BAB 4 PEMBAHASAN Bab 4 ini akan membahas setiap pengambilan keputusan yang dilakukan di Bab 3 disertai dengan alasan dan logika berpikirnya. 4.1
Pembahasan Pemodelan Runner Turbin
4.1.1
Penggunaan Pro/Engineer Wildfire 3.0 Seperti telah dibahas pada Bab 3, runner ini dibuat secara reverse dan
forward engineering yang berarti dibuat dengan cara menduplikasi suatu produk, komponen-komponennya, atau subassembly-nya yang telah ada sebelumnya tanpa melanggar hak paten atau hak cipta yang telah ada, lalu bagian-bagian lainnya diubah sesuai dengan rancangan yang diinginkan. Dengan demikian sumber pemodelan ini bisa berasal dari model runner serupa yang pernah ada sebelumnya. Selanjutnya model tersebut dimodifikasi dengan sebuah software. Alasan digunakannya software Pro/Engineer Wildfire 3.0 dalam pemodelan runner (pemodifikasian model) adalah: •
Model dalam Pro/Engineer Wildfire 3.0 adalah model tiga dimensi solid yang memberikan visualisai yang jelas mengenai volume dan permukaannya.
•
Pro/Engineer Wildfire 3.0 ini memiliki karakteristik parametrik yang berarti bentuk dan ukuran model 3D yang dibuat dapat diatur dari atributatribut (dimensi dan constraint) yang dimiliki oleh fitur pembentuknya.
•
Pro/Engineer Wildfire 3.0 juga memiliki karakteristik asosiatif yang berarti mampu meneruskan suatu proses desain ke proses lainnya yang berhubungan. Jadi ketika fitur suatu model yang merupakan suatu acuan berubah maka fitur yang mengacu padanya pun akan berubah
4.1.2
Konsep Pemodelan Runner Turbin Runner ini dibuat dengan cara menduplikasi runner turbin Francis serupa,
yaitu yang memiliki kecepatan spesifik yang sama dengan runner PLTA Sawi Dago ini. Desain rancangan untuk PLTA Sawi Dago ini sudah didapat
60
berdasarkan hasil perhitungan dari segi konversi dengan mempertimbangkan head, debit, putaran, kecepatan spesifik dan sebagainya (perhitungan ini tidak termasuk dalam cakupan bahasan tugas akhir ini). Rancangan ini memberikan dimensi-dimensi utama runner seperti diameter ring, diameter cone, tinggi cone dan posisi sudu pada runner. Ini merupakan sumber bagi forward engineering. Hal pertama dalam duplikasi ini adalah menskalakan runner turbin yang serupa tersebut agar ukurannya mendekati runner turbin PLTA Sawi Dago ini (kegiatan reverse engineering). Selanjutnya bagian cone dan ring dibuat ulang sesuai dengan rancangan dengan berbagai perintah yang terdapat pada Pro/Engineer Wildfire 3.0 (kegiatan forward engineering). Setelah selesai dengan ring dan cone, beralih ke sudunya. Sudu yang masih tertinggal harus disesuaikan lagi posisinya. Namun, hal ini tidak menjadi masalah, hanya dengan menduplikasi bentuk airfoil dari sudu tersebut lalu diposisikan sesuai dengan rancangan (kegiatan reverse engineering). 4.1.3
Pengetesan Model Runner Turbin Model runner yang sudah dimodifikasi sesuai dengan desain rancangan ini
pada akhirnya harus diuji apakah bisa menghasilkan daya keluaran yang diinginkan atau tidak. Pengujian ini dilakukan dengan software Fluent. Namun pengujian ini tidak termasuk dalam ruang lingkup kajian tugas akhir ini karena proses pengujian membutuhkan pengetahuan tersendiri. Jika hasil pengujian membuktikan model ini berhasil mencapai daya output yang sesuai, berarti model runner ini sudah benar dan siap dipakai. Tugas akhir ini membahas tentang pembuatan cetakan untuk wax pattern dengan produknya adalah sudu, maka dari model runner ini diambil model sebuah sudu untuk selanjutnya diproses untuk membuat cetakannya. 4.2
Pembahasan Pemodelan Cetakan untuk Wax Pattern Sudu Turbin
4.2.1
Penggunaan Space-E/Modeler Version 4.2 Banyak software yang menyediakan kemampuan untuk memodelkan
sebuah cetakan, namun untuk penulisan TA ini, penulis mencoba 2 jenis software saja yaitu Pro/Mold yang terintegrasi dengan Pro/Engineer Wildfire 3.0 dan Space-E/Modeler Version 4.2. Perbandingan antara kedua software tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut.
61
Tabel 4.1 Perbandingan Pro/Mold dengan Space-E Modeler Version 4.2 Kriteria Model
Space-E Modeler Version 4.2
Pro/Mold
Tiga dimensi permukaan (3D Tiga dimensi solid (3D solid) surface)
Karakteristik
Tidak
parametrik
asosiatif
dan
sehingga
tidak Parametrik dan asosiatif sehingga tidak memungkinkan
memungkinkan modifikasi
dilakukannya
modifikasi
Sifat produk yang Berbentuk kumpulan permukaan Berbentuk solid yang berarti diimpor ke dalam dimana setiap permukaan produk produk hanya dinyatakan sebagai dinyatakan sebagai sebuah item sebuah item saja
software
tersendiri Pemosisian produk
Dapat dilakukan pada software ini
Kemudahan dalam Mudah (user interface)
Harus dilakukan di Pro/Engineer Sulit, rumit
penggunaan perintah yang ada Pembuatan parting Secara line
dan
surface
manual
parting memberikan desainer,
sehingga Bisa
fleksibilitas didukung
perintah-perintah
yang
digunakan
otomatis
bagi Secara
dan
manual.
otomatis
akan
dengan memberikan
ketidakleluasaan
mudah bagi desainer dan jika secara manual akan rumit dan sulit karena
perintah-perintah yang
sulit digunakan
Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut dan pengalaman pribadi, maka dipilihlah software Space E Modeler Version 4.2 dengan segala fleksibilitas dan kemudahan yang dimilikinya.
4.2.2
Konsep Pemodelan Cetakan Di dalam sebuah cetakan terdapat rongga cetak yaitu rongga tempat
pembentukan cairan yang dituang dalam cetakan (dalam kasus ini adalah wax) menjadi produk (wax pattern). Rongga cetak dibentuk oleh [14]: •
Bagian berongga (cekungan) yang disebut juga cavity.
•
Bagian yang menonjol (inti) yang disebut core.
