BAB 3 MEMILIH KAMPUNG PAPRINGAN “Apakah anda bisa memberi masukan tentang kampung mana di Kelurahan Kebonan yang sebaiknya dipilih menjadi daerah penelitian saya?” tanya saya kepada seorang kenalan yang berasal dari kelurahan itu. “Di kampung saya saja pak”, jawabnya dengan mantap. “Apakah di sana ada orang-orang yang sibuk untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya, baik material maupun non material, meskipun hal itu merugikan orang lain atau mengorbankan kepentingan yang lebih besar?”, pertanyaan lanjutan saya untuk meyakinkan. “Percayalah kepada saya. Bapak akan mendapatkan apa yang bapak cari di sana!”, lanjutnya, masih dengan mantap. (Obrolan saya dengan penunjuk jalan penelitian di akhir tahun 2009).
Memburu rente, seperti diuraikan dalam bab 2, adalah istilah yang masih asing bagi banyak akademisi, apalagi bagi orang kebanyakan. Ia sangat sering dihubungkan dengan rentenir, yaitu para aktor yang meminjamkan uangnya dengan bunga yang besar (Badudu, 2003: 302). Setelah disederhanakan dan dipadankan, atau tepatnya didekati (diproksi) dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), maka konotasi negatif itu pun mendapatkan peneguhan. Karena berkonotasi negatif, ia dianggap sensitif dan kontroversial, dan oleh karena itu dikhawatirkan akan sulit untuk menelitinya. Kekhawatiran yang dilontarkan oleh seorang kolega saya di Fakultas Ekonomi UNS ini ternyata tidak terjadi di lapangan. Memang, sebagian narasumber tidak menjawab, tetapi hal itu lebih berhubungan dengan ketidaktahuan, bukan karena istilah yang berkonotasi negatif itu. Orang-orang yang tidak menjawab itu umumnya memiliki tingkat pendidikan rendah, tidak suka membaca, dan tampak kurang percaya diri dalam bergaul. Sebagian kecil, lebih terdidik dan hubungan pergaulannya lebih luas pun, tidak menunjukkan keengganan untuk
PARASIT PEMBANGUNAN
menjawab, meskipun kerancuan arti, khususnya antara kolusi dan nepotisme, sepertinya biasa. Hal-hal ini menggambarkan bahwa istilah-istilah ini tidak menjadi perhatian mereka. Studi ini menjawab tentang ‘apa, siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana perilaku KKN’ itu terjadi. Pertanyaan penelitian yang diwakili oleh 6 kata tanya ini berhubungan dengan dinamika masyarakat, yang tentu saja tidak bisa ditangkap melalui survei, tidak pula bisa dilakukan lewat pendekatan eksperimental, baik karena alasan praktis maupun etis. Oleh karena itu, penelitian ini paling sesuai dilakukan secara kualitatif melalui observasi partisipatif, wawancara mendalam dengan para informan, diskusi kelompok terfokus, dan sebagainya. Saya pun tinggal di tengah komunitas yang saya amati ini dalam jangka waktu 3 bulan, waktu yang saya anggap cukup untuk merasakan dan menghayati nuansa perikehidupan seharihari melalui pengalaman, maupun interaksi langsung dengan semua pihak yang relevan dengan tema penelitian ini. Dalam proses untuk memperoleh semua informasi itu, saya perlu menceriterakan bagaimana saya memilih Kampung Papringan di Kota Adikarta sebagai arena studi. Setelah arena studi dipilih dengan berbagai pertimbangan, saya kemudian menentukan cara dan proses pengumpulan datanya. Perlakuan lebih lanjut terhadap data yang telah dikumpulkan tentu saja bagaimana data itu diolah dan dianalisis untuk digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. 2 jenis data, yaitu kuantitatif maupun kualitatif, akhirnya terkumpul. Pengolahan data kuantitatif yang dikumpulkan melalui survei relatif mudah dan cepat dikerjakan dengan bantuan Program Microsoft Excel. Sedangkan pengolahan data kualitatif relatif lebih sulit melalui tahap transkripsi, kemudian diskripsi berdasarkan kategori-kategori yang menjadi jawaban narasumber.
MEMILIH KAMPUNG PAPRINGAN SEBAGAI ARENA STUDI Ketika diputuskan bahwa lokasi penelitian berada di Kota Adikarta, 1 dari 6 kota di Provinsi Jawa Tengah, saya dengan seketika berpikir untuk mencari buku ”Kota Adikarta Dalam Angka”. Setelah 74
Memilih Kampung Papringan
saya peroleh dari Kantor BPS Kota Adikarta, saya kemudian mempelajari petanya, pembagian wilayah administrasinya, dan dari penelusuran itu saya mengamati, secara khusus, empat kelurahan pinggiran, berdasarkan proporsi penduduk yang paling besar di masing-masing wilayah kecamatan. Keempat kelurahan itu adalah Sawahan di Kecamatan Pasar Legi, Tegalan di Kecamatan Pasar Pahing, Kandangan di Kecamatan Pasar Pon, dan Kebonan di Kecamatan Pasar Wage. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, Kelurahan Sawahan berpenduduk 21.300 orang atau 24% dari seluruh penduduk kecamatan sebanyak 86.057; Kelurahan Tegalan memiliki penduduk 32.466 orang atau 43% dari total penduduk kecamatan sebanyak 74.269 orang; Kelurahan Kandangan dihuni oleh 43.863 jiwa atau 31% dari 138.049 penduduk Kecamatan Pasar Pon, dan Kelurahan Kebonan ditinggali oleh 48.326 orang atau 30% dari 157.309 penduduk Kecamatan Pasar Wage. Memperhitungkan berbagai faktor, khususnya sosial ekonomi masyarakat dan juga akses saya dan tim peneliti untuk masuk ke masing-masing lokasi, ditambah hasil konsultasi dengan seorang aparat BPS Kota Adikarta, akhirnya saya memutuskan untuk mencoret Kelurahan Sawahan, Kelurahan Tegalan, dan Kelurahan Kandangan. Kelurahan Sawahan saya anggap sebagai kelurahan yang relatif maju dan makmur, sehingga besar kemungkinan saya tidak akan menemukan sebuah kampung miskin di sana. Kecuali itu, saya tidak memiliki kontak di sana untuk memahami dan melancarkan proses penelitian saya. Kelurahan Tegalan saya coret sebagai calon lokasi penelitian, semata-mata karena persoalan akses. Kelurahan ini sebenarnya sangat menarik untuk diamati karena dinamikanya secara demografi, sosial, politik dan ekonominya. Kelurahan Kandangan juga saya coret bukan karena minimnya akses, tetapi justru sebaliknya. Saya memiliki beberapa kontak di sana, khususnya Pak Kukuh yang menjadi salah 1 narasumber pembanding, yang justru membuat saya merasa kurang bebas apabila kelurahan itu dipilih menjadi lokasi penelitian. Proses eliminasi ini akhirnya menyisakan Kelurahan Kebonan di Kecamatan Pasar Wage sebagai arena penelitian.
