BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, yang umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Sedangkan gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana akan memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009). Kriteria PGK dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: a. Kelainan patologis b. Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan 2. LFG<60ml/mnt/1,73m² selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
2.1.1. Epidemiologi Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidensi PGK diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara- negara berkembang lainnya,
Universitas Sumatera Utara
insidensi ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun (Suwitra, 2009). Laporan USRDS (The United States Renal Data System) tahun 2008 menunjukkan adanya peningkatan populasi penderita PGTA di Amerika Serikat yaitu 1.589/1.000.000 penduduk tahun 2005 menjadi 1.641/1.000.000 penduduk tahun 2006. Susalit (2009) menyebutkan di Indonesia prevalensi rate penderita PGTA yang menjalani dialisis adalah 10,2 per satu juta penduduk pada tahun 2002, 11,7 per satu juta penduduk pada tahun 2003, 13,8 per satu juta penduduk pada tahun 2004, 18,4 per satu juta penduduk pada tahun 2005, dan 23,4 per satu juta penduduk pada tahun 2006.
2.1.2. Klasifikasi PGK diklasifikasikan atas dua hal, yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut (Suwitra, 2009):
LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan *) 72x kreatinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal Stadium
Deskripsi
LFG (mL/menit/1.73m²)
1
Kerusakan ginjal disertai LFG normal ≥90 atau meninggi
2
Penurunan ringan LFG
60-89
3
Penurunan moderat LFG
30-59
4
Penurunan berat LFG
15-29
Universitas Sumatera Utara
5
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis
2.1.3. Penatalaksanaan Penatalaksanaan PGK meliputi (Suwitra, 2009) a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid c. Memperlambat perburukan fungsi ginjal d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi f. Terapi pengganti ginjal Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy) diperlukan pada penderita PGK stadium terminal, ketika LFG<15ml/mnt/1,73m², dimana ginjal tidak dapat mengkompensasi
kebutuhan
tubuh
untuk
mengeluarkan
zat-zat
sisa
hasil
metabolisme yang dikeluarkan melalui pembuangan urin, mengatur keseimbangn asam-basa dan keseimbangan cairan serta menjaga kestabilan lingkungan dalam. Tujuan terapi pengganti ginjal untuk mempertahankan kehidupan, meningkatkan kualitas
hidup
sehingga
penderita
dapat
beraktifitas
seperti
biasa
serta
mempersiapkan transplantasi ginjal apabila memungkinkan. Terapi pengganti ginjal yang tersedia saat ini ada 2 pilihan: dialisis dan transplantasi ginjal. Ada 2 metode dialisis yaitu Hemodialisis dan Peritoneal Dialisis (Suwitra, 2009)
2.1.4. Komplikasi Penyakit ginjal kronik dapat mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Saat terjadi penurunan LFG sedang, akan terjadi komplikasi berupa hiperfosfatemia, hipokalsemia, hipertensi, anemia dan hiperurikemia. Jika terjadi penurunan LFG berat akan terjadi komplikasi berupa asidosis metabolik dan gangguan keseimbangan
Universitas Sumatera Utara
elektrolit berupa hiperkalemia dan hiponatremia (Sudoyo A.W., Setiayohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, 2009)
2.2. Gangguan Mineral Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik Penderita penyakit ginjal kronik (PGK) mempunyai resiko kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap tingginya, resiko kematian ini. Faktor-faktor tersebut antara lain: gangguan kardiovaskuler,
diabetes,
hipertensi,
inflamasi,
dislipidemia,
dan
gangguan
metabolisme mineral. Salah satu diantara gangguan metabolisme mineral adalah gangguan metabolisme fosfat dan kalsium. Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat merupakan salah satu komplikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang harus mendapat perhatian karena mempunyai peran yang sangat besar pada morbiditas dan mortalitas PGK. Pada PGK, akibat terhambatnya ekskresi fosfat, akan terjadi hiperfosfatemia yang secara fisikokimiawi akan mengakibatkan terjadinya hipokalsemia. Selanjutnya, hiperfosfatemia dan hipokalsemia akan merangsang peningkatan sekresi hormon paratiroid (HPT). Hiperfosfatemia-hipokalsemia maupun hiperfosfatemia dan hiperkalsemia, keduanya memberikan kontribusi yang cukup besar dalam morbiditas dan mortalitas PGK. Block dkk (1998), melaporkan peningkatan resiko kematian yang berkaitan dengan hiperfosfatemia pada 6407 penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis regular. Dilaporkan bahwa, penderita dengan kadar fosfat serum 6,5 mg/dl memperlihatkan angka kematian yang meningkat sebesar 27% (Jean G, Chazot C, Charra B. 2006).
