BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembahasan karakterisasi tokoh dalam novel Putra Salju karya Salman El - Bahry Berikut ini akan digambarkan karakter tokoh melalui showing. Pada data (1) adalah dialog tokoh ayah dan Rudi (1)“Ayah, buah kelapa terbawa air!” “Apa?! Buah kelapa hanyut? “Subhanallah! Ini banjir!” “Rudi, kau ambil jongkong di parit besar, ayah mau munggut buah kelapa!” (hal.10 bab 1)
Kutipan pada data (1) di atas menggambarkan jati diri penutur tokoh Rudi (protagonis). Mereka membicarakan banjir yang sedang datang. Dari kutipan ini kita dapat melihat jati diri tokoh bawahan (tokoh ayah) saat merespon kalaimat yang diucapkan tokoh Rudi. Dari kutipan ini tergambar jati diri tokoh ayah (tokoh bawahan) yang sedang panik saat mengetahui ada banjir. (2) Aku membuka jendela depan rumah memandangi air jatuh dari langit. Nun jauh di sana, aku melihat buah kelapa satu per satu mulai terbawa banjir mengarah anak parit. (hal.9)
Kutipan pada data (2) di atas menggambarkan lokasi percakapan Rudi dan ayah di rumah, karena ada kata jendela depan rumah. Rumah adalah tempat berkumpul sebuah keluarga. Dari kutipan ini menggambarkan bahwa tokoh Rudi dan ayah senang berkumpul bersama keluarga di rumah. (3)“Kenapa harus disandarkan pada nama Jusuf Kalla, Bi. Bukankah masih banyak nama lain, Bi?” “Ibumu pernah cerita padaku ketika mengandungmu tiga bulan, ia bermimpi melihat tanaman jagungnya bisa dipanen setiap hari. “Kenapa harus disandarkan pada nama Jusuf Kalla, Bi. Bukankah masih banyak nama lain, Bi?”
“Sebab sejauh pengetahuan ibumu, Jusuf Kalla adalah orang Bugis terkaya di Indonesia (hal.59)
Kutipan pada data (3) di atas menggambarkan jati diri tokoh ibu yang idealis, karena menginginkan Rudi dapat menelusuri jejak Jusuf Kalla, seorang pengusaha sukses di Indonesia yang berasal dari suku Bugis. Hal ini dapat dilihat dari dialog antara tokoh Bibi Khadijah dan Rudi. (4)“Ayah, buah kelapa terbawa air!” “Apa?! Buah kelapa hanyut? “Subhanallah! Ini banjir!” “Rudi, kau ambil jongkong di parit besar, ayah mau munggut buah kelapa!” (hal.10 )
Kutipan pada data (4) di atas menggambarkan nada suara Rudi dan ayah yang terkejut, karena mengetahui ada banjir. Kutipan pada data (4) di atas juga menggambarkan nada suara ayah yang sedang memerintah, karena ada kutipan tanda seru. Ayah memerintah anaknya untuk mengambil jongkong supaya memunggut buah kelapa. (4)“Ayah, buah kelapa terbawa air!” “Apa?! Buah kelapa hanyut? “Subhanallah! Ini banjir!” (hal.10)
Kutipan pada data (4) di atas menggambarkan sikap mental tokoh Rudi dan ayah yang bimbang saat mengetahui banjir telah datang. Kedua tokoh ini seolah tidak percaya kalau hujan yang turun membuat banjir datang dan menganyutkan buah kelapa. (4)“Ayah, buah kelapa terbawa air!” “Apa?! Buah kelapa hanyut? “Subhanallah! Ini banjir!”
Kutipan pada data (4) di atas juga menggambarkan nada suara tokoh Rudi dan ayah yang terkejut. Dari nada suara ini, menggambarkan tekanan tokoh Rudi dan ayah berasal dari kalangan petani, karena mereka membahas hasil tani. Dalam dialog tokoh Rudi dan ayah ini menggambarkan kalau mereka menggunakan dialek Melayu dan kosa kata yang baik hingga mereka segera bertindak.
