4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fraktur Maksilofasial Cedera atau fraktur pada daerah wajah memiliki signifikansi yang tinggi karena berbagai alasan. Daerah wajah memberikan perlindungan terhadap kepala dan memiliki peran penting dalam penampilan. Daerah maksilofasial berhubungan dengan sejumlah fungsi penting seperti penglihatan, penciuman, pernafasan, berbicara, dan juga memakan. Fungsi-fungsi ini sangat terpengaruh pada cedera dan berakibat
kepada
kualitas
hidup
yang
buruk
(Singh,
2012).
Cedera maksilofasial mencakup jaringan lunak dan tulang-tulang yang membentuk struktur
maksilofasial.
Tulang-tulang
tersebut
antara
lain
(Japardi, 2004): 1. Os. Nasoorbitoethmoid 2. Os. Zygomatikomaksila 3. Os. Nasal 4. Os. Maksilla 5. Os. Mandibula
Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang nasoorbitoethmoid, temporal, zygomatikomaksila, nasal, maksila, dan juga mandibula (Muchlis, 2011).
2.1.1 Epidemiologi Fraktur Maksilofasial Cedera meliputi 9% dari kematian di dunia dan 12% dari beban penyakit di dunia pada tahun 2000. Lebih dari 90% kematian di dunia akibat cedera terjadi di negara berkembang (Devadiga, 2007).
5
Pasien pria merupakan pasien dengan fraktur maksilofasial tersering yaitu sebanyak 75,9% di India. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian di Israel sebanyak 74,2% dan Iran dengan proporsi 4,5 banding 1 untuk pria. Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan fraktur maksilokranial (Guruprasad, 2014; Yoffe, 2008; dan Zargar, 2004). Di Indonesia, pasien fraktur maksilofasial dengan jenis kelamin pria mewakili 81,73% (Muchlis, 2011).
2.1.2 Etiologi Fraktur Maksilofasial Dalam empat dekade terakhir, kejadian fraktur maksilofasial terus meningkat disebabkan terutama akibat peningkatan kecelakaan lalu lintas dan kekerasan. Hubungan alkohol, obat-obatan, mengemudi mobil, dan peningkatan kekerasan merupakan penyebab utama terjadinya fraktur maksilofasial (Ykeda, 2012). Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tertinggi dari fraktur maksilofasial. Di India, 97,1% fraktur maksilofasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan penyebab lain yaitu terjatuh dari ketinggian, kekerasan, dan akibat senjata api (Singh, 2012). Penelitian lain di India menunjukkan bahwa 74,3% fraktur maksilofasial disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (Guruprasad, 2011).
2.1.3 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial 2.1.3.1 Fraktur Nasoorbitoethmoid (NOE) Anatomi kompleks ini yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal (Tollefson, 2013). Medial canthal tendon (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process dari maksila. Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa lakrimal. Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang lakrimal di posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior, oleh tulang
6
frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara ethmoid di tengah, dan orbita di lateral (Nguyen, 2010).
Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi MarkowitzManson. Klasifikasi Markowitz-Manson terdiri dari tiga tipe yaitu (Aktop, 2013): 1. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar. 2. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk memungkinkan osteosynthesis. 3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya osteosynthesis atau telah terlepas total.
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilafasial pada orang dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus fraktur NOE (Nguyen, 2010).
Gambar 2.1 Klasifikasi Markowitz-Manson Sumber: S. Aktop dalam A Textbook of Advanced Oral and Maxillofacial Surgery (2013)
7
Gambar 2.2 Klasifikasi Markowitz-Manson Sumber: T. Galloway dalam Midface Trauma (2012) 2.1.3.2 Fraktur Zygomatikomaksila Zygomaticomaxillary complex (ZMC) memainkan peran penting pada struktur, fungsi, dan estetika penampilan dari wajah. ZMC memberikan kontur pipi normal dan memisahkan isi orbita dari fossa temporal dan sinus maksilaris. Zygoma merupakan letak dari otot maseter, dan oleh karena itu berpengaruh terhadap proses mengunyah (Tollefson, 2013).
Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat dinding penopang yaitu
zygomaticomaxillary,
frontozygomatic
(FZ),
zygomaticosphenoid,
dan
zygomaticotemporal. Fraktur ZMC merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur fasial setelah fraktur nasal (Meslemani, 2012).
Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah klasifikasi Knight dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi enam yaitu (Dadas, 2007):
8
1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan secara klinis dan radiologi 2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya langsung yang menekuk malar eminence ke dalam 3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi 4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial 5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral 6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan sepanjang fragmen utama
Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 5 hanya membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok 3, 4, dan 6 membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat (Meslemani, 2012).
2.1.3.3 Fraktur Nasal Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu lintas (Baek, 2013). Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari seluruh fraktur fasial (Haraldson, 2013).
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu (Ondik, 2009): 1. Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah 2. Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah 3. Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan penopang septal yang utuh
9
4. Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum 5. Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan
Gambar 2.3 Klasifikasi Fraktur Nasal Sumber: M.P. Ondik dalam Archives of Facial Plastic Surgery edisi 11 (2009)
10
2.1.3.4 Fraktur Maksila dan LeFort Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang terkandung di dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan struktur yang penting baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam nyawa (Moe, 2013). Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh Rene Le Fort pada tahun 1901 di Prancis. Klasifikasi Le Fort terbagi menjadi tiga yaitu (Aktop, 2013): 1. Le Fort I Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah. Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul.
2. Le Fort II Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid.
3. Le Fort III Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak akibat gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan dari regio nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura orbita superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura frontozygomatic. Garis fraktur kemudian
11
memanjang melalui sutura zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid dan pterygomaxillary.
Gambar 2.4 Klasifikasi LeFort Sumber: L. Gartshore dalam British Journal of Oral Maxillofacial Surgery edisi 48 (2010) Dua tipe fraktur maksila non-Le Fort lain relatif umum. Yang pertama adalah trauma tumpul yang terbatas dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur yang kecil dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada cedera ini. Yang kedua adalah gaya dari submental yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang pendukung horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan zygomatic arches (Moe, 2013).
12
2.1.3.5 Fraktur Mandibula Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian bawah dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan dua buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis (Stewart, 2008).
Mandibula terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular (TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya dan terdiri dari simfisis, badan, angle, ramus, kondilar, dan subkondilar (Stewart, 2008).
Gambar 2.5 Lokasi Fraktur Mandibula Sumber: C. Stewart dalam Emergency Medicine Practice volume 10 (2008) 2.2 X-Ray Fisikawan Jerman yang pertama sekali menemukan X-ray adalah Wilhelm Rontgen pada tahun 1895. Dia jugalah yang memberi nama X-ray meskipun banyak yang menyebut sebagai “Rontgen” (Assmus, 1995). Selama lebih dari dua dekade, nilai dari X-ray kepala pada pasien dengan cedera kepala telah dipertanyakan.
13
Meskipun begitu, pada tahun 1999, The Royal College of Surgeons of England (RCSE) mengeluarkan panduan untuk penggunaan X-ray pada cedera kepala. Kriteria untuk dilakukan X-ray pada cedera kepala di rumah sakit yang tersedia CT scan selama 24 jam adalah (Soysa, 2005): •
Kecurigaan cedera yang bukan disebabkan oleh kecelakaan (pada anak-anak)
•
Keberadaan benjolan lunak khususnya di regio parietotemporal
•
Kecurigaan terjadi trauma penetrasi
•
Kecurigaan terjadi fraktur compound
2.3Computed Tomography Scanning (CT-scan) Kepala CT-scan kepala adalah prosedur pengabaran X-ray yang menghasilkan gambar dari isi intrakranial sebagai hasil dari penyerapan X-ray yang spesifik oleh jaringan yang diperiksa. Alat CT-scan menghasilkan sejumlah gambar crosssectional dari otak dan gambar tiga dimensi dari kranium dan pembuluh darah dapat dihasilkan apabila diperlukan. CT-scan tidak menyakitkan, tidak invasif, dan secara umum akurat (Fertikh, 2013).
