Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA Pada bab ini akan dimodelkan permasalahan penyebaran virus flu burung yang bergantung pada ruang dan waktu . Pada bab ini akan dibahas pula analisis dari model hingga pencarian solusi dari model secara analitik. Permasalahan penyebaran penyakit flu burung ini dimodelkan dalam 2 kasus. Model pertama untuk penyebaran penyakit flu burung tanpa pertumbuhan dan kematian alami dari populasi ayam di domain pengamatan. Kedua yaitu model penyebaran penyakit flu burung untuk kasus adanya kematian dan pertumbuhan alami dari populasi ayam di domain pengamatan. Baik dengan maupun tanpa pertumbuhan dan kematian alami, kedua model ini didasarkan pada model SI untuk penyebaran penyakit. Maksudnya adalah populasi ayam pada domain pengamatan hanya dibagi menjadi 2 kelompok yaitu ayam sehat yang berpotensi terkena penyakit flu burung (susceptible), dan ayam yang telah terinfeksi serta menularkan virus flu burung (infective). Untuk pembahasan selanjutnya, ayam susceptible disebut sebagai ayam sehat, dan ayam infective disebut sebagai ayam sakit.
16
17
3.1
Kasus I: Tidak Ada Pertumbuhan dan Kematian Alami
Beberapa asumsi yang digunakan dalam memodelkan masalah penyebaran penyakit flu burung dengan kasus tidak adanya pertumbuhan dan kematian alami pada populasi ayam di domain pengamatan yaitu: • Populasi terdiri atas ayam sehat (berpotensi untuk terjangkit penyakit flu burung) dan ayam sakit (telah terinfeksi penyakit flu burung). • Ayam sehat dan sakit tidak mengalami pertumbuhan dan kematian secara alami. • Ayam sakit langsung menularkan virus flu burung ke ayam sehat. • Ayam sakit beberapa saat kemudian mengalami kematian (kemungkinan untuk sembuh atau bahkan kebal terhadap penyakit tersebut sangat kecil). • Hanya penyakit flu burung yang mempengaruhi secara signifikan keadaan di domain pengamatan. Berikut ilustrasi keadaan di domain pengamatan : Populasi ayam di domain pengamatan tidak mengalami pertumbuhan secara alami karena adanya penetasan telur, serta tidak pula mengalami penurunan populasi akibat kematian selain karena penyakit flu burung. Di antara kedua kelompok ayam ini terjadi interaksi. Ayam-ayam sakit kemudian mengalami kematian. Di domain pengamatan juga terjadi penyebaran virus flu burung melalui ayam sakit. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan banyaknya populasi ayam sehat dan ayam sakit di domain pengamatan. Interaksi antara ayam sehat dan sakit menyebabkan ayam sehat terinfeksi dan menjadi ayam sakit. Hal ini menyebabkan populasi ayam sehat berkurang sekaligus
18 memberikan tambahan bagi populasi ayam sakit, sedangkan kematian yang terjadi pada ayam sakit otomatis menyebabkan penurunan pada populasi ayam sakit. Penyebaran memberikan kontribusi penambahan faktor difusi pada perubahan kedua kelompok populasi. Berikut ilustrasi diagramnya : +D∇2 S
+D∇2 I rSI
S
I
aI
Diagram 3.1: Diagram Alir Penyebaran Flu Burung Tanpa Pertumbuhan dan Kematian Alami. dengan variabel dan parameter seperti pada tabel berikut: Variabel dan Parameter
Definisi
Satuan
S
banyaknya populasi ayam sehat
ekor
I
banyaknya populasi ayam sakit
ekor
D
koefisien penyebaran populasi ayam
meter 2 detik
banyaknya ayam sehat yang menyebar tiap satuan luas daerah
ekor meter 2
r
ukuran efisiensi transmisi penyakit dari ayam sakit ke ayam sehat
1 ekor×detik
a
laju kematian akibat infeksi penyakit flu burung
1 detik
banyaknya ayam sehat yang terjangkit penyakit flu burung akibat
ekor detik
∇2 S
rSI
interaksi dengan ayam sakit tiap satuan waktu aI ∇2 I
angka kematian dari ayam sakit tiap satuan waktu
ekor detik
banyaknya ayam sakit yang menyebar tiap satuan luas daerah
ekor meter 2
19 Berdasarkan ilustrasi di atas, maka dapat dibuat model dari permasalahan tersebut sebagai berikut : ∂S = −rSI + D∇2 S, ∂t ∂I = rSI − aI + D∇2 I, ∂t a, r, D > 0, dengan ∂I ∂t
∂S ∂t
(3.1.1) (3.1.2)
adalah perubahan banyaknya populasi ayam sehat terhadap waktu dan
merupakan perubahan banyaknya populasi ayam sakit terhadap waktu.