2.2.1. Hiperfosfatemia pada PGK Hiperfosfatemia jarang terjadi pada populasi normal, namun pada PGK prevalensinya hampir 70%. Hiperfosfatemia pada PGK terjadi akibat kegagalan ginjal dalam mengekskresi fosfat, tingginya asupan fosfat atau peningkatan pelepasan fosfat
Universitas Sumatera Utara
dari ruang intraseluler. Ginjal merupakan organ ekskresi utama bagi fosfat, sehingga hampir tidak mungkin terjadi hiperfosfatemia pada fungsi ginjal yang masih normal. Ginjal masih mampu mempertahankan keseimbangan fosfat pada klirens kreatinin di atas 30 ml/menit. Hiperfosfatemia mengakibatkan berbagai konsekwensi yang cukup memberikan kontribusi pada mortalitas dan morbiditas PGK. Konsekuensi hiperfosfatemia pada PGK adalah hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi renal, kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak serta kalsifilaksis . (Jean G, Chazot C, Charra B. 2006).
Kalsifikasi kardiovaskuler ini disebabkan oleh perubahan fenotip pada vascular smooth muscle cell (VSMC) oleh karena peningkatan regulasi oleh faktor transkripsi. VSMC kemudian berubah menjadi osteo atau chondrocytic -like cell dan mendeposisikan protein kolagen dan non kolagen ke dalam intima atau media sehingga penumpukan kalsium dan fosfat ke dalam pembuluh matrix terjadi. The National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative merekomendasikan untuk mengontrol kadar fosfat serum 2,5-5,5 mg/dl (Quniby WY, 2004).
2.2.2. Hipokalsemia pada PGK Hipokalsemia mengacu pada konsentrasi serum kalsium yang lebih rendah dari normal, yang terjadi dalam beragam situasi klinis. Nilai kalsium serum yang normal pada dewasa adalah 8,9-10,1 mg/dL. Hipokalsemia
pada PGK disebabkan oleh
gangguan penyerapan kalsium di usus. Penurunan aktivitas hydroxylase 1𝑎 menyebabkan gangguan pembentukan metabolit aktif vitamin D di ginjal yaitu 1,25dihidroksikalsiferol.
Kelainan
yang
berkaitan
dengan
hipokalsemia
adalah
hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme sekunder.
Universitas Sumatera Utara
Hipokalsemia umumnya terjadi pada pasien gagal ginjal karena pasien ini sering mengalami kenaikkan kadar serum fosfat. Hiperfosfatemia biasanya menyebabkan penurunan resiprokal dalam kadar serum kalsium (Cooper MS, Gittoes NJ, 2008).
2.2.3. Hiperparatiroidisme sekunder Hiperparatiroidisme sekunder adalah produksi hormon paratiroid yang berlebihan karena rangsangan produksi yang tidak normal. Secara khusus, kelainan ini berkitan dengan gagal ginjal akut. Tiga faktor yang berperan terhadap patogenesis hiperparatiroidisme
sekunder
adalah,
hiperfosfatemia,
hipokalsemia
dan
hipokalsitriolemia (kekurangan Calcitriol/ vitamin D Analog) (Suwitra K, 2009).
2.2.4. Peningkatan Produk Kalsium dan Fosfat Hasil produk kalsium fosfat serum yang normal adalah <55 mg/dl. Peningkatan produk kalsium dan fosfat serum berhubungan kuat dengan resiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler. Hal ini diduga berkaitan dengan kalsifikasi jaringan seperti miokard, katup jantung, arteri koroner, dan arteri perifer (London GM et al, 2003). 2.2.5. Klasifikasi Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik (GMT-PGK) ialah suatu sindrom klinik yang terjadi akibat gangguan sistemik pada metabolisme mineral dan tulang pada PGK. Sindrom ini mencakup salah satu atau kombinasi dari hal-hal berikut (Suwitra K, 2009) : 1. Kelainan laboratorium yang terjadi akibat gangguan metabolisme kalsium, fosfat, HPT dan vitamin D. 2. Kelainan
tulang
dalam
hal
turnover,
mineralisasi,
volume,
pertumbuhan linier dan kekuatannya.
Universitas Sumatera Utara
3. Kalsifikasi vaskuler atau jaringan lunak lain.
Klasifikasi GMT-PGK tergantung pada ada atau tidaknya salah satu atau kombinasi dari ketiga komponen diatas.
