BAB 2 TINJAUAN TEORITIS FAKTOR FAKTOR BENCANA ALAM TSUNAMI
Bab ini berisi uraian teori-teori yang digunakan sebagai landasan studi yang berhubungan dengan topik penelitian. Lingkup teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang berkaitan dengan pengelolaan bencana alam tsunami. 2.1 Pengelolaan bencana Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. Berdasarkan United Nations-International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR, 2004), bahaya ini dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: a. Bahaya beraspek geologi, antara lain: gempa bumi, tsunami, gunung api, longsor. b. Bahaya beraspek hidrometeorologi, antara lain: banjir, kekeringan, angin topan, gelombang pasang. c. Bahaya beraspek biologi, antara lain: wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman. d. Bahaya beraspek teknologi, antara lain: kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, kegagalan teknologi. e. Bahaya beraspek lingkungan, antara lain: kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran limbah. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
12
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Undang Undang No.24 tahun 2007). Pengelolaan bencana adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum, sedang dan setelah bencana yang dimulai dengan pencegahan, mitigasi, kesiap siagaan, tanggap darurat dan pemulihan. Rangkaian kegiatan tersebut apabila digambarkan dalam siklus pengelolaan bencana adalah sebagai berikut:
Sumber : Pedoman Penyusunan Rencana Penanganan Bencana di Daerah,Bakornas 2006
Gambar. 2.1 Manajemen Pengelolaan Bencana 2.2 Bahaya Alam (Natural Hazard) dan Bencana Alam (Natural Disaster) 2.2.1 Bahaya Alam (Natural Hazard) Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. Beberapa definisi bahaya alam yang dapat diserap dan digunakan dalam mendefinisikan bahaya tsunami adalah:
13
Natural hazards, as part of our environment, can occur anywhere. Earthquakes, floods, volcanoes and violent weather variations, as well as other extreme natural events, can trigger disaster when they interact with vulnerable conditions (Awatona dalam Firmansyah, 1997:1). Dalam definisi tersebut, makna bahaya yang dapat diserap adalah bahwa bahaya dapat terjadi dimana saja, dan kapan saja. Bahaya juga akan memicu bencana ketika terjadi pada kcadaan yang rentan.
Sedangkan secara umum bahaya dapat diklasifikasikan menjadi (Arambepola dalam ADPC, 2003): − Alam (Natural Hazards), berupa banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dll. − Biologis (Biological Hazard), berupa wabah penyakit dan gangguan pada mahluk hidup. − Teknologi (Technological Hazards), berupa kecelakaan industri, kecelakaan transportasi, kecelakaan kimia dan nuklir, dll. − Sosial (Societal Hazards), berupa kerusuhan massa, dll. − Jika terjadinya suatu bahaya alam tidak memiliki dampak kepada manusia maka kejadian tersebut tidak dapat dikatakan sebagai bencana alam. Bencana alam merupakan bahaya alam yang kejadiannya berdampak pada manusia atau sistem buatan manusia yang berada dalam keadaan rentan. Dampak dari terjadinya suatu bencana alam pada umumnya berupa kerusakan dan kerugian bagi manusia. Kerusakan dan kerugian tersebut antara lain disebabkan karena ketidakmampuan sistem buatan manusia dalam melindungi manusia dan harta benda yang dimilikinya (EI-Masri and Tipple dalam Awotona, 1997: 3). Berdasarkan penyebabnya bahaya alam dapat dibedakan menjadi tiga kategori (Verstappen dalam Firmansyah, 1983), yaitu: − Bahaya alam yang diakibatkan oleh proses eksogen yang mencakup banjir, kekeringan dan gerakan massa batuan.
14
− Bahaya alam yang diakibatkan oleh proses endogen, mencakup akibat aktivitas gunungapi dan gempa bumi. − Bahaya alam
akibat proses antropogenik, misalnya terban
(subsidence) akibat pengambilan air tanah yang berlebihan. Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan potensi bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi dan beragam baik berupa bencana alam, bencana ulah manusia ataupun kedaruratan komplek. Beberapa potensi tersebut antara lain adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, kebakaran perkotaan dan permukiman, angin badai, wabah penyakit, kegagalan teknologi dan konflik sosial. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat antara lain pada peta rawan bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta kerentanan bencana tanah longsor, peta daerah bahaya bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi bencana banjir, dan lain-lain. 2.2.2 Bencana Alam Awotona (1997) memberikan definisi mengenai bahaya alam dan bencana alam sebagai berikut: −
Bahaya Alam, merupakan seluruh kejadian yang disebabkan oleh interaksi antara sistem alam (Natural Event System) dengan sistem manusia
(Human
Use
System)
yang
berpotensi
untuk
mengakibatkan gangguan atau kerusakan pada manusia. −
Bencana Alam, merupakan interaksi dari bahaya alam yang umumnya terjadi dari kejadian alam yang tidak terduga dan tiba-
15
tiba dengan keadaan rentan (Vulnerable Conditions) yang berakibat pada kerusakan/kerugian terhadap manusia dan lingkungannya. (EI-Masri and Tipple dalam Awotona, 1997:3) Dari definisi tersebut, bahaya alam dapat diartikan sebagai kejadian yang bersifat alamiah dimana manusia tidak selalu memiliki peran (baik sengaja maupun tidak) dalam menyebabkan terjadinya bahaya alam. Dikatakan bahaya karena kejadian tersebut dapat menyebabkan perubahan ekstrim pada keadaan alam dalam waktu yang relatif cepat, sedangkan pada umumnya manusia tidak memiliki ketahanan yang cukup untuk menyesuaikan terhadap perubahan yang ekstrim. Bencana alam (natural disaster) merupakan interaksi antara bahaya alam (natural hazard) dengan kerentanan (vulnerability), dan ketahanan suatu kawasan atau wilayah. Bahaya alam merupakan suatu kondisi atau peristiwa alam yang tidak normal seperti: banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan lainnya. Kerentanan suatu wilayah dipengaruhi oleh kondisi fisik/lingkungan, sosial ekonomi, politik, kelembagaan serta tindakan tindakan yang tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan pada wilayah tersebut. Sedangkan aspek ketahanan merupakan aspek positif yang dapat mengurangi kerentanan dan memperkecil risiko wilayah tersebut terhadapa bencana. Bahaya alam (hazard) tidak dapat dimodifikasi sedangkan kerentanan dan ketahanan suatu wilayah dapat dimodifikasi. 2.3 Kerentanan (Vulnerability) 2.3.1 Pengertian Kerentanan (vulnerability) merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.