75
PARASIT PEMBANGUNAN
Proses eliminasi bagi pemilihan kelurahan ini, tentu saja, bukan hal yang terakhir. Tahap berikutnya justru memiliki kesulitan yang relatif lebih tinggi daripada tahap sebelumnya. Kelurahan ini terdiri dari 35 Rukun Warga (RW) dan saya harus memilih 1 kampung yang berhimpun dalam 1 RW secara tertutup. Kebanyakan, 1 RW itu cenderung menjadi bagian dari 1 kampung (disebut sub-kampung), atau 1 kampung kebanyakan terdiri dari 2 RW atau lebih. Walaupun pola umumnya demikian, saya tetap berharap untuk menemukan 1 kampung yang membentuk 1 wilayah administratif RW tersendiri, atau varian dari itu. Sayangnya, pegawai kelurahan, baik Lurah maupun Carik (Sekretaris) dan aparat lainnya ternyata tidak bisa menjawab pertanyaan atau tepatnya memenuhi permintaan saya tentang “kampung apa saja yang membentuk 1 RW tersendiri” itu1. Hal ini menyulitkan saya untuk memilih 1 kampung secara acak, sebagai lokasi penelitian. Akhirnya, saya beruntung sekali mendapatkan kesempatan yang sangat luas untuk berbincang-bincang dengan Sekretaris Kelurahan Kebonan. Dalam kesempatan itulah muncul pertanyaan tentang Daftar RT/RW dan ternyata di Kelurahan Kebonan memiliki dokumen tentang itu.2 Setelah mempelajari dokumen ini, saya kemudian berkonsultasi dengan seseorang kenalan, yang kemudian menjadi penunjuk jalan penelitian. Pada suatu kesempatan di akhir tahun 2009, saya menceriterakan secara garis besar tentang rencana penelitian itu kepadanya begini: “Kelurahan Kebonan sudah saya pilih berdasarkan banyak pertimbangan, tetapi kampungnya masih bingung untuk ditentukan. Apakah anda bisa memberi pandangan tentang
Tidak tertutup kemungkinan bahwa para pegawai kelurahan Kebonan salah menangkap maksud dari pertanyaan saya tentang kampung-kampung yang menjadi satu RW tersendiri itu. 1
Dalam rangka menelusuri perkembangan struktur organisasi di kelurahan ini saya memperoleh dokumen tentang Daftar RT/RW Kelurahan Kebonan Periode Tahun 2002-2006, 2006-2010 dan 2010-2014. Dari dokumen inilah akhirnya saya mendapatkan petunjuk tentang berbagai kampung yang ada di kelurahan ini. 2
76
Memilih Kampung Papringan
kampung mana di kelurahan ini yang sebaiknya dipilih menjadi daerah penelitian saya?” tanya saya waktu itu. Setelah berfikir sejenak, dia menjawab begini: “Di kampung saya saja. Bapak akan menemukan yang bapak cari di sana”.
Demikianlah akhirnya Kampung Papringan saya pilih sebagai arena penelitian. Proses pencarian yang semula tampak sulit ternyata berakhir dengan sangat sederhana, ketika saya menggunakan perkenalan, pertemanan, atau jejaring (modal sosial). Sebelum diputuskan, saya mengunjungi Kampung Papringan di Kota Adikarta itu, melakukan pengamatan seperlunya, dan akhirnya menyetujui rekomendasi itu. Kemudian, melalui studi pendahuluan, saya menemukan berbagai fakta menarik berikut. Secara administratif, kampung ini sejak tahun 1980-an hanya terdiri dari 3 Rukun Tetangga (RT) saja, meskipun mulai tahun 2006 RT 02 telah dipecah menjadi 4 RT dengan berbagai komplikasinya.3 Sedangkan RT 01 dan RT 03 belum dipecah, meskipun masing-masing sudah memiliki warga lebih dari 150 kepala keluarga (KK). Secara geografis, lokasi penelitian ini merupakan daerah pinggiran (periphery) Kota Adikarta. Seperti umumnya daerah pinggiran, komunitas dalam studi ini memiliki budaya campuran antara agraris pedesaan dengan industri perkotaan4. Percampuran budaya seperti ini sangat menarik untuk diamati melalui praktik hidup mereka sehari-hari, seperti bagaimana mereka menjemur pakaian, bagaimana mereka mengelola sampah, bagaimana mereka beternak ayam meskipun tidak memiliki lahan, maupun bagaimana mereka berperilaku untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Di situ
Walaupun demikian, proses perluasan wilayah administrasi dari 1 unit menjadi beberapa unit seperti ini selalu meninggalkan banyak persoalan, seperti diuraikan dalam bab 7. 3
Dalam catatan kaki nomor 21 Hotze Lont (2002) menulis begini: “In Java, the word kampung is commonly applied to urban quaters, or wards, in which most of Java’s urbanites continue to live. Kampung are typified for their traditional appearance and strong emphasis on ‘community’ relations. 4
77
PARASIT PEMBANGUNAN
ditemukan berbagai jenis dan bentuk paradoks, berbagai macam konflik tetapi juga berbagai bentuk kompromi. Secara sosial geografis, yaitu sebagai daerah pinggiran dalam konteks pembangunan kontemporer Kota Adikarta, kampung ini menjadi daerah tujuan tempat tinggal, baik untuk menetap maupun sementara. Harga tanahnya masih relatif murah, dan program pembangunan Pemerintah Kota (Pemkot) Adikarta memang didorong untuk berlokasi di bagian itu. Apalagi banyak tanah yang status kepemilikannya masih belum jelas, sebagai akibat adanya perubahan status dari tanah garapan (milik negara) menjadi tanah pekarangan (milik pribadi) tanpa sertifikasi. Beberapa kasus serfifikasi yang dihadapi sebagian warga, khususnya untuk tanah yang sudah diperjualbelikan secara di bawah tangan, relatif sulit dan mahal untuk dilakukan. 5 Setting seperti ini sangat menarik sebagai lokasi penelitian, karena meskipun suasana sehari-hari tampak damai seperti pedesaan, tetapi konflik kepentingan, khususnya berhubungan dengan tanah, menjadikan kedamaian komunitas kampung ini bersifat superfisial seperti bisa dilihat dalam bab 6. Selanjutnya, komunitas yang kebanyakan adalah pendatang seperti ini membentuk, disadari atau tidak, berbagai kelompok kepentingan yang, tidak jarang saling bersaing, baik secara fair maupun sebaliknya. Salah satu kelompok kepentingan yang paling penting adalah agama. Secara nasional kelompok masyarakat berdasarkan agama ini sudah, sedang dan tampaknya akan selalu dipolitisasi oleh para elitnya, baik melalui Partai Politik maupun Organisasi Masyarakat Keagamaan masing-masing, untuk berebut pengaruh, kekuasaan dan kedudukan, yang dampaknya sangat terasa sampai pada aras yang paling bawah, yaitu Rukun Tetangga.