Tabel 3. Klasifikasi GMT-PGK Tipe
Laboratorium Abnormal
Gangguan Tulang
Kalsifikasi vaskuler atau jaringan lunak
L
+
-
-
LT
+
+
-
LK
+
-
+
LTK
+
+
+
2.2.6. Kalsifikasi kardiovaskuler dan jaringan ikat lunak Hiperfosfatemia berkontribusi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien PGK melalui terjadinya kalsifikasi jaringan lunak, terutama pada kalsifikasi kardiovaskuler. Dari otopsi dilaporkan bahwa, kalsifikasi kardiovaskuler terjadi pada hampir 60 % pasien PGK yang menjalani hemodialisis. Kalsifikasi ini terjadi pada miokardium, perikardium, sistem konduksi, aorta, katup mitral dan arteri koroner. Keadaan ini dapat mengakibatkan aritmia, disfungsi ventrikel, stenosis ataupun regurgitasi aorta dan mitral, complete heart block, iskemia miokard dan payah jantung kongestif. Faktor-faktor yang memicu terjadinya kalsifikasi kardiak ini adalah hiperparatiroidisme, hiperfosfatemia-hiperkalsemia
Universitas Sumatera Utara
(peningkatan produk Ca x P), dan alkalinisasi jaringan. Pasien-pasien dengan kadar fosfat yang lebih dari 6,5 mg/dl mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyakit arteri koroner (termasuk infark miokard dan penyakit jantung aterosklerotik). Resiko relatif kematian akibat penyakit jantung koroner 52 % lebih tinggi pada pasien-pasien dengan kadar fosfat > 6,5 mg/dl dibandingkan dengan kadar fosfat < 6,5 mg/dl. Prediktor yang paling nyata dalam terjadinya kalsifikasi kardiak ini adalah tingginya perkalian produk Ca x P. Pasien-pasien dengan dialisis reguler yang mempunyai perkalian produk Ca x P lebih dari 55 mg²/dL² mempunyai prevalensi kalsifikasi katup mitral lebih tinggi bermakna dibandingkan normal. KDIGO menetapkan sasaran perkalian produk Ca x P kurang dari 55 mg² / dl². Selain di jaringan kardiovaskuler, hiperfosfatemia juga dapat mengakibatkan kalsifikasi pada jaringan ikat lunak lain seperti otak, subkutan, periartikuler, paru dan jaringan interstitial ginjal (Kettler M, Floege J, 2006).
2.3. Penyakit Arteri Perifer Penyakit arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD) merupakan suatu kumpulan kelainan yang ditandai oleh penyempitan atau oklusi arteri yang dapat menyebabkan penurunan perfusi jaringan ke ekstremitas bawah. PAP yang disebabkan oleh oklusi aterosklerotik
pada arteri ekstremitas bawah merupakan
manifestasi yang penting dari aterosklerosis sistemik dimana derajat berat PAP berhubungan erat dengan resiko terjadinya infark miokard akut, stroke iskemik dan kematian akibat penyakit vaskular. Lumen arteri pada ekstremitas bawah menjadi tersumbat secara progresif oleh plak atau lesi atherosklerotik, terutama pada pembuluh darah arteri perifer. Arteri yang umumnya terkena, berdasarkan kejadiannya adalah arteri femoralis, poplitea, dan tibialis (Creager MA, Dzau VJ, 2006). Para dokter sering kali salah mendiagnosa penyakit ini sebagai kelainan muskoskeletal atau neurologis. Pasien dengan PAP simptomatik mempunyai gangguan fungsi yang sering sulit dalam melakukan aktivitas sehari-hari. PAP
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu prediktor adanya kejadian kardiovaskular seperti miokard infark atau stroke dan kelainan vaskuler berhubungan kematian (Stoyioglau A, Jaff MR, 2004)
2.3.1 Epidemiologi Pada penduduk Amerika, penyakit arteri perifer hampir mencapai 8-12 juta orang dan meningkat seiring dengan pertambahan usia. Di Amerika Serikat terdapat 4,3 % individu usia di atas 40 tahun dan 14,5 % di atas 70 tahun yang mendapat PAP. Studi epidemiologi mendapatkan angka prevalensi berkisar 1,6-12%, sedangkan beberapa studi lain mendeteksi penyakit tersebut dengan tes noninvasif mendapatkan prevalensi sebesar 3,8-33 % (Norgren L et al, 2007) Prevalensi PAP meningkat tajam sesuai dengan pertambahan usia, dari 3 % pada pasien <60 tahun hingga 20 % pada pasien >75 tahun. Pada Framingham Heart Study didapati usia ≥65 tahun meningkatkan resiko PAP. Meskipun PAP didapati juga pada usia ≤50 tahun, tetapi jumlah kasusnya sangat kecil. Prevalensi PAP sangat bervariasi, bergantung pada populasi mana yang diteliti. Di Amerika Serikat, prevalensinya pada penderita yang baru menjalani hemodialisis berkisar antara 14-15%. Berdasarkan HEMO study dan USRDS, pada penderita yang menjalani hemodialisis kronis, prevalensinya meningkat menjadi 25% (O’hare et al, 2002). 2.3.2. Faktor Resiko Menurut Penelitian Framingham Heart Study, Cardiovascular Health Study, PAD Awareness, Risk and Treatment: New Resources for Survival (PARTNERS) program, NHANES dan Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) Study, menyatakan bahawa faktor resiko utama PAP yaitu peningkatan usia, merokok, diabetes melitus, dislipidemia dan hipertensi. a. Usia