62
Dalam Space-E/Modeler, model yang akan dicor diterjemahkan menjadi benda berongga yang terdiri dari permukaan-permukaan sehingga dapat ditentukan permukaan mana yang akan menjadi permukaan core dan permukaan mana yang akan menjadi cavity. Lalu dengan pemodelan benda kerja dan parting surface dapat dibuat cetakan bagian core dan cetakan bagian cavity.
4.2.2.1 Pembahasan Pemosisian Sudu dalam Cetakan Proses ini memakan waktu yang paling lama. Model sudu yang tersedia dipanggil ke dalam Space-E dan di sini sudu diputar-putar terhadap suatu datum (untuk kasus ini, datumnya berupa sumbu koordinat XYZ) sehingga posisinya nanti di dalam cetakan harus: •
Tidak menimbulkan undercut.
•
Membutuhkan material benda kerja yang paling minimum.
4.2.2.1.1
Posisi Sudu Tidak Undercut
Undercut adalah suatu kondisi yang akan mempersulit proses pengeluaran produk dari cetakan, yang diakibatkan oleh pemosisian yang salah. Undercut ini juga akan mempersulit proses pemesinan cetakan tersebut karena ada bagian yang tidak terjangkau pahat. Lebih jelasnya lihat ilustrasi pada Gambar 4.1. Gambar 4.1a memperlihatkan produk yang akan dibuat cetakannya. Terdapat 2 pilihan cetakan untuk mengecor benda tersebut yaitu cetakan seperti Gambar 4.1 b dan Gambar 4.1c. Jika menggunakan cetakan Gambar 4.1b, maka akan terjadi undercut, rongga cetak membesar ke bawah (taper angle negatif terhadap arah bukaan cetakan) sehingga ada bagian yang tidak terjangkau pahat. Akibatnya rongga cetak itu tidak bisa dibuat dengan proses pemesinan (misal end milling) dan juga dengan cetakan seperti ini, produk coran tidak dapat dkeluarkan dengan mulus. Dengan memilih parting line yang lain dan parting surface yang lain seperti yang didapat pada Gambar 4.1c, akan didapat cetakan yang tidak menimbulkan undercut. Rongga cetak mengecil ke bawah (taper angle positif terhadap arah bukaan cetakan) sehingga bisa dilakukan proses pemesinan dengan mudah dan juga produk dapat dikeluarkan dari cetakannya dengan mudah.
63
a
b
c Gambar 4.1 Ilustrasi untuk undercut a. Produk yang akan dibuat cetakannya b. Cetakan yang mengalami undercut c. Cetakan yang tidak mengalami undercut
Untuk mengecek terjadi tidaknya undercut, model dapat dicek dengan menggunakan perintah Info/Measure-Check Taper Angle of Face. Perintah ini akan mengukur sudut dari sebuah permukaan terhadap arah bukaan cetakan (yaitu arah Z). Untuk menyatakan arah bukaan cetakan, harus mendefinisikan azimuth dan elevation pada dialog box check taper angle of face seperti Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Dialog box check taper angle of face
Pada kolom azimuth masukkan sudut revolusi arah bukaan pada bidang XY. Pada kolom elevation masukkan sudut antara arah bukaan terhadap bidang XY. Untuk kasus pengecekan undercut, arah bukaan sama dengan sumbu Z, sehingga azimuth = 00 dan elevation = 900. Lalu pilih permukaan sudu yang dihitung taper angle-nya. Klik di beberapa tempat pada permukaan tersebut dan akan keluar nilai taper angle-nya. Sebagai perbandingan antara model yang diposisikan tidak undercut dan model yang diposisikan undercut, akan diberikan 2 buah model seperti dapat
64
dilihat pada Tabel 4.2. Baris nomor 1 masing-masing memperlihatkan sudu yang sudah diputar-putar sehingga didapat posisi sedemikian rupa. Arah bukaan cetakan masing-masing adalah sumbu Z. Baris nomor 2 memperlihatkan nilai taper angle sebuah permukaan pada sudu. Permukaan ini baik di model 1 ataupun model 2 memberikan nilai taper angle yang positif. Berarti permukaan ini tidak menimbulkan undercut pada arah bukaan catakan. pada sebuah sisi. Baris 3 memperlihatkan nilai taper angle permukaan lain pada sudu. Dapat dilihat bahwa nilai taper angle permukaan ini untuk model 1 memberikan nilai yang positif, berarti permukaan ini tidak menimbulkan undercut terhadap arah bukaan cetakan bagi model 1. Namun, pada model 2, permukaan ini memberikan nilai taper angle yang negatif sehingga permukaan ini tidak bisa diletakkan pada arah bukaan ini. Untuk menyelesaikan masalah ini, bisa dengan memutar-mutar kembali sudu sehingga bisa didapat seperti model 1, atau dengan cara mengalihkan permukaan ini ke arah bukaan sebaliknya. Pengecekan taper angle of face ini juga dilakukan pada permukaan-permukaan lain sekeliling sudu. Baris nomor 4 pada Tabel 4.2 memberikan ilustrasi kemungkinan permukaan untuk core dan cavity. Permukaan bawah ditambah dengan permukaan sekeliling yang memiliki nilai taper angle yang positif ditinggalkan sebagai core, sedangkan permukaan atas ditambah dengan permukaan sekeliling yang memiliki nilai taper angle negatif dibawa sebagai cavity.
65
Tabel 4.2 Perbandingan Model 1 dan 2 Dari Segi Undercut
No.
Model 1
Model 2
1
Keterangan Masing-masing model sudu sudah diposisikan.
2
Pengecekan taper angle of face pada sebuah permukaan. Permukaan yang ini di kedua model memberikan nilai taper angle yang positif.
66
Tabel 4.2 Perbandingan Model 1 dan 2 Dari Segi Undercut (lanjutan)
No.
Model 1
Model 2
Keterangan
3 Pengecekan taper angle of face pada permukaan lain. Pada model 1, permukaan ini memberi nilai taper angle yang positif. Namun, pada model 2, permukaan ini memberikan nilai taper angle yang negatif. 4
Kemungkinan bentuk core dan cavity pada masing-masing model
67
4.2.2.1.2
Posisi Sudu Menghabiskan Material Benda Kerja Paling Minimum
Selain jangan menimbulkan undercut, sudu juga harus diposisikan sedemikian sehingga hanya memerlukan material benda kerja yang paling minimum. Hal ini dilakukan dalam rangka menekan biaya material. Bandingkan Gambar 4.3a dan Gambar 4.3b.
a
b
Gambar 4.3 Ilustrasi material benda kerja (kotak hijau) a. Material benda kerja untuk model 1 b. Material benda kerja untuk model 2
Gambar 4.3a memperlihatkan material benda kerja yang diperlukan untuk sudu yang diposisikan seperti model 1 sedangkan Gambar 4.3b memperlihatkan material benda kerja yang diperlukan untuk sudu yang diposisikan seperti model 2. Walaupun sama-sama tidak undercut tetapi jelas terlihat bahwa posisi nomor 1 lebih baik dari segi penghematan material benda kerja yang diperlukan.
