TINJAUAN PUSTAKA Ayam Kampung Ada beberapa alasan para peternak lebih memilih beternak ayam kampung antara lain: Ayam kampung lebih tahan terhadap penyakit sehingga lebih mudah dipelihara, mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan tidak mudah stress, dalam hal pakan ayam kampung tidak memilih-milih jenis makanan sehingga memudahkan pemilik untuk memberi ransum dan mempunyai peluang bisnis yang cukup besar karena tidak banyak orang memelihara ayam kampung petelur maupun pedaging sehingga produksi di pasaran terbatas maka permintaan akan naik dan harga jual pun menjadi naik (Marhiyanto, 2006). Ayam kampung merupakan salah satu jenis unggas yang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia baik di pedesaan maupun di perkotaan, hal ini disebabkan peranan dan sumbangan ayam kampung bagi penyediaan komoditi pangan bergizi tingkat tinggi dalam bentuk telur dan daging (Umar et.al., 1992) pesatnya perkembangan ayam ras tetap tidak dapat menurunkan pamor produksi ayam kampung di mata konsumen (Rasyaf, 1992). Ayam kampung mempunyai adaptasi yang tinggi, karena ayam itu mampu menyesuaikan yang
ada
diri dengan berbagai situasi lingkungan dan iklim
(Sarwono, 1997). Keistimewaan ayam kampung adalah tahan
terhadap pengelolaan dan lingkungan yang buruk, dapat diberikan pakan dengan kualitas jelek serta tidak mudah stress bila mendapatkan perlakuan kasar (Murtidjo, 1994).
Sistem Pencernaan Ayam Sistem pencernaan unggas berbeda dengan sistem pencernaan pada hewan lainnya. Unggas tidak memiliki gigi sehingga tidak terjadi proses pengunyahan pakan. Pakan akan melewati esofagus dan langsung menuju tembolok. Pakan di dalam tembolok akan mendapatkan sekreta mukus yang berfungsi untuk menghaluskan pakan. Setelah melewati tembolok, pakan menuju lambung kelenjar (proventrikulus) yang merupakan organ berdinding tebal dan berada di depan lambung otot (gizzard). Pakan disimpan secara sementara di proventrikulus dan dicampur dengan enzim pepsin dan amilase yang dihasilkan oleh organ tersebut. Setelah itu,
pakan masuk ke lambung otot, yang merupakan organ
tersusun dari otot yang kuat, yang berisi bebatuan atau pasir dan di dalamnya pakan akan dihancurkan. Pakan kemudian berpindah menuju usus halus, caecum dan usus besar dan berakhir di kloaka. Sistem pencernaan pada unggas tergolong cepat karena membutuhkan waktu cerna hanya 2,5 jam pada ayam petelur dan 8,5 jam pada ayam lain (Scanes et al., 2004). Kapasitas tembolok mampu menampung pakan 250 g. Pada tembolok terdapat saraf yang berhubungan dengan pusat kenyang-lapar di hipotalamus sehingga banyak sedikitnya pakan yang terdapat dalam tembolok akan memberikan respon pada saraf untuk makan atau menghentikan makan ( Yuwanta, 2004 ).
Karkas Ayam Kampung Karkas adalah bagian tubuh unggas setelah dipotong dan dibuang bulu, lemak abdomen, organ dalam, kaki, kepala, leher dan darah, kecuali paru-paru dan ginjal (Rizal, 2006).
