23
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KaretAlam 2.1.1 Tanaman karet alam Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar.Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas.Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan Lateks.Dalam dunia tumbuh-tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut: Devisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
:Dicotyledonae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Hevea
Spesies
: Hevea brasiliensis
Karet alam (Hevea brasiliensis) merupakan tanaman yang tumbuh subur di daerah iklim tropis, menghasilkan getah atau lateks sebagai bahan baku yang dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan produk akhir dalam berbagai jenis dan kegunaannya. Tahapan pengolahan dengan penambahan bahan pengisi (filler) dan proses vulkanisasi untuk meningkatkan elastisitas dan ketahanan terhadap suhu,sehingga menghasilkan produk olahan karet yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi (Fachry, 2012). Lateks merupakan cairan yang berwarna putih atau putih kekuning-kuningan. Lateks terdiri dari partikel karet dan bukan
karet yang terdispersi di dalam air
(Triwijoso, 1989). Sedangkan menurut Goutaradkk(1985), lateks merupakan sistem koloid dimana partikel karet yang dilapisi oleh protein dan fosfolipid terdispersi di dalam air.Protein lapisan luar memberikan muatan negatif pada partikel. Lateks
merupakan suatu dispersi butir-butir karet dalam air, di dalamdispersi tersebut juga larut beberapa garam dan zat organik, seperti zat gula, dan zat protein (Bathnagar, 2004).
2.1.2 Sifat karet Karet alam mengandung 93-95% cis-1,4-polyisoprena merupakan elastromer yang dihasilkan dari lateks atau tanaman karet. Poliisoprena adalah gabungan dari unit-unit monomer hidrokarbon (C5H8)n yang membentuk rantai panjang dan jumlahnya sangat banyak. Konfigurasi dari polimer ini adalah konfigusari “cis” dengan susunan ruang yang teratur. Susunan ruang yang demikian membuat karet mempunyai sifat kenyal (Aspolumin, 1962).
H
H3C C H2C
H3C
C
H C
CH2
H2C
C CH2
n
Gambar 2.1 Struktur Kimia Karet Alamcis-1,4-Poliisoprena(Bathnagar, 2004)
Karet alam sebagai hasil alam yang dapat diperbaharui, memiliki sifat-sifat yang sangat baik, seperti elastisitas yang baik, daya regang tinggi dan memiliki sifat pengolahan yang baik (Zhou dkk, 2001). Karet alam memiliki warna agak kecoklatcoklatan, pH 6,5-7, densitas 0,91-0,93 mg/cm3 dan energi permukaan 0,960-1,1 mcal/cm2.Sifat mekaniknya tergantung dari derajat vulkanisasinya, melunak pada suhu 130oC, dan terurai sekitar 200oC(Bathnagar, 2004). Sifat isolasi listriknya berbeda karena percampuran dengan addiktif. Karet alam tidak tahan terhadap faktorfaktor lingkungan seperti oksidasi dan ozon (Ompusunggu, 1987).Karet alamjuga
25
merupakan polimer yang sangat reaktif karena mengandung ikatan ganda pada setiap lima atom karbon (Yu, 2009).
2.1.3
Lateks pekat
Lateks kebun umumnya mengandung kadar karet kering (KKK) 25-35%. Lateks ini belum dapat dipasarkan karena masih terlalu encer dan belum dapat digunakan sebagai bahan industri karet pada umumnya(Setyamidjaja,1995). Oleh karena itu, lateks perlu dipekatkan terlebih dahulu hingga memiliki KKK sekitar 60%, yang lebih dikenal dengan sebutan lateks pekat (concentrated latex) (Stagg, 2004). Pengolahan lateks pekat dapat dilakukan dengan 4 (empat) cara, yaitu: pemusingan (centrifuging),
pendadihan
(creaming),
penguapan
(evaporating),
dan
elektrodekantasi. Metode yang paling sering digunakan adalah metode pemusingan karena menghasilkan kapasitas produksi yang besar, viskositas lateks lebih rendah, dan hasil lateks lebih murni (tidak tercampur endapan dan kotoran) (Solichin dkk, 1991). Pada umumnya, pengolahan lateks pekat di Indonesia menggunakan cara pemusingan karena kapasitasnya tinggi dan pemeliharaannya mudah. Lateks kebun dengan KKK 28-35% dipusingkan dengan kecepatan 5000-7000 rpm, sehingga pada bagian atas akan diperoleh lateks pekat dengan KKK 60% dan berat jenis 0,94 mg/cm3, sedangkan di bagian bawah akan menghasilkan skim yang masih mengandung 4-8% karet dengan berat jenis 1,02 mg/cm3 (Goutara dkk, 1985). Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu lateks dengan cara pemusingan adalah pengawetan lateks kebun, KKK lateks kebun, pengendapan lateks kebun, penambahan ammonium laurat sebelum ataupun sesudah pemusingan, alat dan cara pemusingan, penyimpanan, pengangkutan, dan cara pengabilan sampel lateks pekat (Solichin dkk, 1991).
2.1.4 Komposisi lateks Hampir semua karet alam diperoleh sebagai lateks yang terdiri dari sekitar32-35% karet dan sekitar 5% senyawa lain, termasuk asam lemak, gula, protein, sterol, ester, dan garam sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi Lateks(Setyamidjaja, 1995) Komponen
Lateks segar(%)
Lateks Pekat (%)
Kandungan karet Resin Protein dan fosfoprotein Abu Karbohidrat Air Senyawa anorganik
35,62 1,65 2,03 0,70 0,34 59,62 0,5
88,28 4,10 5,04 0,84 0,84 1,00 0,1-0,5
Secara fisiologis lateks merupakan sitoplasma dari sel-sel pembuluh lateks yang mengandung partikel karet, lutoid, nukleus, mitokondria, partikel Frey Wessling, dan ribosom.Selain partikel karet, di dalam lateks terdapat bahan-bahan bukan karet yang berperan penting mengendalikan sifat lateks dan karetnya meskipun dalam jumlah relatif kecil. Lateks segar yang dipusingkan dengan alat pemusing ultra dengan kecepatan 18.000 rpm akan menyebabkan lateks terpisah menjadi 4 (empat) fraksi dapat dilihat pada Tabel 2.2(Suparto, 2002).