4.2.2.2 Pembahasan Pengaplikasian Shrinkage pada Sudu Jika dilihat lagi proses investment casting pada tinjauan pustaka bab 2.1.1, maka dalam proses investment casting terjadi 2 kali penyusutan. Pertama ketika wax diinjeksikan pada cetakan, maka ketika wax mengeras akan terjadi penyusutan. Kedua ketika logam cair dituang ke dalam ceramic mold, maka ketika logam mengeras akan terjadi penyusutan juga. Jadi untuk didapat sudu hasil coran dengan ukuran yang sesuai dengan model harus mempertimbangkan kedua penyusutan tersebut. Logikanya adalah agar hasil coran setelah menyusut sesuai dengan model maka ceramic mold harus sedikit diperbesar. Besar ceramic mold ini bergantung
68
dari ukuran wax pattern. Wax pattern ini dibuat dengan cara diinjeksikan ke dalam cetakan, sedangkan wax juga mengalami penyusutan. Jadi ukuran cetakan harus diperbesar dengan mempertimbangkan penyusutan logam cair dan penyusutan wax. Tidak ada referensi yang pasti mengenai besar penyusutan dari logam cair dan wax ini. Namun, berdasarkan pengalaman perusahaan investment casting PT X, besar penyusutan ini dapat diperkirakan tergantung dari material logam yang akan dicor dan material wax yang dia miliki. Kali ini material sudu dibuat dari cast stainless steel G-X5 CrNi 13 4 (AISI CA-6 NM) dengan komposisi kimianya adalah seperti Tabel 4.3 berikut.
C 0.06
Mn 1.00
Tabel 4.3 Komposisi kimia material AISI CA-6 NM [15] P S Si Cr Ni Mo 0.045 0.035 1.00 12.50 4.00 0.70
Others -
Material wax yang dimiliki PT X tidak diketahui dengan pasti (rahasia perusahaan) hanya diketahui bahwa wax berbasis paraffin. Berdasarkan pengalaman perusahaan investment casting (PT X tersebut), besar penyusutan yang harus diterapkan untuk mengkompensasi penyusutan wax dan logam adalah sebesar 2,9 %. Sehingga model sudu untuk membuat ringga cetakan harus diperbesar 1,029 kali.
4.2.2.3 Pembahasan Pembuatan Model Benda Kerja Setelah didapat posisi benda kerja yang sekiranya memakan benda kerja paling minimum, lalu benda kerja diberikan ketebalan dari sudut-sudut sudu terluar sebesar kurang lebih 1 inchi untuk menahan tekanan injeksi yang nantinya diberikan pada cetakan ini. Untuk permukaan atas dan bawah diberi ketebalan kurang lebih 1,5 inci dari sudut-sudut terdalam untuk keperluan pencekaman. Diambil besar benda kerja 360mm x 250 mmx 150 mm.
4.2.2.4 Pembahasan Pemodelan Model Core dan Cavity Model core dan cavity selanjutnya dibuat dengan perintah-perintah di dalam Space-E/Modeler Version 4.2. Langkah-langkah pembuatannya dapat dilihat pada bab 3.2.4 dan 3.2.5.
69
4.3
Pembahasan Perencanaan Proses Pemesinan dengan Space-E/CAM Setelah didapat model cetakan dari Space-E/Modeler, model ini bisa
diimpor ke Space-E/CAM untuk dibuat perencanaan proses pemesinannya. Dan setelah perencanaan selesai, maka output dari proses ini adalah G-Code yang dapat digunakan pada mesin NC milling.
4.3.1
Penggunaan Space-E/CAM Untuk merencanakan sebuah proses pemesinan dan mensimulasikan
proses tersebut, dapat digunakan berbagai jenis software, diantaranya Pro/NC yang merupakan bagian dari Pro/Engineer, Space-E/CAM yang terintegrasi pada Space-E/Modeler dan masih banyak lagi. Pemilihan software Space-E/CAM sebagai perencana proses pemesinan kali ini semata-mata didasarkan pada kepraktisan bagi penulis. Model cetakan dibuat dengan Space-E/Modeler dan model ini dapat langsung diimpor ke SpaceE/CAM tanpa perlu media penerjemah.
4.3.2
Pembahasan Perencanaan Proses Pemesinan Core
4.3.2.1 Pendefinisian Awal pada Space-E/CAM untuk Core Pendefinisian awal meliputi model core yang akan dimesin, benda kerja awal, informasi mengenai spesifikasi mesin NC milling yang nantinya akan digunakan. Langkah-langkah ini sudah dijelaskan dengan baik pada subbab 3.3.1.1. Benda kerja yang digunakan terbuat dari material dural (paduan aluminium dengan tembaga, magnesium dan mangan [16]). Aluminium sangat umum digunakan untuk pembuatan cetakan untuk wax pattern. Aluminium ini merupakan bahan yang ekonomis, mudah untuk dimesin, memiliki konduktivitas termal yang baik, beratnya cukup ringan, tetapi cukup kuat (Sy = 450 MPa) untuk menahan tekanan dan temperatur penginjeksian wax (temperatur kerja 43-770C dan tekanan kerjanya berkisar antara 275 kPa-10,3 MPa [1]).
70
4.3.2.2 Pendefinisian Proses-Proses Pemesinan Core Sebenarnya banyak kombinasi proses pemesinan yang dapat digunakan untuk membuat cetakan core ini. Namun yang disajikan oleh penulis pada kesempatan ini hanyalah kombinasi akhir yang didapat oleh penulis yang dirasa paling baik. Kriteria baik yang diambil penulis didasarkan pada: •
Kombinasi
proses
pemesinan
tersebut
akan
menghasilkan
profil
permukaan core yang paling mendekati profil permukaan model. •
Kombinasi proses pemesinan tersebut lazim dan aman digunakan untuk dilakukan di mesin NC yang bersangkutan (First MCV 300). Penulis meminta pertimbangan dari operator mesin tersebut mengenai beberapa parameter yang biasa diaturnya. Hasilnya adalah penulis merancang suatu kombinasi proses pemesinan
untuk core yang terdiri dari 8 buah proses pemesinan, yang digolongkan menjadi 3 kategori operasi yaitu roughing, semi finishing dan finishing. Masing-masing proses perlu didefinisikan parameternya, pahatnya, area pemesinannya dan post processor yang digunakan. Langkah-langkah pendefinisian masing-masing proses dapat dilihat pada subbab 3.3.1.2. Pada bagian ini akan dibahas alasan pemilihan jumlah proses dan alasan pengambilan keputusan beberapa parameter.