Faktor yang mempengaruhi bobot karkas pada dasarnya adalah faktor genetis dan lingkungan. Faktor lingkungan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu fisiologi dan kandungan zat makanan dalam pakan. Zat makanan merupakan faktor penting yang mempengaruhi komposisi karkas terutama proporsi kadar lemak (Lesson, 2000). Karkas
merupakan daging bersama tulang hasil pemotongan setelah
dipisahkan kepala sampai batas pangkal leher, kaki sampai batas lutut, tanpa isi rongga bagian dalam, sel darah dan bulu (Rasyaf, 1994). Untuk memperoleh hasil pemotongan yang baik ternak unggas seperti ayam, sebaiknya diistirahatkan sebelum dipotong. Cara pemotongan unggas yang lazim dilakukan di Indonesia adalah cara Khosher yaitu memotong arteri karotis, vena jungularis dan oesophagus. Pada saat penyembelihan, darah harus keluar sebanyak mungkin. Jika darah dapat keluar secara sempurna, maka beratnya sekitar 4% dari berat tubuh. Proses pengeluaran darah ayam biasanya berlangsung selama 50 – 120 detik, tergantung pada besar dan kecilnya ayam yang dipotong (Soeparno, 1994). Menurut Soeparno (2011) persentase karkas ayam kampung adalah sekitar 60-68% dari bobot potong. Variasi dan jumlah daging yang dihasilkan dari karkas seperti halnya kualitas daging dan produk daging, dipengaruhi oleh faktor genetik termasuk spesies, bangsa, tipe, individu ternak dan lingkungan termasuk faktor fisiologi dan nutrisi.
Pakan Ternak Ayam Kampung Pakan yang diberikan sebaiknya jangan dimaksudkan untuk mengatasi lapar atau sebagai pengisi perut saja melainkan harus benar-benar bermanfaat
untuk kebutuhan hidup membentuk sel-sel baru mengganti sel-sel yang rusak dan untuk produksi (Widayati dan Widalestari, 1996). Kebutuhan ternak akan zat makanan terdiri dari kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan untuk produksi. Kebutuhan hidup pokok pengertiannya sederhana yaitu untuk mempertahankan hidup. Ternak yang memperoleh makanan hanya sekedar cukup untuk memenuhi hidup pokok, bobot badan ternak tersebut tidak akan naik dan turun. Tetapi jika ternak tersebut memperoleh lebih dari kebutuhan hidup pokoknya maka sebagian dari kelebihan makanan itu akan dapat diubah menjadi bentuk produksi misalnya air susu pertumbuhan dan reproduksi ini disebut kebutuhan produksi (Tillman et al., 1984).
Ransum Ternak Ayam Ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk 24 jam Suatu ransum seimbang menyediakan semua zat makanan yang dibutuhkan untuk memberi makan ternak selama 24 jam. Konsumsi ransum sangat dipengaruhi oleh berat badan dan umur ternak. Konsumsi ransum akan semakin meningkat dengan meningkatnya berat badan ternak. Jumlah ransum yang dikonsumsi juga akan bertambah dengan bertambahnya umur ternak (Anggorodi, 1994). Ransum dimakan oleh ayam dalam bentuk tepung lengkap, butiran pecah dan dikunyah di dalam tubuhnya dan diubah dengan enzim-enzim pencernaan menjadi unsur gizi yang dibutuhkannya yaitu protein dan asam-asam amino, energi, vitamin dan mineral. Unsur-unsur gizi itulah yang kelak akan digunakan oleh ayam untuk kehidupan pokoknya dan untuk produksi. Oleh karena itu jelas bahwa baik atau buruknya produksinya sangat bergantung pada ransum yang dimakan ayam tersebut (Rasyaf, 1994).