16
Cannon (1994) berpendapat bahwa kerentanan adalah sifat individual atau kelompok dari masyarakat yang mendiami suatu lingkungan alami, sosial dan ekonomi tertentu, yang dibedakan menurut keadaan yang berbeda dalam masyarakat. Kerentanan tersebut dibagi dalam 3 aspek yaitu: − Derajat kekenyalan (degree of resilience) sistem mata pencaharian tertentu dari individu atau kelompok, dan kapasitas untuk bertahan dari dampak bahaya (hazard). − Komponen "kesehatan", adalah kemampuan untuk pemulihan dari cedera dan kemampuan menyelamatkan diri dari bahaya. − Derajat preparedness (warning system). Awatonna (1997:1-2) menjelaskan bahwa tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana baru akan terjadi bila 'bahaya' terjadi pada 'kondisi yang rentan', " Natural disasters are the interaction between natural hazards and vulnerable condition ". Kerentanan bencana tersebut terbagi ats 6 (enam) tipe, yaitu: 1. Kerentanan Sosial (social vulnerability) 2. Kerentanan kelembagaan (Institutional vulnerability) 3. Kerentanan sistim (system vulnerability) 4. Kerentanan ekonomi (economic vulnerability) 5. Kerentanan lingkungan (enviromental vulnerability) 6. Kerentanan akibat tindakan yang tidak memikirkan keberlanjutan (vulnerability caused unsustainable practice) Lewis (1997) menggambarkan bahwa kerentanan biasanya diartikan sebagai kondisi fisik keterbukaan, yang berhubungan dengan lokasi dan kualitas konstruksi. Ketidakmampuan sistem buatan manusia dalam menghadapi suatu bencana dapat diartikan sebagai kerentanan atau keadaan rentan (Vulnerable Conditions). Kerentanan merupakan salah
17
satu kondisi yang akan menentukan apakah bahaya alam yang terjadi akan menimbulkan bencana alam atau tidak. Oleh karena itu kerentanan merupakan salah satu variabel yang dapat dipengaruhi untuk meminimasi dampak dari suatu bahaya alam agar tidak terjadi suatu bencana, atau meminimasi dampak kerusakan dari suatu bencana alam. Firmansyah (1998: 62-68) menjelaskan kerentanan yang diklasifikasikan daiam 3 faktor, yaitu: − Kerentanan
fisik/infrastruktur
yang
menggambarkan
tingkat
kerusakan fisik yang ditimbulkan bila bencana terjadi. − Kerentanan sosial kependudukan yang menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa/kesehatan penduduk apabila terjadi bencana. − Kerentanan ekonomi yang menggambarkan besar kerugian /gangguan terhadap aktivitas ekonomi komunitas sehari-hari. Kerentanan berdasarkan sebabnya dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu (Arambepola dalam ADPC, 2003): −
Kerentanan karena bahaya (Hazard Specific), yaitu kerentanan yang terjadi akibat kedekatan lokasi dari suatu sistem/objek terhadap sumber bahaya.
−
Kerentanan karena situasi/keadaan (Setting Specific), yaitu kerentanan yang disebabkan oleh bentuk aktivitas sosio-ekonomi dari manusia, misalnya daerah dengan setting kota akan memiliki kerentanan yang lebih besar jika dibandingkan dengan setting pedesaan.
−
Jika sistem manusia diciptakan dengan keadaan rentan yang terkait di
dalamnya,
maka
dalam
suatu
sistem
juga
terdapat
kecenderungan yang memungkinkan sistem untuk bertahan terhadap keadaan yang mengganggu kestabilan sistem tersebut, hal
18
ini dikarenakan manusia cenderung untuk mempertahankan sesuatu yang memiliki nilai penting bagi mereka. Ketahanan merupakan variabel lainnya yang dapat dipengaruhi untuk meminimasi dampak kerusakan dari suatu bahaya alam. 2.3.2 Pentingnya analisis kerentanan Berdasarkan pemahaman terhadap keterkaitan antara kerentanan dan bencana, dapat dilihat pentingnya analisis kerentanan bencana tersebut, seperti yang dikemukakan Venley, upaya untuk mengurangi bencana dapat dilakukan dengan mengurangi tingkat kerentanan. Anderson memperkuat pernyataan Verley tersebut,menurutnya apabila kita ingin mengontrol dan mengurangi kerusakan akibat bencana, maka kita harus dapat mengidentifikasi dan menilai kerentanan di berbagai tempat dan waktu, agar dapat mendesain strategi yang efektif untuk mengurangi
dampak
negatif
dari
bencana
(Anderson
dalam
Firmansyah, 1998) Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa upaya untuk mengurangi risiko bencana akan dapat dilakukan dengan mengurangi kerentanan terhadap bahaya dan meningkatkan kapasitas dalam menghadapi bahaya yang terjadi. 2.3.3 Indikator kerentanan Untuk melakukan analisis kerentanan, maka perlu diketahui terlebih dahulu indikator indikator yang diperlukan untuk mengkaji kerentanan. Dalam studi Firmansyah (1998) berdasarkan modifikasi Davidson (1997), kerentanan terbagi menjadi 3 (tiga) sub faktor, yaitu: 1. Kerentanan fisik binaan (infrastruktur).