Induk semang saya mengatakan bahwa ketika mau menyertifikasi tanah yang dibelinya, ia harus memperoleh tanda tangan 7 orang ahli waris tanah itu. Ketika menemui salah satunya, ahli waris itu meminta uang Rp.2,5 juta. Induk semang saya tidak bisa membayangkan kalau harus membayar sejumlah uang yang sama kepada ketujuh ahli waris tanah itu. Akhirnya ia pasrah. Kalau suatu ketika tanahnya dipersoalkan orang, ia akan meminta ganti rugi saja harga rumah yang sekarang ia tinggali. 5
78
Memilih Kampung Papringan
Seperti diuraikan sebelumnya, di kampung ini saya beruntung memiliki penunjuk jalan, yang sudah membantu, baik sebagai informan maupun mencarikan informan, dan bahkan menjadi asisten peneliti. Meskipun penunjuk jalan bisa bias dalam memperoleh dan memberi informasi, tetapi dengan banyaknya informan dan banyaknya asisten peneliti, bias informasi bisa dikontrol dan ditekan serendah mungkin. Yang jelas, ia sangat mendukung dalam membantu kelancaran proses penelitian. Ia juga membantu saya dan asistenasisten peneliti lainnya untuk berbaur dengan anggota komunitas, sehingga komunikasi antara saya dan anggota komunitas menjadi lebih lancar. Keragu-raguan warga juga terhapuskan oleh kehadiran “orang dalam” itu dan sebagai akibatnya, kepercayaan warga terhadap saya dan kawan-kawan peneliti segera terbangun. Semua itu menjadi nilai plus yang sulit diperoleh di 3 kelurahan lain yang telah saya sebutkan sebelumnya.
PROSES PENGUMPULAN DATA Penelitian ini telah mengumpulkan berbagai informasi yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, secara garis besar, dalam bab 1. Berbagai pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan data sekunder yang tersedia di kota maupun di kelurahan, sehingga penelitian ini tergantung, hampir seluruhnya, pada data primer. Meskipun demikian, penelitian ini tetap memanfaatkan data sekunder yang ada, seperti dari BPS Kota Adikarta dan Kelurahan Kebonan, untuk mendukung, menentang, atau melengkapi interpretasi yang dirumuskan dari semua informasi yang relevan. Selanjutnya, tabel 3.1 menyarikan matriks hubungan antara pertanyaan penelitian (yang dikonstruksi ulang dari 6 kata tanya 5W+1H), data yang diperlukan untuk menjawab masing-masing pertanyaan, dan cara memperolehnya.
79
PARASIT PEMBANGUNAN
Tabel 3.1. Pertanyaan Penelitian, Data yang Diperlukan, dan Cara Pengumpulan Data Pertanyaan Penelitian Pertanyaan 1
Data yang Diperlukan Pengenalan Komunitas, Rumahtangga, & Lembaga
Metode Pengumpulan Data Survei Komunitas dan Survei Rumahtangga
Pertanyaan 2
Pengetahuan, Sikap dan Praktik Memburu Rente
FGD & Interview Mendalam.
Pertanyaan 3
Proses Terjadinya Perilaku Memburu Rente
FGD, Interview Mendalam dan Observasi Partisipatif
Pertanyaan 4
Alasan Terjadinya Perilaku Memburu Rente
FGD; Interview Mendalam.
Pertanyaan 5
Dampak Perilaku Memburu Rente
Interview Mendalam, Obsevasi Partisipatif, dan Kajian Literatur
Pertanyaan 1 yang dipersoalkan dalam studi ini adalah “bagaimana kondisi modal sosial masyarakat”. Pertanyaan ini terfokus pada tiga profil yang menjadi komponen modal sosial, yaitu Profil Komunitas, Profil Rumahtangga dan Profil Kelembagaan. Kemudian cara untuk memperoleh ketiga set data ini adalah Survei Komunitas dan Survei Rumahtangga. Pertanyaan 1 ini sebenarnya merupakan pertanyaan tentang latar belakang sosiologis kehidupan warga Kampung Papringan, yang saya anggap memiliki peran besar dalam melancarkan proses penelitian selanjutnya. Pertanyaan 2 mempermasalahkan “bagaimana pengetahuan, sikap dan praktik (KAP – knowledge, attitude, practice) narasumber terhadap KKN”. Pertanyaan tentang KAP ini secara implisit digunakan untuk mengenali “siapa saja yang tahu dan atau bahkan pernah terlibat dengan KKN”. Di dalam praktik, para elit, baik nasional maupun lokal, memang banyak yang terlibat dengan KKN. Tetapi di tingkat komunitas, apalagi komunitas asing yang sedang diamati, saya atau siapa pun tidak bisa menunjuk bahwa si Soma atau si Anggara adalah 80
Memilih Kampung Papringan
pelaku KKN. Jadi, pada tahap awal penelitian, pelaku KKN ‘harus’ dianggap tidak ada karena belum terdeteksi. Oleh karena itu, pertanyaan 2 ini menjadi semacam deteksi terhadap pengetahuan dan sikap 39 anggota komunitas yang telah dipilih terhadap KKN. Lalu, bagi mereka yang pernah terlibat dengan perilaku itu, diminta untuk menceriterakan kasusnya, bagi yang tidak keberatan, dan sekaligus ditanya mengapa melakukannya. Berbagai kasus yang mereka ceriterakan ini menjadi jawaban atas pertanyaan penelitian #3. Untuk memilih 39 narasumber ini saya meminta kepada 3 ketua RT (05, 06 dan 03) untuk memilih warganya sebanyak 10 – 15 orang dengan jenjang umur yang berbeda untuk mengikuti pertemuan yang disebut sebagai Diskusi Kelompok Terfokus (FGD – focus group discussion). Di dalam FGD, saya tentu saja tidak bisa mencecar pertanyaan sampai mendetail kepada partisipan yang pernah terlibat dengan unsur-unsur KKN. Saya beruntung bahwa dalam proses ini hanya 1 narasumber yang mengaku pernah terlibat dengan unsur KKN, tetapi keberatan untuk menceriterakannya. Menghadapi kasus seperti itu saya telah mewawancarai secara mendalam 7 orang narasumber sebagai tindak lanjut dari FGD sekaligus untuk menguji keakuratan jawaban para partisipan FGD, ditambah dengan 1 orang narasumber dari Kelurahan Kandangan sebagai pembanding atau penguat temuan. Pertanyaan 3 mempersoalkan masalah yang lebih dinamis, yaitu “bagaimana proses terjadinya KKN”. Kata kunci dari pertanyaan 3 ini adalah “proses”, maka jawaban atas pertanyaan ini hanya bisa diperoleh melalui “keterlibatan”, baik keterlibatan para narasumber maupun keterlibatan saya dalam beberapa peristiwa yang dipersoalkan. Keterlibatan para narasumber saya gali melalui wawancara mendalam, sedangkan saya pribadi melakukan pengamatan secara partisipatif. Yang terakhir ini saya lakukan dengan menemani pak Kukuh, salah seorang narasumber yang berasal dari Kelurahan Kandangan, yang mau membantu dengan menurunkan kelas SIM nya dari B-1 ke A sebagai eksperimen. Jadi, data yang terkumpul untuk menjawab pertanyaan 3 ini saya peroleh lewat FGD, wawancara mendalam, dan pengamatan partisipatif. 81