4.3.2.2.1
Operasi Roughing pada Core
Roughing adalah proses pemesinan dengan kondisi pemesinan yang diatur sedemikian rupa sehingga memiliki laju penghasilan geram yang besar. Operasi roughing kali ini hanya terdiri dari satu proses saja yaitu proses contour roughing. Proses ini adalah proses pemakanan cepat untuk membentuk kontur. Parameter-parameter penting yang diambil dalam proses contour roughing ini adalah: •
Pahat yang digunakan adalah pahat roughing 20 mm, karena di bengkel pembuatan cetakan ini, pahat roughing yang tersedia dan lazim dipakai adalah pahat tersebut. Pahat ini bermata potong 4.
•
Kecepatan putaran spindel harus diatur agar mencapai kecepatan potong yang optimum untuk benda kerja aluminium dengan menggunakan pahat HSS, yaitu sebesar 70-150 m/menit [17]. Berdasarkan hasil pertimbangan
71
dari operator mesin yang sudah berpengalaman, biasanya digunakan putaran spindel sebesar = 2000 rpm. Lalu penulis menganalisa saran tersebut dengan cara menghitung kecepatan potong yang terjadi. Jika kecepatan potong melebihi range, akan terjadi kegagalan pada pahat (umurnya menjadi pendek) dan jika kecepatan potongnya terlalu rendah mengakibatkan ketidakefisienan (berhubungan dengan waktu dan biaya). Hasil perhitungan adalah sebagai berikut: v=
π ⋅d ⋅n
1000 π ⋅ 20 ⋅ 2000 v= 1000 v = 125,66 m / menit
Ternyata masuk dalam range yang disarankan sehingga putaran spindel digunakan 2000 rpm. •
Kecepatan makan harus diatur agar mencapai nilai yang optimum untuk benda kerja aluminium dengan menggunakan pahat HSS. Nilai optimum ini diperoleh berdasarkan gerak makan per gigi yang direkomendasikan sebesar 0,02-0,2 mm/gigi [5]. Gerak makan yang kecil akan menghasilkan permukaan yang halus, sedangkan gerak makan yang besar menghasilkan permukaan yang cenderung kasar. Jika dikombinasikan dengan nilai spindel, maka berdasarkan rumus kecepatan makan, fz =
vf z⋅n
⇒ v f = f z ⋅ z ⋅ n (dengan z = jumlah mata potong pahat = 4)
akan didapat nilai kecepatan makan yang berkisar antara 160-1600 mm/menit. Kecepatan makan yang kecil akan menyebabkan waktu pemesinan menjadi lama ( t c =
lt , untuk lt yang sama maka vf yang lebih vf
besar akan menghasilkan waktu pemesinan yang lebih singkat), walaupun permukaan pemesinan yang dihasilkan akan halus. Kecepatan makan yang terlalu besar akan menghasilkan permukaan yang kasar. Berdasarkan hasil pertimbangan dari operator mesin yang sudah berpengalaman, biasanya digunakan kecepatan makan sekitar 1000
72
mm/menit (berarti gerak makan per gigi 0,125 per gigi). Penulis menerimanya karena masuk dalam range yang diijinkan. •
Pemilihan operasi milling digunakan climb milling karena operasi milling jenis ini akan menghasilkan permukaan yang lebih halus dan juga lebih produktif.
•
Pemilihan Z-pitch (kedalaman potong per kontur) akan berpengaruh pada kontur permukaan. Semakin besar kedalaman potong maka kontur permukaan akan makin kasar (profil bentuk permukaan menyimpang jauh dari model) dan semakin kecil kedalaman potong, kontur permukaan yang diperoleh akan makin halus (profil bentuk permukaan lebih mendekati model). Karena roughing hanya bertujuan untuk memakan benda kerja dengan cepat, digunakan kedalaman potong yang besar. Namun, kedalaman potong maksimum yang dapat dicapai bergantung pada getaran yang akan timbuln dan kekuatan pahat, maka berdasarkan pertimbangan dari operator yang berpengalaman kedalaman potong maksimum per kontur sebesar 1 mm.
•
Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Makin besar akan menghasilkan permukaan yang kasar sedangkan nilai yang kecil akan menghasilkan permukaan yang lebih halus namun proses pemesinan menjadi lebih lama. Berdasarkan pertimbangan dari operator yang berpengalaman, untuk operasi roughing dengan diameter pahat 20mm, XY pitch sebesar 15 mm.
•
Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur sebesar 0,1 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,1 mm.
•
Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur sebesar 0,5 mm dengan pertimbangan bahwa 0,5 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses
pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses contour roughing ini, seperti pada Gambar 4.4. Modelnya berwarna-warni sesuai dengan indeks warna yang membandingkan hasil proses pemesinan dengan model yang
73
akan dicapai. Warna hijau menunjukkan bahwa antara hasil pemesinan sudah sama dengan model. Warna biru menunjukkan kelebihan hasil pemesinan terhadap model. Semakin tua warna birunya berarti kelebihan material semakin banyak. Warna merah menunjukkan proses pemesinan mencungkil permukaan benda kerja. Semakin tua warna merahnya berarti semakin banyak material yang tercungkil. Gradien warna ini diset per 0,5 mm.
Gambar 4.4 Hasil contour roughing pada core
Dapat dilihat bahwa masih banyak bagian yang berwarna biru tua. Kontur permukaan atau profil bentuk permukaannya berarti masih jauh dari model. Maka dari itu diperlukan operasi selanjutnya untuk membenarkan profil bentuk permukaannya.
4.3.2.2.2
Operasi Semi Finishing pada Core
Karena kontur permukaan core ini rumit, maka dari proses contour roughing didapat profil bentuk permukaan yang masih menyimpang jauh dari profil bentuk permukaan model. Jika langsung diproses finishing, maka akan terlalu banyak material yang harus dibuang. Padahal pada proses finishing pahatnya kecil, hal ini selain memakan waktu yang lama juga merusak pahat. Maka dari itu proses semi finishing diperlukan untuk mempersiapkan permukaan yang siap untuk diproses finishing.
74
Operasi semi finishing kali ini terdiri dari empat proses yaitu proses contour finishing tahap satu dan dua lalu dilanjutkan dengan parallel finishing tahap satu dan dua. Berikut adalah pembahasan masing-masing operasi tersebut.