19
Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi fisik (infrastruktur) pada kawasan yang rawan terhadap tsunami. Indikator indikator dari kerentanan fisik binaan (infrastruktur) adalah sebagai berikut: a. Persentase kawasan terbangun b. Kepadatan bangunan c. Persentase bangunan bertingkat d. Jaringan listrik e. Jaringan PDAM f. Rasio panjang jalan 2. Kerentanan sosial dan kependudukan Menunjukkan perkiraan tingkat kerentanaan terhadap keselamatan jiwa penduduk apabila terjadi bencana alam. Kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial pada kawasan rawan tsunami. Pada kondisi sosial yang rentan maka jika terjadi bencana dapat dipastikan akan menimbulkan dampak kerugian yang besar. Beberapa indikator kerentanan sosial antara lain − kepadatan penduduk, − laju pertumbuhan penduduk, − persentase penduduk usia tua-balita − Persentase penduduk wanita. 3. Kerentanan ekonomi Menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya (hazards) pada kawasan rawan bencana tsunami. Beberapa indikator kerentanan ekonomi diantaranya adalah − persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor yang rawan terhadap pemutusan hubungan kerja).
20
− persentase rumah tangga miskin. Beberapa indikator kerentanan fisik, ekonomi dan sosial tersebut di atas menunjukkan bahwa wilayah Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, terhadap bahaya tsunami sehingga hal ini mempengaruhi/ menyebabkan tingginya risiko terjadinya bencana di wilayah Indonesia. Karakteristik keadaan daerah perkotaan yang menyebabkannya menjadi rentan antara lain (Arambepola dalam ADPC, 2003): −
Konsentrasi dan kepadatan (crowdedness)
−
Jumlah manusia dan tingkat aktivitas yang besar pada daerah perkotaan
−
Kedekatannya terhadap bahaya yang disebabkan oleh manusia, yaitu
−
berupa bahaya teknologi, sosial, maupun ekonomi karena situasi/keadaan (Setting Specific),
Bencana alam tsunami mempunyai indikator-indikator faktor kerentanan yang berbeda dengan bencana alam lain. Perbedaan ini disebabkan oleh sifat dan karakteristik daerah yang terkena bencana berbeda (misalnya desa dan kcta). Dengan demikian, dalam studi ini sub-faktor kerentanan yang digunakan adalah: − Kerentanan fisik, indikatornya persentase kawasan terbangun dan bangunan darurat pada kawasan yang rawan tsunami. − Kerentanan sosial dan kependudukan, indikatornya kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia lanjut dan balita serta persentase penduduk wanita psda kawasan rawan tsunami − Kerentanan ekonomi, indikatornya penduduk yang bekerja sebagai nelayan, yang dianggap sebagai pekerjaan yang rentan terhadap bahaya tsunami
21
Analisis
kerentanan
ditujukan
untuk
mengidentifikasi
dampak
terjadinya tsunami yang berupa berapa korban jiwa dan kerugian ekonomi, baik dalam jangka pendek yang berupa hancurnya permukiman, sarana dan prasarana, serta bangunan lainnya, maupun jangka panjang yang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma dan kerusakan sumber daya alam lainnya. Analisis kerentanan tersebut didasarkan beberapa aspek, antara lain tingkat kepadatan pemukiman, tingkat ketergantungan perekonomian masyarakat pada sektor kelautan, keterbatasan akses transportasi untuk evakuasi serta keterbatasan akses komunikasi. Komposisi usia masyarakat yang banyak anak anak dan lanjut usia serta rendahnya tingkat pendidikan, dalam kaitannya dengan rendahnya pemahaman masyarakat tentang mitigasi bencana tsunami juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap bencana tsunami. Indikator indikator tersebut merupakan indikator yang terdapat pada kawasan yang rawan tsunami.