Untuk selanjutnya akan dicari solusi dari persamaan (3.1.1) dan (3.1.2) untuk mengetahui bentuk dari penyebaran penyakit flu burung di domain pengamatan. Namun, untuk memudahkan perhitungan pada pembahasan selanjutnya terutama dalam melakukan simulasi serta untuk mengurangi parameter yang mempengaruhi model, maka dilakukan penskalaan (analisis dimensi) terhadap sistem persamaan diferensial parsial tersebut. Agar menjadi tak berdimensi, I, S, t, dan x yang baru diskalakan menjadi: I , S0 S = , S0 = rS0 t, r rS0 = x, D
I∗ = S∗ t∗ x∗
(3.1.3)
dengan S0 adalah banyaknya populasi ayam sehat di domain pengamatan saat awal pengamatan (t = 0). Setelah dihilangkan notasi ∗ untuk memudahkan dalam penulisan, sistem persamaan diferensial tak berdimensi menjadi sebagai berikut ∂S ∂t ∂I ∂t
= −IS +
∂2S , ∂x2
= −λI + IS +
(3.1.4) ∂2I , ∂x2
(3.1.5)
20 dengan λ=
a . rS0
(3.1.6)
Berdasarkan hasil analisis dimensi ini, bisa dilihat bahwa parameter r, a, D pada persamaan (3.1.1) dan (3.1.2) direduksi menjadi λ. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penskalaan (analisis dimensi) selain berfungsi untuk memudahkan perhitungan dalam simulasi numerik, juga berguna untuk menyederhanakan model masalah. Dalam hal ini, model permasalahan yang awalnya bergantung pada 3 parameter r, a, D menjadi bergantung pada 1 parameter saja yaitu λ dengan λ = Berdasarkan definisi pada awal sub-bab ini,
1 λ
=
rS0 a
a . rS0
bisa diinterpretasikan sebagai
perbandingan 2 ukuran skala waktu yang relevan yaitu waktu harapan hidup ayam sakit a1 dan waktu penularan penyakit flu burung terhadap sejumlah S0 rS1 0 .
Misalkan bentuk penyebaran penyakit flu burung berupa gelombang berjalan, maka akan dicari solusi gelombang berjalan beserta syarat eksistensinya. Misalkan gelombang tersebut berbentuk konstan berjalan ke arah sumbu x positif sebagai berikut I(x, t) ≡ I(z),
(3.1.7)
S(x, t) ≡ S(z),
(3.1.8)
z = x − ct, dengan c adalah kecepatan gelombang yang nilainya akan dicari. Dengan menggunakan turunan berantai saat mensubstitusikan (3.1.8) ke (3.1.4) dan (3.1.7) ke (3.1.5) diperoleh S ′′ + cS ′ − IS = 0,
(3.1.9)
I ′′ + cI ′ − λI + SI = 0,
(3.1.10)
dengan S ′ dan I ′ masing-masing merupakan turunan pertama S dan I terhadap z. Dalam pencarian solusi dari persamaan diferensial biasa (3.1.9) dan (3.1.10) perlu diperhatikan kondisi fisis dari penyebaran penyakit flu burung. Dalam penyebaran
21 penyakit ini, kondisi saat jauh sebelum epidemi terjadi semua ayam pada domain pengamatan belum terjangkit virus flu burung tapi berpotensi untuk terjangkit virus ini sehingga tergolong ayam sehat. Banyaknya ayam sehat pada kondisi ini sama dengan banyaknya ayam sehat saat awal pengamatan yaitu sebanyak S0 . Sebaliknya, pada kondisi jauh setelah terjadi epidemi semua ayam yang telah terinfeksi (sakit) mati dan mungkin ada ayam sehat yang tak terjangkit penyakit flu burung. Sekalipun ada ayam sehat yang tak terjangkit setelah terjadi epidemi, banyaknya tidak akan menyamai atau bahkan melebihi ayam sehat pada kondisi jauh sebelum epidemi. Situasi-situasi jauh sebelum dan setelah terjadi epidemi ini berkorespondensi dengan z → ±∞. Kondisi jauh sebelum terjadi epidemi berkorespondensi dengan z → +∞, sedangkan kondisi jauh setelah epidemi berkorespondensi dengan z → −∞. Jadi, berdasarkan kondisi fisis di atas diperoleh syarat batas untuk sistem persamaan diferensial biasa sebagai berikut: lim I(z) = lim I(z) = 0,
(3.1.11)
0 ≦ lim S(z) < lim S(z) = 1.
