ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulpa Gigi Pulpa gigi merupakan jaringan ikat yang kaya pembuluh darah dan saraf, yang terdapat dalam rongga gigi. Jaringan pulpa merupakan salah satu jaringan tubuh yang khusus, karena letaknya yang dibatasi oleh dinding dentin. Pulpa memiliki lima fungsi utama yaitu induktif, formatif, nutritif, defensif, dan sensatif. Fungsi formatif pulpa yaitu kemampuan pulpa dalam pembentukan dentin saat pembentukan gigi dan selama kehidupan gigi secara terus menerus dengan kecepatan rendah. Pembentukan dentin dapat dilakukan dengan tiga cara: 1. Mensintesis dan mensekresikan matrik organik 2. Memasukkan komponen anorganik kedalam matrik dentin yang baru terbentuk 3. Menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan mineralisasi matrik. Fungsi defensif pulpa salah satunya adalah pembentukan dentin sebagai respon odontoblas terhadap cedera, terutama jika ketebalan dentin telah berkurang dan kesinambungan dentin telah terputus. Namun, dentin baru yang terbentuk memiliki kemampuan protektif dengan kualitas dibawah fisiologis dentin. Fungsi defensif lainnya adalah kemampuan pulpa dalam menetralisir atau meniadakan invasi mikroorganisme penyebab karies ke dalam pulpa maupun zat – zat toksik, dengan respon inflamasi dan imunologik( Carlos, 1998).
SKRIPSI
UJI TOKSISITAS TEGDMA ...
DWI PUJI LESTARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.2 Morfologi Fibroblas Fibroblas merupakan jaringan ikat yang terbentuk dari differensiasi sel mesenkim. Fibroblas berbentuk sel besar gepeng dan bercabang – cabang, yang dari samping terlihat berbentuk gelondong atau fusiform.Inti lonjong dan diliputi membrane inti yang halus disertai sedikit granula kromatin halus.
Gambar 2.1. Morfologi fibroblas
Fibroblas dewasa yang tidak aktif disebut juga dengan fibrosit.Sel ini berukuran lebih kecil dari pada fibroblas, berbentuk gelendong, memiliki inti yang panjang, lebih gelap, lebih kecil dan sitoplasmanya bersifat asidofil serta mengandung sedikit reticulum endoplasma yang kasar. Fibrosit dapat dirangsang dan aktivitas sintetiknya dapat diaktifkan kembali menjadi fibroblas pada saat penyembuhan luka ( Carlos, 1998). Fibroblas merupakan sel utama yang terdapat
pada jaringan ikat padat
seperto tendon, tersusun di barisan paralel pada tendon, badan sel tersebut berbentuk kumparan dalam deretan bila dilihat menggunakan mikroskop dengan arah membujur, pada sayatan melintang, secara garis besar tampak sebagai bidang berbentuk bintang, gelap diantara gelondongan kolagen( Fawcett, 2002).
SKRIPSI
UJI TOKSISITAS TEGDMA ...
DWI PUJI LESTARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.3 HEMA Pertama kali HEMA digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan perlekatan pada dentin yaitu dengan tujuan untuk memperbaiki adaptasi antar permukaan dari restorasi resin (Bakopoulou et al, 2009). HEMA mempunyai sifat kimia dan fisik yang cukup baik.HEMA berfungsi sebagai gugus hidrofilik maupun hidrofobik.Gugus yang bersifat hidrofilik melekat pada dentin gigi, sedangkan yang hidrofobik berikatan dengan resin komposit (Sharrock and Genevieve, 2010). Struktur kimia HEMA:
Gambar 2.2 Struktur molekul HEMA (C6H10O3)
Jalur metabolisme HEMA berasal dari hidrolisis yang tidak spesifik yaitu asam metakrilat dan ethylene glycol (Durner et al, 2010). HEMA banyak digunakan oleh karena mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya pembuatannya relatif mudah, dapat bertahan cukup lama karena umumnya ditambahkan zat preservatif misalnya hidrokuinon, BHT ( butylated hidroxy toluene) dan viskositasnya yang relatif rendah (Tay and King, 2002 ; Perdigao et al, 2001). Berat molekul HEMA yaitu 130, penggunaanya sebagai bahan bonding biasanya dicampur dengan air, etanol atau aseton (Perdigao et al, 2001).
SKRIPSI
UJI TOKSISITAS TEGDMA ...
