BAB 3
PERCOBAAN
Alat, bahan, dan hewan uji yang diperlukan dalam percobaan dijelaskan dalam bab ini. Prosedur yang dilakukan meliputi penyiapan bahan tanaman, pembuatan jus, orientasi pembuatan model tikus stroke, uji pengaruh ekstrak pada model tikus stroke, dan uji efek antiagregasi platelet dan antitrombosis.
3.1 Alat Blender, freeze-dryer, labu bundar, mortir dan alu, jarum oral tikus, timbangan analitik, timbangan tikus, restrainer tikus, restrainer mencit, mikropipet berbagai ukuran, tabung sentrifuga, tabung Eppendorf, satu set alat bedah, jarum bedah, benang silk USP 3-0, benang chromlc USP 4-0, jarum suntik, silinder plastik transparan, karton, stopwatch, gunting, kapas, tissue, benang kasur, sarung tangan, masker, spektrofotometer UV-Visibel.
3.2 Bahan Ekstrak air daun belimbing wuluh (Averol®), jus buah dan batang nanas, asam asetil salisilat (LAFI-AU), air suling, heparin, uretan, natrium klorida, darah tikus autologus, etanol, amoksisilin, natrium sitrat, ADP (Sigma-Aldrich), kolagen (Sigma-Aldrich), dan epinefrin (Sigma-Aldrich).
3.3 Hewan Uji Hewan uji yang digunakan adalah tikus jantan galur Wistar berusia 3 bulan dengan bobot 200220 g yang diperoleh dari Laboratorium Perhewanan Sekolah Teknologi Ilmu Hayati Institut Teknologi Bandung dan mencit jantan galur Swiss Webster berumur 2-3 bulan dengan bobot badan 25-35 g yang diperoleh dari Laboratorium Perhewanan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung.
15
16 3.4 Pembuatan Ekstrak Uji Jus buah dan batang nanas dibuat menggunakan blender. Jus yang diperoleh dipekatkan menggunakan alat pengering beku sehingga diperoleh jus kental dan disimpan di lemari pendingin. Ekstrak air daun belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitian ini berupa kapsul dengan nama dagang Averol®.
3.5 Orientasi Pembuatan Model Tikus Stroke Orientasi pembuatan model tikus stroke dilakukan untuk mengetahui apakah metode induksi stroke yang akan digunakan dalam penelitian ini dijadikan model tikus stroke dalam rangka mengembangkan obat-obat anti stroke, terutama untuk memperbaiki gangguan tungkai atau aktivitas motoris akibat stroke. Orientasi induksi stroke dilakukan pada 4 ekor tikus.
3.5.1 Induksi Stroke Metode induksi stroke yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menyuntikan darah autolog tikus melalui arteri karotid kanan. Darah tikus autolog diperoleh dengan cara melukai ekor tikus dan darah yang ke luar ditampung dalam tabung Eppendorf yang telah diberi heparin. Tikus terlebih dahulu dianestesi dengan uretan 10% b/v dengan dosis 10 mL/kg berat badan tikus secara intraperitonial. Dengan menggunakan gunting, kulit pada bagian tengah leher digunting sepanjang 1 cm kemudian otot serta lemak dibawahnya ditoreh sedemikian rupa sehingga arteri karotid umum kanan yang terdapat di bawah trakea dapat terisolasi. Melalui arteri tersebut disuntikan 100 l darah tikus autolog secara perlahan, kemudian kedua sisi arteri diikat. Selanjutnya kulit leher dijahit dengan benang chromlc USP 4-0 dan bekas luka ditaburi amoksisilin. Tahap-tahap induksi stroke dapat dilihat pada Gambar 3.1.
3.5.2 Uji Perilaku Model Tikus Stroke pada Tahap Orientasi Untuk menentukan apakah tikus telah mengalami stroke setelah diinduksi dengan darah tikus autolog, dilakukan uji perilaku tikus menggunakan beberapa model uji yaitu forelimb placing test (FPT), forelimb use asymmetry test (FUAT), dan corner turn test (CTT). Uji-uji perilaku tikus stroke pada tahap orientasi ini dilakukan pada hari ke-1, 3, 5, 7, 14, dan 28 setelah induksi stroke. Cara menguji dan parameter yang diamati untuk masing-masing parameter uji adalah sebagai berikut.
17 a) Forelimb Placing Test Forelimb placing test (FPT) dilakukan untuk menentukan kemampuan tikus stroke dalam menempatkan tungkai kanan atau kirinya pada suatu permukaan sebagai respon terhadap stimulus yang diberikan pada bulu hidung tikus kanan atau kiri. FPT dilakukan dengan cara memegang tikus sedemikian rupa sehingga kedua tungkai berada dalam keadaan bebas dan pengujian dilakukan dengan cara menyentuhkan bulu hidung tikus pada permukaan suatu meja kemudian diamati jumlah tungkai tikus kanan maupun kiri yang memegang atau menempatkan tungkainya pada meja secara refleks. Menurut teori, tikus yang mengalami injury pada otaknya seperti halnya tikus stroke akan mengalami gangguan dalam menempatkan tungkai kirinya pada permukaan meja, apabila bagian otak kanannya yang diinduksi stroke. Demikian pula sebaliknya. Pada FPT ini dihitung jumlah persentase penempatan tungkai tikus tersebut terhadap 10 stimulus yang diberikan pada masing-masing tungkai kanan dan kiri. Semakin kecil nilai FPT, berarti semakin berkurangnya kemampuan tikus menempatkan tungkainya pada permukaan meja ketika diberi 10 stimulus yang menunjukkan tingkat stroke. Cara melakukan FPT dapat dilihat pada Gambar 3.2.