Tepung Ikan Menurut Afrianto dan Liviawaty (2000), menyatakan bahwa Indonesia mempunyai banyak sumber ikan murah, produksi ikan pada musim-musim tertentu berlimpah dan sebagian besar sisa hasil pengolahan ikan belum dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Tepung ikan untuk unggas bukan berarti ikan utuh dikeringkan lalu digiling. Sebagaimana dikemukakan bahwa bagian yang utama untuk konsumsi manusia dan untuk ternak diambil sisa pengolahan industri makanan untuk manusia. Oleh karena itu tepung ikan ini berasal dari berbagai ragam jenis varietas ikan sehingga beragam pula kandungan nutrisinya. Tetapi secara umum tepung ikan berkualitas baik mengandung protein kasar antara 70% dan merupakan sumber lysine dan methionine yang baik dan asam amino yang selalu kurang dari bahan-bahan makanan ternak asal nabati. Kandungan protein tepung ikan lokal 50% hingga 58% dan cukup baik untuk unggas (Rasyaf, 1990). Tepung ikan adalah suatu produk padat yang dihasilkan dengan mengeluarkan sebagian besar air, sebagian atau seluruh lemak dari bahan yang berupa daging ikan atau bagian ikan yang biasanya dibuang (kepala ikan, isi perut ikan dan lain-lain). Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering (Ilyas, 1982). Tepung ikan merupakan salah satu bahan baku pembuatan pakan maupun ikan sebagai sumber protein. Saat ini diantara berbagai sumber protein lainnya tepung ikan merupakan sumber protein yang paling seimbang dan lebih baik. Menurut Moeljanto (1992) dan Sahwan (1999), pada saat ini tepung ikan merupakan bahan baku yang penting dalam pembuatan pakan karena dianggap
sebagai sumber protein terbaik, mengingat kandungan asam amino esensialnya sangat menunjang. Namun harga persatuan beratnya relatif mahal. Berdasarkan sumbernya, ikan yang diolah menjadi tepung ikan dapat dibedakan atas 3 macam yaitu : (1) ikan yang memang khusus ditangkap untuk dijadikan tepung ikan, (2) hasil tangkapan sampingan dan (3) limbah dari industri pengalengan, pembekuan dan lain-lain (Clusac dan Ward, 1996). Selain sebagai sumber protein tepung ikan juga dapat digunakan sebagai sumber kalsium. Kandungan protein atau asam amino tepung ikan dipengaruhi oleh bahan ikan yang digunakan serta proses pembuatannya. Pemanasan yang berlebihan akan menghasilkan tepung ikan yang berwarna cokelat dan kadar protein
atau
asam
aminonya cenderung menurun atau menjadi rusak
(Boniran, 1999).
Pengolahan Tepung Ikan Penelitian yang dilakukan Saleh (1990) menunjukan bahwa tepung ikan yang diolah dari ikan segar mempunyai kandungan asam amino threonin, asam glutamat, glisin, histidin, lisin, valin, methionin dan arginin yang lebih tinggi daripada yang diolah dari ikan yang kurang segar. Pengolahan tepung ikan dapat dilakukan dengan metode konvensional maupun metode sederhana (skala kecil). Pengolahan tepung ikan secara konvensional dilakukan secara mekanis dan tahap-tahap pengolahannya merupakan suatu rangkaian yang kontinu. Bahan mentah masuk ke dalam unit pengolahan dan keluar sudah menjadi produk akhir (tepung ikan). Sistem pengolahan secara konvensional sudah banyak diterapkan oleh pabrik-pabrik tepung ikan. Tahap-tahap pengolahan tepung ikan secara konvensional berturut-