Universitas Sumatera Utara
Prevalensi PAP meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada Framingham Heart Study mendapati peningkatan resiko PAP terjadi pada ≥65 usia tahun. NHANES mendapatkan hubungan yang kuat antara bertambahnya usia (≥70 tahun) dan prevalensi PAP dimana pada
usia 40 tahun prevalensinya hanya 4,3%
dibandingkan dengan usia 70 tahun atau lebih menjadi 14,5%. Criqui dkk melaporkan bahwa prevalensi PAP (dengan ABI normal) 2-3 % pada individu dengan usia ≤ 50 tahun dibanding usia 75 tahun atau lebih yang menjadi 20%. PARTNERS program mendapatkan prevalensinya pada individu yang berusia di atas 70 tahun adalah 29%. b. Merokok Merokok merupakan salah satu faktor resiko yang sangat penting terjadi PAP dan komplikasinya : intermitten claudicatio dan critical limb ischemia. Merokok meningkatkan resiko terjadinya PAP 4 kali lipat. Jumlah dan lamanya merokok berhubungan secara langsung dengan progresifitas PAP (Meijer WT et al, 2007). Peranannya adalah efek aterogenik dari rokok. Gabungan aktivasi dari sistem simpatetik, efek vasokonstriksi, oksidasi dari LDL kolesterol, penghambatan pembebasan dari plasminogen aktivator dari endothelium, peningkatan kadar fibrinogen, peningkatan aktivitas trombosit, peningkatan ekspresi dari faktor jaringan, dan disfungsi endotel merupakan efek aterogenik dari rokok (Asgeirsdottir, L.P., Agnarssonv, U., Jonsson, G.S., 2001). Perbandingan merokok dan tidak merokok pada PAP didapati dua kali lebih sering untuk dilakuan amputasi dan terjadi critical limb ischemia pada yang merokok. Hubungan merokok dan PAP dua kali lebih kuat dibandingkan antara merokok dan penyakit jantung koroner.
c. Diabetes Melitus Diabetes melitus meningkatkan resiko PAP asimptomatik atau simptomatik PAP sebanyak 1,5-4 kali lipat dan berhubungan dengan kejadian kardiovaskular dan mortalitas pada individu dengan PAP.
Universitas Sumatera Utara
Pada Framingham heart study, didapati 20% pasien PAP yang simptomatik menderita diabetes. Diagnosa PAP dengan menggunakan ABI oleh NHANES mendapati 26% menderita diabetes, sementara Edinburgh Artery Study yang menggunakan kuesioner WHO atau nilai ABI <0,90 mendapati prevalensi PAP lebih tinggi pada penderita diabetes (20,6 %) berbanding pada kadar glukosa yang normal (12,5%). Pada pasien diabetes, prevalensi PAP berhubungan dengan usia dan lamanya menderita diabetes. Tingkat keparahan diabetes berperan penting dalam terjadi PAP. Terdapat 28 % peningkatan resiko PAP pada setiap peningkatan HbA1C dan lamanya menderita hiperglikemi (Bartholomew JR, Olin JW, 2006) . Penyakit oklusi pada arteri tibialis mempunyai hubungan yang sangat erat dengan diabetes. Mikroangiopati atau neuropati lebih sering dialami oleh pasien diabetes dengan PAP yang menyebabkan gangguan penyembuhan luka. Pasien PAP dengan diabetes mempunyai resiko tinggi terjadi ulus iskemik dan gangren. d. Dislipidemia Studi PARTNERS menemukan prevalensi PAP meningkat 77% pada pasien dislipidemia. Menurut Framingham Heart Study, terjadi peningkatan dua kali lipat pada intermitten claudication apabila terjadi peningkatan kolesterol total. Bentuk dislipidemia paling sering pada pasien PAP adalah kombinasi penurunan HDL kolesterol dengan peningkatan trigliserida yang sering didapati pada pasien sindroma metabolik dan diabetes. Pada Cardiovascular Health study keduanya didapati berhubungan dengan penurunan nilai ABI. ARIC study dan Edinburgh Artery Study pada pasien diabetes didapati hanya peningkatan trigliserida yang berhubungan dengan PAP (Bartholomew JR, Olin JW, 2006). e. Hipertensi Hampir semua penelitian epidemiologi menunjukkan hubungan yang erat antara hipertensi dengan PAP, dimana 50-92% didapati PAP dengan hipertensi.