(5) Aku segera berjalan ke parit besar sekitar dua puluh lima meter jaraknya dari rumah. Jongkong itu penuh air. Susah payah aku menimbanya dengan batok kelapa. Saat aku menarik jongkong mendekati rumah, air sudah mencapai lututku. Ayah turun dari rumah membawa sebuah tombak kelapa dan sebuah dayung. Aku disuruh mendayung, sementara beliau memunggut buah kelapa dengan tombak. (hal.11)
Kutipan pada data (5) menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh tokoh ayah dan Rudi saat banjir datang. Dari kutipan ini menggambarkan bahwa, kedua tokoh ini kedua tokoh ini cepat bertindak dalam menangani masalah. (6) “Sip! Utuh! Lengkap! Kata pak kades setelah membuka bungkus arsip dan memeriksanya satu persatu.(hal.37 bab 2) “Kemari nak!” Beliau melambaikan tangan ke arahku tatkala melihatku berdiri di depan pintu surau. “Siapa namamu, Nak?” Tanya pak kades “Ayah memanggilku Rudi. Ibu memanggilku Sufu. Di kelas aku dipanggil Bahar,” “Baiklah para hadirin, kalau dalam dongeng Putra Salju, seorang pangeran berkuda putih berasil menyelamatkan sang Putri dari tirani. Maka ketahuilah, mulai hari ini kita akan beri gelar kehormatan pada pahlawan kita ini dengan naaa…maaaa…, “Dengan gelaar… Putra Salju.” (hal.38-39 bab 2)
Kutipan pada data (6) menggambarkan dialog antara tokoh Rudi dan Pak Kades. Kutipan pada data (6) di atas menggambarkan jati diri penutur tokoh (protagonis). Mereka membicarakan masalah arsip desa. Dari kutipan ini kita dapat melihat jati diri tokoh bawahan (Pak Mukhtar) saat mengetahui arsip desa diselamatkan Rudi. Dari kutipan ini tergambar jati diri tokoh Pak Mukhtar yang sedang bahagia. Sebagai penghargaan beliau pada Rudi, Ia memberi gelar kehormatan yang bernama “Putra Salju” nama yang terisnpirasi dari dongeng Putri Salju. Kutipan ini juga kita dapat melihat jati diri tokoh Rudi saat merespon pertanyaan Pak Kades, Rudi berani berhadapan dengan Pak Kades. (7) Sebelum setelah rapat di balai desa. Pak Kades mengumumkan lagi melalui corong surau bahwa nanti malam Jum’at akan diadakan muhasabah. (hal.36 bab 1) Sebelum acara ditutup, aku mencari celah menemui Pak Ramli, wakades, aku ingin mengabarkan bahwa arsip desa selamat. Pak Ramli langsung merespon. Beliau langsung berdiri berjalan mendekati Pak Kades.
Kutipan pada data (7) menggambarkan lokasi percakapan Rudi dan Pak Kades di balai desa, malam Jum’at. Balai desa menggambarkan sebagai tempat pertemuan semua warga untuk membicarakan masalah desa. Dari kutipan ini, kita bisa melihat bahwa, tokoh Rudi dan Pak Kades suka mengadakan pertemuan dengan masyarakat. Selanjutnya dalam jati diri tokoh yang dituju penutur antara tokoh Rudi dan Pak Kades tidak ditemukan dalam penelitian ini. Pada data (6) ini juga menggambarkan sikap mental tokoh Pak Kades (6) “Sip! Utuh! Lengkap! Kata pak kades setelah membuka bungkus arsip dan memeriksanya satu persatu.(hal.37 bab 2) “Siapa namamu, Nak?” Tanya pak kades “Kemari nak!” Beliau melambaikan tangan ke arahku tatkala melihatku berdiri di depan pintu surau. “Ayah memanggilku Rudi. Ibu memanggilku Sufu. Di kelas aku dipanggil Bahar,” “Baiklah para hadirin, kalau dalam dongeng Putra Salju, seorang pangeran berkuda putih berhasil menyelamatkan sang Putri dari tirani. Maka ketahuilah, mulai hari ini kita akan beri gelar kehormatan pada pahlawan kita ini dengan naaa…maaaa…, “Dengan gelaar… Putra Salju.” (hal.38-39 bab 2)
Pada data (6) menggambarkan sikap mental tokoh Rudi yang penuh percaya diri, karena telah berhasil menyelamatkan arsip desa. Sikap mental tokoh Pak Kades yang gembira saat mengetahui arsip desa selamat.Sehingga sebagai bentuk terima kasihnya pada Rudi, ia beri gelar kehormatan pada Rudi dengan gelar “Putra Salju” yang terinspirasi dari dongeng “Putri Salju”. Dalam kutipan data (6) ini kita dapat mengetahui sikap mental Rudi yang berani menjawab pertanyaan Pak Kades. Hal ini memberikan gambaran pada kita, bahwa Rudi berasal dari keluarga yang tahu adab, karena dalam kutipan ini, menggambarkan bahwa Rudi menjawab dengan hormat pertanyaan Pak Kades. Dalam menjawab pertanyaan Pak Kades, Rudi menggunakan kosa kata yang sopan, karena tidak ada kata-kata kasar yang keluar dari Rudi. Pada data (6) ini juga menggambarkan tindakan Rudi yang suka membantu, karena ia telah berjasa menyelamatkan arsip desa di balai desa saat banjir.
