafat bahasa biasa. Pembahasan filsafat Wittgeinstein kedua ada dalam filsafat bahasa biasa, karena adanya ketidakpuasan yang diwujudkan dengan kritikan terhadap filsafat atomisme logik. Pemikiran filsafat Witgeinstein II tertera dalam karyanya yang berjudul Philosophical Investigation yang dipublikasikan pada tahun 1953. Perubahan pemikiran filsafat Wittgeistein ini adalah perubahan dari bahasa logika ke arah penggunaan bahasa biasa dengan berbagai aspeknya.
Pada pemikiran filsafat yang kedua, Wittgeinstein menitikberatkan pada pembahasan tata permainan bahasa (language game).
Language game menempatkan proses menyeluruh penggunaan
kata termasuk juga pemakaian bahasa yang sederhana. sebagai suatu bentuk permainan. Wittgeinstein mengilustrasikan permainan bahasa dengan permainan sepak bola. Ia yakin bahwa dalam bahasa apapun ada permainan kata, layaknya dalam permainan sepak bola. Ada beberapa jenis bentuk dalam permainan bahasa diantaranya; memberi perintah serta mematuhinya, menggambarkan penampakan suatu objek, ataupun menentukan perkiraan tentang objek, ataupun menentukan perkiraan tentang objek tersebut. Menyusun sesuatu objek melalui pemerian, melaporkan jalannya suatu peristiwa, menyusun dan menguji suatu hipotesa menyuguhkan hasil suatu percobaan dalam bentuk tabel dan diagram, mengararang suatu cerita dan menceritakannnya kepada orang lain, bermain komedi menghayati syair lagu, menjawab tekateki, bersenda gurau, membuat lelucon, memecahkan persoalan hitungan praktis, mengalihbahasakan satu bahasa ke bahasa yang lain, bertanya, berterimakasih, mengucapkan salam, berdoa dan sebagainya (Mustansyir, 1995:84). Pada intinya pemikiran Wittgenstein II tidak melibatkan diri dalam corak pandangan yang bersifat metafisik. Ia lebih menekankan pemikiran filsafat dengan bahasa yang tertulis agar dapat dipahami dengan bahasa sehari-hari. Ryle mengembangkan pemikiran filsafat bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein II, dengan berupaya membedakan penggunaan bahasa sehari-hari dengan penggunaan bahasa biasa yang baku atau standar. Ryle memahami filsafat bahasa seharusnya diacuhkan pada penggunaan bahasa yang baku atau standar, bukan penggunaan bahasa menurut kebiasaan sehari-hari, agar dapat memberikan penjelasan yang memadai bagi penggunaan yang biasa/standar dan ungkapan atau kalimat. Menurut Ryle penggunaan ungkapan yang standar (ordinarily use expression) merupakan penggunaan istilah atau ungkapan teknis dalam bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai arti yang tepat. Dalam memahami istilah teknis sesuai pada tempatnya diperlukan penjelasan (clarification) yang cukup. Penjelasan tentang istilah teknis itu diperlukan melalui bahasa yang baku, seperti yang diberikan oleh Mustansyir (1995:94) dengan bahasa sehari-hari. Contohnya, kita perlu menjelaskan istilah
permintaan dan penawaran (demand and supplay) dalam istilah ilmu ekonomi dengan bahasa baku, sehingga kita bisa membatasi pengertian istilah "permintaan" dan "penawaran" dengan lingkupnya dalam bidang ilmu ekonomi. Apabila istilah itu dijelaskan dengan bahasa sehari-hari, akan menimbulkan kesalalahpahaman terhadap arti istilah itu yang sebenamya. Contohnya apabila digunakan dalam bahasa sehari-hari, seorang tetangga memohon 'permintaan" untuk menghadiri acara undangan di rumahnya. Jika istilah permintaan itu sama artinya dengan permintaan dalam bahasa baku dalam ilmu ekonomi, maka itu akan berbeda artinya atau menimbulkan kesalahpahaman. Kesalalahpahaman itu karena kita tidak menjelaskan batasan istilah permintaan dengan bahasa baku, tetapi dengan bahasa sehari-hari. Dengan demikian bagi Ryle, para filsuf sebaiknya menggunakan bahasa baku atau standar dalam menjelaskan pemikiran filsafatnya untuk menemukan arti yang tepat. C.Penutup Gerakan filsafat pada abad ke XX berpuncak pada perkembangan filsafat bahasa. gerakan ini memiliki perhatian penuh pada bahasa dan usaha-usaha menganalisis ungkapan kebahasaan yang logis. Timbulnya filsafat analitik dilatarbelakangi oleh beberapa kondisi masyarakat dunia pada waktu itu diantaranya: kondisi politik, ekonomi, dan perkembangan intelektual. Akibatnya pada perkembangan bahasa , khususnya bahasa Inggris menjadi bahasa yang paling penting pada abad XX, peranan ekspansi Amerika Serikat sebagai kekuatan politik dan ekonomi dunia. Dengan demikian filsafat analitik sebagai suatu gerakan filsafat abad XX sangat berperan di Inggris dan Amerika. Filsafat' analitik terbagi dalam tiga aliran pemikiran filsafat bahasa yaitu atomisme logik (logical atomisme), positivisme logik (logical positivism), dan filsafat bahasa biasa (the ordinary language philosophy).Atomisme Logic,
salah satu tokoh filsafat ini adalah
Bertrand Russell (1872-1970).
Menurut pandangan falsafi ini, sesuatu yang dipikirkan harus sesuai dengan kenyataan, atau sesuatu yang diungkapkan dengan kata-kata harus logis sesuai dengan akal sehat dan sesuai dengan faktanya. Atomisme logik merupakan suatu pemahaman yang dibangun oleh unsur bahasa atau proposisi atomik
dengan analisa bahasa yang logis. Positivisme Logik, jenis aliran kedua dari filsafat analitik adalah positivisme logik. Salah satu. tokoh yang terkenal adalah Alfred Jules Ayer. Positivisme logik yang dimaksud Ayer adalah suatu upaya eksperimental untuk menghubungkan analisa logis Russell dan tradisi pemikiran empiris Inggris, terutama David Hume. Suatu pemikiran atau analisa dikatakan memiliki karakter positivisme logis apabila suatu pernyataan bisa dianalisis dengan prisnsip verifikasi. Ordinary Language Philosophy adalah bagian ketiga dari filsafat analitik adalah filsafat bahasa biasa. Ada tiga tokoh yang menjadi filsuf dalam pembahasan filsafat bahasa biasa. Mereka adalah Ludwig Wittgeinstein (1889-1951), Gilbert Ryle (1900-1976) dan John Langshaw Austin (1911-1960). Filsafat bahasa biasa, tidak mengungkap bahasa dari penggunaannya yang teoritis, tapi menganalisis bahasa praktis dalam kehidupan sehari-hari.[]
DAFTAR PUSTAKA Alston, WT., 1964. Philosophy of Language, Englewood Cliffs, New Jersey Bagus, L., 1996. Karnus Filsafat, Gramedia, Jakarta. Bertens, K., 1990. Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Gramedia, Jakarta. Yogyakarta. Charlesworth, M.J.,1959. Philosophy And Linguistic Analysis, Duquesne University, Pittburgh. Mustansyir, R.,1995. Filsafat Analitik; Sejarah, perkembangan, dan peranan para tokohnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wicoyo, A. Joko., 1997. Filsafat Bahasa Biasa dan Tokohnya, Liberty, Yogyakarta.