turut pencincangan, penggilingan (milling), pengemasan dan penyimpanan. Pengolahan tepung ikan secara sederhana hampir sama dengan pengolahan secara konvensional namun dengan peralatan yang lebih sederhana. Secara garis besar ada dua metode pengolahan tepung ikan skala kecil yaitu pengolahan dengan cara mekanis dan non mekanis. Pengolahan dengan cara non mekanis ini sangat sederhana, baik cara maupun peralatan yang digunakan . Tahap pengolahannya adalah perebusan, pengepresan penghancuran dan pengeringan, penggilingan (Ilyas et al., 1985). Prinsip dasar pengolahan tepung ikan yaitu pemasakan, pemisahan air dan minyak, pengeringan dan penggilingan. Pemasakan merupakan tahap menentukan dalam pengolahan tepung ikan. Tingkat pemasakan harus tepat, sehingga seluruh bahan mentah akan menggumpal (terkoagulasi). Jika tidak terjadi penggumpalan total maka akan dihasilkan press cake dengan kadar air dan lemak yang masih tinggi. Akibatnya pemisahan minyak dari cairan juga sukar (Moeljanto, 1982). Tujuan pemasakan agar terjadi proses denaturasi protein daging dan pemecahan sel-sel daging ikan sehingga air dan minyak mudah diperas keluar. Selain itu pemasakan dimaksudkan untuk menghambat kegiatan enzim dan pertumbuhan mikroba penyebab pembusukan (Departemen Pertanian, 1987). Selama proses pengolahan, bahan makanan terpengaruh dalam banyak hal, termasuk perubahan protein, lemak, karbohidrat yang dapat menyebabkan perubahan baik positif maupun negatif terhadap kualitas dan status gizi . Menurut Windsor dan Barlow (1981) suhu pemasakan tepung ikan biasanya sekitar 951000C dengan waktu pemasakan sekitar 20 menit atau dapat dilakukan selama 1530 menit pada suhu 97 0C. Sedangkan menurut Djazuli et al., (1998) menyatakan
bahwa pengolahan tepung ikan dengan pengukusan selama 30 menit menghasilkan tepung ikan 8,1% Air, 55,3% Protein, 8% Lemak dan 17,1% Abu. Sementara waktu yang dibutuhkan untuk mengukus tergantung jenis ikan. Untuk ikan berkulit tipis seperti lemuru, layang dan tembang membutuhkan waktu antara 30-45 menit, sedangkan ikan berkulit tebal seperti beloso dan kurisi membutuhkan waktu 45-60 menit. Pengepresan dilakukan dengan menggunakan tekanan sehingga terjadi pemisahan antara padatan dan cairan (air dan minyak). Pada pengepresan diperkirakan akan menurunkan kadar air menjadi 50 % dan kadar minyak 4-5%. Pada industri kecil/rumah tangga pengepresan dilakukan dengan cara dinjak-injak. Hal tersebut dapat mengakibatkan tepung ikan menjadi kotor dan pengeluaran air menjadi tidak sempurna serta mudah diserang serangga, jamur karena kadar air dan lemak masih tinggi. warna dan bau akan cepat berubah sehingga mutu tepung ikan cepat turun. Pengeringan dilakukan setelah diperoleh bahan padatan yang didapat kemudian dikeringkan. Pada industri tepung ikan skala besar pengeringan dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan secara langsung dan tidak langsung. Pengeringan langsung dilakukan dengan cara press cake ke dalam ruangan yang dialiri udara panas 5000C. Keuntungan cara ini adalah cepat, namun panas yang berlebihan akan merusak kandungan nutrisi bila tidak dikontrol dengan baik. Cara pengeringan tidak langsung dengan memanaskan bahan yang dipress (pada conveyor) dalam silinder yang diselimuti uap panas, pengeringan dilakukan sampai kadar air mencapai 6-9%. sedangakan pada industri kecil, pengeringan dilakukan dengan sinar matahari.
Penggilingan dan penepungan bahan yang telah dikeringkan selanjutnya digiling dan ditepungkan dengan alat penepung dan dilakukan pengepakan ke dalam kantung plastik. Selama penggudangan dan distribusi mungkin terjadi proses oksidasi minyak (lemak) yang dapat berakibat terjadi ketengikan dan perubahan warna. Untuk mencegahnya dapat ditambahkan antioksidan misalnya ethoxyginin antara 200-1000 mg/kg tepung ikan. Pengeringan dengan cara menjemur dibawah sinar matahari mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pengeringan buatan karena penjemuran mudah dilakukan dan murah serta sinar matahari mampu menembus ke dalam sel secara merata (Taib et al., 1988). Penjemuran adalah penurunan kadar air suatu bahan untuk memperoleh tingkat kadar air yang seimbang dengan kelembaban nisbi atmosfer.