(7) Sebelum setelah rapat di balai desa. Pak Kades mengumumkan lagi melalui corong surau bahwa nanti malam Jum’at akan diadakan muhasabah. (hal.36 bab 1) Sebelum acara ditutup, aku mencari celah menemui Pak Ramli, wakades, aku ingin mengabarkan bahwa arsip desa selamat. Pak Ramli langsung merespon. Beliau langsung berdiri berjalan mendekati Pak Kades.
Kutipan pada data (7) memiliki hubungan dengan data (6) menggambarkan lokasi percakapan Rudi dan Pak Kades di balai desa, malam Jum’at. Balai desa menggambarkan sebagai tempat pertemuan semua warga untuk membicarakan masalah desa. Dari kutipan ini, kita bisa melihat bahwa, tokoh Rudi dan Pak Kades suka mengadakan pertemuan dengan masyarakat. Selanjutnya dalam jati diri tokoh yang dituju penutur antara tokoh Rudi dan Pak Kades tidak ditemukan dalam penelitian ini. (8) “Eegapaha, lookommagi bale rokkomu iyyae, Sufu? (“Banyak sekali, mau kau apakan ikan keringmu ini, Sufu?”) “Dibaalu’i di Guntung!” (di jual di Guntung) (hal 45 bab 3) “Apa ada orang yang mau beli. Di Guntung banyak ikan laut yang diasinkan? Apa ada orang yang suka makan ikan tawar yang diasinkan?” “Ayah, kita coba saja bawa sekarung. Kita tawarkan ke Pasar Haka,” (hal 45 bab 3)
Kutipan pada data (8) menggambarkan dialog tokoh Rudi, ibu, dan ayah. Dari kutipan ini menggambarkan jati diri tokoh bawahan yaitu tokoh ayah dan ibu saat berdialog dengan Rudi. Jati diri tokoh ibu yang sedang bingung saat merespon tindakan anaknya yang sedang mengumpulkan ikan-ikan. Dari kutipan ini juga menggambarkan jati diri tokoh ayah yang sedang bingung saat merespon tindakan yang sedang mengumpulkan ikan-ikan. Kutipan pada data (8) ini juga menggambarkan jati diri tokoh Rudi yang mampu membangun sebuah komunikasi dengan kedua orang tuanya. Hal ini dapat dibuktikan saat ia menjawab pertanyaan ibunya. Dalam data (8) ini, peneliti tidak menemukan jati diri tokoh yang dituju oleh si penutur, yaitu tokoh ayah, ibu, dan Rudi. Mereka hanya membahas masalah ikan-ikan yang dikumpulkan Rudi untuk dijadikan ikan asin yang mau dijual.