2.4 Kapasitas/ketahanan Kapasitas adalah kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana pada semua tahapannya, melalui berbagai sistem yang dikembangkannya (tradisisi budaya, gotong royong, kesiapan darurat, kemampuan bangkit kembali, kemampuan membangun yang siap menghadapi ancaman bencana dsb). Kapasitas dapat dikategorikan ke dalam: a. Fisik atau materi, yang berarti bahwa manusia dengan sumber daya ekonomi dan materi yang memadai dapat bertahan lebih baik. Hal ini bisa dalam bentuk uang tunai, tanah, peralatan, makanan, pekerjaan atau akses untuk mendapatkan kredit. b. Sosial atau organisasi yang membantu mereka untuk dapat menghadapi, tahan dan mampu menangani ancaman yang mungkin ada. Komunitas
22
dengan kepemimpinan yang baik, kepedulian lokal dan institusi nasional serta dapat borbagi sumber daya fisik, maka mereka akan lebih mampu bertahan. c. Tingkah laku atau motivasi, yaitu anggota masyarakat yang peduli dengan kemampuan yang dimilikinya sendiri dan tingkat kepercayaan untuk menghadapi tantangan bencana alam. Kapasitas ditentukan berdasarkan kesiapan dalam mitigasi dan melakukan langkah tanggap darurat untuk menangani potensi dan kejadian bencana. Kapasitas daerah meliputi kekuatan dan sumber daya yang ada pada individu, komunitas, dan pemerintah yang dapat membantu daerah dalam menghadapi kejadian bencana, melakukan upaya mitigasi atau memulihkan kembali kondisi dari bencana. Kapasitas juga dapat diukur dari tingkat kesiapan dengan beberapa parameter antara lain pengetahuan, kelembagaan, mekanisme kerja dan sumberdayanya. Jika di suatu daerah belum mempunyai unsur parameter tersebut sama sekali, maka kapasitas daerah dalam menghadapi bencana dikatakan masih rendah. Dalam
Firmansyah
merefleksikan
(1998:38)
kemampuan
dijelaskan
bahwa
faktor
ketahanan
untuk merespons atau mengatasi dampak
bencana, faktor tersebut antara lain terdiri dari: − Sumber daya, yang meliputi pendanaan, peralatan dan fasilitas serta tenaga terlatih/terdidik (misal: tenaga medis). − Kemampuan mobilitas/aksesibilitas. Analisis tingkat ketahanan dapat diidentifikasi dari 3 (tiga) aspek, yaitu (i) rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan, (iii) ketersediaan peralatan yang dapat digunakan untuk evakuasi. Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan rawan bencana, akan membuat tingkat ketahanan kawasan bencana semakin tinggi. Kemudahan akses mobilitas
23
masyarakat dalam evakuasi juga ikut mempertinggi ketahanan terhadap bencana. 2.5 Tsunami 2.5.1 Pengertian Istilah "tsunami" di adopsi dari bahasa Jepang, dari kata tsu (W) yang berarti pelabuhan dan nami ($£) yang berarti ombak. Dahulu kala, setelah tsunami terjadi, orang orang Jepang akan segera menuju pelabuhan untuk menyaksikan kerusakan yang ditimbulkan akibat tsunami, sejak itulah dipakai istilah tsunami yang bermakna "gelombang pelabuhan". Selama ini tsunami masih dianggap bencana alam yang tidak membahayakan (underrated hazard), karena kedatangannya yang cukup jarang. Banyak penyebab terjadinya tsunami, seperti gempa bawah laut (ocean-bottom earthquake), tanah longsor bawah laut (submarine landslide), gunung berapi (volcanoes), dan sebab lainnya. Di antara penyebab itu, gempa bumi bawah lautlah yang paling sering dan paling berbahaya. Longsor bawah laut dengan ukuran longsor sebesar benua juga berbahaya, tapi efektifitas tsunami akibat longsor bawah laut masih jauh di bawah efektifitas tsunami akibat gempa bumi. Gempa bumi bisa disebabkan oleh berbagai sumber, antara lain letusan gunung berapi (erupsi vulkanik), tumbukan meteor, ledakan bawah tanah (seperti uji nuklir), dan pergerakan kulit bumi. Yang paling sering kita rasakan adalah karena pergerakan kulit bumi, atau disebut gempa tektonik. Berdasarkan seismologi (ilmu yang mempelajari fenomena gempa Bumi), gempa tektonik dijelaskan oleh "Teori Lapisan Tektonik". Teori ini menyebutkan, lapisan bebatuan terluar yang disebut lithosphere atau litosfer mengandung banyak lempengan. Di bawah
24
litosfer ada lapisan yang disebut athenosphere, lapisan ini seakanakan melumasi bebatuan tersebut sehingga mudah bergerak. Di antara dua lapisan ini, bisa terjadi tiga hal, yaitu lempengan bergerak saling menjauh, maka magma dari perut Bumi akan keluar menuju permukaan Bumi. Magma yang sudah dipermukaan bumi ini disebut lava. Lempengan bergerak saling menekan, maka salah satu lempeng akan naik atau turun, atau dua-duanya naik atau turun. Inilah cikal gunung atau lembah, atau lempengan bergerak berlawanan satu sama lain, misalnya satu ke arah selatan dan satunya ke arah utara. Ketiga prediksi tersebut akan menimbulkan getaran yang dilewatkan oleh media tanah dan batu. Getaran ini disebut gelombang seismik (seismic wave), bergerak ke segela arah. Inilah yang disebut gempa. Lokasi di bawah tanah tempat sumber getaran disebut fokus gempa.
Sumber : Progress Report :Developing Community Based Risk Reduction,Center For Disaster Mitigation ITB, 2006
Gambar 2.2. Tsunami akibat pergeseran lempeng di bawah laut Jika fenomena lempengen bergerak saling menekan atau bertemu terjadi di dasar laut, ketika salah satu lempengan naik atau turun,
25
maka volume daerah di atasnya akan mengalami perubahan kondisi stabilnya. Apabila lempengan itu turun, maka volume daerah itu akan bertambah. Sebaliknya apabila lempeng itu naik, maka volume daerah itu akan berkurang. Perubahan volume tersebut akan mempengaruhi gelombang laut. Air dari arah pantai akan tersedot ke arah tersebut. Gelombang-gelombang (tidak hanya sekali) menuju pantai akan terbentuk karena massa air yang berkurang pada daerah tersebut (efek dari hukum Archimedes); karena pengaruh gaya gravitasi, air tersebut berusaha kembali mencapai kondisi stabilnya. Ketika daerah tersebut cukup luas, maka gelombang tersebut mendapatkan tenaga yang lebih dahsyat. Inilah yang disebut tsunami. Tidak semua gempa menghasilkan tsunami, hal ini tergantung beberapa faktor utama seperti tipe sesaran (fault type), kemiringan sudut antar lempeng (dip angle), dan kedalaman pusat gempa (hypocenter).