(3.1.12)
z→+∞
z→−∞
z→−∞
z→+∞
Untuk melihat perilaku solusi di sekitar titik kesetimbangan secara analitik, maka linearkan persamaan di sekitar titik kesetimbangannya. Tetapi, masalahnya belum diketahui titik-titik kesetimbangan dari I maupun S. Karena yang sebenarnya dicari adalah solusi I dan S dari persamaan diferensial parsial (3.1.4) dan (3.1.5), maka titik kesetimbangan yang akan digunakan dalam melinearkan persamaan diferensial biasa (3.1.9) dan (3.1.10) diperoleh dari solusi kesetimbangan persamaan diferensial parsial tersebut. Pandang sistem persamaan diferensial parsial (3.1.4) dan (3.1.5). Solusi kesetimbangan S dan I diperoleh ketika
∂S ∂t
= 0,
∂S ∂x
= 0,
∂I ∂t
= 0, dan
∂I ∂x
= 0, sehingga
solusi kesetimbangan (S, I) untuk sistem persamaan diferensial parsial di atas adalah (w, 0) untuk setiap w ∈ R. Solusi konstan yang merupakan titik kesetimbangan ini
22 selanjutnya akan digunakan dalam pencarian solusi (3.1.9) dan (3.1.10). Pandang persamaan diferensial (3.1.9) dan (3.1.10). Linearkan persamaan tersebut di sekitar titik kesetimbangannya. Karena titik kesetimbangan untuk (S, I) adalah (w, 0) untuk setiap w ∈ R, maka pilih titik kesetimbangan yang sesuai dengan kondisi fisis di z → +∞. Pilih w = 1 sehingga titik kesetimbangan untuk (S, I) yaitu (1,0). Misalkan I = 0 + εI1 , S = 1 − εS1 ,
(3.1.13)
untuk suatu ε > 0. Dengan mensubstitusikan (3.1.13) ke (3.1.9) dan (3.1.10) dan mengingat bahwa nilai ε yang kecil diperoleh I1′′ + cI1′ − λI1 + I1 = 0,
(3.1.14)
S1′′ + cS1′ = −I1 .
(3.1.15)
Dengan menggunakan metode persamaan karakteristik diperoleh solusi umum (3.1.14) dan (3.1.15) masing-masing yaitu ) ( p −c ± c2 − 4(−λ + 1) z , I1 (z) = A exp 2 ( ) p −c ± c2 − 4(−λ + 1) A S1 (z) = T + U exp{−cz} − exp z , 1−λ 2 untuk suatu A, T, U ∈ R. Karena berdasarkan persamaan (3.1.13), maka ( )! p −c ± c2 − 4(−λ + 1) I(z) = ε A exp z , 2 ( )! p 2 −c ± c − 4(−λ + 1) A S(z) = 1 − ε T + U exp{−cz} − exp z , 1−λ 2
23 untuk suatu A, T, U ∈ R. Karena banyaknya ayam sehat dan sakit tak mungkin bernilai negatif, maka tak mungkin solusi S dan I mengalami osilasi yang mengakibatkan bernilai negatif. Terjadinya osilasi disebabkan oleh adanya nilai imajiner pada solusi, sehingga S dan I tidak mungkin bernilai imajiner. Oleh karena itu, jika solusi gelombang berjalan pada S dan I ada, maka kecepatan gelombang c dan λ haruslah memenuhi √ c ≥ 2 −λ + 1.