Pada data (8) ini menggambarkan sikap mental tokoh Rudi yang berani. Hal ini dapat dibuktikan saat ia mampu berdialog dengan baik dengan kedua orang tuanya. Pada data (8) ini juga menggambarkan nada suara Rudi yang sedang menjawab dengan menggunakan kosa kata yang baik. Hal ini menggambarkan tekanan bahwa, tokoh Rudi berasal dari keluarga sederhana. Pada data (8) ini menggambarkan tindakan tokoh Rudi yang membantu meringankan beban keluarga, karena ia rela mengumpulkan ikan-ikan di rawa dan mau dijual. Pada data (8) menggambarkan sikap mental tokoh ayah dan ibu yang penuh kebingungan, karena melihat aneh tindakan yang dilakukan Rudi, yaitu mengumpulkan ikan di rawa-rawa untuk dijadikan ikan asin. Sebab, sejauh pengetahuan mereka, ikan yang biasanya diasinkan itu berasal dari laut bukan dari air tawar. Pada data (8) ini menggambarkan nada suara ayah dan ibu yang heran dengan menggunakan kosa kata yang baik. Pada data (8) ini memberikan gambaran tokoh ibu menggunakan bahasa daerah Bugis. Sehingga memberikan tekanan bahwa, ibu termasuk orang yang menjaga kelestarian budaya. Pada data (8) ini, memberikan tekanan pada tokoh ayah, bahwa ia berasal dari keluarga yang sederhana, karena kita dapat melihat kosa kata yang digunakan ayah saat berdialog, ayah membahas masalah seputar ekonomi yang ada kaitanya dengan berjualan ikan. (9) Daripada tinggal di rumah usai pulang sekolah, setiap sore aku berkeliling ke kebun melihat bekas banjir, Bersama Nasir, aku menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Setiap pulang, kami memenuhi ember yang kami bawa dengan ikan yang masih hidup-hidup (hal.45 bab 3)
Pada data (9) memiliki hubungan dengan data (8). Pada data (9) menggambarkan lokasi dan situasi percakapan antara tokoh ayah, ibu, dan Rudi. Dalam kutipan ini, mereka sedang bercakap-cakap di rumah. Rumah menggambarkan sebagai tempat berkumpulnya keluarga, sehingga kita dapat merasakan bahwa keluarga Rudi suka berkumpul di rumah. ”Kemarin bibi sudah menjelaskan mengenai asal-usul nama pemberian ibu. Bagaimana dengan nama pemberian ayah, Bi?” (hal.77)
”Oh ya, bibi lupa menceritakanya.” Jika ibumu bermimpi jagungnya yang dipanen hari ini besok berbuah lagi, maka ayahmu bermimpi selama tiga malam berturut-turut, melihat tiga buah meteor jatuh dari langit menimpa rumahnya.(hal. 8) “Nah, ayahmu berkesimpulan bahwa mimpinya itu sebagai petunjuk, kelak anak yang masih dalam kandungan itu akan menjadi anak yang baik dan jenius. Disandarkan pada nama Bacharuddin Jusuf Habibie merupakan simbol kejeniusan putra bangsa.”(hal.78)
Pada data (10) menggambarkan dialog antara tokoh Rudi dan Bibi Khadijah yang membahas asal-usul pemberian nama dari ayah Rudi. Pada data (10) ini menggambarkan jati diri tokoh Rudi saat berdialog dengan Bibi Khadijah. Jati diri Rudi yang masih bingung menguak misteri mengenai asal-usul pemberian nama dari ayahnya. Pada data (10) ini, kita bisa melihat jati diri tokoh Bibi Khadijah yang berani memberikan penjelasan tentang asalusul pemberian nama Rudi dari ayah Rudi. Pada data (10) ini menggambarkan jati diri tokoh ayah yang idealis. Hal ini dapat kita lihat dari tuturan yang disampaikan oleh tokoh Rudi dan Bibi Khadijah yang secara implisit menggambarkan jati diri tokoh ayah. Pada data (1) menggambarkan sikap mental tokoh Rudi yang penuh kebingungan saat berusaha menguak misteri mengenai asal-usul pemberian nama dari ayahnya. Sikap mental inilah yang mendorong Rudi bertanya dengan nada suara yang penasaran. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya tanda tanya pada akhir kalimat. Nada suara yang penasaran inilah yang memberikan tekanan bahwa, tokoh Rudi berasal dari orang terdidik, karena dari kutipan dialognya ini, kita dapat melihat, bahwa Rudi bertanya dengan menggunakan kosa kata yang baik. Rasa penasaran inilah yang membuat Rudi melakukan tindakan yaitu ia berani bertanya pada Bibi Khadijah mengenai asal-usul pemberian nama dari ayahnya. (11)Usai shalat Isya, Bibi Khadijah memintaku menemaninya ke rumah Pak Kadir (hal.78)