Gempa
dengan
karakteristik
tertentu
akan
menghasilkan tsunami yang sangat berbahaya dan mematikan, yaitu (AP.Sutowijoyo,2005): 1. Tipe sesaran naik (thrust/ reverse fault). Tipe ini sangat efektif memindahkan volume air yang berada di atas lempeng untuk bergerak sebagai awal lahirnya tsunami. 2. Kemiringan sudut tegak antar lempeng yang bertemu. Makin tinggi sudutnya (mendekati 90°), makin efektif tsunami yang terbentuk. 3. Kedalaman pusat gempa yang dangkal (<70 km). Makin dangkal kedalaman pusat gempa, makin efektif tsunami yang ditimbulkan. Sebagai ilustrasi, meski kekuatan gempa relatif kecil (6.0-7.OR), tetapi dengan terpenuhinya ketiga syarat di atas, kemungkinan
26
besar tsunami akan terbentuk. Sebaliknya, meski kekuatan gempa cukup besar (>7.0R) dan dangkal, tetapi kalau tipe sesarnya bukan naik, namun normal (normal fault) atau sejajar (strike slip fault), bisa dipastikan tsunami akan sulit terbentuk. Gempa dengan kekuatan 7.OR, dengan tipe sesaran naik dan dangkal, bisa membentuk tsunami dengan ketinggian mencapai 3-5 meter. 2.5.2 Dampak Bahaya Tsunami Tsunami bisa merambat ke segala arah dari sumber asalnya dan bisa melanda wilayah yang cukup luas, bahkan di daerah belokan, terlindung atau daerah yang cukup jauh dari sumber asal tsunami. Ada yang disebut tsunami setempat (local tsunami), yaitu tsunami yang hanya terjadi dan melanda di suatu kawasan yang terbatas. Hal ini terjadi karena lokasi awal tsunami terletak di suatu wilayah yang sempit atau tertutup, seperti selat atau danau. Misalnya tsunami yang terjadi pada 16 Agustus 1976, di Teluk Moro Philipina yang menewaskan lebih dari 5.000 orang di Philipina. Ada juga yang disebut Tsunami jauh (distant tsunami), hal ini karena tsunami bisa melanda wilayah yang sangat luas dan jauh dari sumber asalnya. Seperti yang pernah terjadi di Chili pada 22 Mei, 1960 akibat dipicu gempa dengan kekuatan lebih dari 8.OR. Tsunami dengan ketingian lebih dari 10 meter ini menyebabkan korban jiwa dan kerusakan parah di Chili, Jepang, Hawaii, dan Philipina. Gelombang tsunami ini menewaskan 1000 orang di Chili dan 61 orang di Hawai. Gelombang tsunami ini mencapai Okinawa dan pantai timur Jepang setelah menempuh perjalanan selama 22 jam dan menewaskan 150 orang di Jepang. Kecepatan tsunami tergantung dari kedalaman air. Di laut dalam dan terbuka, kecepatannya mencapai 800-1000 km/ jam. Ketinggian
27
tsunami di lautan dalam hanya mencapai 30-60 cm, dengan panjang gelombang mencapai ratusan kilometer, sehingga keberadaannya di laut dalam susah dibedakan dengan gelombang biasa, bahkan tidak dirasakan oleh kapal-kapal yang sedang berlabuh di tengah samudra. Berbeda dengan gelombang karena angin, dimana hanya bagian permukaan atas yang bergerak; gelombang tsunami mengalami pergerakan diseluruh bagian partikel air, mulai dari permukaan sampai bagian dalam samudra. Ketika tsunami memasuki perairan yang lebih dangkal, ketinggian gelombangnya meningkat dan kecepatannya menurun drastis, meski demikian energinya masih sangat kuat untuk menghanyutkan segala benda yang dilaluinya. Arus tsunami dengan ketinggian 70 cm masih cukup kuat untuk menyeret dan menghanyutkan orang. Data tsunami di Indonesia menunjukkan bahwa gempa gempa pembangkit tsunami mempunyai magnitudo berkisar antara M= 5,6 – 7,0 dengan kedalaman hiposenter antara 1,3 – 95 km dengan kedalaman rata rata 60 km. Magnitudo tsunami (biasanya) ditulis dengan m dalam skala Imamura) menyatakan tinggi rendahnya gelombang tsunami yang sampai di pantai (lihat tabel). Magnitudo tsunami juga mempresentasikan besarnya energi gelombang yang dihasilkan. Besar energi gelombang tsunami ini mempunyai korelasi linear dengan besarnya magnitudo gempa dalam Skala Richter (M) dengan hubungan empiris sebagai berikut (perhitungan data tsunami Jepang): m = 2,61M – 18,44 Suatu gempa yang terjadi didasar laut dengan magnitudo M = 9,0 akan menghasilkan magnitudo tsunami m = 5,0 dengan tinggi gelombang sebesar > 32 m dengan energi gelombang sebesar 25,6 x 1023 erg.