PARASIT PEMBANGUNAN
Selanjutnya, pertanyaan 4 sebenarnya menjadi satu rangkaian dengan pertanyaan 2 dan 3, yaitu mempersoalkan “alasan untuk melakukan KKN”. Seperti diuraikan sebelumnya, di dalam FGD para partisipan ditanya tentang ‘pengetahuan, sikap dan praktik’nya dalam KKN. Bagi yang pernah praktik KKN juga diminta untuk menceriterakan bagaimana kejadiannya, di mana, dan dengan siapa. Sesudah itu, yang bersangkutan juga ditanya mengapa keputusannya demikian. Misalnya, seorang warga menceriterakan kepada saya di Warung Hijau bagaimana ia menyuap polisi lalu lintas yang menyetopnya ketika ia melanggar lampu lalu lintas di Kota Adikartika. Alasan utama yang dia sampaikan adalah “keengganan untuk mengorbankan 1 hari kerjanya” untuk mengikuti sidang di luar kota, dalam hal itu Kota Adikartika. Dengan menyuap polisi yang menilangnya, narasumber tidak perlu menempuh perjalanan puluhan kilometer ke Kota Adikartika ‘hanya’ untuk menghadiri sidang dengan besaran denda yang seringkali lebih besar atau sama dengan suap yang dia berikan kepada polisi lalu lintas yang menangkapnya itu. Suatu perilaku, dalam hal ini KKN, sudah terjadi, sedang dalam proses terjadi, dan tampaknya akan selalu terjadi, di mana-mana, termasuk di Kota Adikarta. Ketika alasan ditanyakan pada waktu KKN itu dilakukan, maka kesahihannya (validitasnya) sangat pantas untuk dipertanyakan. Alasan di muka (sebelum KKN terjadi) seringkali digunakan oleh aliran positifis sebagai prediksi terhadap perilaku. Prediksi seperti ini umumnya berakhir pada 2 pilihan perilaku, yaitu perilaku positif (yang diharapkan) atau perilaku negatif (yang tidak diharapkan). Bagi penelitian fenomenologis seperti sekarang ini, alasan (mengapa melakukan KKN) ditanyakan terhadap perilaku (KKN) yang sudah terjadi. Sehingga persoalan yang muncul adalah kemungkinan pelaku menjawab dengan jujur atau berbohong, atau kombinasi antara keduanya. Hal ini dipersoalkan karena dalam penelitian sosial diidentifikasi adanya galat jawaban yang bersumber dari post hoc rationalism, yaitu rasionalisasi terhadap perilaku yang sudah terjadi
82
Memilih Kampung Papringan
supaya diterima secara sosial6. Kemudian, alasan yang disampaikan masuk akal atau tidak. Apabila pelaku dianggap menjawab dengan jujur, tetapi jawabannya kurang masuk akal menurut konteksnya, maka saya atau peneliti lain, harus mengkonfirmasi dengan satu atau lain cara (misalnya dengan bertanya kepada narasumber lain tentangnya), sehingga jawabannya bisa dikonfirmasi dan menjadi sahih. Pertanyaan terakhir dalam studi ini adalah mendiskusikan “apa saja dampak dari perilaku memburu rente” itu. Jawaban atas pertanyaan ini saya peroleh dengan menghubungkan antara hasil FGD dan wawancara mendalam dengan pengamatan dan pengalaman saya di dunia nyata. Hasil dari proses ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh cara pandang saya terhadap berbagai kasus yang saya gunakan untuk ilustrasi. Misalnya, ketika saya menganggap bahwa sebagian besar SIM yang diterbitkan oleh Korlantas itu ‘asli tapi palsu’, maka dampaknya terhadap jumlah pemilik SIM yang lebih banyak, kemudian jumlah kendaraan yang lebih banyak, dan seterusnya, menjadi salah satu kontributor bagi terjadinya kepadatan, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas. Jadi jawaban atas pertaanyaan ini merupakan kombinasi antara deskripsi empiris dengan abstraksi teoritis. Kemudian, seluruh data primer yang dikumpulkan dari Kampung Papringan ini berproses melalui beberapa tahap penelitian berikut. Tahap 1, Perkenalan dengan Pengurus Kampung. Pada tahap ini penunjuk jalan membawa saya untuk menemui sesepuh kampung, yaitu ketua Rukun Warga (RW). Setelah berkenalan, saya menyampaikan maksud kedatangan dan mohon kesediaannya untuk didatangi berulang-ulang. Pada kunjungan berikutnya, saya menyerahkan Surat Ijin Penelitian, sekaligus titip, apabila
Satu contoh hipotetis tentang seorang pendatang. Ketika ditanya: “Mengapa anda pindah ke Kota Adikarta?” jawabannya akan cenderung normatif, seperti: “ingin memperbaiki tingkat kehidupan”. Pada hal setelah dicek ke daerah asalnya para tetangganya mengatakan: “si Anu itu suka mencuri di sini, maka dia diusir supaya tidak dimassa”. Oleh karena itu, ia tidak akan pernah menjawab “suka mencuri”, karena jawaban seperti itu akan membuatnya ditolak secara sosial di tempat baru. 6
83
PARASIT PEMBANGUNAN
memungkinkan, beberapa berkas fotokopi surat ijin penelitian, untuk diserahkan kepada semua ketua Rukun Tetangga (RT) di kampung itu. Dalam proses ini, ketua RW justru dengan keramah-tamahannya berkenan untuk mengantar saya ke rumah semua ketua RT untuk berkenalan, menceriterakan secara garis besar rencana penelitian dan tentu saja dengan menyerahkan surat ijin penelitian, serta meminta kesediaannya untuk didatangi kembali. Tahap 2, Survei Komunitas. Pada tahap ini saya mendatangi Ketua RW dan semua Ketua RT di Kampung Papringan untuk mengetahui karakter komunitas (untuk Ketua RW) dan karakter sub-komunitas (untuk Ketua RT). Meskipun keduanya cenderung untuk menceriterakan hal yang sama, hanya dalam skala yang berbeda, proses itu tetap saya lakukan sebagai perbandingan sekaligus penguatan. Wawancara saya lakukan sendiri dengan 7 orang pengurus kampung