I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam kampung merupakan salah satu jenis ternak unggas yang telah memasyarakat dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. Bagi masyarakat Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah "Ayam kampung" semula adalah kebalikan dari istilah "ayam ras", dan sebutan ini mengacu pada ayam yang ditemukan berkeliaran bebas di sekitar perkampungan. Namun demikian, semenjak dilakukan program pemurnian, pemuliaan, dan pembentukan beberapa ayam lokal, saat ini dikenal beberapa strain ayam kampung unggul atau dikenal dengan istilah ayam lokal unggul. Ayam tersebut telah diseleksi dan dipelihara dengan perbaikan teknik budidaya (tidak sekadar diumbar dan dibiarkan mencari makan sendiri). Peternakan ayam kampung mempunyai peranan yang cukup besar dalam mendukung ekonomi masyarakat pedesaan karena memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan pemeliharaannya relatif lebih mudah. Diakui atau tidak selera konsumen terhadap ayam kampung sangat tinggi. Hal itu terlihat dari pertumbuhan populasi dan permintaan ayam kampung yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (Bakrie, 2003). Hal ini terlihat dari peningkatan produksi ayam kampung dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2001 – 2005 terjadi peningkatan sebanyak 4,5 % dan pada tahun 2005 – 2009 konsumsi ayam kampung dari 1,49 juta ton meningkat menjadi 1,52 juta ton (Aman, 2011). Mempertimbangkan potensi itu, perlu diupayakan jalan keluar untuk meningkatkan populasi dan produktivitasnya.
Dalam upaya merespon kebutuhan teknologi pembibitan ayam kampung unggul, Balai Penelitian Ternak, Ciawi Bogor telah melakukan berbagai kegiatan penelitian pada ayam kampung. Hasil penelitian menunjukkan, melalui teknologi seleksi disertai sistem pemeliharaan yang intensif produktivitas ayam kampung dapat ditingkatkan. Hasil seleksi tersebut menghasilkan ayam kampung unggul yang disebut dengan Ayam Kampung Unggul Balitnak atau dimasyarakat dikenal dengan sebutan Ayam KUB Kegiatan seleksi untuk mendapatkan ayam kampung unggul, telah diawali sejak tahun 1997 dengan cara mengambil calon bibit dari berbagai daerah di Jawa Barat yang meliputi Jatiwangi, Depok, Karakal Ciawi, DKI dan Cianjur. Calon bibit ayam kampung tersebut, dipelihara secara intensif di kandang Percobaan Balitnak Ciawi. Perkawinan dilakukan dengan teknik kawin suntik (IB) yang diikuti dengan recording yang ketat untuk menghindari terjadinya in breeding. Selama periode pemeliharaan, diberikan pakan standard yang sesuai dengan kebutuhan gizi ayam kampung. Ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) mempunyai kelebihan lainnya, yaitu mengandung gen MX++ 60%, gen penanda ketahanan terhadap flu burung sehingga membuatnya lebih tahan terhadap serangan AI. Sebagai perbandingan, ayam broiler tidak mengandung gen tersebut, sementara pada ayam kampung biasa kandungan gen tersebut di bawah 60%. Ayam ini merupakan ayam hasil penemuan terbaru dengan kelebihan lainnya yaitu pada pemeliharaan intensif dengan diberi ransum komersial mampu menghasilkan daging secara cepat dalam waktu kurang dari 70 hari. Tinggi atau
rendahnya tingkat energi metabolis dalam ransum mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat konsumsi ransum unggas.
Ransum yang mengandung energi metabolis
rendah mengakibatkan konsumsi ransum ternak meningkat (Wahyu, 1992). Meningkatnya konsumsi ransum mempengaruhi bobot badan akhir yang tinggi dan akan menghasilkan bobot edible dan in edible yang tinggi pula, dengan demikian antara bobot badan akhir dengan bobot edible dan in edible berkorelasi positif, artinya semakin tinggi bobot badan akhir yang dihasilkan maka akan diikuti bobot edible dan in edible yang tinggi pula (Ahmad dan Herman, 1982) Namun demikian, informasi mengenai bagaimana bagian karkasnya setelah beberapa generasi ayam tersebut dikembangkan dimasyarakat masih relatif terbatas, khususnya mengenai proporsi bagian edible dan in edible. Realita tersebut menggugah peneliti untuk meneliti proporsi bagian edible dan in edible karkas ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) yang dikembangkan secara komersial di CV Bangun Jaya Farm, Kecamatan Warung Kiara, Kabupaten Sukabumi.
1.2 Identifikasi Masalah Bagaimana besaran proporsi karkas bagian edible dan in edible pada Ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) yang dipelihara secara intensif di CV. Bangun Jaya Farm.
1.3
Maksud dan Tujuan Mengetahui besaran proporsi karkas bagian edible dan in edible pada Ayam
Kampung Unggul Balitnak (KUB) yang dipelihara secara intensif di CV. Bangun Jaya Farm.
1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai proporsi karkas bagian edible dan in edible ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB). Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat peternak yang akan memelihara ayam KUB secara intensif.
1.5 Kerangka Pemikiran Ayam lokal dipelihara hampir oleh seluruh rumah tangga di perdesaan (21 juta rumah tangga), namun hanya sekitar 852.000 rumah tangga yang memiliki ayam lebih dari 30 ekor/rumah tangga, suatu jumlah yang diasumsikan mempunyai nilai komersial yang signifikan (Diwyanto, 1999). Jumlah pemelihara ayam lokal secara intensif dari tahun ke tahun terus meningkat, hal ini antara lain disebabkan karena adanya peningkatan permintaan daging karena cita rasa daging ayam kampung lebih disukai konsumen dari pada ayam ras (Iskandar, dkk, 2010).