28
Kerusakan yang ditimbulkan oleh gelombang tsunami amat beragam antara lain dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe sebagai berikut (Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, 2004): 1. Kerusakan struktural bangunan akibat gaya hydrodinamik gelombang. 2. keruntuhan struktur bangunan karena pondasinya tergerus air laut yang amat deras. 3. kerusakan struktural bangunan akibat hantaman benda benda keras, seperti kapal dan semacamnya yang terbawa gelombang. Tabel 2.1. Klasifikasi Tsunami
Sumber : Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, 2004
Bahaya ikutan lainnya yang dapat ditimbulkan oleh bahaya tsunami ini adalah: • Genangan air • Kontaminasi air asin pada lahan pertanian, tanah dan air bersih. • Kerusakan lingkungan dan tumbuh-tumbuhan.
29
Gambar 2.3. Tsunami dan tahun kejadiannya.(PMB ITB, 2006) 2.6 Risiko Bencana (Disaster Risk) Kajian risiko bencana ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai potensi bahaya alam yang dapat terjadi pada suatu wilayah, sehingga dapat diidentifikasi secara umum prioritas-prioritas bahaya dan kerentanan bencana serta besaran risikonya dengan cepat. Risiko bencana ini dapat berupa korban jiwa, kemungkinan kerusakan-kerusakan bangunan dan prasarana vital dan infrastruktur yang dapat menyebabkan kerugian dan terhentinya kegiatan ekonomi. Secara lebih spesifik, hasil yang diharapkan dari dari studi awal kajian risiko bencana ini adalah untuk menghasilkan keluaran-keluaran berikut ini: a. Gambaran besarnya bahaya alam yang dapat terjadi pada suatu wilayah di Kota Padang. b. Identifikasi awal bahaya-bahaya ikutan akibat bahaya alam tersebut
30
c. Gambaran secara kualitatif mengenai kerentanan kota yang meliputi; kondisi bangunan-bangunan secara umum, prasarana umum dan prasarana vital kehidupan (lifelines). d. Rekomendasi mengenai rencana tindak lanjut secara umum berdasarkan hasil kajian awal ini. Terdapat beberapa definisi risiko yang dapat digunakan dalam penelitian ini, seperti: “ Risk is the chance of something happening that will have an impact upon objectives. It is measured in terms of consequences and likelihood “. (AS/NZS dalam Tim Peneliti, 2001:11-1) Risiko adalah kemungkinan sesuatu peristiwa (dalam hal ini bencana tsunami) yang akan memberi dampak pada tujuan. Tujuan di sini adalah tujuan proteksi dari bahaya tsunami yang meliputi: −
Keselamatan jiwa (life safety)
−
Perlindungan harta benda (property safety)
−
Kelangsungan proses dan kerja (process safety)
−
Keselamatan lingkungan (environmental safety)
Hampir seiring dengan definisi diatas adalah definisi risiko yang diberikan oleh UNDHA (United Nations Department of lumanitarian Affairs). Dalam definisi ini penyebab bencana adalah bencana alam namun penekanan definisi ada pada jenis kerugian yang diterima. Berikut ini disampaikan defenisi dari UNDHA tersebut, risiko adalah perkiraan kerugian (dalam bentuk korban iwa, cedera, harta, dan kegiatan ekonomi) sebagai akibat dari bahaya alam di suatu vilayah pada periode tertentu. (ICE dalam Firmansyah, 1998:39). Definisi berikutnya adalah definisi yang diberikan oleh American National Standard yaitu pada ASTM (American Society for Testing and Material) no E 1546-93, yaitu:
31
“ The probability that afire will occur and the potential for harm to life and damage to property resulting from its occurrence” Selain
itu
terdapat
pula
definisi
risiko
yang
menekankan
pada
terminologinya yaitu definisi yang diberikan oleh Dooley (Dooley dalam Firmansyah,1998:39). Menurutnya, pemahaman tentang risiko selalu memiliki 2 (dua) ide pokok yaitu: 1. Adanya potensi konsekuensi-konsekuensi yang tidak diharapkan (potential for unwanted consequences). 2. Adanya unsur ketidakpastian (uncertainty). Dari ketiga definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa risiko bencana tsunami adalah peluang terjadinya suatu bencana tsunami dan bencana itu berpotensi menimbulkan kerugian pada manusia baik secara fisik (kerusakan struktural) maupun non-fisik (terganggunya aktivitas manusia). Nilai risiko menggambarkan seberapa besar konsekuensi yang tidak diinginkan akan terjadi apabila bencana tsunami itu terjadi. Berdasarkan definisi-defmisi tersebut, risiko bencana tsunami diketahui memiliki 3 (tiga) faktor yang akan mempengaruhi sering-tidaknya bencana tsunami terjadi pada suatu tempat, atau besar-kecilnya kerugian yang diterima yaitu: bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Bahaya dan kerentanan merupakan faktor yang akan menambahkan besarnya risiko bencana tsunami, karena akan memperbesar peluang terjadinya bencana, sedangkan kapasitas merupakan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak dan kecenderungan terjadi bencana. Faktor-faktor risiko tersebut akan diukur dalam hal dampak (consequences) dan kemungkinan/ kecenderungan terjadinya (likelihood). Akumulasi dari faktor-faktor bahaya, kerentanan dan kemampuan di atas, akan dapat memposisikan masyarakat dan daerah yang bersangkutan pada tingkatan risiko yang berbeda. Risiko merupakan fungsi dari bahaya