DWI PUJI LESTARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2.4 TEGDMA Penambahan Triethylene glycol dimethacrylate (TEGDMA) berkisar antara 25% hingga 50% dalam matriks resin. Menurut Reichl et al (2002) pada bonding resin mengandung TEGDMA dengan konsentrasi 30-50%. TEGDMA tidak memiliki bau yang menyengat, tidak berwarna/jernih dan memiliki pH 6,8 hingga 7,2. Sedian TEGDMA berupa cairan seperti minyak, dan memiliki sifat hidrofilik (Reichl et al , 2002). Struktur kimia TEGDMA :
Gambar 2.3. Struktur kimia TEGDMA (C12H22O8)
Beberapa penelitian telah menjelaskan bahwa TEGDMA bersifat toksik. Menurut Dong Lee et al , TEGDMA dapat melarutkan lapisan lipid membran sel sehingga dapat berpenetrasi ke dalam sel dan bereksi dengan molekul – molekul intraseluler (Lee et al,2009). Pada tahun 2004, Spagnuolo G dkk melaporkan bahwa peningkatan konsentrasi TEGDMA dapat meningkatkan terjadinya apoptosis dan nekrosis populasi sel fibroblas pulpa gigi (Spagnuolo et al, 2004). Pada tahun 2009, Dong Lee dkk menjelaskan bahwa TEGDMA dapat menurunkan tingkat Glutathion (GSH) sel pulpa gigi, dan menyebabkan peningkatan reactive oxygen species( ROS) yang berperan dalam degenerasi protein dan kematian sel melalui apoptosis (Lee et al,2009). TEGDMA juga dapat menyebabkan reaksi alergi berupa hipersensitivitas
SKRIPSI
UJI TOKSISITAS TEGDMA ...
DWI PUJI LESTARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
pernafasan dan urtikaria pasien (Zago et al, 2008). 2.5 Uji Toksisitas Uji toksisitas adalah bagian dari evaluasi bahan kedokteran gigi yang diperlukan untuk prosedur standart. Tujuan dari uji toksisitas adalah untuk mengetahui efek toksik suatu bahan secara langsung terhadap kultur sel (Freshney, 2000). Menurut Freshney (2000), uji Toksisitas dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Uji primer ( Pendahuluan ), yaitu uji toksisitas dari bahan secara in vitro yang dikontakkan secara langsung pada kultur sel atau jaringan. 2. Uji sekunder, yaitu evaluasi kemampuan bahan untuk menimbulkan toksisitas sistemik. Uji ini dilakukan pada hewan coba. 3. Uji aplikasi klinis, merupakan evaluasi bahan sesuai dengan pemakaian klinis atau identifikasi semua efek bahan yang akan digunakan pada jaringan, bahan tersebut ditempatkan sesuai fungsinya pada hewan seperti pada manusia. Uji toksisitas dapat dilakukan dengan menggunakan hewan coba secara in vivo atau menggunakan kultur sel secara in vitro. Tetapi, metode yang sering digunakan adalah in vitro dengan menggunakan kultur sel, sedangkan prinsip dasar menumbuhkan sel secara in vitro adalah merancang sistem kultur agar menyerupai keadaan in vivo. Sel yang akan diteliti dipindah dari jaringan asalnya, kemudian ditempatkan dalam tempat kultur yang mendapatkan tempat pertumbuhan dan nutrisi yang cukup pada temperature 37oC
dan pH lingkungan yang terjaga.
Disamping itu ada beberapa alasan penggunaan penelitian lebih banyak secara in vitro dengan kultur sel, antara lain sebagai berikut:
SKRIPSI
UJI TOKSISITAS TEGDMA ...
DWI PUJI LESTARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
1. Kultur sel dapat terpapar secara langsung oleh bahan yang diujikan, sehingga kultur sangat sensitive terhadap bahan yang bersifat toksik. 2. Lingkungan pada kultur (pH, suhu, dan tekanan osmotik) lebih terkontrol. 3. Respon terhadap sel hidup dapat langsung di amati. 4. Sampel lebih homogen. 5. Mengurangi penggunaan hewan coba. 6. Dapat diukur. Adapun kekurangan metode in vitro dengan kultur sel yang harus dilakukan dalam kondisi aseptic, karena sel dapat mati jika terkontaminasi dengan mikro organism (Freshney, 2000) Pengujian efek biokompabilitas pada tingkat awal dari material yang digunakan pada kedokteran gigi untuk mengetahui toksisitas material, dilakukan pengujian dengan menggunakan kultur sel. Apabila material yang diuji memberikan viabilitas sel hidup yang tinggi, menunjukkan bahwa material yang diuji tidak memberikan efek toksik, begitu juga sebaliknya ( Yuliati, 2004). Salah satu syarat bahan yang digunakan dalam kedokteran gigi seharusnya tidak toksik, tidak mengiritasi dan mempunyai sifat biokompabilitas atau bahan yang diproduksi tidak boleh mempunyai efek yang merugikan terhadap lingkungan biologis, baik lokal maupun sistemik.Salah satu metode untuk menilai toksisitas suatu bahan adalah dengan uji enzimatik dengan pereaksi MTT (Asti, 1994). Uji toksisitas dengan MTT esai dapat digunakan untuk mengukur proliferasi dan toksisitas terhadap sel. Penggunaan MTT esai cukup positif, cepat, semiotomatis, dan tidak menggunakan radioisotop. Uji berdasarkan kemampuan sel untuk
SKRIPSI
mereduksi
garam
3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2, 5-diphenyl-tetrazolim
UJI TOKSISITAS TEGDMA ...