Kutipan pada data (11) menggambarkan lokasi dan situasi percakapan tokoh Rudi dan Bibi Khadijah di jalan usai shalat Isya, karena dalam kutipan ini tidak digambarkan mereka
sedang bercakap-cakap di rumah, tetapi menemaninya ke rumah Pak Kadir. Jadi, peneliti simpulkan bahwa mereka bercakap-cakap saat berada di perjalanan menuju rumah Pak Kadir. (12)“Ayah, bukunya tebal sekali. Judulnya apa?” “Tafsir Al-Azhar, karya monumental penulis favorit ayah.” “Rudi, coba kau pikir, HAMKA itu sekolah formalnya Cuma SD. Lelaki kelahiran 17 Februari 1908 ini seorang otodidak sejati. Menerima dua gelar doctor Honoris Causa dari luar negeri, Malaisya dan Mesir. Menulis lebih dari 100 judul buku. Produktif bukan main. Sulit dicari tandinganya.” Kedua, Habibie. Mengapa ayah takjub pada Hbibie? Ayah menganggap Habibie sebagai lambang kejeniusan putra asli Indonesia. Andai Indonesia punya sepuluh orang seperti Habibie, Indonesia pasti maju. Indonesia bisa bersaing seperti Jepang.” (hal.81-83)
Pada data (12) menggambarkan dialog antara tokoh Rudi dan ayah. Dari kutipan ini, menggambarkan jati diri tokoh ayah yang mencintai ilmu, karena ayah suka membaca buku. Pada data (12) ini menggambarkan jati diri tokoh Rudi yang selalu penasaran melihat hal yang menurutnya baru. Dalam kutipan ini, peneliti tidak menemukan jati diri tokoh yang dituju oleh si penutur, karena mereka membahas sebuah buku karya Hamka. Selanjutnya pada data (12) menggambarkan sikap mental tokoh ayah yang selalu mengetahui hal-hal baru sehingga ayah selalu membaca buku untuk menambah wawasan. Kutipan pada data (12) ini juga menggambarkan sikap mental Rudi yang selalu penasaran hingga membuatnya bertanya pada ayah, saat melihat ayah membaca buku. (13) Sepulang sekolah aku mendapati ayah masih membaca. (hal.82)
Pada data (13) memiliki hubungan dengan data (12). Pada data (13) menggambarkan lokasi dan situasi percakapan ayah dan Rudi sedang terjadi di rumah, siang hari. Rumah menggambarkan sebagai tempat berkumpul sebuah keluarga, jadi tokoh Rudi dan ayah suka berkumpul dalam rumah. (14)“Gimana kalau kita mencari kesaktian di hutan. Biar aku yang menyediakan logistiknya?” “Aku setuju. Ini ide brilian!” Kalian mau ikut kami?”
“Putra, jangan-jangan Munawwir mati, “Tak apa-apa. Dia cuma pingsan.” (hal. 100 bab 7) “Kalau dia mati, aku dicincang bapaknya,” lanjut Rosihan terisak-isak. Tak pa-apa, coba kau pegang lengan tanganya. Putra, bagaimana kalu kita siram dengan air? Jangan-jangan karena kebanyakan makan durian jadinya mabuk,” usul Ambo Dalle “Bagaimana pendapatmu, Kahar?” (hal. 100 bab 7) “Aku setuju, usul Ambok Dalle. “Rauf, ambilkan air biar aku menyiramnya.”(hal. 100 bab 7) Rauf mengambil air satu gelas. Setelah kubacakan Al-Faatihah tiga kali, kusemburkan ke muka Munawwir sampai habis. “Ambok Dalle, siapa yang menyikatnya?” “Kami berlima waktu subuh kami sudah berkumpul di sekitar pondokan (hal. 101)
