Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Problematic Internet Use (PIU) Caplan (2010) menjelaskan problematic internet use atau PIU dengan beberapa dimensi, yaitu (1) lebih memilih untuk berinteraksi sosial secara online (preference for online social interaction), (2) menggunakan internet sebagai media untuk membuat suasana hati menjadi lebih baik (mood regulation), (3) kurangnya kontrol diri dalam penggunaan internet (deficient self-regulation) dimensi ini dibagi lagi menjadi dua dimensi, yaitu (3a) okupasi kognisi dimana individu tidak dapat berhenti memikirkan untuk dapat segera online (cognitive preoccupation) dan (3b) kesulitan untuk mengontrol waktu online (compulsive internet use) dan (4) adanya dampak negatif yang muncul dari penggunaan internet (negative outcome). Individu yang mengalami Preference for Online Social Interaction (POSI) biasanya individu yang merasa kesepian, takut untuk berhadapan langsung dengan orang lain, cemas apabila bertemu dengan orang lain, depresi dan merasa malu untuk bertatap muka dengan orang lain, sehingga individu akan memiliki kecenderungan untuk lebih senang untuk menggunakan media online untuk berinteraksi dengan orang lain (POSI). Individu yang memiliki kecenderungan untuk POSI akan menggunakan media internet untuk membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Melalui internet, individu merasa lebih bebas, nyaman dan aman untuk berkomunikasi. Sehingga, apabila suasana hatinya sedang tidak baik, individu akan pergi ke dunia maya untuk membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Apabila individu sudah merasa bahwa di dalam dunia maya (internet) dirinya lebih baik daripada dirinya dalam dunia nyata, maka ia akan memilih untuk terus-menerus masuk dalam dunia maya dan apabila dalam kognisinya hanya ada dunia maya, maka lambat laun perilakunya juga akan ikut berubah. Individu akan terus-menerus menggunakan dunia maya hingga dirinya tidak lagi menjalani hidupnya sehari-hari seperti individu lain pada umumnya, mengganggu kehidupannya sebagai individu bahkan individu tidak bisa mengontrol hidupnya.
Jumlah waktu yang digunakan untuk mengakses dunia maya bukan merupakan faktor penentu apakah individu mengalami PIU atau tidak. Apabila seseorang menggunakan dunia maya secara berlebihan bisa menjadi salah satu tanda bahwa ia mengalami PIU, tetapi tidak menjadi mutlak. Apabila waktu yang digunakan untuk mengakses dunia maya hanya sebentar, tetapi sering dan kognisinya terokupasi untuk menggunakan dunia maya maka dapat dikatakan bahwa individu mengalami PIU (Tokunaga & Rains, 2010). Tam & Walter (2013) menyatakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya PIU. Pertama, self-esteem yang rendah. Individu dengan self-esteem yang rendah akan cenderung untuk menghindari komunikasi tatap muka, sehingga ia akan memilih untuk berkomunikasi secara online (POSI). Kedua, individu mendapatkan reward dalam game online. Level yang sulit dicapai dalam game online membuat individu yang dapat mencapainya merasa bangga dan pujian akan datang. Selain dengan pujian, reward berupa hadiah dari game online juga akan diraih bersamaan dengan level yang telah dicapainya. Bisa berbentuk feature baru yang terbuka karena sudah mencapai level tersebut, uang, nyawa atau poin tertentu. Ketiga, adanya perselisihan dengan keluarga. Perselisihan dengan keluarga membuat individu bermain game online untuk membuatnya bahagia, senang dan melupakan masalah perselisihannya dengan keluarga untuk sementara waktu. Keempat, tingginya rasa keterikatan dengan teknologi. Rasa keterikatan yang tinggi dengan teknologi membuat individu semakin larut dengan teknologi dan melupakan kewajibannya sebagai seorang pelajar, yaitu untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. 2.2 Cognitive Distortion Cognitive distortion adalah ketika adanya perbedaan antara pikiran dan kenyataan yang sebenarnya. Apa yang dilihat dan kedekatannya bersifat subjektif. Biasanya terjadi pada individu yang mengalami depresi dan mood disorder yang lain (Burn, 1992). Ada 10 kesalahan dari cognitive distortion menurut Burn (1992), antara lain (1) All or Nothing yaitu melihat segala sesuatu hanya hitam dan putih, (2) Overgeneralization yaitu melihat segala sesuatunya negative, (3) Discounting the positive yaitu semua hal baik atau hal yang dicapai tidak dihitung, (4) Jumping to conclusions yaitu langsung lompat kepada hasil atau kesimpulan yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu mind reading dan fortune