itu dengan menggunakan Daftar Pertanyaan Terstruktur yang disusun dengan memodifikasi pedoman yang dibuat oleh Krishna & Shrader (2002) untuk meneliti modal sosial, khususnya untuk penyusunan profil komunitas. Jadi, data yang terkumpul pada tahap 2 ini digunakan untuk menulis Profil Komunitas sebagai bagian dari modal sosial komunitas yang diuraikan dalam bab 4. Tahap 3, Survei Rumahtangga. Pada tahap ini saya dibantu oleh 5 orang asisten peneliti yang telah dilatih sebelumnya. Kemudian, selama 1 bulan mereka saya minta untuk mendata semua rumahtangga (sensus) di Kampung Papringan, yang dimulai dari RT 01. Dalam proses pendataan ini, para asisten mendatangi rumahtangga baik pada siang hari maupun malam hari. Setelah bulan Juni 2010 lewat, para asisten peneliti sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kejenuhan7. Oleh karena itu, meskipun belum tuntas, proses pencacahan kemudian kami
Para pencacah mengatakan bahwa banyak rumahtangga sudah didatangi 2 kali, tetapi tidak berhasil ditemui juga. Kecuali itu, mereka juga menyebutkan bahwa karakteristik rumahtangga maupun jawaban mereka terhadap pertanyaan yang diajukan tidak berbeda secara signifikan. Argumentasi ini menjadi justifikasi saya untuk menghentikan proses Sensus Rumahtangga, dan oleh karena itu hasilnya disebut sebagai Survei Rumahtangga. Apalagi, waktu yang disediakan untuk melakukan pencacahan memang telah disepakati hanya sampai 30 Juni 2010. 7
84
Memilih Kampung Papringan
hentikan pada 30 Juni 2010 seperti ditentukan sebelumnya. Pada tahap 3 ini pencacah berhasil mendata 267 rumahtangga (plus 3 rumahtangga yang dinyatakan gugur), yang terdiri dari 315 kepala keluarga dan 1138 orang.8 Hasil Survei Rumahtangga ini kemudian digunakan untuk menyusun Profil Rumahtangga dan Profil Kelembagaan, yang merupakan 2 komponen pokok dari konsep modal sosial. Selanjutnya bersama-sama dengan hasil Survei Komunitas, hasil survei pada tahap ini menjadi isi utama dari bab 4 tentang Modal Sosial Kampung. Tahap 4, Diskusi Kelompok Terbatas (Focus Group Discussion – FGD). Tahap ini merupakan tindak lanjut dari tahap survei sebelumnya. Dari tahap 3 saya mulai memperoleh gambaran tentang orang-orang yang berusaha keras untuk memperoleh keuntungan pribadi, meskipun merugikan orang lain atau pun kepentingan yang lebih besar. Sebagai contoh adalah kepemilikan SIM (Surat Ijin Mengemudi). Ketika ditanya tentang siapa yang mengurus pencarian SIM, 15 persen dari pemilik menyatakan secara jelas dengan “titip kepada orang lain”, artinya orang lain yang menguruskan. 33 persen dari mereka menyebutkan “diurus sendiri” dan 51 persen tidak menjawab. Kekosongan jawaban dari separuh pemilik SIM ini barangkali menggambarkan dua hal. Asisten peneliti tidak mampu mengisi jawaban atas pertanyaan ini, karena mungkin sebagian dari pemilik SIM adalah anggota rumahtangga yang tidak diwawancara secara langsung. Jadi, narasumber memang tidak tahu. Atau, responden bingung menentukan arti dari “siapa yang menguruskan SIM” itu. Karena, setiap pencari SIM pasti ke kantor Korlantas, sekurangkurangnya untuk berfoto pada tahap akhir proses pengurusan SIM.
Pada survei ini saya diminta untuk mendatangi 1 rumahtangga di RT.03 yang telah menolak didatangi oleh 3 orang pencacah. Saya perlu mendatangi rumahtangga dimaksud 2 kali baru berhasil. Kedatangan pertama ditolak karena suaminya tidak berada di rumah. Lalu saya bertanya: “kapan sebaiknya saya datang ketika suami ibu berada di rumah?” Dia jawab: “besok malam”. Pada malam yang dijanjikan saya menemui suami-isteri muda itu dan mereka menjawab semua pertanyaan dengan lancar. Setelah wawancara selesai, si wanita muda bertanya: “mengapa bapak sendiri yang mendatangi rumah kami?” “Karena 3 orang asisten saya telah anda tolak dan saya ingin tahu apa sebabnya”. Begitulah jawaban saya dan kemudian balik bertanya: “Lalu mengapa anda menolak 3 asisten saya?” “Karena saya mau diwawancarai bersama suami”, jawabnya. 8
85
PARASIT PEMBANGUNAN
Oleh karena itu, datang sendiri ke kantor polisi bisa saja diartikan oleh para responden sebagai “mengurus sendiri”9, meskipun sesungguhnya menggunakan perantara alias calo. Contoh kekurang-cermatan dalam menggunakan kata dan merumuskan kalimat seperti ini saya tindak-lanjuti dengan memasuki tahap 4 proses penelitian, yaitu Diskusi Kelompok Terfokus (FGD). Pemilihan partisipan saya lakukan dengan meminta kepada ketua RT bersangkutan untuk mengundang 10 – 15 warga dengan umur berbeda, ada yang 20an tahun, 30an tahun, 40an tahun dan seterusnya. FGD 1 kami selenggarakan pada 07 Oktober 2010 dengan melibatkan 12 orang partisipan dari RT 05. Umur mereka terentang antara 33 tahun sampai 73 tahun. Pendidikan mereka terbentang antara tidak pernah sekolah sampai Diploma III. Hasil FGD 1 ini ditambah dengan informasi yang diperoleh dari tahap sebelumnya saya olah dan tulis ke dalam 1 paper, serta presentasikan pada “Seminar Hasil Penelitian Program Doktor” bulan Februari 2011. Paper itu adalah draf awal untuk bab 5, yang diberi judul “Pengetahuan, Sikap dan Praktik Memburu Rente”. Setelah FGD 1 selesai dan presentasi hasil telah terlaksana, penelitian sempat terhenti selama satu tahun, sebagian karena jenuh (perlu istirahat), sebagian lain karena kesibukan, baik dinas maupun keluarga, dan yang tidak kalah penting adalah kehabisan biaya. Lalu, mulai Maret 2012 saya akhirnya memperoleh tempat pemondokan di Kampung Papringan dan bisa meneruskan proses penelitian yang sempat terhenti di tahun 2010. FGD 2 kemudian dilaksanakan pada 24 Maret 2012, yang diikuti oleh 15 orang partisipan dari RT 06, dengan rentang umur antara 35 tahun sampai 72 tahun dan rentang pendidikan antara SD sampai SLTA.