Pada umumnya, ayam lokal
untuk produksi daging dipanen pada umur kurang dari 12 minggu, dengan bobot jual hidup 1 kg/ekor (Creswell, dkk, 1982). Ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) merupakan ayam hasil persilangan antara beberapa ayam kampung asli Indonesia hasil riset BALITNAK Bogor Indonesia
yang memiliki badan atau postur besar dan sehat. Tingginya permintaan daging ayam kampung, sementara permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi terutama karena lamanya masa panen, membuat para peneliti BALITNAK Bogor mencoba melakukan riset persilangan beberapa jenis ayam Indonesia yang kemudian lahirlah jenis ayam kampung unggul yang dapat di panen dalam waktu relatif singkat sehingga dapat mempercepat produksi dan membuka peluang usaha Ayam Kampung (Sartika, 2007). Ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) merupakan ayam yang lebih unggul dibandingkan dengan ayam lokal lainnya. Alasan kesehatan juga menjadi sebab tersendiri mengapa penggemar ayam kampung semakin bertambah dari tahun ke tahun. Daging ayam ini memiliki kandungan gizi yang baik serta lemak yang lebih rendah sehingga lebih aman untuk di konsumsi (Dinas Peternakan, 2010). Ayam KUB adalah ayam tipe dwi guna karena ayam KUB ini selain bisa menjadi ayam kampung yang menghasilkan daging, ayam ini juga dapat menghasilkan produksi telur yang tinggi hingga mencapai 170 butir/tahun dan dengan tingkat pengeraman yang rendah. Ayam KUB lebih cepat pertumbuhannya, sehingga dapat memperpendek masa panen hingga 50 hari dengan rata – rata bobot ayam mencapai 1 kg (Sartika, 2007). Karkas ayam merupakan salah satu komoditas penting ditinjau dari aspek gizi, sosial budaya, dan ekonomi. Industri karkas ayam mempunyai prospek ekonomi yang cukup cerah, karena usaha peternakan ayam relatif mudah di kembangkan, dan juga cepat menghasilkan. Untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup tinggi akan karkas ayam, maka produsen diharapkan dapat menyediakan ayam yang berkualitas (Abubakar 1992). Karkas yaitu hasil bagian tubuh tanpa darah, bulu, kaki, kepala, dan seluruh isi bagian rongga perut kecuali giblet (jantung, hati, dan ampela).
Menurut Standart Nasional Indonesia (SNI) karkas dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian edible (bisa dikonsumsi) dan bagian in edible (tidak bisa dikonsumsi). Adapun bagian-bagian edible sendiri terdiri dari karkas, dan giblet sedangkan bagian in edible terdiri dari darah, jeroan selain giblet, kaki, kepala, bulu, leher dan lemak abdominal. Presentase karkas pada unggas merupakan bagian tubuh yang tersisa setelah dilakukan penyembelihan, pembuluan, dan pembuangan jeroan, selanjutnya dilakukan pemotongan kaki, kepala, dan juga leher (Saifudin, 2000). Perbandingan bobot karkas terhadap bobot hidup atau dinyatakan sebagai presentase karkas sering digunakan sebagai ukuran produksi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi presentase karkas seekor ternak terdiri atas bangsa, kondisi, fisik, bobot badan, dan makanan. Presentase karkas yang bervariasi akibat perbedaan bobot potong menunjukkan bahwa hubungan antara bobot karkas dan bobot potong memiliki koefisien pertumbuhan karkas relatif terhadap bobot potong yang lebih besar daripada satu. Hal ini berarti bahwa bobot karkas yang diperoleh dari seekor ayam kampung akan meningkat seiring dengan meningkatnya bobot potong (Zulkarnain, 1992). Karkas adalah daging ayam tanpa kepala, kaki, jeroan, dan bulu-bulunya, yang diperoleh dari hasil pemotongan ayam yang tertib dan benar. Berat karkas bervariasi yaitu rata-rata antara 65% (betina) dan 70% (jantan) dari berat hidup. Karkas yang sehat dan bermutu diperoleh dari ayam hidup yang sehat. Tanda-tanda ayam sehat antara lain mata waspada dan aktif, bulu halus, tulang dada sempurna dengan daging dada yang montok dan penuh. Karkas ayam hampir sama dengan karkas golongan unggas yang lain, seperti kalkun, bebek, angsa, dan merpati, tetapi sangat berbeda
dengan karkas mamalia. Disamping itu, karkas ayam atau unggas yang lain masih mengandung kulit sedangkan pada karkas mamalia, kulit sudah dipisahkan. (Brake, et al 1993). Bertambahnya umur dan bobot badan menimbulkan perbedaan terhadap besaran presentase bobot darah, sedangkan terhadap presentase bulu menurun (Brake, et al 1993). Bobot badan yang tinggi berakibat meningkatnya bobot karkas, bulu, dan organ dalam dengan bobot hidup juga terpenuhi. Presentae bagian edible dan in edible sebelum menjadi karkas dipengaruhi oleh bobot akhir (Ensminger, 1998). Karkas unggas khususnya ayam merupakan bentuk komoditi yang paling banyak dan umum diperdagangkan. Karkas ayam adalah produk keluaran proses pemotongan, biasanya dihasilkan setelah melalui tahap pemeriksaan ayam hidup, penyembelihan, penuntasan darah, penyeduhan, pencabutan bulu dan dressing (pemotongan kaki, pengambilan jeroan, pencucian) (Ensminger, 1998).
1.6 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di CV Bangun Jaya Farm, Kecamatan Warung Kiara, Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilakukan selama dua bulan mulai tanggal 6 Maret sampai dengan 6 Mei 2016.