4.3.2.2.2.1 Contour Finishing Tahap Satu pada Core Contour finishing adalah proses pemesinan untuk membenarkan profil bentuk permukaan (kontur) dari sebuah benda kerja yang sudah memiliki profil awal. Target pemesinannya adalah profil-profil permukaan pada benda kerja yang bentuknya masih menyimpang dari model. Karena kontur permukaan core ini rumit, maka parameter-parameter harus diubah sedikit demi sedikit. Parameter-parameter yang diambil: •
Pahat yang digunakan adalah pahat flat endmill 16 mm, dengan 4 mata potong.
•
Kecepatan putaran spindel tetap 2000 rpm, berarti kecepatan potong sebesar 100,53 m/menit.
•
Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan, berarti gerak makan per gigi 0,125 mm/gigi.
•
Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan memudahkan program untuk mengatur gerak pahat dalam menghabiskan profil-profil yang tidak sesuai.
•
Pemilihan Z-pitch (kedalaman potong per kontur) akan berpengaruh pada kontur permukaan, sehingga nilainya diperkecil menjadi 0,8 mm.
•
Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur sebesar 0,05 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,05 mm.
•
Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur sebesar 0,3 mm dengan pertimbangan bahwa 0,3 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses
pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses contour finishing tahap satu ini, seperti pada Gambar 4.5. Dapat dilihat masih terdapat
75
bagian berwarna biru dan biru tua. Kontur permukaan masih banyak yang menyimpang dari model perlu operasi lagi.
Gambar 4.5 Hasil contour finishing tahap satu pada core
4.3.2.2.2.2 Contour Finishing Tahap Dua pada Core Karena hasil dari proses contour finishing tahap satu masih belum memuaskan dilakukan lagi proses contour finishing tahap dua. Target pemesinannya masih profil-profil permukaan pada benda kerja yang bentuknya masih menyimpang dari model. Karena kontur permukaan core ini rumit, maka parameter-parameter harus diubah sedikit demi sedikit. Parameter-parameter yang diambil: •
Pahat yang digunakan adalah pahat flat endmill 12 mm dengan 4 mata potong.
•
Kecepatan putaran spindel tetap 2000 rpm, berarti kecepatan potong sebesar 75,39 m/menit.
•
Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan, berarti gerak makan per gigi 0,125 mm/gigi.
•
Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan memudahkan program untuk mengatur gerak pahat dalam menghabiskan profil-profil yang tidak sesuai.
•
Pemilihan Z-pitch (kedalaman potong per kontur) akan berpengaruh pada kontur permukaan, sehingga nilainya diperkecil lagi menjadi 0,5 mm.
76
•
Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur sebesar 0,05 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,05 mm.
•
Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur sebesar 0,3 mm dengan pertimbangan bahwa 0,3 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses
pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses contour finishing tahap dua ini, seperti pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6 Hasil contour finishing tahap dua pada core
Dapat dilihat kontur yang didapat sudah hamper mendekati profil bentuk permukaan model, tapi masih memerlukan proses selanjutnya.
4.3.2.2.2.3 Parallel Finishing Tahap Satu pada Core Hasil dari proses contour finishing tahap satu dan dua akan menghasilkan benda kerja yang memiliki profil permukaan dengan bentuk yang hampir benar. Namun, kekasaran profil permukaannya masih jauh dari kekasaran profil permukaan model yang diinginkan. Untuk itu langkah selanjutnya adalah proses parallel finishing. Target pemesinannya adalah seluruh permukaan benda kerja, sehingga selain memperbaiki kekasaran, kontur pun akan ikut diperhalus. Parameter-parameter yang diambil:
77
•
Pahat yang digunakan adalah pahat ball endmill 10 mm. Pahat ini bermata potong 2. Pahat dengan ujung ball akan menghasilkan jejak pemesinan yang lebih rapi. Ini sangat cocok untuk proses semi finishing tahap akhir.
•
Kecepatan putaran spindel dinaikkan menjadi 3000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 94,24 m/menit.
•
Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan, berarti gerak makan per gigi 0,16 mm/gigi.
•
Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan mempercepat pemakanan.
•
Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan sangat mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Nilai ini ditentukan berdasarkan ketinggian sisa hasil pemakanan pahat yang tidak boleh lebih dari 0,1 mm
•
Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur diperkecil menjadi 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm.
•
Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur tidak diubah yaitu 0,3 mm dengan pertimbangan bahwa 0,3 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses
pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses parallel finishing tahap satu ini, seperti pada Gambar 4.7. Dapat dilihat permukaan luar sudah hijau, kecuali bagian depan, sedangkan bagian rongga masih terdapat bagian berwarna biru. Diperlukan operasi pemesinan lagi untuk menghaluskan permukaannya.
78
Gambar 4.7 Hasil parallel finishing tahap satu pada core
4.3.2.2.2.4 Parallel Finishing Tahap Dua pada Core Hasil dari proses parallel finishing tahap satu masih kurang memuaskan sehingga dilakukan proses parallel finishing tahap dua untuk mendapatkan permukaan yang lebih halus agar lebih mendekati kekasaran profil permukaan model. Parameter-parameter yang diambil: •
Pahat yang digunakan adalah pahat ball endmill 8 mm. Pahat ini bermata potong 2. Pahat dengan ujung ball akan menghasilkan jejak pemesinan yang lebih rapi, sangat cocok untuk proses semi finishing tahap akhir.
•
Kecepatan putaran spindel tetap 3000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 75,39 m/menit.
•
Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan berarti gerak makan per gigi 0,16 mm/gigi.
•
Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan mempercepat pemakanan.
•
Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan sangat mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Nilai ini ditentukan berdasarkan ketinggian sisa hasil pemakanan pahat yang tidak boleh lebih dari 0,1 mm.
79
•
Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur tetap 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm.
•
Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur diperkecil menjadi 0,1 mm dengan pertimbangan bahwa 0,1 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses
pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses parallel finishing tahap dua ini, seperti pada Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Hasil parallel finishing tahap dua pada core
Dapat dilihat permukaan luar sudah hijau semua walaupun jejak pemakanan pahat masih terlihat. Namun, bagian rongga masih terdapat bagian berwarna biru. Diperlukan operasi pemesinan lagi untuk menghaluskan permukaannya.
4.3.2.2.3
Operasi Finishing pada Core
Karena kontur permukaan sudah hampir mencapai final, maka saatnyalah dilakukan proses finishing. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan permukaan yang halus dan menjangkau semua pojok yang tidak terjangkau oleh pahat-pahat sebelumnya. Oleh karena itu ukuran pahat yang digunakan pun lebih kecil dari proses semi finishing atau proses roughing. Operasi finishing kali ini terdiri dari tiga proses yaitu proses parallel finishing tahap tiga yang dilanjutkan dengan proses rest cutting tahap satu dan dua. Berikut penjelasannya satu persatu.