27
Tabel 2.2 Fraksi-fraksi Lateks Segar(Setyamidjaja, 1995)
Fraksi karet (35%)
Fraksi frey wissling(5%)
Fraksi serum (50%)
Fraksi dasar (10%) 2.1.5
Karet Protein Lipid Ion logam Karatonaida Lipid Air Karbohidrat Protein dan turunannya Senyawa nitrogen Asam nukleat dan nukleosida Ion logam Lutoid (vakuolisosom)
Kualitas lateks
Lateks sebagai bahan baku berbagai hasil karet, harus memiliki kualitas yang baik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas lateks, di antaranya adalah: 1. Faktor selama proses di kebun (jenis klon, sistem sadap, kebersihan pohon). 2. Iklim (musim hujan mendorong terjadinya prokoagulasi, musim kemarau keadaan lateks tidak stabil). 3. Alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan dan pengangkutan (yang baik dari alumenium atau baja tahan karat). 4. Pengangkutan (goncangan, keadaan tangki, jarak, jangka waktu). 5. Kualitas air dalam pengolahan. 6. Bahan-bahan kimia yang digunakan. 7. Komposisi lateks(Setyamidjaja, 1995). Lateks dikatakan mantap apabila sistem koloidnya stabil, yaitu tidak terjadi flokulasi maupun penggumpalan selama penyimpanan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lateks tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Adanya kecenderungan setiap pertikel karet berinteraksi dengan fasa air (serum), misalnya bersatunya komponen-komponen bukan karet pada permukaan partikelpartikel karet.
2.
Adanya interaksi antara partikel-partikel karet itu sendiri(Ompungsungu, 1989).
2.1.6
Faktor yang mempengaruhi kestabilan lateks
Kestabilan koloid lateks dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1.
Pengaruh pH Pengaruh pH dapat terjadi dengan penambahan asam, basa, dan penambahan elektrolit. Bila pH terlalu rendah lateks akan tetap cair (stabil) karena lapisan pelindung seluruhnya bermuatan positif.
2. Pengaruh jasad renik Setelah lateks disadap dari pohon, lateks akan segera tercemar oleh jasad renik yang berasal dari udara atau peralatan-peralatan yang digunakan. Jasad renik tersebutmula-mula akan menyerang karbohidrat terutama gula yang terdapat dalam serum dan menghasilkan asam. 3.
Pengaruh mekanis Jika lateks terkena gonjangan, maka akan menganggu gerakan Brown dan sistem koloid lateks, sehingga partikel akan bertumbukan satu sama lain. Tumbukan yang terjadi dapat menyebabkan terpecahnya lapisan pelindung dan akan mengalami pengumpalan (Setyamidjaja, 1995). Faktor yang menyebabkan sistem koloid partikel-partikel karet menjadi stabil,
yaitu: 1.
Adanya muatan listrik pada permukaan partikel karet sehingga terjadi gaya tolak menolak antara partikel karet tersebut.
2.
Adanya interaksi antarmolekul air dengan partikel karet, yang menghalangi terjadinya penggabungan partikel-partikel karet tersebut.
3.
Energi bebas antarpermukaan partikel karet yang rendah.
29
Sistem koloid lateks terbentuk karena adanya lapisan lipida yang teradsorpsi pada permukaan partikel karet (lapisan primer) dan lapisan protein pada lapisan luar (lapisan sekunder) memberikan muatan pada permukaan partikel koloid. Penambahan dinding pengawet ammonia dan bahan pemantap ammonium laurat akan menyempurnakan lapisan pelindung tersebut.Lapisan pelindung lipida, protein dan lapisan sabun asam lemak tersebut bertindak sebagai pelindung partikel karet dengan molekul air menghasilkan sistem dispersi koloid yang mantap. Jika terjadi pembentukan gel, flokulasi dan koagulasi maka hal ini menunjukkan bahwa kestabilitas koloid dapat dirusak dengan cara berikut: 1.
Menurunkan energi potensial partikel koloid lateks dengan cara: -
Menurunkan kelarutan stabilizer dengan menambahkan penggumpal
-
Menetralkan muatan listrik dari partikel koloid lateks dengan menambahkan ion-ion yang polaritasnya berlawanan dengan muatan partikel koloid lateks tersebut.
-
Menambahkan zat yang dapat mengadsorpsi lapisan pelindung partikel koloid, sehingga terjadi persaingan antara pengadsorpsi dengan partikel karet terhadap bahan pemantap.
2.
Menaikkan energi kinetik partikel dengan cara pengadukan. Jika energi kinetik partikel semakin naik maka gaya tolak muatan
antarpartikel akan terlampaui sehingga daya tarik antarpermukaan semakin besar dan frekuensi tumbukan semakin tinggi mengakibatkan dua partikel atau lebih jadi bersatu membentuk flokulat atau gumpalan (Ompungsungu, 1989). Partikel karet di dalam lateks tidak dapat saling berdekatan, karena masing-masing partikel mempunyai muatan listrik. Gaya tolak menolak muatan listrik ini menimbulkan gerak brown ini dapat dilihat di bawah mikroskop. Lateks isoprena dilapisi dengan lapisan protein, sehingga partikel karet bermuatan listrik. Protein merupakan gabungan dari asam-asam amino yang bersifat dipolar (dalam keadaan netral mempunyai dua muatan listrik) dan amphoter (dapat bereaksi dengan asam atau basa) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2 (Morton, 1973).