telling. (4a) Mind reading ialah berasumsi bahwa semua orang bertingkah-laku negatif kepada diri sendiri biarpun tidak ada bukti bahwa mereka bertingkah laku demikian. (4b) Fortune telling ialah memprediksi bahwa segala sesuatu akan berakhir buruk, (5) Magnification or minimization yaitu membesar-besarkan atau mengecil-ngecilkan sesuatu secara tidak pantas, (6) Emotional reasoning yaitu jika berpikir bahwa diri sendiri bodoh, maka ia adalah orang yang bodoh, (7) Should statements yaitu mengkritik diri sendiri atau orang lain dengan kata harus, tidak harus, atau kata-kata sindiran yang lain, (8) Labeling yaitu langsung memberikan penilaian kepada orang lain hanya dengan sedikit cue atau tanda yang ada, (9) Personalization and blame yaitu menyalahkan diri sendiri untuk sesuatu yang bukan salah kita atau menyalahkan orang lain dan melihat sesuatu secara berlebihan dari masalah yang ada. Cognitive distortion juga didefinisikan sebagai keadaan tidak berfungsinya pola pikir, memiliki pikiran negatif, mengalami ketidakakuratan dalam berpikir, menyebabkan dampak klinis terhadap diri, serta memotivasi perilaku maladaptive pada seseorang (Briere, 1987 dalam Briere, 2001). Briere (2001) juga mengemukakan dimensi-dimensi dari cognitive distortion, yaitu self-critism (SC), self-blame (SB), helplessness (HLP), hopelessness (HOP) dan preoccupation with danger (PWD). Dimensi yang pertama dalam Cognitive Distortion Scale (CDS) adalah self-critism. Self-critism mengukur self-esteem yang rendah dan self-devaluation sebagai kecenderungan untuk menunjukkan kritis atau devaluasi seseorang, baik itu terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Individu dengan self-critism yang tinggi akan memiliki kecenderungan untuk merasa dirinya tidak pintar, tidak dapat diterima dan tidak menarik. Dimensi yang kedua yaitu self-blame, self-blame mengukur respon untuk menyalahkan dirinya untuk hal-hal negatif atau kejadian yang tidak diinginkan terjadi dalam hidupnya. Individu dengan nilai self-blame yang tinggi akan memiliki kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri untuk kejadian-kejadian yang tidak diinginkan terjadi di dalam hidupnya, termasuk untuk menyalahkan orang lain untuk halhal yang terjadi diluar kontrol. Dimensi ketiga helplessness, helplessness mengukur persepsi kontrol seseorang, dimana ia tidak dapat mengontrol hal-hal yang penting di dalam hidupnya. Individu yang
memiliki nilai helplessness yang tinggi akan mengasumsikan bahwa semua yang dilakukannya akan sia-sia dan tidak akan berhasil, individu dengan helplessness yang tinggi juga akan berdiam diri atau pasif ketika ada tantangan atau bahaya yang datang kepadanya. Dimensi keempat hopelessness, hopelessness mengukur respon kepercayaan bahwa masa depannya buruk atau jelek dan ia memang ditakdirkan untuk gagal. Individu dengan nilai hopelessness yang tinggi akan merasa bahwa dirinya tidak memiliki harapan, cenderung pesimis ketika menghadapi sesuatu dan tidak pernah membayangkan hasil baik karena merasa bahwa dirinya tidak ada harapan. Dimensi terakhir preoccupation with danger yang mengukur kecenderungan untuk melihat dunia terutama hubungan dengan orang lain sebagai tempat yang berbahaya. Individu dengan nilai preoccupation with danger yang tinggi akan menghindari masalah dan resiko untuk menghindari hasil buruk atau negatif datang pada dirinya. Apabila disimpulkan dari teori-teori di atas, Cognitive distortion sangat mempengaruhi pola pikir dari seseorang, dimana seringkali seseorang memiliki pemikiran yang tidak logis atau lemah dalam berpikir logis. Pemikiran yang tidak logis atau lemah dalam berpikir logis tersebut seringkali menimbulkan keyakinan dari sebuah pemikiran yang sulit diterima oleh nalar, serta bertentangan dengan keadaan normal yang biasa terjadi. 2.3 Remaja Lahey (2007) mengatakan bahwa remaja adalah periode dari mulai dari masa pubertas sampai awal masa dewasa. Di masa remaja ini ditandai dengan adanya (1) Perkembangan fisik, seperti munculnya menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki, tumbuhnya payudara, perkembangan testis, suara pada laki-laki yang menjadi berat, dan lain-lain, (2) Perkembangan kognitif seperti yang disampaikan pada tahap perkembangan Piaget (dalam Santrock, 2008) dimana biasanya anak berumur 11 tahun sudah mampu menggunakan konsep abstrak, idealis dan logis serta lebih mampu untuk berpikir secara hipotesis deduktif, (3) Perkembangan sosial seperti mulai mendekat ke teman sebayanya dan menjauh dari orang tuanya dan yang terakhir, (4) Perkembangan emosi dimana mulai timbulnya konflik antara anak dengan orang tua, suasana hati yang mudah berubah-ubah dan munculnya perilaku yang bersifat bahaya seperti merokok,