80
4.3.2.2.3.1 Parallel Finishing Tahap Tiga pada Core Hasil dari proses parallel finishing tahap dua menghasilkan benda kerja dengan kekasaran profil permukaan yang lebih mendekati model, tetapi diinginkan untuk menyempurnakan kekasaran profil permukaan agar lebih mendekati kekasaran profil permukaan model dan juga untuk menjangkau rongga cetak yang belum termesin. Maka, langkah selanjutnya adalah proses parallel finishing tahap tiga. Parameter-parameter yang diambil: •
Pahat yang digunakan adalah pahat ball endmill 6 mm. Pahat ini bermata potong 2. Pahat dengan ujung ball akan menghasilkan jejak pemesinan yang lebih rapi. Ini cocok untuk proses finishing tahap akhir.
•
Kecepatan putaran spindel dinaikkan menjadi 4000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 75,39 m/menit.
•
Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan berarti gerak makan per gigi 0,125 mm/gigi.
•
Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan mempercepat pemakanan.
•
Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan sangat mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Nilai ini ditentukan berdasarkan ketinggian sisa hasil pemakanan pahat yang tidak boleh lebih dari 0,005 mm.
•
Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur tetap 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm.
•
Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur diperkecil menjadi 0 mm dengan harapan tidak ada lagi perbedaan ketinggian dengan model. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses
pemesinannya, dan hasil dari proses parallel finishing tahap tiga ini seperti pada Gambar 4.9. Dapat dilihat permukaan luar sudah hijau sempurna. Namun, bagian rongga masih terdapat bagian berwarna biru. Diperlukan operasi pemesinan lagi untuk menghaluskan permukaannya.
81
Gambar 4.9 Hasil parallel finishing tahap tiga pada core
4.3.2.2.3.2 Rest Cutting Tahap Satu pada Core Proses parallel finishing tahap tiga masih menyisakan area-area pada rongga cetak yang tidak terjangkau. Untuk itu langkah selanjutnya adalah proses rest cutting yang bertujuan untuk “menghabiskan” sisa-sisa yang tidak termakan oleh proses sebelumnya. Idenya adalah dengan menggunakan pahat yang lebih kecil lagi sehingga dapat menjangkau semua bagian. Parameter-parameter yang diambil: •
Pahat yang digunakan adalah pahat ball endmill 4 mm. Pahat ini bermata potong 2. Pahat dengan diameter kecil diharapkan dapat membentuk profil sudut-sudut pada rongga cetak.
•
Kecepatan putaran spindel tetap 4000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 50,26 m/menit. Terjadi ketidakoptimuman (kurang maksimal). Namun, hal ini tidak apa-apa karena terbentur pada batasan kecepatan spindel. Berdasarkan pertimbangan operator yang berpengalaman, putaran spindel lebih dari 4000 rpm terkadang menimbulkan getaran.
•
Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan berarti gerak makan per gigi 0,125 mm/gigi.
•
Pemilihan operasi milling digunakan climb milling dengan tujuan menghasilkan permukaan yang lebih halus.
82
•
Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan sangat mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Nilai ini ditentukan dengan jejak yang konstan senilai 0,2 mm.
•
Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur tetap 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm.
•
Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur diperkecil menjadi 0 mm dengan harapan tidak ada lagi perbedaan ketinggian dengan model. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses
pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses rest cutting tahap satu ini, seperti pada Gambar 4.10. Menunjukkan sedikit perubahan pada hasil pemesinan. Karena kurang maksimal, perlu dilakukan lagi proses rest cutting dengan pahat yang lebih kecil.
Gambar 4.10 Hasil rest cutting tahap satu pada core
4.3.2.2.3.3 Rest Cutting Tahap Dua pada Core Proses rest cutting tahap satu masih tetap menyisakan area-area pada rongga cetak yang tidak terjangkau. Untuk itu langkah selanjutnya adalah proses rest cutting dengan menggunakan pahat yang lebih kecil lagi. Parameter-parameter yang diambil:
83
•
Pahat yang digunakan adalah pahat ball endmill 2 mm. Pahat ini bermata potong 2. Pahat dengan diameter kecil diharapkan dapat membentuk profil sudut-sudut pada rongga cetak.
•
Kecepatan putaran spindel tetap 4000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 25,13 m/menit. Terjadi ketidakoptimuman (kurang maksimal). Namun, hal ini tidak apa-apa karena terbentur pada batasan kecepatan spindel. Berdasarkan pertimbangan operator yang berpengalaman, putaran spindel lebih dari 4000 rpm terkadang menimbulkan getaran.
•
Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan berarti gerak makan per gigi 0,125 mm/gigi.
•
Pemilihan operasi milling digunakan climb milling dengan tujuan menghasilkan permukaan yang lebih halus.
•
Pemilihan XY pitch disamakan sebesar 0,2 mm.
•
Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur tetap 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm.
•
Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur diperkecil menjadi 0 mm dengan harapan tidak ada lagi perbedaan ketinggian dengan model. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses
pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses rest cutting tahap dua ini, seperti pada Gambar 4.11. Memperlihatkan hasil akhir dari proses pemesinan core ini. Semua sudut sudah terjangkau. Hanya ada bagian-bagian minor yang masih berwarna biru, namun besar perbedaannya kurang dari 0,3 mm. Hal ini sangat wajar terjadi mengingat untuk barang cetakan seperti ini tidak dibutuhkan ketelitian yang berorde mikron.
84
Gambar 4.11 Hasil rest cutting tahap dua pada core
4.3.3
Pembahasan Perencanaan Proses Pemesinan Cavity
4.3.3.1 Pendefinisian Awal pada Space-E/CAM untuk Cavity Pendefinisian awal meliputi model cavity yang akan dimesin, benda kerja awal, informasi mengenai spesifikasi mesin CNC milling yang nantinya akan digunakan. Langkah-langkah ini sudah dijelaskan dengan baik pada subbab 3.3.2.1. Benda kerja yang digunakan terbuat dari material dural (paduan aluminium dengan tembaga, magnesium dan mangan) sama seperti untuk core.
4.3.3.2 Pendefinisian Proses-Proses Pemesinan Cavity Seperti halnya untuk kasus pembuatan core, sebenarnya banyak kombinasi proses pemesinan yang dapat digunakan untuk membuat cetakan cavity ini. Namun yang disajikan oleh penulis pada kesempatan ini hanyalah kombinasi akhir yang didapat oleh penulis yang dirasa paling baik. Hasilnya adalah penulis merancang suatu kombinasi proses pemesinan untuk cavity yang terdiri dari 4 buah proses pemesinan yang digolongkan menjadi 3 kategori operasi yaitu roughing, semi finishing dan finishing. Masing-masing proses perlu didefinisikan parameternya, pahatnya, area pemesinannya dan post processor yang digunakan. Langkah-langkah pendefinisian masing-masing proses dapat dilihat pada bab 3.3.2.2. Pada bagian ini akan dibahas alasan pemilihan jumlah proses dan alasan pengambilan keputusan beberapa parameter.