H R
C
H
O
+H
R
C -
O
C
Protein negatif pH > 4,7 Suasana basa
+H
R -
O NH3+ Protein netral pH = 4,7 Titik isoelektrik
O
+
C
-H+
NH2
H
O
+
C
C
+
OH
-H
NH3+ Protein positif pH < 4,7 Suasana Asam
Gambar 2.2 Protein Dipolar Berdasarkan Perbedaan pH (Morton, 1973)
2.2 Pembuatan Kompon Karet Campuran karet mentah dengan bahan kimia karet disebut kompon karet. Bahan kimia karet terdiri dari bahan kimia pokok dan bahan kimia tambahan. Bahan kimia pokok yaitu bahan vulkanisasi, pemercepat reaksi, antioksidan dan antiozon, bahan pengisi, dan bahan pelunak. Sedangkan bahan kimia tambahan yaitu bahan pewangi dan pewarna.
2.2.1 Bahan vulkanisasi Vulkanisasi adalah suatu proses dimana molekul karet yang linier mengalami reaksi ikat silang sehingga menjadi molekul polimer yang membentuk rangkaian tiga dimensi. Reaksi ini mengubah karet yang bersifat plastis (lembut) dan menjadi karet yang elastis, keras dan kuat (Akiba, 1997). Tanpa proses vulkanisasi (crosslingking), karet alam tidak akan memberikan sifat elastis dan tidak stabil terhadap suhu panas (Nijasure, 1997). Bahan vulkanisasi yang sering digunakan dalam industri pengolahan karet adalah sulfur yang mempercepat kematangan kompon karet. Bahan lain untuk vulkanisasi adalah peroksida organik dan damar fenolik (Setiawan, 2005). Penambahan 30-40% sulfur akan memperbanyak jumlah ikat silang antarrantai molekul karet sehingga mempengaruhi sifat-sifat produk karet. Kekerasan dan
31
kekakuan dari karet alam akan meningkat dengan proses vulkanisasi. Karet alam dengan ikat silang sedikit akan bersifat relatif lebih lunak dan fleksibel dari karet alam dengan jumlah ikatan silang lebih banyak (Saptono, 2008). Perbandingan kadar sulfur dan kadar bahan pemercepat sangat menentukan sifat fisik barang jadi karet. Berdasarkan perbandingan kadar sulfur dan kadar bahan pemercepat terdapat 3 (tiga) jenis sistem vulkanisasi, yaitu konvensional, semi-effesien, dan effesien.
Tabel 2.3 Sistem Vulkanisasi(Mark dkk, 2011)
Sistem vulkanisasi Konvensional Semi Effisien Effisien
Kadar Sulfur (phr)
Kadar Bahan Pemercepat (phr)
2,0-3,5 1,0-1,7 0,4-0,8
0,4-1,2 1,2-2,5 2,0-5,0
Kuantitas ikat silang yang terjadi pada vulkanisasi produk karet alam, memberi efek pada peningkatan ketahan panas, kelarutan dalam pelarut organik, dan daya kompresi. Namun di sisi lain, kuantitas ikat silang yang besar akan menurunkan kekuatan tarik dan elastisitas dari produk karet. Kadar sulfur untuk menghasilkan produk karet alam dengan sifat mekanik, sifat dinamis, dan ketahanan panas yang optimal yaitu dengan penambahan sulfur sebesar 1,0-1,7 phr (sistem vulkanisasi semi effesien) (Mark dkk, 2005).
2.2.2 Bahan pemercepat Vulkanisasi dalam industri pengolahan lateks biasanya lambat, sehingga agar efesien perlu dipercepat. Penggunaan bahan pemercepat reaksi (accelerator) ini dapat digunakan secara tunggal ataupun gabungan dari beberapa bahan tersebut (Setiawan, 2005). Proses vulkanisasi karet alam dapat bekerja lebih baik bila disertai dengan bahan pemercepat anorganik maupun organik. Bahan pemercepat anorganik yang
paling sering digunakan adalah oksida logam, dan bahan pemercepat organik adalah senyawa yang mengandung gugus amina atau amida. Berdasarkan fungsinya bahan pemercepat dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Primer
: - Thiazol (contoh: MBT, MBTS) - Sulfenamida (contoh: CBS, TBBS)
2. Sekunder :- Guanidin (contoh DPG, DOTG) - Dithiocarbamat (contoh: ZDBC, ZDEC) - Thiuram (contoh: TMTD, TMTM) - Dithiofosfat (contoh: ZBDP)
2.2.3 Bahan aktivasi Bahan pengaktivasi biasa digunakan bersama dengan bahan pemercepat. Hal ini disebabkan kecepatan proses vulkanisasi terjadi lebih cepat jika bahan pemercepat teraktivasi. Pengunaan bahan pemercepat dan pengaktivasi secara bersamaan membentuk sistem aktivator yang akan merangsang proses pembentukan ikat silang lebih cepat pada saat proses vulkanisasi berlangsung. Sistem aktivator pada proses vulkanisasi yang paling sering digunakan adalah kombinasi antara asam stearat dan zink oksida.
2.2.4 Bahan antioksidan dan antiozon Fungsi bahan ini untuk melindungi karet dari kerusakan karena pengaruh oksigen maupun ozon yang terdapat di udara, karena unsur-unsur yang terkandung dalam udara tersebut dapat menurunkan sifat-sifat fisik bahkan menimbulkan retak-retak dipermukaan barang jadi karet. Antioksidan dikelompokkan antara lain: -
Fenil nafrilamin (PAN dan PBN)
-
Kondensat aldehid-amina (agerite resin)
-
Kondensat keton-amina (flekton H)
-
Turunan difenil amina (nonox OD) (Bhuana, 1993).