(3.1.16)
Karena c bernilai positif dan real, maka haruslah λ < 1. Jadi, λ =
a rS0
< 1 merupakan syarat perlu terjadinya gelombang berjalan pada
S dan I. Hal ini berarti jika λ > 1 maka dapat dipastikan bahwa tak akan terjadi gelombang berjalan pada S dan I. Maksudnya adalah jika dari data yang dimiliki diperoleh nilai λ > 1, maka penyebaran penyakit flu burung di daerah pengamatan bukan berbentuk gelombang berjalan (epizootic). Terjadinya gelombang epizootic pada penyebaran penyakit flu burung di daerah pengamatan menjadi pertanda bahwa akan terjadi lagi puncak wabah penyakit flu burung yang sama di daerah lain di sekitar daerah pengamatan pada suatu waktu tertentu dan wabah ini akan terus menjalar ke daerah lain di luar daerah pengamatan tanpa henti. Jadi, adanya gelombang berjalan pada penyebaran penyakit flu burung pada suatu daerah pengamatan memberikan sinyal kepada daerah-daerah lain di sekitar daerah pengamatan untuk bersiap-siap menghadapi wabah yang sama dengan wabah penyakit di daerah pengamatan. Satu-satunya cara untuk menghentikan penjalaran wabah ini adalah dengan pengontrolan berdasarkan syarat perlu di atas. Hal ini akan dijelaskan secara lanjut pada pembahasan selanjutnya. Dari perhitungan syarat eksistensi gelombang berjalan pada penyebaran penyakit flu burung di atas, dapat diperoleh juga kecepatan gelombang minimum yang menyebabkan terjadinya gelombang epizootic pada penyebaran penyakit yaitu c =
24 √ 2 1 − λ. Misalkan V kecepatan gelombang dalam bentuk berdimensi. Dengan melihat dimensi V dan memperhatikan hubungan antara t dan t∗ serta x dan x∗ seperti pada (3.1.3) maka diperoleh V =2 dengan
a rS0
s
a rS0 D 1 − , rS0
< 1.
Berdasarkan solusi S(z) dan I(z), dengan memperhatikan syarat perlu untuk λ dan nilai kecepatan gelombang c, dipilih nilai ε = 0.00001, A = 1, D = 1, E = 1, √ c = 2 1 − λ, dan λ = 0.3 untuk memplot solusi S(z) dan I(z) sebagai berikut: 1.02
0.045
0.04 1.015
0.035
0.03 1.01 I(z)
S(z)
0.025
0.02 1.005 0.015
0.01
1
0.005
0.995
0
10
20
30 z
40
50
60
0
0
10
20
30 z
40
50
60
Gambar 3.1: S(z) (kiri) I(z) (kanan) dengan z ∈ [0, 60], S(z) ∈ [0.995, 1.02], I(z) ∈ [0, 0.045]. Dari Gambar 3.1 di atas, bisa dilihat bahwa solusi S(z) dan I(z) yang telah diperoleh secara analitik memang masing-masing menuju 1 dan 0 ketika z menuju ∞. Hal ini sesuai dengan arti fisisnya yaitu pada kondisi jauh sebelum terjadi epidemi tak ada ayam yang terinfeksi, dan banyaknya ayam yang sehat sama dengan banyak ayam sehat saat awal pengamatan. Berdasarkan syarat perlu terjadinya gelombang berjalan ini, bisa diperoleh beberapa
25 informasi penting. Perhatikan syarat perlu terjadinya gelombang berjalan λ =