85
4.3.3.2.1 Operasi Roughing pada Cavity Sama seperti halnya pada pemesinan untuk core, roughing pada cavity adalah proses pemesinan dengan kondisi pemesinan yang diatur sedemikian rupa sehingga memiliki laju penghasilan geram yang besar. Operasi roughing kali ini hanya terdiri dari satu proses saja yaitu proses contour roughing, yaitu proses pemakanan cepat untuk membentuk kontur. Parameter-parameter penting yang diambil dalam proses contour roughing pad cavity ini beserta alasan-alasannya sama persis dengan proses pemesinan roughing pada core, maka dari itu di sini hanya dicantumkan besar dari parameter-parameter saja. •
Pahat yang digunakan adalah pahat roughing 20 mm. Pahat ini bermata potong 4.
•
Kecepatan putaran spindel sebesar = 2000 rpm, berarti kecepatan potong sebesar 125,6 m/menit.
•
Kecepatan makan 1000 mm/menit (berarti gerak makan per gigi 0,125 per gigi).
•
Pemilihan operasi milling digunakan climb milling agar permukaan yang dihasilkan lebih halus dan metode ini juga lebih produktif.
•
Pemilihan Z-pitch (kedalaman potong per kontur) akan berpengaruh pada kontur permukaan. Diambil nilai maksimum yang bisa ditahan mesin yaitu sebesar 1 mm.
•
Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Untuk operasi roughing dengan diameter pahat 20mm, XY pitch diambil sebesar 15 mm.
•
Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur sebesar 0,1 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,1 mm.
•
Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur sebesar 0,5 mm dengan pertimbangan bahwa 0,5 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses
pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses roughing ini, seperti pada Gambar 4.12.
86
Gambar 4.12 Hasil contour roughing pada cavity
Dapat dilihat bahwa masih banyak bagian yang berwarna biru. Kontur permukaan atau profil bentuk permukaannya berarti masih jauh dari model. Tapi bila dibandingkan dengan proses contour roughing pada core maka pada cavity ini, contour roughing sudah memberikan hasil yang lumayan, hal ini diakibatkan kontur cavity yang tidak terlalu rumit. Tetapi tetap diperlukan operasi selanjutnya untuk membenarkan profil bentuk permukaannya.
4.3.3.2.2 Operasi Semi Finishing pada Cavity Karena kontur permukaan cavity ini tidak terlalu rumit, maka dari proses contour roughing didapat profil bentuk permukaan yang sudah mendekati profil bentuk permukaan model. Namun demikian, perlu diproses semi finishing terlebih dahulu sebelum diproses finishing agar material yang harus dibuang tidak terlalu banyak. Cara ini lebih aman dan tidak merusak pahat finishing nantinya. Maka dari itu proses semi finishing diperlukan untuk mempersiapkan permukaan yang siap untuk diproses finishing. Operasi semi finishing kali ini terdiri dari satu proses saja yaitu proses contour finishing yaitu proses pemesinan untuk membenarkan profil bentuk permukaan (kontur) dari sebuah benda kerja yang sudah memiliki profil awal. Target pemesinannya adalah profil-profil permukaan pada benda kerja yang bentuknya masih menyimpang dari model. Parameter-parameter yang diambil:
87
•
Pahat yang digunakan adalah pahat flat endmill 16 mm. Pahat ini bermata potong 4.
•
Kecepatan putaran spindel tetap 2000 rpm, berarti kecepatan potong sebesar 100,53 m/menit.
•
Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan, berarti gerak makan per gigi 0,125 mm/gigi.
•
Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan memudahkan program untuk mengatur gerak pahat dalam menghabiskan profil-profil yang tidak sesuai.
•
Pemilihan Z-pitch (kedalaman potong per kontur) akan berpengaruh pada kontur permukaan, sehingga nilainya diperkecil menjadi 0,8 mm.
•
Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur sebesar 0,05 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,05 mm.
•
Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur sebesar 0,3 mm dengan pertimbangan bahwa 0,3 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses
pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses contour finishing ini, seperti pada Gambar 4.13.
Gambar 4.13 Hasil contour finishing pada cavity
88
Dapat dilihat hanya tersisa bagian yang berwarna biru muda, berarti bisa langsung dilakukan proses finishing. Kontur permukaan dapat langsung diperbaiki dengan proses finishing selanjutnya.
4.3.3.2.3
Operasi Finishing pada Cavity
Karena kontur permukaan sudah hampir mencapai final, maka saatnyalah dilakukan proses finishing. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan permukaan yang halus dan menjangkau semua pojok-pojok yang tidak terjangkau oleh pahatpahat sebelumnya. Oleh karena itu ukuran pahat yang digunakan pun lebih kecil dari proses semi finishing atau proses roughing. Namun dalam kasus cavity ini tidak dibutuhkan pahat yang sangat kecil seperti halnya pada kasusu pemesinan core. Hal ini diakibatkan kontur cavity yang lebih sederhana dan tidak memiliki sudut-sudut rongga cetak. Operasi finishing kali ini terdiri dari dua proses yaitu proses parallel finishing tahap satu dan tahap dua. Berikut penjelasannya satu persatu.
4.3.3.2.3.1 Parallel Finishing Tahap Satu pada Cavity Hasil dari proses contour finishing akan menghasilkan benda kerja yang memiliki profil permukaan dengan bentuk yang hampir benar. Namun, kekasaran profil permukaannya masih cukup jauh dari kekasaran profil permukaan model yang diinginkan. Untuk itu langkah selanjutnya adalah proses parallel finishing. Target pemesinannya adalah seluruh permukaan benda kerja, sehingga selain memperbaiki kekasaran, kontur pun akan ikut diperhalus. Parameter-parameter yang diambil: •
Pahat yang digunakan adalah pahat ball endmill 10 mm. Pahat ini bermata potong 2. Pahat dengan ujung ball akan menghasilkan jejak pemesinan yang lebih rapi, sangat cocok untuk proses semi finishing tahap akhir.
•
Kecepatan putaran spindel dinaikkan menjadi 3000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 94,24 m/menit.
•
Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan, berarti gerak makan per gigi 0,16 mm/gigi.
89
•
Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan mempercepat pemakanan.
•
Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan sangat mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Nilai ini ditentukan berdasarkan ketinggian sisa hasil pemakanan pahat yang tidak boleh lebih dari 0,05 mm.