32
(hazard), kerentanan dan kemampuan. Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat kerentanan masyarakat atau penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat kemampuan masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Untuk menentukan prioritas risiko bencana yang akan ditangani maka diperlukan pengenalan tingkat risiko. Dalam disiplin penanganan bencana (disaster management), risiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya (hazards) yang ada. Ancaman bahaya, khususnya bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal maupun eksternal, sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut semakin meningkat. Dalam kaitan ini, bahaya merupakan elemen dasar terjadinya bencana pada suatu tempat. Kerentanan menunjukkan kerawanan yang dihadapi suatu masyarakat dalam menghadapi ancaman tersebut. Ketidakmampuan merupakan kelangkaan upaya atau kegiatan yang dapat mengurangi korban jiwa atau kerusakan. Dengan demikian maka semakin tinggi bahaya, kerentanan dan ketidakmampuan, maka semakin besar pula risiko bencana yang dihadapi. Berdasarkan potensi ancaman bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan risiko 'bencana' yang akan terjadi di wilayah Indonesia tergolong tinggi. Risiko bencana pada wilayah Indonesia yang tinggi tersebut disebabkan oleh potensi bencana/hazards yang dimiliki wilayah-wilayah tersebut yang memang sudah tinggi, ditambah dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi pula. Sementara faktor lain yang mendorong semakin tingginya risiko bencana ini adalah menyangkut pilihan masyarakat (public choice). Banyak penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang
33
rawan/rentan terhadap bencana dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, atau peluang (opportunity) lainnya yang dijanjikan oleh lokasi tersebut. Secara umum, risiko dapat dirumuskan sebagai berikut:
Sumber : Progress Report :Developing Community Based Risk Reduction,Center For Disaster Mitigation ITB, 2006
Gambar 2.4. Model Crunch
Re siko =
Bahaya × Keren tan an Kapasitas
2.7 Tinjauan terhadap Sistem Informasi Geografis (SIG)
Era komputerisasi telah membuka wawasan dan paradigma baru dalam proses pengambilan keputusan dan penyebaran informasi. Data yang merepresentasikan "dunia nyata" dapat disimpan dan diproses sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan sesuai kebutuhan. Sebagaimana terlihat pada gambar 2.6 pemahaman mengenai "dunia nyata" akan semakin baik jika proses-proses menipulasi dan presentasi data yang direlasikan dengan lokasi-lokasi geografi di permukaan bumi telah dimengerti (Prahasta, 2002:51).
34
Sumber: Colo dalam Prahasta, 2002:52
Gambar 2.5. Model Dunia Nyata dalam Sstim Informasi Geografis
Sejak pertengahan 1970-an, telah dikembangkan sistem-sistem yang secara khusus dibuat untuk menangani masalah informasi yang berreferensi geografis dalam berbagai cara dan bentuk. Masalah-masalah ini mencakup (Prahasta, 2002:52): − Pengorganisasian data dan informasi, − Menempatkan informasi pada lokasi tertentu, dan − Melakukan
komputasi,
memberikan
ilustrasi keterhubungan satu
sama lainnya (koneksi), beserta analisa-analisa spasial lainnya. Sebutan umum untuk sistem-sistem yang menangani masalah-masalah di atas adalah SIG (Sistem Informasi Geografis). Dalam beberapa literatur, SIG dipandang sebagai perkawinan antara sistem komputer untuk bidang kartografi (CAC) atau sistem komputer untuk bidang perancangan (CAD) dengan teknologi basisdata (database) (Prahasta, 2002:52) 2.7.1 Pengertian dari Sistem Informasi Geografis
Definisi SIG selalu berkembang, bertambah, dan bervariasi. Hal ini terlihat dari banyaknya defmisi SIG yang telah beredar. Selain itu, SIG juga merupakan suatu kajian ilmu dan teknologi yang relatif baru, digunakan oleh berbagai bidang disiplin ilmu dan berkembang dengan
35
cepat. Berikut ini merupakan sebagian kecil dari definisi-defmisi SIG (dalam Prahasta. 2002, 54): 1. SIG adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang secara efesien unutk memperoleh, menyimpan. mengup-date, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (ESRI, 1990). 2. SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk
menyimpan
dan
memanipulasi
informasi-informasi
geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi (Aronoff, 1989): −
Masukan
−
Manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan data)
−
Analisis dan manipulasi data
−
Keluaran
3. SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat keras dan perangkat lunak yang berfungsi untuk (Bernhardsen, 1992) −
Akusisi dan verifikasi data
−
Kompilasi data
−
Penyimpanan data
−
Perubahan dan Up-dating data
−
Manajemen dan pertukaran data
−
Manipulasi data
−
Pemanggilan dan presentasi data dan analisa data.