Pada
penelitian NHANES dan PARTNERS melaporkan hubungan PAP dengan hipertensi masing-masing 74% dan 92%. Cardiovascular Health Study melaporkan 52% pasien
Universitas Sumatera Utara
dengan nilai ABI kurang dari 0,90 menghidap tekanan darah tinggi. Peningkatan 2,54 kali lipat resiko klaudikasio intermiten pada pria dan wanita dengan hipertensi diperoleh dari Framingham Study. Pada Systolic Hypertension in Elderly (SHEP) melaporkan 25,5 % partisipan dengan nilai ABI <0,90. The Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure menyatakan bahwa PAP merupakan faktor ekuivalen terjadi penyakit jantung koroner. Pasien dengan hipertensi dan PAP mempunyai resiko yang tinggi terjadi strok dan miokard infark. f. Lama HD Prevalensi PAP sangat bervariasi, bergantung pada populasi mana yang diteliti. Berdasarkan HEMO study dan USRDS di Amerika Serikat, prevalensinya pada penderita yang baru menjalani hemodialisis berkisar antara 14-15%. Sedang pada penderita yang menjalani telah hemodialisis kronis, prevalensinya meningkat menjadi 25%. 2.3.3. Patofisiologi Aterosklerosis merupakan proses kompleks yang melibatkan disfungsi endotel, gangguan lipid, aktivasi platlet, trombosis, stres oksidatif, aktivasi otot polos vaskuler dan faktor genetik. Aterosklerosis sering terjadi pada arteri bifurkatio dan cabangnya dimana terjadi gangguan terhadap mekanisme ateroproteksi endogen yang menghasilkan efek gangguan aliran pada sel endotel. Peningkatan usia, diabetes melitus, merokok, peningkatan kolesterol total dan low density lipoprotein (LDL) dan hipertensi merupakan faktor resiko yang berperan penting dalam proses inisiasi dan aselerasi aterosklerosis. Tingkatan aterosklerosis dapat dibagi atas adanya lesi, pembentukan lapisan lemak dan ateroma fibroproliferatif. Adanya lesi berasal dari disfungsi endotel, dimana lapisan lemak menyebabkan adanya lesi inflamasi yang pertama kali mempengaruhi arteri intima dan terjadi pembentukan sel busa. Lapisan lemak terdiri
Universitas Sumatera Utara
dari sel otot polos, monosit, makrofag dan sel T dan B. Atero fibroproliferatif berasal dari lapisan lemak yang terdiri dari banyaknya sel otot polos yang berisi lemak. Akumulasi sel yang membuat lapisan lemak dan atero proliferatif menghasilkan lesi tahap lanjutan. Lesi tahap lanjut kaya dengan sel yang terdiri dari sel dinding vaskuler intrinsik (endotel dan otot polos) dan sel-sel inflamasi (monosit, makrofag dan T limposit). Pembentukan aterosklerosis yang dapat menyebabkan peningkatan ukuran pembuluh darah adalah proses awal dari kompensasi arteri. Stenosis dan sindroma iskemik kronis akan terjadi apabila lesi tahap lanjut menggangu lumen sehingga akhirnya aliran darah menjadi terbatas. Kejadian arteri akut terjadi jika adanya sumbatan fibrous yang menggangu; hasilnya terjadi pembukaan prothrombotic necrotic lipid core dan jaringan subendotel yang memudahkan pembentukan trombus dan terjadi oklusi aliran darah (Bartholomew JR, Olin JW, 2006).
2.3.4. Klasifikasi Pada terminologi klinis maka PAP dapat dibagi menjadi 4 kelas menurut Fontaine (tabel 3) :
Tabel 4. Klasifikasi PAP menurut Fontaine
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi PAP menurut Fontaine di atas praktis digunakan, namun belakangan kurang sering digunakan terutama bila dihubungkan ke aspek kualitas hidup oleh karena sering dijumpainya salah penempatan tingkat misalnya bisa saja penderita tidak dijumpai klaudikasio intermiten dan karena tidak sering olah raga penderita ditempatkan pada kelas asymptomatic, padahal kenyataanya bisa penderita sudah pada tingkat IIb. Klasifikasi yang lain adalah klasifikasi Rutherford (Tabel 4). Klasifikasi ini membagi PAP menjadi empat derajat dan 6 kategori, di mana masing-masing derajat satu kategori kecuali derajat I dibagi menjadi 3 kategori. Klasifikasi ini sangat berguna pada studi epidemiologi dalam mengidentifikasi PAP baik yang simptomatik maupun yang tidak simptomatik.