•
Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur diperkecil menjadi 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm.
•
Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur tidak diubah yaitu 0,1 mm dengan pertimbangan bahwa 0,1 mm sisanya ini akan dihabiskan secara bertahap dengan proses pemesinan selanjutnya. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses
pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses parallel finishing tahap satu ini, seperti pada Gambar 4.14.
Gambar 4.14 Hasil parallel finishing tahap satu pada cavity
Dapat dilihat permukaan sudah hijau, hanya tersisa bagian lekukan di sebelah kanan yang masih berwarna biru muda. Diperlukan operasi pemesinan lagi untuk menghaluskan permukaannya dan menghabiskan sisa di daerah lekukan.
90
4.3.3.2.3.2 Parallel Finishing Tahap Dua pada Cavity Hasil dari proses parallel finishing tahap satu masih kurang memuaskan sehingga dilakukan proses parallel finishing tahap dua untuk mendapatkan permukaan yang lebih halus demi mendapatkan kekasaran profil permukaan yang semirip mungkin dengan model. Parameter-parameter yang diambil: •
Pahat yang digunakan masih pahat ball endmill 10 mm. Pahat ini bermata potong 2. Sudah dicoba dengan pahat yang lebih kecil, namun hasil simulasi tidak memberikan perbedaan pada kontur, berarti masalah bukan pada ukuran pahat, tetapi pada parameter lainnya.
•
Kecepatan putaran spindel tetap 3000 rpm, sehingga kecepatan potong sebesar 75,39 m/menit.
•
Kecepatan makan dipertahankan 1000 mm/menit berdasar pertimbangan dari operator demi optimasi waktu pemesinan berarti gerak makan per gigi 0,16 mm/gigi.
•
Pemilihan operasi milling digunakan combination karena operasi jenis ini akan mempercepat pemakanan.
•
Pemilihan XY pitch atau jarak langkah pahat pada bidang XY akan sangat mempengaruhi kehalusan permukaan arah XY. Parameter ini mengatur jejak pemesinan. Nilai ini ditentukan berdasarkan ketinggian sisa hasil pemakanan pahat yang tidak boleh lebih dari 0,002 mm.
•
Penentuan tolerance yaitu toleransi bentuk kontur tetap 0,01 mm dengan harapan perbedaan bentuk kontur tidak lebih besar dari 0,01 mm.
•
Penentuan thickness yaitu toleransi perbedaan kedalaman kontur diperkecil menjadi 0 mm dengan harapan didapat dimensi akhir yang sesuai dengan model. Setelah semua pendefinisian selesai, jalankanlah simulasi proses
pemesinannya, dan setelah simulasi selesai dapat dilihat hasil dari proses parallel finishing tahap dua ini, seperti pada Gambar 4.15. Didapat seluruh permukaan berwarna hijau, berarti seluruh permukaan sudah mencapai profil permukaan model. Beberapa lokasi minor memang masih berwarna biru muda. Namun setelah dicek ternyata penyimpangannya di bawah
91
0,3 mm. Hal ini sangat wajar terjadi mengingat untuk barang cetakan seperti ini tidak dibutuhkan ketelitian yang berorde mikron.
Gambar 4.15 Hasil parallel finishing tahap dua pada cavity
4.4
Pembuatan G-Code Setelah
selesai
melakukan
simulasi
proses
pemesinan,
kegiatan
selanjutnya adalah menghasilkan G-Code yang dapat dibaca oleh mesin NC milling First MCV 300. Dalam setiap tahapan proses pemesinan, pasti didefinisikan post processor yang akan digunakan untuk proses pemesinan tersebut. Mesin NC milling yang akan digunakan adalah First MCV 300 dengan post processornya Fanuc Series Oi-MC. Post processor ini termasuk default untuk Space-E/CAM. Dengan perintah calculation, maka Space-E/CAM akan men-generate G-Code yang siap untuk digunakan. G-Code dari proses-proses pemesinan pada core dapat dilihat pada Lampiran C-1 hingga Lampiran C-8. Adapun G-Code dari proses-proses pemesinan pada cavity dapat dilihat pada Lampiran D-1 hingga Lampiran D-4.
4.5
Pembuatan Core dan Cavity Seperti telah disinggung di bagian atas, core dan cavity ini akan dibuat
dengan mesin NC milling First MCV 300. Mesin ini berada di UPT Tegal, LIK Takaru. Gambar 4.16 memperlihatkan foto mesin NC milling tersebut.
92
Gambar 4.16 Mesin NC milling First MCV 300
Mesin ini mempunyai 3 sumbu yaitu sumbu X, Y dan Z. Post processor yang digunakan pada mesin NC milling ini adalah Fanuc Oi-MC. Pahat-pahat yang dipakai dalam proses pemesinan dengan NC milling ini dapat dilhat pada Gambar 4.17.
Gambar 4.17 Pahat-pahat yang digunakan
Hasil pemesinan dengan menggunakan mesin NC milling ini adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.18. Gambar 4.18a adalah cetakan core dan Gambar 4.18b adalah cetakan cavity.
93
a
b
Gambar 4.18 Core dan cavity hasil pemesinan dengan NC milling a. Cetakan bagian core b. Cetakan bagian cavity
Dapat dilihat bahwa sisi-sisi dari cetakan core dan cavity tersebut berlebih. Hal ini disebabkan ukuran material benda kerja yang lebih besar daripada yang direncanakan di Space-E/CAM. Namun hal ini tidak masalah, dengan menggunakan mesin milling manual seperti yang ada di Laboratorium Teknik Produksi – Institut Teknologi Bandung (Gambar 4.19) kelebihan material pada cetakan tersebut dapat dipangkas.
Gambar 4.19 Mesin milling manual di Lab. Teknik Produksi - ITB
Hasilnya akan didapat cetakan core dan cavity yang rapi seperti terlihat pada Gambar 4.20. Setelah itu, dibuat lubang injeksi dengan menggunakan mesin bor. Ukuran dari lubang injeksi tergantung dari perusahaan pembuat wax pattern (dalam kasus ini yaitu PT X). Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4.21.
94
a
b
Gambar 4.20 Core dan cavity yang sudah dirapikan dengan milling manual a. Cetakan bagian core b. Cetakan bagian cavity
a
b
Gambar 4.21 Core dan cavity yang sudah diberi lubang untuk injeksi a. Cetakan bagian core b. Cetakan bagian cavity
Setelah itu dilakukan proses pengamplasan pada sekeliling luar cetakan sehingga penampilannya akan lebih menarik. Lalu diberi pemegang agar mudah untuk dibawa, lihat Gambar 4.22.
Gambar 4.22 Cetakan akhir
95