36
2.7.2 Kemampuan-kemampuan Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis dalam perencanaan wilayah dan kota berfungsi sebagai tool box dan basis data. Sebagai tool box, SIG akan mempermudah perencana melakukan berbagai analisis tata ruang yang menggunakan fungsi-fungsi pemodelan peta seperti penelusuran data, berbagai variasi dalam pertampalan dan lain-lain. Beberapa analisis keruangan yang rumit dan kompleks serta membutuhkan waktu yang lama, dapat dilakukan lebih cepat dan mudah dengan metode SIG. SIG merupakan alat untuk perencanaan guna lahan, manajemen sumber daya alam, penilaian dan perencanaan lingkungan, penelitian ekologi, kependudukan, pemetaan untuk kepentingan
pajak,
pemilihan
rute
dan
sebagainya
yang
memperlihatkan bahwa SIG merupakan aplikasi komputer terbesar yang pernah tumbuh (Akbar, 1993). Pemanfaatan SIG berbeda untuk setiap tahapan, misalnya dengan model regresi dalam SIG kita dapat memperkirakan perkembangan suatu daerah terbangun dari berbagai variabel penentunya. Pada tahap perumusan rencana, SIG dapat membantu kita misalnya dalam membuat peta kesesuaian lahan. Selanjutnya dalam analisis terhadap dampak dari masing-masing rencana tata ruang hingga penentuan alternatif yang optimal akan banyak terbantu oleh SIG (Agung,1993) Kemampuan
"analisis
SIG"
dalam
mengintegrasikan
data
tumpang susun, jaringan, buffer dan sebagainya adalah sebagai berikut (Aronoff dalam Muharani, 2003:29) 1. Pemeliharaan dan analisis data keruangan − Transformasi format − Transformasi geometri
37
− Transformasi an tar proyeksi peta − Conflation − Penyamaan Batas − Penyuntingan elemen geografis − Penipisan koordinat garis 2. Pemeliharaan dan analisis data atribut − Fungsi pengeditan atribut − Fungsi query atribut 3. Analisis data keruangan dan data atribut yang terintegrasi − Retrieval/klasifikasi/measurement − Operasi tumpang susun − Operasi batas (pencarian, garis di dalam poligon dan titik di dalam poligon, fungsi topografi, poligon thiessen, interpolasi dan pembuatan kontur) 4. Pengaturan output − Anotasi peta − Teks, label, dan simbol grafis − Pola tekstur dan tipe garis 2.7.3 Proses Teknis Analisis SIG
Dalam penyusunan analisis untuk identifikasi tingkat risiko bencana alam tsunami ini, digunakan beberapa prosedur teknis yang digunakan untuk mencapai sasaran. Prosedur tersebut meliputi prosedur pengisian attribut pada peta administrasi yang ada, tumpang susun peta (overlay) dan prosedur pengklasifikasian setiap indikator bencana, dan prosedur analisis data spasial. Selain penggunaan prosedur spasial tersebut, juga akan digunakan prosedur pengolahan
38
basisdata. Untuk itu pada bagian ini juga akan membahas mengenai pengolahan basisdata yang digunakan. Dalam gambar 4.2 dapat terlihat bahwa proses awal analisis S1G adalah dengan mengisi atribut dari indikator indikator bahaya tsunami, proses pengisian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak MsExcell, yaitu dengan mengisi field pada basisdata yang telah tersedia. Semua format basisdata tidak disimpan dalam MsExcell tetapi dipertahankan menggunakan format basisdata asli ArcView yaitu *dbf (Dbase). Tahap selanjutnya adalah pengisian atribut dari indikator faktor kerentanan dan indikator dari faktor ketahanan atau kapasitas. Setelah semua atribut dari faktor faktor, sub faktor, dan indikator risiko bencana tsunami ini diisi, maka kemudian dilakukan konversi dari tiap tiap peta indikator risiko bencana dari berupa file sharpfile menjadi raster. Peta raster dari setiap indikator risiko bencana ini akan digunakan sebagai input dalam menentukan tingkat bencana untuk setiap sub faktor risiko bencana tersebut. Setelah melakukan proses conversi file menjadi raster tersebut, tiap tiap indikator bencana tersebut, kemudian dibagi menjadi beberpa zona (kelas), yaitu dapat dikategorikan atas: −
Zona bahaya sangat tinggi
−
Zona bahaya tinggi
−
Zona bahaya sedang
−
Zona bahaya rendah
Pengklasifikasian zona ini dilakukan dengan menggunakan fasilitas Reclassifikasi yang terdapat pada toolbox Spatial Analyst Tools, dengan memakai fasilitas nature breaks. Dengan dilakukannya
39
pengklasifikasian masing-masing indikator ini, maka output yang hasilkan dapat digunakan pada analisa data spatial yang terdapat pada program Sistim Informasi geografis ini. 2.7.4 Penerapan SIG dalam Analisis Data Berdasarkan kemampuan SIG yang telah disebutkan di atas, maka metode SIG yang digunakan pada studi ini mencakup beberapa kemampuan SIG tersebut, yaitu:
Tabel 2.2. Fungsi – fungsi SIG yang digunakan dalam Analisis
View Geodatabase
Fungsi pembangunan basis data dengan mentransformasikan data analog menjadi data digital.
Fungsi dalam studi Dijitasi peta dasar Kota Padang.
Operasi yang digunakan Start editing | make polygon Editing vertex point
Pengisian atribut indikator Start editing | bahaya, kerentanan, dan add field kapasitas pada poligon Field | poligon peta dasar Kota Calculate Padang Field | Summarize Geoprocessing penggunaan operasi tumpang Pemberian bobot pada tiap Features to susun,Conversion tiap Faktor, sub faktor, dan Raster Tools,Reclassifation, Spatial indikator bencana, Reclassify Analyst Tools penentuan tingkat bahaya, Weighted kerentanan ,kapasitas, dan sum risiko bencana Model Builder Geovisualitation menampilkan peta-peta hasil Peta Bahaya Tsunami, Peta View | Layout analisis yang menggunakan Kerentanan Peta Peta metode SIG Kapasitas, Peta Risiko Bencana Tsunami Kota Padang dll pembangunan basis data dengan penggabungan data spasial dan data atribut
Sumber : Hasil analisis 2007
40