33
2.2.5 Bahan pengisi Bahan pengisi (filler) adalah bahan yang ditambahkan pada komposit untuk meningkatkan sifat mekanik dan sifat fisik. Bahan pengisi juga berfungsi sebagai penguat pada matriks. Fungsi utama dari penguat adalah sebagai penompang kekuatan dari komposit, sehingga tinggi rendahnya kekuatan komposit sangat tergantung dari pengguat yang digunakan (Callister, 2007). Ada 2(dua) macam bahan pengisi pada pengolahan karet, yaitu bahan pengisi yang tidak aktif dan bahan pengisi aktif atau yang mengguatkan. bahan pengisi aktif akan meningkatkan sifat-sifat mekanik seperti: menambah kekerasan, ketahan sobek, ketahan kikis serta tegangan putus yang tinggi (Setiawan, 2005). Perubahan sifat-sifat akibat penambahan bahan pengisi ditentukan oleh ukuran, keadaan permukaan, bentuk butiran, dan jumlah perbandingan kadar bahan pengisi (phr) dan matriks polimer.Contoh bahan pengisi aktif: karbon hitam, silika, alumenium silikat. Sedangkan bahan pengisi tidak hanya akan menambah kekerasan dan kekakuan pada barang jadi karet, biasanya penggunaaan bahan pengisi tidak aktif digunakan untuk menekan harga karet yang dibuat, contohnya kaolin, tanah liat, kalsium karbonat.
2.3 Kelapa Sawit 2.3.1 Tanaman kelapa sawit Kelapa sawit termasuk golongan tumbuhan palma. Kelapa sawit menjadi popular setelah Revolusi Industri pada akhir abad ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati dan industri sabun menjadi tinggi.Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) berasal dari Nigeria, Afrika Barat.Namun, ada sebagian pendapat yang justru menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari kawasan Amerika Selatan, yaitu Brazil.Hal ini karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan di Afrika.Pada kenyataannya kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini,bahkan, mampu memberikan hasil produksi per hektar yang lebih tinggi (Fauzi, 2012).
Tanaman kelapa sawit disebut dengan Elaeis guineensis Jacq.Elaeis berasal dari Elaion yang dalam bahasa Yunani berarti minyak.Guinensis dari kata guinea yaitu pantai Barat Afrika dan Jacq singkatan dari Jacqiaum seorang Botanis dari Amerika (Soehardjo, 1999).
2.3.2 Tandan kosong sawit Tandan kosong sawit (TKS) adalah salah satu produk samping berupa padatan dari industri pengolahan kelapa sawit. Kesediaan TKS cukup signifikan bila ditinjau berdasarkan rata-rata relatif produksi TKS terhadap total jumlah TBS yang diproses (Gaol, 2013). Laju perkembangan industri kelapa sawit yang semakin pesat membutuhkan perhatian yang besar terutama dampaknya terhadap kelestarian lingkungan sekitarnya (Widhiastuti, 2001). Pabrik kelapa sawit menghasilkan limbah padat berupa cangkang dan TKS yang dihasilkan adalah antara 22-23% dari jumlah tandan buah segar yang diolah. Pada saat ini sebagian besar TKS masih dibakar pada alat pembakar (incinerator) atau digunakan sebagai mulsa pada perkebunan kelapa sawit. Pembakaran TKS akan mengakibatkan polusi udara, sedangkan pemanfaatannya sebagai mulsa kurang ekonomis, karena transportasinya sulit dan biaya yang cukup tinggi (Herawan ,1999) Berbagai penelitian telah dilakukan menunjukkan bahwa limbah kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan.TKS dapat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik yang memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah dan tanaman.TKS mencapai 23% dari jumlah pemanfaatan limbah kelapa sawit tersebut sebagai alternatif pupuk organik juga akan memberikan manfaat lain dari sisi ekonomi. Bagi perkebunan kelapa sawit, dapat menghemat penggunaan pupuk sintetis sampai dengan 50%.Ada beberapa alternatif pemanfaatan TKS yang dapat dilakukan, yaitu sebagai pupuk kompos (Fauzi, 2012).
35
2.3.3 Komposisi tandan kosong sawit TKS merupakan hasil limbah padat industri kelapa sawit.TKS memiliki ciri khas pada komposisinya. Komposisi terbesarnya adalah selulosa, disamping komponen lain yang lebih kecil seperti abu, hemiselulosa, dan lignin.Berdasarkan Tabel 2.2 dapat diketahui bahwa TKS adalah kumpulan jutaan serat organik yang dapat dimanfaatkan dalam dunia industri (Fauzi, 2002).TKS banyak mengandung serat selain zat-zat lainnya.Bagian dari tandan yang banyak mengandung serat atau selulosa adalah bagian tandan dan ujungnya yang runcing dan keras (Darnoko, 1992).
Tabel 2.4Komposisi dan Sifat KimiaTandan Kosong Sawit(Darnoko, 1992) Komposisi Kimia Selulosa Hemiselulosa Lignin Abu Pektin
Kadar (%) 43 24 21 15 13
Tabel 2.5Sifat Fisik dan Morfologi Tandan Kosong Sawit(Muthia, 2011) Parameter Panjang serat (mm) Diameter serat (μm) Tebal dinding (μm) Kadar serat (%) Kadar non serat(%)
Bagian pangkal Selulosa Hemiselulosa Lignin Abu Pektin
Bagian ujung 40 24 21 15 13
Apabila dilihat dari strukturnya, TKS adalah kumpulan jutaan serat organik yang memiliki kemampuan dalam menahan air yang ada di sekitarnya. Struktur tersebut akan mengalami proses dekomposisi dan degradasi bahan organik sehingga
akan mengalami perubahan struktur menjadi lebih kuat dan lebih fleksibel (Muthia, 2011).
2.4 Selulosa 2.4.1 Pengertian selulosa Selulosa merupakan biopolimer alam yang dapat diperbaharui, biodegradable, dan non-toxik. Polimer karbohidrat ini tersusun oleh unit β-D-Glukopiranosa dan mengandung tiga gugus hidroksil pada setiap unit unhidroglukosa (AGU) ini yang memberikan molekul selulosa tinggi akan derajat polimerisasi (Peng dkk, 2011). Selulosa merupakanserat-serat panjang, bersama hemiselulosa, pektin, dan protein membentuk struktur jaringan yang memperkuat dinding sel tanaman pada proses deferensiasi (Budiyanto, 2004).