Inilah salah satu contoh pertanyaan multi tafsir (ambigu) yang saya rumuskan dalam Daftar Pertanyaan Penelitian. Hal ini terjadi karena penelitian ini tidak diawali dengan Pilot Survei, sehingga ketidaktepatan penggunaan kata (wording) atau perumusan kalimat (sentencing) baru teridentifikasi sesudah hasil wawancara itu diolah. Jawaban atas siapa yang menguruskan SIM ini diperkirakan akan lebih jelas apabila pertanyaannya diubah menjadi “apakah dalam mengurus SIM, anda menggunakan perantara?”. Pertanyaan yang tidak ambigu kiranya mudah ditangkap dan akan dijawab dengan jelas “ya atau tidak”. 9
86
Memilih Kampung Papringan
Hasil FGD 2 ini sebenarnya tidak berbeda secara signifikan dengan hasil FGD 1, tetapi saya perlu memastikan apakah ketidakberbedaan itu hanya kebetulan ataukah sesungguhnya. Oleh karena itu, pada tanggal 31 Maret 2012 saya menyelenggarakan FGD 3 yang diikuti oleh 12 orang partisipan dari RT 03. Umur maupun pendidikan partisipan sangat bervariasi. Umur terentang antara 21 tahun (masih bujang) sampai 79 tahun, dan pendidikan mereka terbentang antara tidak pernah sekolah sampai sarjana. Tahap 5, Wawancara Mendalam (In-depth Interviewing). Tujuan yang ingin dicapai dalam tahap ini adalah memperoleh gambaran, walaupun kasar, tentang Sejarah Perkembangan Kampung, yang menjadi bagian dari bab 4. Sedangkan tujuan lain yang diharapkan bisa terpenuhi adalah ditemukannya berbagai contoh tentang Proses Memburu Rente, yang kemudian dianalisis dalam bab 6. Kecuali itu, tahap ini juga diharapkan untuk menemukan berbagai alasan terjadinya perilaku memburu rente bagi penulisan bab 7. Sebagian dari tujuan tersebut sebenarnya sudah mulai teridentifikasi dalam FGD, ketika para partisipan menjawab pertanyaan tentang “Pernahkah anda melakukan KKN? Apabila pernah, bentuknya apa dan mengapa?” Sedangkan wawancara mendalam ini lebih bersifat mengkonfirmasi beberapa indikasi jawaban yang layak dicurigai sebagai KKN, seperti berbagai Bantuan Sosial, persoalan Hidran Umum, pembangunan Gedung Serbaguna, dan proyek perbaikan infrastruktur yang didanai dari PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat). Dengan lain perkataan, 39 orang partisipan dalam FGD sudah memberikan indikasi adanya berbagai perilaku KKN, dan 7+1 orang narasumber dalam wawancara mendalam memberikan penegasan dan penjelasan secara lebih mendalam dan mendetil tentang perilaku KKN itu. Dalam wawancara mendalam itu juga diperoleh jawaban atas pertanyaan saya yang sudah sejak 2010 menggelitik pikiran, yaitu: “mengapa salah satu RT di kampung ini dipimpin oleh seorang perempuan dan anehnya tidak pernah ada rapat RT (bapakbapak) di situ?” 87
PARASIT PEMBANGUNAN
Pertanyaan ini muncul dari struktur RT yang membedakan aktivitasnya menurut jender, yaitu mengelompokkan bapak-bapak dan ibu-ibu secara terpisah. Bapak-bapak diwadahi oleh forum RT, yang secara lazim dipimpin oleh seorang bapak yang dipilih oleh warga. Ibuibu dipimpin oleh isteri dari bapak ketua RT secara otomatis, yang diwadahi dalam forum PKK RT, kecuali ada kesepakatan khusus tentang hal itu. Demikian juga terjadi pada aras yang lebih tinggi, RW, Kelurahan atau Desa, Kecamatan, Kabupaten atau Kota, Provinsi sampai Nasional. Kecuali itu, wawancara mendalam juga berhasil menjawab salah satu pertanyaan yang muncul dari wawancara mendalam dengan narasumber sebelumnya, yaitu: “mengapa salah seorang ketua RT di kampung ini di tahun 2006 didemo oleh warga dan akhirnya turun dari jabatannya hanya beberapa bulan setelah menjabat”.
Berbagai metode pengumpulan data, mulai dari tahap 2 sampai tahap 5, itu masih diperkaya dengan catatan yang saya buat berdasarkan pengamatan partisipatif dalam 2 bentuk. Pengamatan partisipatif 1 adalah saya tinggal di arena studi selama tiga bulan, mulai awal Maret 2012 sampai akhir Mei 2012.10 Meskipun tidak setiap hari tinggal di kampung itu dan menghasilkan catatan, saya selalu membuat catatan-catatan penting berdasarkan pendengaran, pengamatan dan pengalaman langsung di lokasi penelitian. Catatan-catatan itu menjadi suplemen penting dalam menganalisis data yang diperoleh melalui metode lainnya.
Pada tahun 2010 saya mencoba mencari keluarga untuk dipondoki tetapi gagal mendapatkannya. Waktu itu, ada 4 alternatif yang ditawarkan, 1 di RT 01, 1 di RT 03, 1 di RT 05 dan 1 di RT 06. Catatan menarik justru berasal dari ketua RT 05 yang keberatan kalau saya tinggal di wilayahnya, semata-mata untuk keselamatan saya. Di salah 1 Warung Minum di RT 05 ternyata sering dipakai oleh orang-orang yang suka minum minuman keras. Argumentasi ketua RT 05 adalah kekawatiran kepada saya yang bisa menghadapi buah simalakama, bergaul dengan para peminum bisa menjadi ‘sapi peras’, tidak bergaul dengan mereka bisa mendapatkan ‘sabotase’ yang justru mengancam proses penelitian. 10
88
Memilih Kampung Papringan
Bentuk pengamatan partisipatif kedua adalah mengalami sendiri bagaimana memperoleh SIM untuk mobil di Kota Adikarta. Hal ini saya alami pada Maret 2010 ketika menemani Pak Kukuh dari Kelurahan Kandangan, yang bersedia membantu saya dengan menurunkan kelas SIM-nya dari B-I menjadi A. Menariknya, polisi tidak atau belum pernah mengalami adanya penurunan kelas SIM seperti itu. Oleh karena itu, narasumber saya diperlakukan sebagai pencari SIM A baru, meskipun sudah mengantongi SIM B-I sejak tahun 1985. Pengalaman itu memperkaya bab 6 buku ini tentang Proses Memburu Rente, khususnya pada aras makro, yaitu proses KKN yang terjadi pada aras kota sebagai satu wilayah otonom.