a rS0
<
1. Bisa diketahui bahwa: 1. S0 >
a r
juga menjadi syarat perlu terjadinya gelombang epizootic sebagai im-
plikasi syarat perlu di atas. Hal ini berarti kepadatan populasi ayam sehat kritis minimum untuk terjadinya gelombang epizootic dalam penyebaran penyakit flu burung di domain pengamatan adalah Sc =
a . r
Jadi, agar tidak
terjadi epidemi, haruslah S0 < ar . Jangan sampai kepadatan populasi ayam sehat pada awal pengamatan mencapai atau bahkan melebihi kepadatan populasi kritis minimum Sc . 2. Jika di domain pengamatan telah diberikan kepadatan populasi ayam sehat saat awal pengamatan S0 dan laju kematian akibat penyakit flu burung sebesar a, maka berdasarkan syarat perlu, r >
a S0
menjadi acuan terjadinya gelombang
epizootic penyebaran virus flu burung di domain pengamatan. rc =
a S0
meru-
pakan koefisien transmisi kritis minimum terjadinya gelombang berjalan pada penyebaran penyakit flu burung di domain pengamatan. Oleh karena itu, jika koefisien transmisi penyakit flu burung di domain pengamatan tidak melampaui besarnya laju kematian akibat penyakit flu burung (a) dibagi banyaknya populasi ayam sehat saat awal pengamatan (S0 ), maka tak akan terjadi epidemi. 3. Informasi a < rS0 yang diperoleh dari syarat perlu
a rS0
< 1 memberikan acuan
laju kematian kritis maksimum terjadinya epidemi yaitu ac = rS0 . Jadi, jika laju kematian akibat penyakit flu burung (a) melebihi laju penularan virus flu burung dari ayam sakit ke ayam sehat (rS0 ), maka tidak akan terjadi gelombang epizootic penyebaran virus flu burung di domain pengamatan. Dengan kata lain, jika waktu harapan hidup ayam sakit ( a1 ) lebih pendek dari waktu penularan virus flu burung terhadap ayam sehat ( rS1 0 ), maka tidak akan terjadi epidemi.
26 Informasi ini juga bisa dijadikan acuan untuk membuat strategi-strategi kontrol agar tidak terjadi epidemi, di antaranya: 1. Agar S0 < ar , populasi ayam sehat dapat dikurangi dengan vaksinasi sebagai salah satu contohnya. Perlu diketahui bahwa dengan
a rS0
< 1 sebagai syarat
perlu terjadinya epidemi, maka peningkatan yang tiba-tiba dari populasi ayam sehat dapat meningkatkan S0 melebihi Sc . Hal ini bisa menimbulkan epidemi. 2. Agar koefisien transmisi penyakit flu burung di domain pengamatan (r) tidak melampaui besarnya laju kematian akibat penyakit flu burung (a) dibagi banyaknya populasi ayam sehat saat awal pengamatan (S0 ) atau dalam bahasa matematika (r <
a ), S0
mungkin bisa dengan isolasi. Campur tangan
kedokteran juga bisa dilakukan untuk mengurangi koefisien transmisi virus flu burung dari ayam sakit ke ayam sehat.