OH
OH H
H
OH H
HO O
HO
O
H H
H OH H
H
H
O
HO
H
H
H
OH OH
OH
H
H
O
HO O
HO
O
OH
H H
H
OH H
O
OH OH
n
Gambar 2.3 Struktur Kimia Selulosa (Khalid dkk, 2006)
Menurut Winarno (1992), selulosa merupakan serat-serat panjang yang bersama-sama dengan hemiselulosa, pektin, dan protein membentuk struktur jaringan yang memperkuat dinding sel tanaman. Selulosa mempunyai rumus empiris (C6H10O5)ndimana n adalah jumlah unit pengulangan glukosa, n juga disebut derajat
37
polimerisasi (DP). Nilai dari (n) bervariasi tergantung sumber selulosa yang berbeda (Habibah, 2013). Selulosa yang terdiri atas polimer linier panjang hingga 10.000 unit glukosa, terikat dalam bentuk ikatan β-1,4. Karbohidrat dalam bentuk β (beta) tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia, serta memiliki struktur Kristal yang sangat stabil (Almatsier, 2003). Kebanyakan selulosa bergabung dengan lignin sehingga sering disebut sebagai lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa dan lignin dihasilkan dari proses fotosintesis. Komponen-komponen utama penyusun tanaman ini dapat diurai oleh mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme mampu menghidrolisis selulosa untuk digunakan sebagai sumber energi, seperti bakteri dan kapang (Enari, 1983).Kayu berdasarkan struktur kimianya tersusun dari selulosa,lignin, danhemiselulosa. Selulosa sebagai kerangka, hemiselulosa sebagai matriks, dan lignin sebagai bahan pengikat sel-sel dan memberikan kekakuan pada dinding sel. Hemiselulosa merupakan heteropolimer dengan berbagai monomer gula. Berbeda dengan selulosa yang hanya terdiri dari polimer glukosa, hemiselulosa merupakan polimer dari lima bentuk gula: glukosa, galaktosa, xylosa, maltosa, dan arabinosa. Rantai hemiselulosa lebih pendek dibandingkan dengan selulosa, karena hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi yang lebih rendah, dan berbentuk tidak lurus, tapi merupakan polimer-polimer yang berarti hemiselulosa tidak akan membentuk struktus kristal seperti halnya
selulosa. Pada pembuatanpulp,
hemiselulosa bereaksi lebih cepat dibandingkan selulosa (Dumanauw, 1982).
Rantai xilan CH2OH O
CH
H
C
OH
O
O O OH
CH2OH
Ikatan eter antara lignin dan hemiselulosa
OCH3
R O R = H atau OCH3
Gambar 2.4Ikatan Eter dan Ester Antara Lignin dan Hemiselulosa(Kim, 1987) Lignin merupakan senyawa polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil propana yang tidak beraturan dari berbagai ikatan hidroksi dan metoksi yang tersubstitusi pada satuan-satuan fenil propana. Polimer lignin tidak dapat dikonversikan menjadi monomernya tanpa mengalami perubahan pada bentuk dasarnya (Judoamidjojo dkk, 1989). Secara fisis lignin berbentuk amorf (tidak beraturan) dan berwarna kuning cerah. Adanya lignin di dalam pulp menyebabkan warna pada pembuatan kertas, oleh karena itu lignin perlu dipisahkan dari pulp melalui proses pemutihan (Kim dkk, 1987)
2.4.2 Sifat-sifat selulosa Ditinjau dari strukturnya, diharapkan selulosa mempunyai kelarutan yang besar dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksil yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Tetapi kenyataannya tidak demikian, dan selulosa bukan
39
hanya tidak larut dalam air tetapi juga dalam pelarut lainnya. Hal ini disebabkan kekakuan rantai dan tingginya gaya antarrantai akibat ikatan hidrogen antargugus hidroksil pada rantai yang berdekatan. Faktor ini menjadi penyebab kekristalan yang tinggi dari serat selulosa. Jika ikatan hidrogen berkurang, gaya interaksi juga berkurang, oleh karena itu gugus hidroksil selulosa harus diganti sebagian atau seluruhnya dengan proses esterifikasi(Coed, 1991). Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan mempunyai kecenderungan
kuat
membentuk
ikatan-ikatan
hidrogen
intramolekul
dan
intermolekul. Jadi, berkas-berkas molekul selulosa membentuk agregat bersama-sama dalam bentuk mikrofibril, dimana tempat-tempat yang sangat teratur (kristalin) diselingi dengan tempat-tempat yang kurang teratur (amorf). Mikrofibril membentuk fibril-fibril dan akhirnya serat-serat selulosa. Sebagai akibat struktur yang berserat dan ikatan-ikatan hidrogen yang kuat selulosa mempunyai kekuatan tarik yang tinggi dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut (Sjostrom, 1995).
OH
OH H
H
H H
OH O
O
O
O H
H O
H
H
H
O
HO H
H
H
H
H
H
O
H
H
O
O
H
H
H
H H
O
H
H
H
H
O
O
HO
O
O
HO H
H O
OH H
H
H
H
O
O
O
OH
H
H
OH
H
O
O O
O
O
H H H
OH H
O H
Gambar 2.5 Jembatan Hidrogen Intramolekuler di Antara Rantai-rantai Polimerdidalam Selulosa (Riswiyanto, 2009)
Rantai selulosa dihubungkan bersama dalam bentuk kristalin yang bersifat sangat kuat dan kompleks dengan adanya ikatan intramolekul. Selulosa dapat larut dalam pelarut tembaga (II) hidroksida beramonia. Pembentukan kompleks yang melibatkan gugus hidroksil selulosa, ion Cu2+, dan ammonia menjelaskan gejala larutnya selulosa dalam larutan tembaga (II) hidroksida beramonia (Coed, 1991).Selulosa sangat stabil dalam berbagai pelarut dan hanya dapat dihancurkan dengan adanya asam kuat atau sistem pelarut dengan ikatan hidrogen yang kuat, biasanya basa-amina.Sifat termal selulosa yaitu temperatur transisi gelas selulosa dengan kisaran 200-300oC(Goring, 1963). Berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan menjadi 3(tiga) jenis yaitu: 1.