Tabel 5. Klasifikasi PAP menurut Rutherford
Universitas Sumatera Utara
Grade Kategori
Klinis
0
0
Asymptomatic
I
1
Klaudikasi ringan
2
Klaudikasi sedang
3
Klaudikasi berat
II
4
Rasa sakit waktu istirahat kerana iskemia
III
5
Hilang sebagian kecil jaringan
IV
6
Ulserasi atau gangren
2.3.5. Manifestasi Klinik Manifestasi klinik dari PAP bisa: tanpa gejala, ataupun bergejala seperti klaudikasio intermiten, dan rasa sakit pada ekstremitas bawah waktu istirahat. Lebih dari 50% kasus PAP adalah tanpa gejala, baik pada waktu olahraga ataupun istirahat. Klaudikasio intermiten bisa sebagai manifestasi tunggal dari PAP yang bergejala awal (Bart E et al, 2005). PAP pada aortoiliaka bisa bermanifestasi sebagai rasa sakit pada paha dan pinggul, sedangkan PAP pada femoral ataupun pada poplitea bermanifestasi berupa sakit di betis. Gejala biasanya dicetuskan oleh berjalan dengan jarak < 200 meter dan manifestasinya menghilang setelah istirahat. Peredaran darah kolateral bisa berkembang dan ini akan mengurangi gejala, namun bila gagal dalam mengontrol faktor presipitasi ataupun faktor resiko, maka PAP ini akan makin berat. Rasa sakit pada PAP tidak dijumpai pada perobahan posisi dari duduk ke berdiri atau sebaliknya. Keadaan yang lebih menghawatirkan adalah rasa sakit waktu istirahat (ischemic rest pain). Keadaan ini dijumpai bila PAP dsertai keadaan yang menimbulkan curah jantung yang kurang. Pada keadaan ini rasa sakit akan hilang bila
Universitas Sumatera Utara
ekstremitas diposisikan tergantung (menjuntai) sehingga perfusi akan membaik dengan gravitasi. Pemeriksaan fisik dari gangguan pembuluh darah disebut sangat kritis bila ditemukan: tanda-ptanda klasik ″5 P’s″: yaitu pulselessness, paralysis, paraesthesia, pain, dan pallor. Kita sangkakan sudah terjadi iskemia kaki yang sangat kritis dan keharusan untuk dilakukan evaluasi dan konsultasi bila dijumpai paralysis dan paraesthasia. Desah dari jantung yang tak normal juga dinilai. Semua pembuluh darah perifer termasuk carotid, abdominal, dan femoral diperiksa untuk kualitas pols dan adanya bruit. Dikatakan pada a. dorsalis pedis bisa tidak dijumpai adanya pols pada 5-8% subjek, tapi a.tibial posterior ada. Keduanya bisa tidak dijumpai pada 0.5% pasien. Kulit bisa atropi, dan nampak bersinar, hal ini bisa menunjukkan tanda perubahan pertumbuhan, termasuk alopesia; kering, scaly, atau kulit erythematous perubahan pigmentasi. “Fishnet pattern” (livedo reticularis), pulselessness, numbness atau cyanosis adalah manifestasi PAP lanjut. Penyembuhan yang sangat sukar juga dari ulkus pada ekstremitas bisa kita sangkakan kemungkinan PAP (Mc Gee S, Boyko E, 1998).