Pada data (14) menggambarkan kisah perjalanan Rudi dan kawanya mencari kesaktian di hutan. Sampai di hutan, mereka menemukan buah yang mirip durian, lalu Rudi memerintahkan Munawwir untuk memanjat. Munawwir yang makan paling banyak mulai tak sadarkan diri. Munawwir akhirnya mengamuk dengan kondisi tak sadar. Ia menyerang Rudi dengan mencekik leher Rudi. Melihat Rudi dicekik, Rosihan melakukan tindakan, yaitu memukul Munawwir dengan kayu hingga membuatnya jatuh pingsan. Pada data (14) menggambarkan adanya dialog antara tokoh Rudi, Munawwir, Ambok Dalle, Rosihan, dan Andi Kahar. Pada kutipan ini memberikan gambaran jati diri tokoh Andi Kahar yang mengusulkan ide pertama agar mereka berpetualang. Hal ini menggambarkan sikap mental tokoh Kahar yang penuh tantangan, karena dari nada suara Kahar yang mengajak teman-temanya untuk berpetualang di hutan, kita bisa mengetahui tindakan yang dilakukan Kahar. Pada data (14) menggambarkan jati diri tokoh Ambok Dalle yang menyetujui ide Kahar. Sehingganya kita dapat mengetahui tindakan yang dilakukan Ambok Dallle. Ambok Dalle akhirnya ikut mencari ilmu sakti di hutan. Pada data (14) ini juga
menggambarkan jati diri Rosihan saat merespon tindakan Munawwir yang pingsan. Hal ini kita dapat melihat, bahwa sikap mental
Rosihan sedih sehingga tergambar melalui
tindakanya dalam kutipan ini, Rosihan menangis terisak-isak, karena di pikiranya, khawatir jika ayah Munawwir mencincang mereka. Pada data (14) ini juga menggambarkan jati diri Rauf saat merespon perintah Rudi untuk mengambilkan air lalu dibuatkan jampi untuk menyadarkan Munawwir. Dari kutipan ini menggambarkan betapa Rudi sebagai ketua rombongan memiliki tanggung jawab demi keselamatan kawanya. Pada data (14) ini, kita bisa melihat jati diri Rudi saat merespon tindakan Munawwir, ia mampu mencairkan suasana yang kaku saat Rosihan sedih. Peneliti tidak menemukan jati diri tokoh yang dituju penutur. Pada data (14) ini menggambarkan lokasi dan situasi percakapan Rudi dan kawanya sedang berlangsung di hutan, malam hari. (14) Sehabis menonton film Wiro Sableng kami ikut berkumpul di lapangan bola, merekam ulang adegan yang baru saja kami saksikan. (hal.96) (15) Baru satu malam berada di hutan, kami semua mengeluh. (hal.97)
Pada data (13), (14), dan data (15)menggambarkan lokasi percakapan Rudi dan kawanya berada di lapangan dan pada data (15) menggambarkan lokasi percakapan Rudi dan kawanya sedang berlangsung di hutan. Saat malam hari. (16) “Lepaskan!!! Lepaskan!!! Bukan aku!!! (hal. 104) ”Rudi, aku ini ayahmu!” ”Rudi “Kalau kau tak percaya sama Ayah, siapa lagi yang mau kau percayai?” (hal. 94) “Rudi, bicara, kau pergi ke mana? Kenapa kau meninggalkan rumah? Kau buat malu aku saja sama tetangga. Nanti mereka mengira aku tak bisa memberimu makan, tau!” (hal. 106) ”Hai, bicara, kau tak bisu kan, ayo jawab pertanyaanku, atau..? kau kulempar kursi baru mau bicara?” (hal. 106)
”A…a…aaanu, Ayah.” (hal. 106) “Aaanu. Aaaanuuu, ayah. A…aku masuk hutan. Ber..ber…bertujuh sama ka…kaawanku” “Ma…ma…mau cari kesaktian. Se…se..seperti Wiro Sableng, Ayah.” (hal.106 bab 7) ”Rudi, rupanya film Wiro Sableng berhasil mengibuli kau dan kawan-kawanmu. Sampai-sampai kau masuk hutan mencari guru gila, gurunya si Sableng itu.”(hal.107 bab 7)
Pada data (16) memiliki hubungan dengan data (15). Setelah berada di hutan selama satu malam tanpa izin dari orang tua, Rudi dimarahi ayah. Pada data (16) ini, kita bisa melihat jati diri tokoh ayah saat merespon tindakan Rudi yang membuatnya gelisah karena semalam Rudi menghilang. Pada kutipan ini, kita bisa tahu, bahwa nada suara tokoh ayah yang sedang marah karena dorongan sikap mental ayah yang malu pada tetangga. Dalam pikiran ayah, ia khawatir jika tetangganya menganggap ia tak mampu mengasuh anaknya. Atas dorongan sikap mental ayah inilah, sehingga ayah bertindak dengan lagak marah. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan kata-kata ayah yang menggambarkan ia sedang kesal. Pada data (16) ini menggambarkan jati diri tokoh Rudi saat merespon tindakan ayahnya. Rudi menjawab pertanyaan ayah dengan nada suara takut. Hal ini menggambarkan tekanan, bahwa Rudi sedang takut mengadapi tindakan ayah yang sedang marah karena ulahnya sendiri. Hal ini dapat kita lihat dari kosa kata yang digunakan Rudi terbata-bata saat ia menjawab pertanyaan ayah. (17)“Daeng, katanya sudah taubat, tapi kok ilmunya masih diajarkan?”