α-selulosa: selulosa berantai panjang,tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% ataularutan basa kuat dengan DP 600–1500. α-selulosa digunakan sebagai penduga atau penentu tingkat kemurnian selulosa.
2.
ß-selulosa: selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH17,5% atau basa kuat dengan derajat polimerisasi 15–90 dan juga dapat mengendap bila dinetralkan.
3.
γ-selulosa: sama seperti ß-selulosa, tetapi derajat polimerisasinya kurang dari 15, kandungan utamanya adalah hemiselulosa(Goring, 1963). Selulosa murni dapat diperoleh dengan memisahkannya dari campuran yang
berisi lemak, pektin, lignin, dan sebagainya (Fatmawati, 2008). Untuk mengisolasi selulosa salah satunya dapat dilakukan dengan cara hidrolisis asam. Nickerson and Habrle (1947) menyatakan tentang hidrolisis selulosa dengan menggunakan asam sulfat untuk menghasilkan kristalin selulosa dari material selulosa.Proses isolasi mikrokristal selulosa (MKS) yang tepat dengan menggunakan asam sulfat karena tidak hanya mengisolasi selulosa tetapi juga memberikan muatan negatif pada permukaan yang dihasilkan dari esterifikasi gugus hidroksil dengan ion sulfat, sehingga menghasilkan suspensi selulosa membentuk suatu sistem koloid yang stabil (Marchessault dkk. 1961; Favier dkk. 1995).
41
2.5 Nanokristal Selulosa Nanokristal selulosa (NKS)
merupakan nanopartikel kristalin yang dibuat dari
selulosa, sangat relevan untuk mengembangkan biomaterial yang dapat diperbaharui dalam banyak bidang kimia, makanan, farmasi, dan lain-lain. NKS diperoleh dari proses hidrolisis α-selulosa menggunakan asam, dan baru-baru ini banyak digunakan sebagai nanokomposit (Habibi dkk, 2010). Pada saat proses hidrolisis asam bagian amorf dari selulosa terlarut, sehingga menghasilkan kristalin berbentuk nanopartikel dengan diameter
dari 8 sampai 20 nm dan panjang 100 nm sampai beberapa
mikrometer, tergantung pada sumber selulosa (Lima, 2004). NKS sebagai dasar nanokomposit umumnya menunjukkan sifta-sifat yang lebih baik secara signifikan seperti sifat termal, mekanik dan sifat-sifat bawaan lainnya, yang dikonversikan menjadi komposit polimer atau konvensional. NKS memiliki pratikel selulosa dengan bentuk kristal jarum sekurang-kurangnya mempunyai dimensi yang sama sampai atau lebih dari 100 nm, dan memiliki kristalin yang tinggi (Silveriodkk, 2013). NKS dapat diproduksi dengan menghidrolisis bagian yang amorf dari daerah selulosa dan meninggalkan kristal yang berbentuk utuh. Asam kuat seperti asam sulfat, asam nitrat dan asam klorida telah digunakan untuk menghidrolisis bentuk yang amorf dari selulosa. Kondisi yang optimal adalah metode hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat untuk mempersiapkan individual kristalit (Rong, 2011). Menurut Peng dkk (2011) NKS yang dihasilkan dari hidrolisis asam sulfat dan asam klorida berbeda, karena kelimpahan dari gugus sulfat pada permukaannya, NKS yang diperoleh dari hidrolisis asam sulfat dapat terdispersi dengan mudah dalam air, sedangkan NKS yang diperoleh dari hisrolisis asam klorida tidak terdispersi dengan mudah, dan suspensi larutan cenderung terflokulasi. Dari penelitian Sumaiyah dkk (2014), NKS yang diisolasi dari tandan kosong aren dengan metode hidrolisis asam menggunakan asam sulfat 54%, dan membandingkan antara NKS dan MKS,dari hasil TEM dapat diketauhi bahwa dimensi dari NKS tandan kosong aren memiliki ukuran nanomater dan memiliki
ukuran bola (spherical).Difraktogram XRD menunjukkan bahwa nanoselulosa yang dihasilkan merupakan selulosa tipe II dan mengandung selulosa dengan kristalin yang tinggi.
2.6 Nanokomposit Nanokomposit polimer didefinisikan sebagai polimer yang mengandung bahan pengisi dengan ukuran yang lebih kecil dari 100 nm. Berbeda dengan komposit biasa, nanokomposit polimer pada umunya berisi sejumlah kecil bahan pengisi yang berukuran nanometer (Siquiera dkk, 2010). Nanokomposit digunakan pada plastik, dipelopori oleh pabrik mobil General Motor dan Toyota. Plastik akan lebih tahan gores, ringan-kuat sehingga mengurangi biaya bahan bakar, umur pemakaian lebih panjang. Industri transportasi akan dapat menarik keuntungan dari penggunaan nanokomposit ini. Nanokomposit dapat meningkatkan ketahanan dan permeabilitas sehingga bagus untuk penggunaan pengemas makanan dan minuman.Nanokomposit dilapisi dengan butyl rubber membuat bola tenis lebih memantul dan tahan lama (Subiyanto, 2010 ).