Terdapat beberapa indikasi dilakukan CT-scan kepala yaitu (Fertikh, 2013): 1. Trauma kepala 2. Stroke 3. Nyeri kepala 4. Lesi yang meningkatkan tekanan intrakranial 5. Kejang 6. Kecurigaan terhadap hidrosefalus 7. Kecurigaan terhadap perdarahan intrakranial 8. Penyakit vaskular intrakranial
14
Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (2007), khusus pada trauma kepala, terdapat indikasi-indikasi yang mengharuskan dilakukan CTscan segera yaitu: 1. Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari 13 pada penilaian awal di instalasi gawat darurat 2. GCS kurang dari 15 selama 2 jam sejak terjadinya trauma pada penilaian di instalasi gawat darurat 3. Kecurigaan fraktur tulang tengkorak yang terbuka atau tertekan 4. Tanda-tanda adanya fraktur basis kranial 5. Kejang post-trauma 6. Defisit neurologis fokal 7. Lebih dari satu episode muntah 8. Amnesia selama lebih dari 30 menit sebelum kejadian
Selain indikasi yang disebutkan di atas, pada trauma kepala minor beberapa indikasi perlu dipertimbangkan untuk melakukan CT-scan kepala. Indikasi-indikasi tersebut antara lain nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran atau amnesia, dan intoksikasi alkohol (Sharif-Alhoseini, 2011).
2.3.1 Kelainan Intrakranial pada CT-scan Kepala 2.3.1.1 Fraktur Ketebalan tulang kranial tidak merata. Oleh karena itu, daya benturan yang dibutuhkan untuk mengakibatkan fraktur tergantung pada lokasi benturan. Fraktur kranial lebih mudah terjadi pada tulang temporal dan parietal yang tipis, sinus sphenoid, foramen magnum, petrous temporal ridge, dan bagian dalam dari sphenoid wings pada basal kranial (Khan, 2013).
15
Fraktur kranial linear merupakan fraktur yang paling sering dan melibatkan fraktur pada tulang namun tidak dijumpai pergeseran. Fraktur ini umumnya disebabkan karena perpindahan energi yang rendah akibat trauma tumpul di seluruh permukaan tengkorak yang luas (Khan, 2013). Fraktur kranial linear terjadi karena efek kontak yang terjadi sekunder terhadap impact. Pergerakan kepala dan akselerasi tidak memegang peranan dalam terjadinya fraktur. Ketika tengkorak terkena impact pada daerah yang luas, dapat terjadi deformasi (perubahan bentuk) daro tengkorak dengan inward dan outward bending. Fraktur kranial linear yang terjadi pada tulang temporal dapat memutuskan arteria meningea media yang berjalan di dalam sebuah alur pada tulang temporal, sehingga terjadi EDH (Sastrodiningrat, 2012).
16
Gambar 2.6 Fraktur Linear Sumber: University of Virginia (2013) Perpindahan energi yang tinggi dapat mengakibatkan fraktur kranial terdepresi, dimana fragmen tulang terdorong ke dalam. Fraktur ini biasanya memecah dengan fragmen tulang dimulai dari titik benturan maksimal dan menyebar ke perifer (Khan, 2013). Fraktur kranial terdepresi ditentukan apabila segmen fraktur terletak lebih rendah dibandingkan segmen yang normal (Prashkant, 2011).
Gambar 2.7 Fraktur Kranial Terdepresi Sumber: J. Paulsen dalam WestJEM volume 12 (2010)
17
Pada anak-anak, garis fraktur terkadang susah dibedakan dengan garis sutura aksesoris. Terlebih pada pemakaian foto polos, penilaian fraktur lebih menantang akibat ketidakmampuan untuk menilai keadaan jaringan otak. Sutura aksesoris dapat dibedakan dari fraktur melalui poin-poin berikut (Sanchez, 2010): 1. Fraktur yang sederhana dan tidak terdepresi memiliki kepadatan yang tinggi dan tepi yang tidak sklerotik. Sebaliknya, sutura aksesoris biasanya memiliki pola zigzag dengan tepi sklerotik. 2. Fraktur akibat benturan yang kuat dapat melewati garis sutura atau memanjang dari satu sutura besar ke sutura lainnya, sementara sutura aksesoris umumnya bergabung dengan sutura besar. 3. Sutura aksesoris sering sekali dijumpai pada kedua sisi dan simetris terutama pada tulang parietal. 4. Pembengkakan jaringan lunak atau hematoma sering sekali dijumpai pada fraktur kranial yang akut. Namun, tidak adanya hematoma subgaleal tidak menyingkirkan diagnosa fraktur terutama apabila cedera terjadi beberapa hari sebelumnya.