DWI PUJI LESTARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
bromide (MTT) yang berwarna kuning dan larut menjadi endapan formazan yang berwarna biru ungu dan tidak larut. Reduksi garam tetrazolium terjadi intrasel dan melibatkan enzim dari retikulum endoplasma dan mitikondria. Dengan demikian jumlah yang hidup dapat diukur sebagai konsentrasi hasil produk MTT yang diukur dengan spektrofotometer ( Siregar, 2000). Keuntungan esai ini adalah pengukuran lebih akurat dan sensitif karena menggunakan alat spektrofotometer yang dapat mendeteksi perubahan metabolisme sel secara jelas, peralatan yang digunakan biasanya tersedia di laboratorium, menghemat waktu, tenaga, dan tidak menggunakan isotop radioaktif. 2.6 Kultur Sel Kultur sel merupakan sebuah metode untuk mempelajari aktivitas sel yang bebas dari variasi sistem yang mungkin timbul oleh karena ketidak seimbangan sistem tubuh atau karena adanya stress yang dialami oleh hewan coba selama perlakuan(Fresney, 2000). Mengukur sel artinya menempatkan sel hidup kedalam suatu media yang dapat membuat sel berkembang biak atau tumbuh secara in vitro. Pertumbuhan sel dilakukan secara mitosis, untuk mendukung terjadinya proses mitosis diperlukan persyaratan dari media kultur yang disesusaikan dengan media kehidupan secara in vitro atau setidaknya mendekatinya ( Ma’at, 1999). Media Eagle adalah media yang dipakai untuk kultur fibroblas. Media ini berisi nutrisi bagi pertumbuhan sel seperti asam amino, vitamin dan garam mineral. Serum juga diberikan untuk memenuhi kebutuhan akan hormon dan faktor prtumbuhan (Growth Factor/ GH). Pada pertumbuhan media ini ditambahkan pula antibiotik kanamisin-streptomisin-pinisilin untuk menghindari kontaminasi dari organism seperti bakteri, jamur, ragi dan spora jamur yang mungkin dapat tumbuh selama
SKRIPSI
UJI TOKSISITAS TEGDMA ...
DWI PUJI LESTARI
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
penyimpanan atau selama proses perlakuan. Kultur sel diperoleh dengan cara mengukur sel jaringan hidup melalui enzimatis, kimiawi, ataupun mekanis untuk menghasilkan suspense sel yang kemudian ditanam dalam media yang sesuai. Kultur sel semacam ini disebut sebagai kultur sel primer. Hasil pembiakan secara berulang - ulang ataupun hasil tranformasi dari kultur sel primer disebut cell lines (Fresney, 2000). Kultur sel mengalami tiga fase pertumbuhan yaitu, lag phase, log phase, dan plateau phase.Lag phase yaitu fase seeding sel, fase sel-sel mulai menempel atau tertanam pada media. Log phase yaitu fase sel-sel mulai mengadakan pertumbuhan sampai batas tertentu. Plateau phase yaitu fase stabilitas pertumbuhan sel, apabila telah tercapai kepadatan sel yang melebihi kapasitas media pertumbuhan maka pertumbuhan sel akan cenderung stabil. Penelitian ini diterapkan pada plateau phase sehingga dapat mengontrol pertumbuhan sel fibroblas pada keadaan stabil (Ma’at, 2000). Fibroblas yang sering digunakan dalam kultur cell lines, yaitu sel L-29 yang berasal dari fibroblas paru tikus dan sel BHK-21 yang berasal dari fibroblas ginjal hamster. Sel BHK-21 lebih banyak digunakan untuk menguji toksisitas bahan dan obat-obatan di kedokteran gigi. Penggunaan kultur sel BHK-21 yang berasal dari fibroblas ginjal hamster dikarenakan sel fibroblas merupakan sel terpenting dari komponen terbesar dari pulpa, ligament periodontal, dan gingival (Hadijono,2000)
SKRIPSI
UJI TOKSISITAS TEGDMA ...
DWI PUJI LESTARI