PROSES MENGOLAH DATA Seluruh informasi atau data yang telah diperoleh melalui berbagai sumber (Survei Komunitas, Survei Rumahtangga, Diskusi Kelompok Terfokus (FGD), Wawancara Mendalam, Pengamatan Partisipatif, Catatan Harian, dan sebagainya), seperti umumnya, saya kelompokkan menjadi 2, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif dalam penelitian ini berbentuk data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari Kantor Kelurahan Kebonan dan BPS Kota Adikarta. Sedangkan data primernya kami peroleh melalui penelitian tahap 1 tentang Survei Komunitas dan penelitian tahap 2 tentang Survei Rumahtangga. Sedangkan data kualitatif diperoleh dengan cara lain di luar Survei Komunitas dan Survei Rumahtangga itu, yaitu FGD, wawancara mendalam, dan pengamatan partisipatif. Survei Komunitas dan Survei Rumahtangga, seperti telah disebutkan, menggunakan Daftar Pertanyaan Terstruktur semi tertutup. Dalam kedua survei itu, narasumber tinggal memilih alternatif jawaban yang telah disediakan, atau apabila tidak ada pilihan jawaban yang tepat, menyebutkan sendiri secara terbuka. Karena berbentuk Survei Terstruktur, maka hasil yang diperoleh bisa langsung diproses secara standar, yaitu coding – entrying – cleaning dan manipulating. Coding adalah pemberian kode untuk setiap pertanyaan atau variabel serta alternatif jawabannya atau kategori. Setelah coding 89
PARASIT PEMBANGUNAN
selesai, lalu dilakukan entrying, yaitu memasukkan seluruh kode ke dalam komputer menggunakan perangkat lunak tertentu, dalam hal ini Microsoft Excel. Sesudah data entry, data yang masih mentah itu dibersihkan (cleaning) untuk menyesuaikan antara kode yang sudah dientri dengan kesesuaian alat analisis, baik karena kesalahan entri (human error) ataupun kesalahan operasionalisasi. Misalnya, tingkat pendidikan mula-mula didefinisikan dan dientri menjadi tujuh kategori berdasarkan akronimnya, yaitu tidak pernah sekolah menjadi TPS, tidak tamat sekolah dasar menjadi TTS, tamat sekolah dasar menjadi TSD, dan seterusnya sampai tamat perguruan tinggi menjadi TPT. Hasil entri itu ketika diproses distribusi frekuensinya menghasilkan kategori yang tidak urut sesuai dengan skala ordinal seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, kode jawaban (kode entri) tentang tingkat pendidikan itu kemudian diubah atau disesuaikan menurut bilangan cacah, mulai dari 0 (nol) sampai 6 (enam). Penyesuaian (manipulasi) data ini baru menghasilkan jawaban pertanyaan berdasarkan urutan atau orde yang masuk akal. Setelah dibersihkan dan disesuaikan, data yang berbentuk peubah (variabel) kemudian dianalisis secara individual (disebut sebagai univariate). Setelah dicermati secara teliti setiap peubah yang dianalisis secara univariat inilah analisis statistik yang lebih canggih, kalau diperlukan, bisa diterapkan. Meskipun demikian, penelitian ini cukup dengan analisis variabel, baik berpasangan (bivariate) maupun 3 variabel atau lebih (multivariate) dalam bentuk tabel. Oleh karena itu, analisis ini cukup disebut sebagai analisis tabulasi silang (crosstab analysis). Sedangkan untuk data kualitatif penelitian ini memroses berdasarkan pedoman yang disarankan oleh Marshall & Rossman (1989), yaitu mengorganisasi data (organizing the data), menentukan kategori, tema dan pola (generating categories, themes, and patterns), menguji hipotesis dengan data (testing the emergent hypotheses against the data), mencari berbagai alternatif penjelasan data (searching for alternative explanations of the data), dan menulis laporan (writing the report). 90
Memilih Kampung Papringan
Mengorganisasi Data. Semua informasi yang diperoleh melalui survei dan diskusi kelompok sudah terstruktur dengan logika tertentu, sehingga data yang dihasilkan dari proses ini sudah terorganisasi dengan baik. Informasi dari diskusi kelompok masuk dalam kategori semi terstruktur karena pertanyaan, meskipun bersifat terbuka, sudah diurutkan menurut logika pengertian, sikap dan praktik (knowledge, attitude dan practice – KAP) tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Oleh karena itu hasil dari diskusi kelompok ini juga relatif mudah mengorganisasinya. Namun, informasi yang diperoleh dari wawancara mendalam, pembicaraan informal di Warung Hijau atau di tempat lain, dan catatan harian ataupun pengamatan partisipatif masih sangat cair. Oleh karena itu setelah semua itu terdokumentasi, baru proses pengolahan data berikutnya bisa dilakukan. Membuat Kategori, Tema dan Pola. Seperti diungkapkan oleh Marshall & Grossman (1989: 115) bahwa tahap analisis data ini merupakan tahap yang sulit, kompleks, ambigu, sekaligus kreatif dan menyenangkan. Dalam menjawab pertanyaan tentang apa itu korupsi, kemudian kolusi lalu nepotisme, masing-masing partisipan menjawab dengan rumusan (kategori) yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk menyederhanakan, saya membedakan antara tahu dan tidak tahu saja. Padahal saya juga sadar bahwa masing-masing kategori, bisa diperjelas lagi secara lebih mendalam menjadi beberapa kategori. Atau menggunakan perspektif kuantitatif, kategori jawaban kualitatif bisa mengikuti contoh skala yang dilakukan oleh Likert (Sekaran, 2003). Kemudian pembuatan tema dan pola itu saya perlakukan sama dengan analisis data kuantitatif seperti analisis variabel tunggal, apakah itu umur, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan dan variabel-variabel lain secara sendiri-sendiri. Dari proses itu tampak tema atau sub tema dan pola sederhananya. Logika ini saya terapkan untuk menganalisis data kualitatif ini. Testing Emergent Hypothesis. Ketika menranskrip proses FGD dan memasukkannya ke 4 tema, yaitu korupsi, kolusi, nepotisme, serta alasan melakukannya, saya belum menyadari pentingnya agama dalam penelitian ini. Di kampung ini ada tiga agama besar, yaitu Islam, Protestan dan Katolik. Kebetulan di bulan Maret saya mengikuti 91
PARASIT PEMBANGUNAN
pertemuan Prapaskah11 yang diselenggarakan oleh sub-komunitas Katolik, lalu oleh ketuanya ditunjukkan bahwa dalam masa prapaskah itulah, saya bisa mengamati modal sosial sub-komunitas Katolik. Dari pertemuan inilah, saya kemudian mengikuti pertemuan sub-komunitas Protestan dan sub-komunitas Islam. Untuk sub-komunitas Protestan saya berpartisipasi aktif dalam beberapa pertemuan, sedangkan untuk sub-komunitas Islam saya hanya menjadi pendengar dalam beberapa kali sembahyangan hari Jumat12. Agama ini menjadi variabel baru yang saya perhitungkan dalam menjelaskan perilaku orang-orang yang hanya menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya, meskipun merugikan orang lain atau kepentingan yang lebih besar. Mencari Penjelas Alternatif. Seperti disampaikan dalam seksi sebelumnya, kampung ini terdiri dari 6 RT. Salah satu fakta yang sangat menarik perhatian saya sejak awal adalah salah satu RT dipimpin oleh seorang perempuan. Padahal sudah umum diketahui bahwa di aras RT ada dua organisasi utama, yaitu Forum Warga atau asosiasi bapak-bapak dan PKK atau Forum ibu-ibu. Ketika suatu RT, yang biasanya dipimpin seorang laki-laki, harus dipimpin oleh seorang perempuan, maka pasti ada penjelasannya mengapa13. Kecuali itu, muncul juga pertanyaan bagaimana ketua RT perempuan ini terlibat dengan dua pertemuan dan memimpin keduanya. Jawabnya ternyata sederhana. RT ini tidak pernah ada pertemuan warga (bapak-bapak). Adanya hanya pertemuan ibu-ibu atau PKK. Akibatnya, lalu lintas informasi ataupun sumberdaya Prapaskah adalah masa puasa dan pantang selama 40 hari sebelum hari Paskah bagi umat Katolik. 11