b) Forelimb Use Asymmetry Test Forelimb use asymmetry test (FUAT) dilakukan untuk mengetahui kecenderungan tikus dalam menggunakan tungkai kanan maupun kirinya ketika tikus berdiri dalam suatu silinder plastik transparan. FUAT dilakukan dengan cara meletakkan tikus pada silinder plastik selama 5 menit dan diamati ketika tikus berdiri dengan salah satu atau kedua tungkainya memegang dinding silinder secara bersamaan atau hampir bersamaan. Menurut teori, tikus yang mengalami injury pada otaknya seperti halnya tikus stroke akan mengalami gangguan fungsi tungkai kirinya apabila bagian otak kanannya yang diinduksi stroke, sehingga kecenderungan tikus untuk menggunakan tungkai kanannya akan lebih besar. FUAT dilakukan dengan cara menentukan: I (persentase tungkai kanan yang digunakan terhadap jumlah total tungkai yang digunakan selama kegiatan eksplorasi dinding silinder), B (persentase tungkai kiri yang digunakan terhadap jumlah total tungkai yang digunakan selama kegiatan eksplorasi dinding silinder); B (persentase kedua tungkai yang digunakan secara bersamaan atau hampir bersamaan terhadap jumlah total tungkai yang digunakan selama kegiatan eksplorasi dinding silinder). Nilai FUAT dihitung dengan rumus:
18
I I C B
C I C B
Semakin besar nilai FUAT (nilai positif), berarti semakin besar kecenderungan tikus menggunakan tungkai kanannya dan semakin kecil kecenderungan tikus menggunakan tungkai kirinya yang menunjukkan tingkat stroke. Cara melakukan FUAT dapat dilihat pada Gambar 3.3.
c) Corner Turn Test (CTT) Corner turn test (CTT) dilakukan untuk mengetahui persentase arah yang dipilih oleh tikus untuk keluar dari suatu sudut yang menggambarkan kecenderungan penggunaan tungkai tikus untuk menumpu badannya. CTT dilakukan dengan cara meletakkan tikus pada suatu pojok yang dibuat dari papan atau karton dengan sudut 30 dan tikus dibiarkan memeriksa pojok tersebut. Pengamatan dilakukan terhadap arah yang dipilih oleh tikus untuk keluar dari sudut tersebut dan dihitung persentase tikus membelok ke arah kanan untuk ke luar (dengan syarat tikus berada dalam keadaan berdiri pada saat ke luar) dengan tujuan untuk melihat kecenderungan penggunaan tungkai kanannya untuk menumpu badan tikus ketika tikus ke luar. Tikus yang membelok ke arah kanan dengan posisi tidak berdiri tidak dihitung. Menurut teori, tikus yang mengalami injury pada otaknya seperti halnya tikus stroke akan mengalami gangguan fungsi tungkai kirinya apabila bagian otak kanannya yang diinduksi stroke, sehingga kecenderungan tikus untuk menggunakan tungkai kanan untuk menumpu badannya dalam uji ini akan lebih besar. Semakin besar nilai CTT, berarti semakin besar kecenderungan tikus menggunakan tungkai kanannya dan semakin kecil kecenderungan tikus menggunakan tungkai kirinya untuk menumpu badan tikus yang menunjukkan tingkat stroke. Uji dilakukan sebanyak 10 kali, dengan minimal jarak antara tiap kali uji adalah 30 detik. Cara melakukan CTT dapat dilihat pada Gambar 3.3.
19
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 Gambar 3.1
11
Tahap-tahap induksi stroke: persiapan darah tikus (1) dan (2), anestesi (3), isolasi arteri karotid (4) dan (5), pengikatan arteri karotid sebelum penyuntikan darah (6), penyuntikan darah tikus autologus (7), pengencangan ikatan pada arteri karotid (8); pemotongan benang pengikat (9); penutupan kulit tikus yang terbuka (10), dan hasil akhir (11).
20
(a)
(b)
Gambar 3.2 Forelimb placing test tungkai kiri (a) dan kanan (b).
(a) (b) Gambar 3.3 Cara melakukan forelimb use asymmetry test (a) dan corner turn test (b).
Oleh karena pada tahap orientasi berhasil dibuat tikus stroke yang ditandai dengan timbulnya ptosis pada seluruh kelompok induksi, adanya perbedaan bermakna pada FPT tungkai kiri dan kanan hari ke-1 sampai hari ke-5 setelah diinduksi stroke dan pada FUAT hari ke-3 dan ke-7 setelah diinduksi stroke, maka dilakukan uji beberapa ekstrak tumbuhan terhadap perilaku model tikus stroke tersebut.