3.2
Kasus II: Ada Pertumbuhan dan Kematian Alami
Dengan langkah analisis yang sama dengan kasus sebelumnya, untuk mencari solusi model secara analitik pada kasus ini akan dilakukan pula analisis dimensi, analisis titik kesetimbangan, analisis gelombang berjalan, dan linearisasi terhadap model. Dalam memodelkan permasalahan untuk kasus adanya pertumbuhan dan kematian pada populasi ayam di domain pengamatan, asumsi yang berbeda dengan kasus I sebagai berikut: • Ayam sehat mengalami pertumbuhan dan kematian alami, sedangkan ayam sakit mengalami kematian alami saja, tidak mengalami pertumbuhan alami. Hal ini berarti yang bertelur hanyalah ayam sehat. Penulis tidak mengasumsikan pertumbuhan alami pada ayam sakit karena sangat kecilnya kemungkinan ayam sakit untuk bertelur mengingat waktu harapan hidup ayam sakit yang sangat pendek. Pertumbuhan alami artinya penetasan telur baik secara alami
27 maupun penetasan telur oleh mesin, dan kematian alami artinya kematian pada ayam bukan karena penyakit flu burung. Ilustrasi keadaan di domain pengamatan sebagai berikut:
Ayam-ayam sehat ada yang menghasilkan telur. Selanjutnya telur ini menetas baik karena pengeraman maupun karena menggunakan mesin. Hal ini memberikan tambahan terhadap laju perubahan populasi ayam sehat. Baik ayam sehat maupun ayam sakit mengalami kematian alami. Dengan kata lain, kematian selain karena infeksi virus flu burung pun memberikan kontribusi terhadap pengurangan populasi ayam sehat dan sakit di domain pengamatan. Berikut diagram ilustrasi permasalahan: +D∇2 S pS
+D∇2 I rSI
S
I
bS
(a + b)I
Diagram 3.2: Diagram Alir Penyebaran Flu Burung dengan Pertumbuhan dan Kematian Alami,
28 dengan Variabel dan parameter
Definisi
Satuan
a
laju kematian akibat infeksi penyakit flu burung
1 detik
b
laju kematian secara alami
1 detik
p
laju penetasan telur
1 detik
aI
angka kematian dari ayam sakit tiap satuan waktu
ekor detik
bI
angka kematian ayam sakit secara alami tiap satuan waktu
ekor detik
bS
angka kematian ayam sehat secara alami tiap satuan waktu
ekor detik
pS
angka penetasan telur dari ayam sehat tiap satuan waktu
ekor detik
Berdasarkan ilustrasi di atas, diperoleh model sebagai berikut: ∂S ∂t ∂I ∂t
= −bS + pS − rSI + D∇2 S,
(3.2.1)
= rSI − aI − bI + D∇2 I,
(3.2.2)
a, b, p, r, D > 0. Seperti halnya pada penyelesaian kasus sebelumnya, analisis dimensi diperlukan untuk memudahkan penyelesaian permasalahan dan memudahkan simulasi pada pembahasan selanjutnya. Dengan menskalakan variabel-variabel di atas terhadap S0 dan memilih variabel-variabel baru tak berdimensi sebagai berikut I , S0 S = , S0 = rS0 t, r rS0 = x, D
I∗ = S∗ t∗ x∗
(3.2.3)
dengan S0 adalah banyaknya populasi ayam sehat di domain pengamatan saat awal pengamatan, diperoleh persamaan tak berdimensi untuk persamaan (3.2.1) dan (3.2.2) (setelah dihilangkan notasi
∗
untuk memudahkan dalam penulisan) sebagai
29 berikut ∂2S ∂S = ξS − IS + 2 , ∂t ∂x ∂I ∂2I = −γI + IS + 2 , ∂t ∂x
(3.2.4) (3.2.5)
dengan p−b , rS0 a+b . γ = rS0 ξ =
Berdasarkan hasil analisis dimensi ini, bisa dilihat bahwa parameter r, a, b, p, D pada persamaan (3.2.1) dan (3.2.2) direduksi menjadi ξ dan γ pada persamaan (3.2.4) dan (3.2.5). Dalam hal ini, model permasalahan yang awalnya bergantung pada 5 parameter r, a, b, p, D menjadi bergantung pada 2 parameter saja yaitu ξ dan γ dengan ξ =
p−b rS0
dan γ =
a+b . rS0
Berdasarkan definisi pada awal sub-bab ini,
1 ξ
=
rS0 p−b
dan
1 γ
=
rS0 a+b
bisa direpresen-
tasikan sebagai perbandingan 2 ukuran skala waktu yang relevan. Masing-masing 1 merupakan perbandingan antara waktu harapan hidup ayam sehat p−b dan waktu 1 harapan hidup ayam sakit a+b dengan waktu penularan penyakit flu burung ter hadap ayam sehat rS1 0 . Titik kesetimbangan (3.2.4) dan (3.2.5) yang juga merupakan solusi kesetimbangan dari kedua persamaan tersebut diperoleh ketika
∂S ∂t
= 0,
∂S ∂x
= 0,
∂I ∂t
= 0, dan
∂I ∂x
=0
sehingga diperoleh solusi konstan yang juga merupakan titik kesetimbangan bagi persamaan diferensial parsial tak berdimensi (3.2.4) dan (3.2.5) yaitu (S, I) = (0, 0), (S, I) = (γ, ξ).