(hal.110 bab 8) ”aku merasa sayang jika tidak ada yang mewarisi ilmuku. Jika aku mati, ilmuku hilang sia-sia. Padahal, dulu, untuk mendapatkan satu ilmu aku bisa menghabiskan waktu sepuluh tahun. Makanya, jika seseorang menghadapku, aku senang sekali. Sebenarnya ilmuku bisa ditawarkan pada orang, tapi kata guruku, ilmuku hasilny bisa jadi tawar, kurang sakti.”(hal.110 bab 8) “Bagaimana kalau ilmu Daeng diajarkan untuk kejahatan?” (hal.110 bab 8) “Bukan urusanku. Itu urusan dia sama manusia dan Tuhanya.” (hal.110 bab 8) “Tapi, kan penyebabnya dari Daeng, kalau Daeng tak mengajarinya ilmu kebal, misalnya, mereka akan hati-hati. Tak akan menyakiti orang lain.” (hal.110 bab 8)
Pada data (17) menggambarkan dialog antara tokoh Rudi dan Daeng Paraaga. Dari kutipan ini, kita dapat melihat jati diri tokoh Daeng Paraaga saat menjawab pertanyaan, ia dengan enteng menjawab yang seolah-olah menggambarkan tindakan yang ia lakukan adalah benar. Kita bisa mengetahui, bahwa tokoh Daeng Paraaga yang angkuh karena menolak sebua kebenaran. Hal ini dapat kita lihat dari kosa kata yang digunakan tokoh Daeng Paraaga. Pada data (17) ini juga menggambarkan jati diri tokoh Rudi saat merespon ucapan yang dituturkan oleh tokoh bawahan (Daeng Paraaga). Sikap mental tokoh Rudi yang penasaran inilah yang mendorong Rudi melakukan tindakan yaitu berani bertanya pada Daeng Paraaga. Hal ini dapat kita lihat dari adanya kutipan tanda Tanya pada kosa kata yang digunakan Rudi. Pda data (17) ini, peneliti tidak menemukan jati diri tokoh yang diucapkan oleh tokoh Rudi dan Daeng Paraaga dan juga tidak digambarkan lokasi dan situasi percakapan. (18)”Gimana Bang, kira-kira licinya sama nggak dengan pinang yang dilumuri gemuk di depan sekolah?” (hal.133) “Pasti licin yang depan sekolah. Yang di sana gemuk murni. Ini sebagian oli bekas.” (hal.133) “Abang jadi berlatih?” “Ya, tentu. Kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi. Lagi pula, ini kan cuma latihan. Kata seorang atlet, berlatihlah sebelum bertanding, sebab latihan bisa membuatmu professional dan percaya diri.”(hal. 133) “Abang yakin bisa dapat sepatu itu?” “Pasti, aku yakin bisa!” (hal. 133)
Pada data (18) menggambarkan dialog antara tokoh Rudi dan Nasir. Pada kutipan ini menggambarkan jati diri Rudi saat merespon pertanyaan Nasir. Dari kutipan ini meggambarkan sikap mental tokoh Rudi yang optimis mengikuti lomba panjat pinang. Hal ini dapat kita lihat dari nada suara Rudi yang memberikan harapan untuk memenangkan lomba. Sehingganya kita bisa tahu tindakan tokoh Rudi yang optimis mengikuti pertandingan.
Pada data (18) ini juga menggambarkan jati diri tokoh Nasir saat merespon jawaban kakaknya Rudi. Dari kutipan ini, kita dapat melihat sikap mental Nasir yang pesimis jika Rudi tidak dapat memenangkan pertandingan lomba panjat pinang. Hal ini kita dapat lihat dari nada suara Nasir yang bertanya. Pada kutipan ini, tidak ditemukan jati diri tokoh yang dituju oleh si penutur. Penutur di sini yang dimaksud adalah tokoh Rudi dan Nasir, karena mereka hanya membahas soal persiapan lomba panjat pinang. (19) Malam sehabis shalat Isya, (hal.133)
Kutipan pada data (19) menggambarkan lokasi percakapan antara tokoh Rudi dan Nasir sedang berlangsung di malam hari, setelah shalat Isya. (20)“Eh, Ustadz Razak! Mohon doanya, Ustadz!” (hal.141) “Insya Allah! Rudi, ingat pepatah Arab, Man jadda wajada! (“Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan mendapatkanya)