2.7 TeknikPencelupan Prosses pencelupan(dipping) merupakan suatu teknik yang menghasilkan produk dari lateks yang dilakukan dengan mencelupkan suatu pembentuk yang telah dibersihkan ke dalam formulasi lateks. Sewaktu pembentuk dicelupkan ke dalam formulasi lateks, partikel-partikel lateks akan bersentuhan dengan permukaan pembentuk, sehingga mengalami proses hilangnya kestabilan lateks dan membentuk suatu lapisan atau film. Film yang terbentuk mempunyai bentuk yang sama dengan pembentuk yang dicelup ke dalam formulasi lateks tersebut dan apabila film ini dikeringkan maka akan menghasilkan produk lateks. Dalam industri yang menghasilkan produk lateks, proses pencelupan merupakan suatu teknik penting dalam industri lateks karet alam.Teknik pencelupan ini selalu digunakan untuk menghasilkan produk yang tipis dan berongga seperti
43
sarung tangan, balon, dan sebagainya. Teknik pencelupan terdiri dari 3 (tiga) cara utama yaitu pencelupan langsung (straight dipping), pencelupan berkoagulan (coagulant dipping), dan pencelupan pengaktifan panas (heat sensitized dipping). Setiap pencelupan ini digunakan untuk menghasilkan produk lateks yang berbeda (Blackley, 1966; Hannam, 1973). 1.
Pencelupan langsung Pencelupan langsung(straight dipping) merupakan teknik yang paling mudah
dan selalu dipakai untuk menghasilkan produk yang sangat tipis (ketebalan ~0,05 mm)
seperti
pada
pembuatan
kondom.
Teknik
pencelupan
langsung,
tidakmenggunakan bahan pemantap lateks.Hanya pembentuk yang telah bersih dan dikeringkan dimasukkan ke dalam formulasi lateks yang kemudian dikeringkan untuk mendapatkan produk. 2.
Pencelupan berkoagulan Pencelupan
berkoagulan
(coagulant
dipping)juga
merupakan
teknik
pencelupan yang digunakan untuk menghasilkan produk yang mempunyai ketebalan sederhana yaitu 0,2-0,8 mm seperti sarung tangan. Pada teknik ini, bahan kimia yang disebut dengan koagulan dilapisi pada permukaan pembentuk. Apabila pembentuk yang dilapisi koagulan dicelupkan ke dalam lateks, maka akan terbentuk suatu lapisan film pada permukaan tersebut. Pencelupan berkoagulan pada umumnya ada dua jenis utama, yaitu pencelupan berkoagulan basah dan pencelupan berkoagulan kering.Pencelupan berkoagulan kering merupakan teknik pencelupan yang lebih sering digunakan,karena teknik pencelupan berkoagulan basah, pada saat dilakukan pencelupan ke dalam formulasi lateks maka koagulan akan menetes ke dalam tangki formulasi lateks, yang menyebabkan hilangnya kestabilan lateks, dan menyebabkan partikel kecil karet tidak dapat digunakan untuk menghasilkan produk, karena partikel karet ini akan melekat pada permukaan produk lateks dan mengakibatkan kecacatan pada produk (Harahap dkk, 2006).
3.
Pencelupan pengaktifan panas Pencelupan pengaktifan panas(heat sensitized dipping) merupakan teknik
yang digunakan untuk menghasilkan produk yang sangat tebal yaitu ~4 mm. Sejumlah nilai pengaktifan panas yang sesuai akan dimasukkan ke dalam formulasi lateks. Pengaktifan panas yang selalu digunakan ialah kumpulan bahan polimer yang dapat melarut dalam lateks pada suhu kamar dan mengendap apabila suhu ditingkatkan, seperti polyvinyl methyl ether(PVME). Apabila pembentuk yang dipanaskan dicelupkan ke dalam formulasi lateks, agent pengaktif panas yang berdekatan dengan permukaan pembentuk akanmengendap dan menangkap partikelpartikel lateks, dan akan menghasilkan film lateks yang tebal (Azahari, 2000).
2.8
Transmission Electron Microscopy
Transmission Electron Microscopy (TEM) merupakan alat karakterisasi yang penting untuk mendapatkan gambar nanomaterial, dimana dapat diperoleh ukuran kuantitatif partikel, distribusi ukuran, dan morfologi. Pada analisa TEM elektron lebih digunakan dari pada cahaya untuk menyinari sampel. Ketika elektron ditransmisikan pada spesimen, maka berkas elektron ini dikatakan mengalami transmisi. Transmisi elektron berbanding terbalik dengan ketebalan spesimen. Bidang spesimen yang lebih tebal akan mengalami transmisi elektron lebih sedikit dan akan terlihat lebih gelap, sedangkan daerah tipis akan mengalami lebih banyak transmisi elektron, maka akan terlihat lebih terang. Semua elektron memiliki energi yang sama dan memasuki spesimen secara normal ke permukaannya selebaran elektron ini dapat disusun menggunakan lensa magnetik untuk membentuk pola bintik-bintik. Masingmasing bintik sesuai dengan jarak atom tertentu. Pola ini kemudian dapat menghasilkan informasi orientasi, susunan atom, dan fase pada bidang yang diperiksa (Vountou, 2008).
45
2.9
Scanning ElektronMicroscopy
Adanya material lain dalam suatu matriks seperti dispersi material tersebut menyebabkan
terjadinya
perubahan
pada
permukaan
spesimen,
untuk
melihatperubahan dalam bahan tersebut dapat dilakukan suatu analisa permukaan, dan alat yang biasa digunakan adalah SEM.SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara makroskopik.Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar-X, elektron sekunder, absorpsi elektron. Teknik SEM pada hakikatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan.Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan yang diperoleh merupakan gambar tofografi dengan segala tonjolan, lekukan, dan lubang permukaan.Gambar tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor dan diteruskan ke monitor, pada monitor akan diperoleh gambar yang khas yang menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar pada monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam kedalam suatu disket. Sampel yang akan dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan konduktifitasnya rendah sehingga saat dilakukan analisa SEM bahan polimer harus dilapisi dengan bahan konduktor yang tipis. Konduktor yang biasa digunakan adalah perak, tetapi semakin berkembangnya teknologi pengguaan emas atau campuran emas dan paladium akan lebih baik (Subaer, 2007).