2.3.6 Penegakan Diagnosis dari Penyakit Arteri Perifer (PAP) Komponen pertama dari penilaian PAP adalah anamnesis (Meijer WT et al. 2007). Anamnesis ditujukan untuk mengetahui keberadaan gejala seperti adanya rasa sakit pada kaki waktu berjalan, apakah rasa sakit muncul pada perobahan posisi dari duduk ke berdiri atau sebaliknya, demikian juga untuk mengetahui lokasi rasa sakit dan apakah rasa sakit ini masih dijumpai setelah istirahat. Penyebab alternatif nyeri tungkai saat berjalan banyak, termasuk stenosis spinal, artritis, saraf yang tertekan, sindrom kompartemen kronis, sehingga hal-hal ini harus disingkirkan (Meijer WT et al, 2007). Dua komponen yang penting dalam pemeriksaan fisik yaitu inspeksi kaki dan palpasi denyut nadi perifer. Pada inspeksi diamati adanya tanda tanda rubor, palor,
Universitas Sumatera Utara
tidak adanya bulu kaki, distrophia kuku ibu jari kaki dan rasa dingin pada tungkai bawah, kulit yang kering, fisura pada kulit, hal-hal ini merupakan tanda insufisiensi vaskular. Di antara jari- jari kaki harus diamati adanya fissura, ulserasi dan infeksi (Budiono B, 2006). Palpasi denyut nadi merupakan komponen rutin yang harus dinilai. Penilaian meliputi arteri femoralis, poplitea dan dorsalis pedis. Pulsasi dicatat dengan angka 02, dimana tidak ada pulsasi, berkurang/lemah dan normal. Lemah atau tidak adanya pulsasi merupakan indikasi PAP. Denyut arteri dorsalis pedis akan menghilang pada 8,1% populasi normal, sedangkan arteri tibialis posterior pada 2,0% populasi normal. Diduga kuat adanya penyakit vaskular apabila tidak dijumpai kedua denyut nadi pada kaki. Khan dkk menyimpulkan pemeriksaan fisik haruslah dibarengi dengan tes diagnostik untuk memastikan adanya PAP (Lysen S, Joseph D, 2006) Diagnostik untuk menegakkan penyakit arteri perifer haruslah akurat, murah, diterima secara luas, mudah, dan non-invasif. Terdapat beberapa teknik pemeriksaan yang tersedia untuk mendeteksi PAP yaitu menilai adanya stenosis, tingkat keparahan, evaluasi pasien terhadap progresivitas penyakit atau respon dari terapi.
Variasi untuk diagnosa dan evaluasi penyakit arteri perifer : a. Ankle Brachial Index (ABI) Tes ini mudah dalam mendeteksi penyakit arteri perifer dengan menghitung rasio tekanan darah sistolik pembuluh darah arteri pergelangan kaki dibanding pembuluh darah arteri lengan. Pengukuran ABI dilakukan sesudah pasien berbaring 5-10 menit. Test ini mencatat TD sistolik kedua arteri brachialis dan kedua arteri dorsalis pedis serta arteri tibialis posterior. ABI dihitung pada masing-masing tungkai dengan pembagian nilai tertinggi TD sistolik pergelangan kaki dibagi nilai tertinggi TD sistolik lengan, yang dicatat nilai dengan 2 angka desimal.
Universitas Sumatera Utara
Interpretasi nilai ABI menurut: American College of Cardiology / American Diabetes Association (ACC/ADA) : > 1,3
: dugaan kalsifikasi arteri
0,91 – 1,3
: normal
0,9 – 0,8
: ringan
0,79- 0,5
: sedang
< 0,5
: berat
Hiatt dkk : >1,30
: dugaan kalsifikasi arteri
0,91 – 1,30
: normal
0,41 – 0,90
: ringan- sedang
0,00 – 0,5
: berat
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Pengukuran dan interpretasi
ankle-brachial index (ABI). DP =
dorsalis pedis; PT = posterior tibial. (Hiatt WR 2001)
ABI dapat mendeteksi lesi stenosis paling sedikit 50% pada tungkai. Pembuluh darah yang kaku bila didapati adanya kalsifikasi arteri. Hal ini sering dijumpai pada pasien diabetes, orang tua, gagal ginjal kronik dengan HD reguler dan pasien yang mendapat terapi steroid kronis (Regelmen S, Jaff M, 2006). Petunjuk praktis penanganan PAP menurut ACC/AHA merekomendasikan test ABI dilakukan pada :
Universitas Sumatera Utara
•
Individu yang diduga gangguan arteri perifer karena adanya gejala exertional leg atau luka yang tidak sembuh.
•
Usia ≥ 70 tahun
•
Usia 50 -70 tahun yang mempunyai riwayat merokok atau DM
Sebagai tambahan, ADA menyarankan skrining ABI dilakukan pada penderita DM dengan usia < 50 tahun yang mempunyai faktor resiko penyakit arteri perifer seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia, lamanya menderita DM >10tahun. b. Segmental Limb Pressure dan Pulse Volume Recording Segmental limb pressure dapat menilai adanya PAP serta lokasinya yang dicatat dengan alat dopler dari plaethysmographic cuffs yang ditempatkan pada arteri brakialis dan daerah tungkai bawah termasuk di atas paha, di bawah lutut dan pergelangan kaki. Test ini mempunyai batasan yang sama dengan ABI tentang adanya pembuluh darah yang kaku, dapat diukur tersendiri, tetapi umumnya digunakan bersamaan pulse volume recording, dimana kombinasi keduanya mempunyai akurasi diagnostik 97%. Pulse volume recording digunakan dengan sistem cuffs, dimana pneumo plaethysmograph mendeteksi perubahan volume pada tungkai melalui siklus jantung. Perubahan kontur nadi dan amplitudo juga dapat dianalisis.