2.3.1.2 Perdarahan Epidural Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) merupakan perdarahan pada ruang antara duramater dengan tulang kranial. EDH dapat menjadi berbahaya apabila tidak didiagnosis dan ditangani dengan baik (McDonald, 2013). Epidural hematoma biasanya terjadi akibat cedera pada arteri meningeal media atau cabangcabangnya. Hematoma epidural dapat menekan lobus temporal, frontal, dan parietal tergantung pada ukurannya dan arteri yang cedera. Epidural hematoma terlihat sebagai gambaran hiperdens bikonveks (Al-Nakshabandi, 2001). EDH terjadi 2% dari seluruh cedera kepala dan lebih dari 15% dari cedera kepala yang fatal. Bekuan darah paling banyak ditemukan di daerah temporoparietal (73%) dimana arteri menigea media dan vena-vena mengalami kerusakan (putus)
18
biasanya sebagai akibat fraktur tulang temporal. Sebelas persen (11%) dari hematoma didapatkan di fossa kranial anterior (anterior meningeal artery), 9% di daerah parasagittal (sinus sagittalis), dan 7% di fossa posterior (occipital meningeal artery dan sinus-sinus transverses dan sigmoid), 10% - 40% EDH merupakan pendarahan vena sebagai akibat robekan sinus duramater, vena emissaria atau pelebaran vena (venous lakes) di duramater (Sastrodiningrat, 2012).
Gambar 2.8 Perdarahan Epidural Sumber: G.L. Galia dalam New England Journal of Medicine edisi 360 (2009)
2.3.1.3 Perdarahan Subdural Perdarahan subdural adalah kumpulan darah di bawah lapisan dalam dari duramater tapi berada di luar otak dan membran arakhnoid. Perdarahan subdural timbul tidak hanya pada pasien dengan cedera kepala berart melainkan juga pada pasien dengan cedera kepala ringan terutama pada orang tua atau pasien yang mengkonsumsi antikoagulan. Perdarahan subdural juga dapat terjadi secara spontan (Meagher, 2013).
19
Secara umum, perdarahan subdural akut terjadi kurang dari 72 jam dan terlihat hiperdens pada CT-scan. Fase subakut terjadi 3-7 hari setelah cedera. Perdarahan subdural yang kronik terjadi dalam rentang waktu berminggu-minggu dan terlihat hipodens (Meagher, 2013).
Gambar 2.9 Perdarahan Subdural Akut Sumber: P.E. Marik dalam Chest Journal volume 122 (2002)
2.3.1.4 Perdarahan Subaraknoid Perdarahan subaraknoid atau subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah keadaan dimana terjadi perdarahan pada rongga subaraknoid di sekitar otak dan medula spinalis. Penyebab paling sering dari perdarahan subaraknoid adalah trauma kepala dan ruptur dari aneurisma intrakranial (Gershon, 2013).
20
Pada CT-scan, perdarahan subaraknoid terlihat sebagai zat tidak berbentuk dan hiperdens yang mengisi ruang yang normalnya hipodens. Sisterna subaraknoid dan sulkus yang normalnya berwarna hitam dapat terlihat putih pada perdarahan akut. Temuan ini terlihat lebih jelas pada ruang subarakhnoid yang besar seperti sisterna suprasellar dan fissura sylvian (Gershon, 2013).
Gambar 2.10 Perdarahan Subaraknoid Sumber: H. Koizumi dalam Radiology Case Reports volume 7 (2012) 2.3.1.5 Perdarahan Intraserebral Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di dalam parenkim otak. Perdarahan intraserebral terdiri atas tiga fase yaitu perdarahan awal, pengembangan hematoma, dan edema perihematoma. Perdarahan awal disebabkan oleh rupturnya arteri di otak. Pengembangan hematoma berlangsung beberapa jam setelah dimulainya gejala awal melibatkan peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial ini akan mengganggu blood-brain barrier. Setelah pengembangan hematoma, terbentuk edema otak di sekitar hematoma disebabkan oleh inflammasi dan terganggunya blood-brain barrier (Magistris, 2013). Pada CT-
21
scan, perdarahan intraserebral terlihat sebagai lesi hiperdens di parenkim otak (Tshikwela, 2012).
Gambar 2.11 Perdarahan Intraserebral (A) dengan Perdarahan Subarakhnoid (B) Sumber: K.S. Yew dalam American Family Physician edisi 80 (2009)