Kutipan pada data (20) menggambarkan jati diri tokoh Rudi saat merespon kehadiran Ustadz Razak. Sehingga menggambarkan sikap mental Rudi yang ragu dalam memenangkan perlombaan. Hal ini dapat kita lihat dari nada suara Rudi yang mengharapkan dukungan moril dari Ustadz Razak. Kutipan pada data (20) menggambarkan dialog antara tokoh Rudi dan Ustadz Razak. Dari kutipan ini, kita bisa melihat jati diri tokoh Ustadz Razak saat merespon tindakan Rudi yang mengikuti lomba panjat pinang. Hal ini dapat dilihat dari sikap mental tokoh Ustadz Razak yang optimis hingga nada suara Ustadz Razak memberikan kekuatan, karena ia menggunakan kosa kata berhikmah seperti kata Man jadda wa jadda. Dari kutipan ini, peneliti tidak menemukan jati diri tokoh yang diucapkan si penutur (tokoh Rudi dan Ustadz Razak) karena mereka membahas soal persiapan lomba. (21) hari ini, jam tujuh pagi semua siswa telah berkumpul di lapangan. (hal.135)
Kutipan pada data (21) memiliki hubungan dengan data (20). Data (21) memberikan gambaran lokasi percakapan antara tokoh Rudi dan Ustadz Razak sedang berlangsung di lapangan sekolah. (22) “Dik Putra, kamu mau nyantri di mana? Di Wali Songo, ar-Risalah, Darul Huda, atau Darussalam? Kalau di Darussalam, kamu masuk penampungan dulu karena penerimaan santri baru dimulai bulan syawwal setelah lebaran nanti. (hal. 184 bab 15) “Aku di Wali Sanga saja. Menurutku, Pesantren itu nomor wahid di Indonesia. Bukankah agama Islam disebarkan Oleh Wali Sanga?” (hal. 184 bab 14) “Baiklah, kalau itu keputusanmu nanti pagi kuantar.” (hal. 185)
Kutipan pada data (22) menggambarkan dialog antara tokoh Rudi dan Bang Ismail. Dari kutipan ini, kita bisa melihat jati diri tokoh Rudi yang merespon tindakan tokoh Bang Ismail. Hal ini dapat dilihat dari sikap mental tokoh Rudi yang masih bingung saat menjawab pertanyaan Bang Ismail, karena di pikiran Rudi ia masih memikirkan biaya masuk di pesantren. Hal ini dapat kita lihat dari nada suara yang disalurkan melalui kosa kata Rudi yang mengatakan bahwa, ia tidak memiliki uang. Bekat perundingan Rudi dan Bang Ismail, akhirnya Rudi memilih nyantri di Ponpes Wali Sanga. Kutipan pada data (22) menggambarkan jati diri tokoh Bang Ismail saat merespon jawaban dari Rudi. Sehingga tergambar sikap mental tokoh Bang Ismail yang memberikan dukungan moril pada Rudi. Hal ini dapat kita lihat dari nada suara Bang Ismail yang optimis sehingga memberikan tekanan bahwa, Bang Ismail berasal dari kalangan orang yang mengutamakan pendidikan sehingga tergambarlah tindakan tokoh Bang Ismail yang bersedia mengantarkan Rudi di Ponpes Wali Sanga. Pada kutipan data (22) ini tidak ditemukan jati diri tokoh yang lain, karena mereka hanya membicarakan soal persiapan masuk di ponpes. (23) ia membawaku keliling beberapa pesantren di Ponorogo dengan menyewa sepeda motor. Diantarkanya aku ke ar-Risalah, Slahung. Sepanjang jalan a mengoceh (hal.184)
Kutipan pada data (23) memiliki hubungan dengan data (22). Pada data (23) menggambarkan lokasi dan situasi percakapan antara tokoh Rudi dan Bang Ismail sedang berlangsung di perjalanan. (24)”Itulah kamu, semuanya tidak boleh, sok suci, mentang-mentang dari pesantren, apa yang aku lakukan semuanya dilarang. Aku menyesal punya abang seperti kamu. Kalau kamu tidak senang, ya sudah ini kasetnya dibuang saja,” (hal.233 bab 18) “Aku kan Cuma bilang, kaset ini jangan diputar lagi, lebih baik disembunyikan saja. Cari kaset yang lebih sopan.” (hal.234 bab 18)
|Kutipan pada data (24) menggambarkan dialog antara tokoh Rudi dan Nasir. Dari kutipan ini kita dapat mengetahui sikap mental kedua tokoh ini sedang berkelahi karena tokoh Nasir memutar kaset tak bermoral di rumahnya hingga membuat Rudi marah. Hal ini dapat dilihat dari nada suara kedua tokoh ini dengan tindakan mereka tak ada yang mau mengalah. Demikianlah kajian karakterisasi tokoh dalam novel Putra Salju karya Salman ElBahry.