(3.2.6)
Untuk pembahasan selanjutnya titik-titik kesetimbangan yang telah diperoleh ini akan digunakan dalam pencarian solusi (3.2.4) dan (3.2.5). Misalkan bentuk penyebaran ayam sehat dan ayam sakit (yang juga merupakan penyebaran penyakit flu
30 burung) berupa gelombang berjalan, maka akan dicari solusi gelombang berjalan beserta syarat eksistensinya. Misalkan gelombang tersebut berbentuk konstan berjalan ke arah sumbu x positif sebagai berikut I(x, t) ≡ I(z),
(3.2.7)
S(x, t) ≡ S(z),
(3.2.8)
z = x − ct, dengan c adalah kecepatan gelombang yang nilainya akan dicari. Pandang persamaan (3.2.5). Misalkan solusi I pada persamaan (3.2.5) berupa gelombang berjalan. Dengan mensubstitusikan (3.2.7) ke persamaan (3.2.5) serta menggunakan turunan berantai, maka diperoleh persamaan diferensial biasa orde 2 sebagai berikut I ′′ + cI ′ + (S − γ)I = 0.
(3.2.9)
Dalam pencarian solusi dari persamaan diferensial biasa di atas terutama secara numerik perlu diperhatikan kondisi fisis dari penyebaran penyakit flu burung. Jika diamati dari permasalahan penyebaran populasi pada kasus ini, adanya penetasan telur dari populasi ayam sehat dan kematian yang bukan disebabkan terjangkit virus flu burung menyebabkan adanya perbedaan kondisi populasi ayam sehat dan sakit saat jauh sebelum terjadinya epidemi antara kasus ini dengan kondisi pada kasus tidak adanya pertumbuhan dan kematian alami. Dapat diprediksi bahwa pada kondisi jauh setelah terjadi epidemi, karena I dan S berinteraksi, maka banyaknya populasi ayam sakit sebanding dengan pertumbuhan alami akibat penetasan telur ayam sehat dikurangi kematian ayam akibat selain terjangkit flu burung. Begitu juga dengan banyaknya populasi ayam sehat, akan ada perbedaan antara kasus ini dengan kasus sebelumnya pada kondisi jauh sebelum terjadi epidemi. Hal ini disebabkan adanya kematian alami pada populasi ayam sehat. Hal ini memang sesuai dengan titik kesetimbangan yang telah diperoleh
31 pada (3.2.6) khususnya untuk titik kesetimbangan (S, I) yang bernilai (γ, ξ). Karena ada 2 titik kesetimbangan seperti terlihat pada (3.2.6), maka untuk melihat perilaku solusi di sekitar titik kesetimbangannya, pilih titik kesetimbangan yang sesuai dengan kondisi fisis yaitu (S, I) = (γ, ξ) dalam linearisasi. Misalkan I = ξ + εI1 , S = γ − εS1 ,
(3.2.10)
untuk suatu ε > 0. Dengan mensubstitusikan (3.2.10) ke (3.2.9) dan persamaan diferensial biasa tak linear dari S serta mengingat bahwa nilai ε yang kecil, maka diperoleh sistem persamaan diferensial biasa orde 2 linear sebagai berikut S1′′ + cS1′ = −γI1 ,
(3.2.11)
I1′′ + cI1′ = ξS1 .