Potensi Ikan Pora pora Danau Toba memilki ikan air tawar yang merupakan ikan endemik yaitu ikan pora-pora yang memiliki perkembangbiakan yang sangat pesat, setiap harinya dapat dikumpulkan 10 ton segar (Siagian, 2009). Ikan pora-pora adalah salah satu ikan air tawar yang hidup di perairan Danau Toba. Klasifikasi ikan pora-pora secara zoologis adalah sebagai berikut (Kartamihardja dan Sanita, 2008) : Kingdom : Animalia, Kelas : Actinopterygii, Ordo : Cypriniformes, Famili : Cyprinidae, Sub Famili : Cyprininae, Genus : Mystacoleucus, Spesies : Mystacoleucus padangensis. Ciri-cirinya berwarna hitam, bersisik putih dan halus, panjang total 7,5 cm, panjang kepala 1,4 cm, panjang badan 5,4 cm, panjang ekor 1,5 cm, tinggi badan 1,2 cm, tinggi batang ekor 2,4 cm, lebar bukaan mulut 0,8 cm, tinggi sirip punggung 0,6 cm, panjang batang ekor 8,9 cm, perut
membundar, sirip punggung berjari - jari keras bertulang dan terletak dimuka atau bertepatan dengan sisi perut. Sirip punggung dengan 7 jari lemah bercabang (Siagian, 2009). Ikan pora-pora telah menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat di sekitar Danau Toba, ikan ini ditangkap melalui jaring insang tetap, jaring angkat dan jala tebar. Produksi ikan pora-pora tahun 2012 di wilayah kerja Kabupaten Karo dapat dilihat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Produksi ikan pora-pora wilayah Kabupaten Karo tahun 2012 Jenis Alat Penangkapan Jaring insang tetap Jaring angkat Jala tebar
Produksi Ikan Pora-pora (ton) Triwulan I Triwulan II Triwulan III 4,50 3,60 2,88 28,80 25,20 19,20 0,45 0,50 0,43
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Karo, 2013
Menurut Purnomo (2009), ikan bilih pada umumnya ditangkap di daerah sekitar muara-muara sungai, misalnya: sungai Sipiso-piso (Tongging), sungai Naborsahan (Ajibata), sungai Sisodang (Tomok), sungai Simangira dan sungai Silang (Bakara), sungai di Hatinggian (Balige) dan sungai di daerah Silalahi II. Kandungan nutrisi ikan pora-pora dapat dilihat pada tabel 2 Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan. Potensi Limbah Industri Pengolahan Ikan Nila (LIPIN) Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang diintroduksi dari luar negeri. Bibit ini didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Klasifikasi ikan nila (Trewavas 1982 diacu dalam Suyanto 1994) adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Filum : Chordata, Sub-filum : Vertebrata, Kelas :
Osteichtyes, Sub-kelas : Acanthopterigii, Ordo : Perchomorphi, Famili : Cichlidae, Genus : Oreochromis, Spesies : Oreochromis niloticus. Ikan ini memiliki rasa yang gurih, daging yang tebal, tidak lunak, harga terjangkau dan durinya sedikit. Ikan ini banyak dipelihara di kolam dan keramba jaring apung (Suyanto, 1994). Ikan nila diperkenalkan pada negara berkembang dan dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan akan protein. Untuk konsumsi Eropa, ikan nila masih belum terkenal sehingga pasar persaingan masih terbuka lebar. Sekarang ini, fillet nila segar maupun dalam bentuk fillet beku terdapat pada berbagai ukuran dan kemasan, sebagai skin on, skin off, deep skinned, asap, sashimi dan dengan penambahan CO (karbon monoksida). Limbah merupakan suatu hasil samping yang kurang berharga bahkan merupakan suatu masalah di dalam suatu industri. Menurut Moeljanto (1979) limbah perikanan adalah ikan yang terbuang, tercecer dan sisa olahan yang pada suatu saat di tempat tertentu belum dapat dimanfaatkan secara ekonomis. Jenis limbah dan hasil samping dapat dikelompokkan secara umum menjadi 4 kelompok (Moeljanto 1979) yaitu :(1) hasil samping pada penangkapan suatu spesies atau sumber daya misalnya ikan rucah pada penangkapan udang dan ikan cucut pada penangkapan tuna; (2) sisa pengolahan seperti bagian kepala, tulang, sisik, sirip, isi perut dan daging merah; (3) surplus dari tangkapan (glut); (4) sisa distribusi. Ikan-ikan yang terbuang (trash fish) maupun limbah industri pengolahan hasil perikanan (fish waste) dapat diolah menjadi sumber protein yang benilai ekonomis. Se1ain sebagai sumber protein dengan asam amino yang baik, limbah ikan juga merupakan sumber mineral dan vitamin. Tetapi perlu diketahui bahwa
kandungan gizi limbah ikan ini berbeda, sesuai dengan jenis ikan yang diolah di industri perikanan, setelah proses pengolahan (produksi). Permintaan akan daging fillet nila sangat tinggi. Tercatat ekspor fillet ikan nila dalam bentuk beku Indonesia di pasar Amerika Serikat menduduki peringkat ke- 2 setelah Cina. Tahun 2004 ekspor fillet Nila mencapai 4.250 ton atau meningkat sebanyak 18,6 % dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 3.583 ton . Disamping permintaan yang cenderung meningkat, budidaya ikan Nila di Indonesia juga dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 2006 jumlah produksi perikanan budidaya Nila sebesar 169.390 ton, sedangkan pada tahun 2007 jumlah produksinya sebesar 195.000 ton meningkat sebesar 15,12 %. Menurut perkiraan Departemen Kelautan Perikanan sementara, pada tahun 2008 jumlah produksi ikan Nila mencapai 233.000 ton dan pada tahun 2009 akan mencapai 337.000 ton (Ferinaldy 2008). Keunggulan yang dimiliki oleh ikan nila antara lain toleran terhadap lingkungan (hidup di air tawar dan payau pada kisaran pH 5-11), pertumbuhannya cepat, yaitu dalam jangka waktu 6 bulan benih berukuran 30 g dapat tumbuh mencapai 300-500 g, dapat dipijahkan setelah umur 5-6 bulan dan dapat dipijahkan kembali setelah 1-1,5 bulan kemudian, serta tahan terhadap kekurangan oksigen dalam air. .
Bungkil Kedelai Bungkil kedelai adalah kedelai yang sudah diambil minyaknya. Bungkil kedelai merupakan sumber protein yang amat bagus sebab keseimbangan asam amino yang terkandung di dalamnya cukup lengkap dan tinggi. Bungkil kedelai dibuat melalui beberapa tahapan seperti pengambilan lemak pemanasan dan penggilingan (Boniran 1990). Bungkil kedelai yang baik mengandung air tidak lebih dari 12 %. Kandungan nutrisi bungkil kedelai tertera pada tabel 2 Bahan pakan yang digunakan.
Dedak Padi Padi
(Oryza
sativa)
merupakan
sumber
bahan
makanan
yang
menghasilkan beras sebagai bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Dalam proses pengadaan beras dari padi dihasilkan dedak padi sebagai hasil sampingan. Dedak padi adalah hasil ikutan pengolahan padi menjadi beras terutama terdiri dari lapisan ari. Kandungan nutrisi dedak tertera pada tabel 2 Bahan pakan yang digunakan.
Kandungan bahan pakan yang akan digunakan dalam ransum ternak ayam kampung terdapat pada tabel 2 berikut yang dikutip dari beberapa sumber : Tabel 2. Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan. Jenis bahan pakan Tepung ikan pora- pora Tepung LIPIN Tepung ikan imbangan Tepung ikan komersil Bungkil kedelai Dedak padi
K. Air (%) 4.29
K. Abu (%) 26.86
PK (%)
LK (%)
SK (%)
40.50
30.24
4.59 3.95
11.29 18.87
50.94 44.69
6.5 11
7.8
Posfor (%)
0.929
EM Ca Kal/ (%) g 2973 0.4
29.59 23.29
0.379 0.624
2729 0.58 2771 0.4
0,2 0.08
52.6
48
2.2
2810 6.65
3.59
43.8
1.5
4.4
2240 0.32
0.05
13.3
7.2
13.5
2850 0.07
1.61
Sumber : a. NRC (1998) b. Hartadi et al (1997) c. Nawawi dan Norrohmah (1997) c. Laboratorium Loka Penelitian kambing Potong Sei Putih (2013)
0.1