2.10
Spektroskopi Fourier Transform Infrared
Spektroskopi infrared merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi inframerah pada berbagai bilangan gelombang. Kebanyakan spektrum inframerah merekam bilangan gelombang atau frekuensi versus %T. Bila suatu
senyawa menyerap radiasi pada suatu bilangan gelombang tertentu, intensitas radiasi yang diteruskan oleh sampel akan berkurang. Ini mengakibatkan suatu penurunan dalam %T dan nampak di dalam suatu spektrum sebagai suatudip, yang disebut dengan pita absorpsi (Fessenden, 1986). Penggunaan spektroskopi infrared digunakan untuk mengidentifikasi suatu senyawa. Hal ini dikarenakan spektrum FTIR suatu senyawa sangat khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda juga. Vibrasi ikatan kimia pada suatu molekul menyebabkan pita serapan hampir seluruh di daerah IR 4000-450 cm-1 (Silverstein dkk, 1981).
2.11 Uji Mekanik Penggunaan bahan polimer sebagai bahan teknik misalnya dalam industri suku cadang mesin, konstruksi bangunan dan transportasi, tergantung sifat mekanisnya, yaitu gabungan antara kekuatan yang tinggi dan elastisitas yang baik.Sifat mekanis yang khas ini disebabkan oleh adanya dua macam ikatan dalam bahan polimer, yakni ikatan kimia yang kuat antara atom dan ineteraksi antara rantai polimer yang lebih lemah (Wirjosentono, 1995).
2.11.1 Kekuatan tarikdan regangan Kekuatan tarik (𝜎𝜎) diartikan sebagai beban (F) yang diberikan terhadap spesimen, dalam unit newtons (N), dan 𝐴𝐴𝑜𝑜 luas penampang mula-mula sebelum diberi beban
(m2atau inchi2), dan satuan stress adalah megapascals, MPa (SI) (dimana 1 MPa = 106 N/m2). F maks
σ=
A0
(2.1)
Strain ε didefinisikan sebagai: 𝜀𝜀 =
𝑙𝑙 𝑖𝑖− 𝑙𝑙 𝑜𝑜 𝑙𝑙 0
(2.2)
47
Dimana 𝑙𝑙0 adalah panjang mula-mula sebelum diberi beban, dan 𝑙𝑙𝑖𝑖 adalah
panjang setelah diberi beban. Hubungan antara stress dan strain, adalah: σ = Eε
(2.3)
Ini diketahui sebagai hukum Hook’s, perbandingan tetap Eyang merupakan modulus dari elastisitas, atau modulus Young’s. Modulus Young’s merupakan ukuran suatu bahan yang diartikan ketahanan material tersebut terhadap deformasi elastis, semakin besar modulusnya maka semakin kecil regangan elastis yang dihasilkan akibat pemberian tegangan. Hubungan antara strain dan stress dapat ditunjukkan dengan kurva hasil uji tarik (Callister, 2007).
B
C
A
0 Gambar 2.6Kurva Tegangan-Regangan Bahan Polimer Grafik ini menunjukkan bahwa dari bagian awal kurva tegangan-regangan mulai dari titik 0 (nol) sampai A merupakan daerah elastis, pada daerah ini berlaku hukum Hooke. Titik A merupakan batas plastis yang didefenisikan tegangan terbesar yang dapat ditahan oleh suatu bahan tanpa mengalami regangan permanen apabila beban ditiadakan, bila tegangan dilepaskan spesimen bahan akan kembali pada bentuk semula (bahan bersifat elastis).Jika jarak titik 0 (nol) dan A besar, maka bahan itu dikatakan kenyal (ductile).Titik B merupakan tegangan tarik maksimum yang masih bisa ditahan oleh bahan. Titik C merupakan titik putus/patah. Daerah antara
titik A sampai titik C disebut deformasi plastis, bila bahan tidak bersifat plastis maka spesimen bahan akan putus setelah titik A. Jika pemutusan terjadi segera setelah melewati batas elatis maka bahan itu dikatakan rapuh. Titik luluh atau batas proposional adalah titik di mana suatu bahan apabila diberi suatu beban memasuki fase peralihan elastis ke plastis, yaitu titik sampai di mana penerapan hukum Hooke masih bisa ditolerir. Dalam praktek, biasanya batas proporsional sama dengan batas elastis. Deformasi plastis yaitu perubahan bentuk yang tidak kembali ke keadaan semula, yaitu bila bahan ditarik sampai melewati batas proporsional. Ultimate tensile strength (UTS) merupakan besar tegangan maksimum yang diperoleh dari uji tarik. Sedangkan titik putus merupakan besar tegangan di mana bahan yang diuji putus atau patah.
2.12 Thermogravimetric Analysis Metode termal adalah sebuah bagian dari teknik dimana sifat fisik dan kimia dari zat atau produk reaksi tersebut diukur sebagai fungsi temperatur, zat/substansi sebagai objek yang dikontrol temperaturnya. Aplikasinya untuk kualiti kontrol, penelitian produk industri seperti polimer, farmasi, tanah, mineral, dan logam. Teknik-teknik yang dicakup dalam metode analisis termal adalah analisistermogravimetri (thermogravimetry analysis = TGA) yang didasari pada perubahan berat akibat pemanasan. Thermogravimetri analysis (TGA) adalah teknik yang digunakan untuk mengukur perbedaan massa sebagai fungsi temperatur dan waktu sebagai isothermal. Metode analisis termal ini berguna untuk mengetahui formulasi materi hasil dekomposisi termal. Dapat dilakukan dengan memvariasikan laju pemanasan dan mencatat perubahan beratnya (Hatakeyam, 1998).Metode TGA yang paling banyak dipakai didasarkan pada pengukuran berat kontinyu terhadap suatu neraca sensitif (disebut neraca panas) ketika suhu sampel dinaikkan dalam udara atau dalam suatu atmosfer yang inert. TGA ini dinyatakan sebagai TGA nonisothermal. Data dicatat
49
sebagai berat versus temperatur. Hilangnya berat bisa timbul dari evaporasi lembab yang tersisa atau pelarut. Tetapi pada suhu-suhu yang lebih tinggi terjadi dari terurainya polimer,selain memberikan informasi mengenai stabilitas panas (Stivens, 2001).