3.6 Uji Pengaruh Ekstrak terhadap Perilaku Model Tikus Stroke Pada uji pengaruh ekstrak terhadap perilaku model tikus stroke, tikus dikelompokkan menjadi 8 kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus, dengan kelompok I berlaku sebagai kontrol dan hanya diberi pembawa yaitu air suling, kelompok II berlaku sebagai pembanding
21 dan diberikan asam asetil salisilat dosis 45 mg/kg berat badan tikus, kelompok III dan IV diberi ekstrak air daun belimbing wuluh dosis 45 dan 90 mg/kg berat badan tikus, kelompok V dan VI diberi jus buah nanas dosis 8,1 dan 4 mL/kg berat badan tikus, dan kelompok VII dan VIII diberi jus batang nanas dosis 2,7 dan 5,5 mL/kg berat badan tikus.
Ekstrak diberikan secara oral satu kali sehari dimulai 3 hari sebelum induksi stroke dilanjutkan sampai 4 hari setelah induksi stroke. Tikus dinyatakan stroke bila terdapat penurunan aktivitas, timbulnya ptosis pada mata kanan, dan berdasarkan uji perilaku berupa forelimb placing test, forelimb use asymmetry test, dan corner turn test. Uji perilaku diamati selama 3 hari sebelum induksi stroke dan 7 hari setelah induksi stroke. Hasil uji perilaku diolah secara statistik menggunakan metode Wilcoxon.
3.8 Uji Efek Antiagregasi Platelet dan Antitrombosis Uji efek antiagregasi platelet dan antitrombosis ekstrak dilakukan pada mencit jantan galur Swiss Webster. Mencit dikelompokkan menjadi 8 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor mencit dengan kelompok I berlaku sebagai kontrol dan hanya diberi pembawa yaitu air suling, kelompok II berlaku sebagai pembanding dan diberikan asam asetil salisilat dosis 65 mg/kg berat badan mencit, kelompok III dan IV diberi ekstrak air daun belimbing dosis 65 dan 130 mg/kg berat badan mencit, kelompok V dan VI diberi jus batang nanas dosis 4 dan 8 mL/kg berat badan mencit, kelompok VII dan VIII diberi jus buah nanas dosis 11,7 dan 5,8 mL/kg berat badan mencit.
Ekstrak diberikan secara oral satu kali sehari selama empat belas hari berturut-turut. Efek yang dinilai meliputi penentuan waktu pendarahan dan waktu koagulasi, persentasi proteksi, dan inhibisi agregasi platelet dengan mengukur serapan plasma.
3.8.1 Uji Efek Antiagregasi Platelet Mencit yang telah diberi perlakukan diambil darahnya sebanyak 900 L dan ditampung dalam tabung berisi 100
L natrium sitrat 3,18% b/v, lalu dipisahkan plasmanya dengan bantuan
sentrifuga pada kecepatan 1600 rpm. Sebanyak 400 L plasma dipindahkan ke tabung reaksi dan ditambahkan 2 mL natrium klorida fisiologis. Setelah dikocok, campuran plasma tersebut
22 diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Visibel pada panjang gelombang 600 nm, sebagai serapan awal. Ke dalam campuran tersebut ditambahkan penginduksi agregasi platelet, yaitu ADP 5 M sebanyak 30 L, kemudian diinkubasi selama 20 menit pada suhu 37 C dan diukur serapannya pada panjang gelombang yang sama dan dicatat sebagai serapan akhir.
Pada penentuan waktu pendarahan, ujung ekor mencit dilukai pada jarak kurang lebih 2 mm dari ujung ekor. Darah yang keluar diserap dengan kertas saring periodik tanpa menyentuh luka. Interval waktu dari mulai keluarnya darah sampai darah berhenti mengalir dicatat sebagai waktu pendarahan.
Pada penentuan waktu koagulasi darah, darah yang keluar ketika ujung ekor mencit digunting seperti pada penentuan waktu pendarahan ditampung dalam pipa kapiler. Kemudian setiap 15 detik, kapiler berisi darah dipatahkan dan diamati terbentuknya benang fibrin. Interval waktu dari mulai keluarnya darah sampai terbentuknya benang-benang fibrin merupakan waktu koagulasi darah.
Besarnya penurunan serapan plasma, waktu pendarahan, dan waktu koagulasi darah mencit setelah pemberian ekstrak uji ditentukan kebermaknaannya secara statistik menggunakan metode uji ANOVA II.
3.8.2 Uji Efek Antitrombosis Uji efek antitrombosis dilakukan secara in vivo pada mencit setelah pemberian ekstrak uji selama empat belas hari. Mencit yang telah diberi ekstrak uji, pembanding, maupun pembawa disuntik larutan penginduksi trombus yang terdiri dari kolagen dan epinefrin secara intravena. Parameter yang diamati meliputi paralisis, gangguan pernapasan, dan kematian mencit setelah diberi penginduksi trombosis. Persentase efek antitrombosis dihitung berdasarkan rumus: % proteksi = [1 – (mati+paralisis)/total] x 100%