(3.2.12)
Sistem persamaan diferensial biasa orde 2 di atas bisa direduksi menjadi 1 persamaan diferensial biasa dengan orde lebih tinggi yaitu dengan mensubstitusikan (3.2.11) ke (3.2.12) sehingga diperoleh persamaan diferensial biasa orde 4 sebagai berikut 1 (4) 2c (3) c2 ′′ I + I1 + I1 + γI1 = 0. ξ 1 ξ ξ Dengan memisalkan variabel bebas baru I2 , I3 , I4 , I5 sebagai berikut (3)
I2 = I1 , I3 = I1′ , I4 = I1′′ , I5 = I1 , diperoleh satu sistem persamaan diferensial biasa orde 1 yang dapat dituliskan dalam bentuk matriks sebagai berikut I˙ = AI
I2′
0
1
0
0
′ I3 0 0 1 0 ′ = I4 0 0 0 1 I5′ −γξ 0 −c2 −2c
I2
I3 , I4 I5
(3.2.13)
32 dengan mencari nilai dan vektor eigen dari matriks A serta memperhatikan kembali pemisalan variabel baru sebelumnya, diperoleh solusi untuk I1 yaitu (" # ) (" # ) p p √ √ c c c2 + 4 −γξ c2 + 4 −γξ z + G2 exp − − z I1 = G1 exp − + 2 2 2 2 (" # ) (" # ) p p √ √ c c2 − 4 −γξ c c2 − 4 −γξ +G3 exp − + z + G4 exp − − z , 2 2 2 2 atau bisa dituliskan sebagai berikut (" I1 (z) = G exp
c − ± 2
p
# ) √ c2 ± 4 −γξ z , 2
dengan G ∈ R. sehingga berdasarkan persamaan (3.2.10) dan (3.2.11) diperoleh solusi untuk I dan S sekaligus sebagai berikut: (" # ) p √ c2 ± 4 −γξ c I(z) = ξ + εG exp − ± z , 2 2 (" # )! p √ γG c c2 ± 4 −γξ exp − ± z , S(z) = γ − ε E + F exp{−cz} + 2 2c + 2c 2 2 untuk suatu E, F , G ∈ R. Berdasarkan solusi tersebut dapat diprediksi bahwa syarat perlu terjadinya gelombang epizootic pada penyebaran populasi ayam sakit dan sehat adalah sama. Solusi di atas berlaku hanya jika ada gelombang berjalan pada penyebaran populasi ayam sakit dan sehat. Karena banyaknya populasi ayam sakit (I) dan ayam sehat (S) bernilai non negatif, maka tidak mungkin solusi di atas mengandung suku imajiner sehingga haruslah kecepatan gelombang minimum c = 2(−γξ)1/4 . Misalkan V kecepatan gelombang dalam bentuk berdimensi. Dengan melihat dimensi V dan memperhatikan hubungan antara t dan t∗ serta x dan x∗ seperti pada (3.2.3) maka diperoleh
dengan p < b.
v s u u (a + b)(p − b) V = 2trS0 D − , (rS0 )2
Karena c bernilai positif dan real, maka haruslah γξ < 0. Tetapi, karena γ =
a+b rS0
33 tak mempunyai arti fisis jika bernilai negatif karena angka kematian tiap satuan waktu tak mungkin negatif, maka haruslah ξ =
p−b rS0
bernilai negatif. Dengan kata
lain, haruslah c < b atau angka penetasan telur secara alami tiap satuan waktu lebih kecil daripada angka kematian karena selain flu burung tiap satuan waktu. Jadi, jika angka penetasan telur ayam sehat tiap satuan waktunya lebih besar dari angka kematian akibat selain terjangkit flu burung, dapat dijamin tidak akan terjadi wabah flu burung yang menjalar secara terus menerus hingga ke daerah selain daerah pengamatan (gelombang epizootic). Selain itu, syarat perlu di atas juga dapat diinterpretasikan bahwa jika rata-rata waktu yang diperlukan untuk penetasan telur ayam sehat lebih sedikit dari rata-rata waktu harapan hidup ayam secara alami di domain pengamatan, maka tak akan terjadi gelombang epizootic pada penyebaran penyakit flu burung (yang juga merupakan penyebaran populasi ayam sakit) serta pada penyebaran populasi ayam sehat di domain pengamatan.