Gelombang normal bila kenaikannya tinggi, puncak sistolik yang
menajam, pulsasi yang menyempit, adanya dicrotic notch sampai dasar. Gambaran gelombang yang mulai landai, puncak yang melingkar, pulsasi yang melebar, dicrotic notch yang menghilang dan melengkung ke bawah merupakan indikasi adanya penyakit arteri perifer (Regelman S, Jaff M, 2006). c. Exercise Stress Testing Pengukuran ABI dilakukan dengan kombinasi pre dan post aktivitas yang dapat digunakan untuk menilai gejala tungkai bawah yang disebabkan gangguan pembuluh darah arteri perifer dan menilai status fungsi pasien dengan gangguan pembuluh darah arteri perifer. Metode ini digunakan bila nilai ABI pada saat istirahat normal, tetapi secara klinis diduga mengalami gangguan (Sheehan P, Kikano G, 2005) .
Universitas Sumatera Utara
d. Duplex Ultrasonography Alat ini sangat berguna dalam menilai lokasi penyakit dan membedakan adanya lesi stenosis dan oklusi dalam mendeteksi PAP. Metode ini juga sebagai persiapan untuk pasien yang akan dilakukan tindakan/intervensi. Duplex Ultrasonography merupakan kombinasi analisa gelombang doppler dan kecepatan aliran doppler (Sheehan P, Kikano G, 2005). e. Kuesioner WHO Kuesioner di bawah ini dikenal sebagai Kuesioner Rose yang dikenal juga sebagai kuesioner WHO dimana sangat berguna dalam menidentifikasi penyakit arteri perifer . Klaudikasio intermitten dianggap positip bila semua jawaban sesuai dengan yang disediakan.
Tabel 6. Kuesioner Rose untuk Klaudikasio Intermitten (Lamina C et al, 2005) No
Pertanyaan
Jawaban yang diharapkan bila diagnosis (+)
1
Apa pernah merasa sakit pada kaki ketika Ya berjalan?
2
Apa rasa sakit mulai ketika berdiri atau Tidak duduk?
3
Apa rasa sakitnya pada satu betis atau Ya keduanya?
4
Apakah rasa sakitnya dialami ketika Ya berjalan posisi menaik/buru-buru?
5
Apakah rasa sakit dialami ketika berjalan Ya/ Tidak pada permukaan yang datar?
6
Apakah rasa sakit ini menghilang ketika Tidak
Universitas Sumatera Utara
berjalan? 7
Apakah
yang
mendapatkan
rasa
dilakukan sakit
ini
ketika Stop atau jalan lebih ketika lambat
berjalan? 8
Apakah yang terjadi pada rasa sakit jika Membaik kurang lebih berhenti berjalan dan hanya berdiri?
10 mnt.
Selain kuesioner Rose, dikenal kuesioner Edinburgh. Isi kuesioner sama namun ditambahkan gambar atau skets pada responden di dalam melokalisasi daerah yang sakit (Trautner C, Haastert B, Giani G, Berger M, 2002). Penilaian IC dikatakan positip bila ditemukan semua jawaban positip.
Tabel 7. Kuesioner Edinburgh untuk Kuesioner Klaudikasio Karakteristik
1
Apakah dirasakan sakit/kram pada kaki ketika
Jawaban yang diharapkan bila diagnosis (+) Ya
berjalan? (Pertanyaan berlanjut ke 2 dst bila jawab ya) 2
Apakah rasa sakit/kram dirasakan ketika
Tidak
berdiri/duduk? 3
Apakah rasa sakit/kram dirasakan ketika
Ya
berjalan mendaki? 4
5
Apakah sakit/kram dirasakan ketika berjalan
Tidak = grade 1
dengan langkah teratur?
Ya = grade 2
Bagaimanakah rasa sakit/kramnya bila hanya berdiri posisi tegak? -berlanjut >10 mnt
Biasanya hilang
-hilang dalam 10 mnt/kurang
dalam 10 mnt/
Universitas Sumatera Utara
kurang 6
Dimana dijumpai rasa sakit/kram? Mohon di X pada diagram yang tersedia.
Universitas Sumatera Utara