Ajaran tentang ‘derma’ adalah salah 1 contoh. Para pengkotbah di Masjid hampir selalu memberi tuntunan begini: “seseorang harus memenuhi kebutuhan keluarga sendiri, baru keluarga besarnya, baru masyarakat dan negaranya”. Sementara para pastor (Kristen Katolik) dan Pendeta (Kristen Protestan) mengkotbahkan tentang pentingnya manjadi berkat bagi orang lain. Dalam hal uang atau barang seseorang tidak harus menunggu kecukupan baru berderma. Praktik ajaran ini tentu saja ditentukan oleh masing-masing individu, apa pun agamanya. 12
Pertanyaan ini terjawab secara tidak langsung dalam suatu wawancara mendalam dengan Pak Radite, seorang narasumber. Ia menyebutkan bahwa di suatu pemilihan RT, orang yang diharapkan untuk menjadi calon tidak mau, sedangkan orang yang tidak diharapkan justru mencalonkan diri. Dalam suasana panik dan tergesa-gesa itu dicalonkanlah seorang perempuan populer (isteri seorang polisi) untuk menjadi kandidat, dan akhirnya memenangi pemilihan menjadi ketua RT sampai sekarang. 13
92
Memilih Kampung Papringan
lain hanya melalui satu sumber, yaitu ketua RT sendiri. Rapat pengurus RT pun tidak pernah dilakukan, sehingga RT ini tidak ada yang namanya koordinasi, pembagian tugas dan wewenang, dan lain-lainnya. Setiap orang sepertinya dibiarkan untuk mengurus dirinya sendiri, hanya ketika warga perlu bantuan, baru menemui ketua RT, yang, untungnya atau ruginya, bisa dimintai tolong untuk menguruskan berbagai hal, mulai dari administrasi kependudukan sampai urusan yang berhubungan dengan kendaraan bermotor, seperti perpanjangan STNK sampai Surat Ijin Mengemudi. Terakhir, Menulis Laporan. Dalam penelitian kualitatif proses penulisan laporan tidak pernah lepas dari proses pengumpulan informasi atau data dan pengolahannya. Ketika data awal, misalnya dalam penelitian ini, tentang modal sosial, sudah terkumpul, maka saya langsung mengolahnya sedemikian rupa dan menulis laporan awalnya. Data dan analisis awal ini kemudian dikuti oleh proses pengumpulan data pada tahap penelitian berikutnya, yang diikuti dengan pengolahan data dan penulisan laporan lagi. Demikian seterusnya sehingga proses ini berlangsung terus dari awal mulainya penelitian sampai selesai ditulis menjadi laporan akhir ini. Tentang gaya penulisan laporan, Marshall & Grossman (1989 yang mengutip Taylor & Bogdan 1984) menyebutkan bahwa dalam membuat laporan penelitian kualitatif ada 5 alternatif pendekatan yang bisa digunakan, yaitu [1] mendiskripsikan sejarah kehidupan para partisipan dan atau narasumber, [2] menyajikan data yang diperoleh dari wawancara mendalam dan pengamatan partisipatif, [3] menghubungkan praktik dengan teori, [4] menggunakan teori untuk menjelaskan data, dan [5] membangun teori berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Laporan ini, seperti yang akan anda temui, tidak mengikuti secara kaku salah satu dari kelima pendekatan itu. Di sini unsur-unsur dari setiap pendekatan mendapatkan tempat, kecuali barangkali nomor 4. Maksud hati sesungguhnya menggunakan pendekatan nomor 4, tetapi apa daya tangan tak sampai. Bukankah ada
93
PARASIT PEMBANGUNAN
prinsip parsimony14 dalam penelitian sosial yang bisa menjadi penghibur alias excuse bagi saya?
RANGKUMAN Bab ini telah memaparkan secara relatif mendetail tentang bagaimana Kampung Papringan wilayah Kelurahan Kebonan dipilih dan mengapa. Di situ telah disebutkan berbagai pertimbangan tentang kelebihan dan kekurangan memilih kelurahan itu dibandingkan dengan kemungkinan kesulitan dan hambatan yang bisa ditemui apabila memilih 3 alternatif kelurahan yang lain. Pada bagian itu juga sudah ditunjukkan betapa pentingnya peran penunjuk jalan yang sangat membantu, mulai dari pengusulan kampung dan penetapannya sampai melancarkan proses penelitian. Bab ini juga telah menguraikan tentang bagaimana data atau informasi itu dikumpulkan. Dalam seksi kedua bab ini ditunjukkan bahwa data atau informasi itu dikumpulkan berdasarkan pertanyaan penelitian yang sudah dirumuskan sebelumnya dan memang menjadi tujuan penelitian ini sendiri. Seperti ditunjukkan oleh tabel 3.1, tujuan penelitian ini, yang berjumlah 5, hanya bisa dicapai melalui data yang harus dikumpulkan dengan berbagai cara yang dipilih secara hati-hati dan bagaimana data atau informasi itu dikumpulkan. Beberapa pendekatan yang digunakan secara berurutan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa 2 metode penelitian, yaitu kuantitatif dan kualitatif, digunakan secara bersama atau bisa dianggap sebagai metode campuran (mixed method15), meskipun saya mengklaimnya sebagai condong ke pendekatan kualitatif.
Neuman (2006: 50) menulis: “Parsimony means simpler is better. A parsimonious theory has minimal complexity, with no redundant or excess elements. Parsimony says a more powerful theory does more with less, and the less complex of two equally convincing theories is better”. 14
Bagi peneliti yang tertarik untuk mempertimbangkan untuk mengetahui dan atau bahkan menggunakan metode campuran untuk penelitiannya bisa membaca Tashakkori & Teddlie (2003). 15
94
Memilih Kampung Papringan
Klaim saya ini didukung oleh proses pengolahan data seperti direkomendasikan oleh Marshall & Rossman (1989) dalam mengelola data (organizing the data), membuat kategori, tema, dan pola (generating categories, themes, and patterns), mengetes hipotesis dengan data (testing the emergent hypotheses against the data), mencari berbagai alternatif penjelasan data (searching for alternative explanations of the data), dan menulis laporan (writing the report). Kelima proses pengolahan data ini telah diuraikan secara cukup jelas dalam seksi ketiga bab ini. Bab 4 berikut dan seterusnya merupakan hasil dari proses pengolahan data yang merangkai buku ini ke dalam tema yang saya beri judul Parasit Pembangunan. Penelitian ini menjadi salah 1 bukti bahwa orang-orang yang menjadi aktor perilaku KKN memang tampak menjadi pihak yang paling sukses secara sosial ekonomi. Hanya saja, studi ini berpendapat bahwa sukses mereka diperoleh dengan menghisap bagian demi bagian sumber daya masyarakat, yang apabila dibiarkan terus, akan membelokkan atau bahkan menghilangkan tujuan hakiki dari keberadaan masyarakat itu sendiri, yaitu menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
*
95