melakukan hubungan sex tanpa pengaman, sembrono dalam membawa kendaraan dan lain sebagainya (Galambos, 1992; Arnett, 1999; Roberts, Caspi & Moffitt, 2001). Remaja secara partikular lemah atau mudah mengalami ketergantungan dengan game online karena apabila diasosiasikan dengan tahap perkembangannya, remaja memiliki kebutuhan untuk self-realization dan pada tahap ini remaja memiliki kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain (Lafrenière, Vallerand, Donahue, & Lavigne, 2009; Wan & Chiou, 2006 dalam Huanhuan & Wang, 2013). Game online mempermudah remaja untuk membangun hubungan dengan orang lain daripada dalam dunia nyata. Selain itu, dalam dunia game, individu bisa mempresentasikan sesuatu yang tidak ia miliki dalam dunia nyata dan memperbaiki masalah yang ia miliki dalam dunia nyata (Huanhuan & Wang, 2013). 2.4 Game online Game online adalah permainan/games yang dapat diakses oleh banyak pemain, dimana mesin-mesin yang digunakan penggunanya dihubungkan oleh suatu jaringan internet (Adam & Rollings, 2007). Game online mempunyai perbedaan yang sangat besar dengan game lainnya, yaitu pemain game tidak hanya dapat bermain dengan orang yang berada di sebelahnya, namun juga dapat bermain dengan beberapa pemain lain di lokasi yang berbeda, bahkan di seluruh bagian bumi yang lain (Young, 2007). Jadi dapat disimpulkan bahwa game online adalah game berbasis elektronik dan visual yang dapat dimainkan dengan pemain lain yang berasal dari berbagai penjuru dunia. 2.4.1. Tipe-Tipe Game Online Grace (2005) membedakan game menjadi beberapa tipe berdasarkan cara bermainnya, yaitu (1) Action game adalah game yang menekankan pada intensitas dari aksi sebagai atraksi utamanya. Respon refleks adalah kemampuan utama yang diperlukan dalam memainkan game bertipe action, (2) Adventure game adalah game yang menyediakan eksplorasi dan pemecahan misteri sebagai atraksi utamanya. Adventure game umumnya menawarkan cerita yang mengasyikan. Pemikiran, kreatifitas, dan rasa penasaran adalah kemampuan umum yang diperlukan untuk menjadi pemain adventure game, (3) Puzzle game adalah game yang menyediakan puzzle
sebagai atraksi utamanya, (4) Role
Playing Game (RPG) adalah game yang menyediakan pemain sebuah peluang untuk menghayati situasi dari karakter game. Role playing game memiliki karakter yang tergolong banyak, memiliki durasi yang panjang, dan manajemen karakter merupakan hal teknis, (4) Simulation memiliki elemen utama yaitu kemampuan untuk menyamai situasi pada dunia nyata, (5) Strategy game adalah game yang menghibur melalui pemikiran dan pemecahan misteri. 2.5 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan gambar berikut ini:
Internet
Game Online
Cognitive Distortion
PIU
Gambar 2.1
Internet memiliki kaitan erat dengan game online karena game online merupakan salah satu fenomena internet. Kaitan antara game online dengan cognitive distortion yaitu individu yang mengalami cognitive distortion merasa nyaman ketika bermain game online karena di game online individu dapat membuat avatar, karakter dan kemampuan sesuai dengan yang diinginkan. Game online juga memungkinkan individu yang memiliki cognitive distortion untuk melakukan hal-hal yang mustahil untuk dilakukan di dunia nyata, seperti langsung hidup kembali setelah mati tertembak sehingga mereka merasa nyaman dalam game online karena dapat menjadi apa yang benar-benar diinginkan tanpa batasan. Caplan (2003 dalam Caplan, 2010) mengatakan bahwa individu yang mengalami masalah psikososial lebih memilih untuk berinteraksi secara online daripada tatap muka secara langsung. Ditambahkan pula oleh Caplan (2010) bahwa komunikasi secara online dirasa lebih aman, nyaman dan lebih percaya diri. Individu yang sudah merasa nyaman bermain game online akan terus-menerus menggunakan game online, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, individu yang merasa nyaman bermain game online akan menggunakan game online sebagai media untuk membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Karena suasana hati individu lebih baik
setelah bermain game online, individu akan terus-menerus berfikiran untuk bermain game online, ketika bermain game online, individu akan melupakan waktu dan bermain terusmenerus. Dampaknya, individu akan melupakan makan, tidak tidur dan yang paling penting melupakan tugasnya sebagai pelajar, yaitu belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolah. Ketika sudah ada negative outcome atau dampak negatif dari bermain game online, maka individu sudah dapat dianggap memiliki PIU. PIU adalah kondisi dimana individu memilih untuk berinteraksi secara online, menggunakan internet sebagai media untuk membuat suasana hati menjadi lebih baik, adanya okupasi dalam kognisinya untuk bermain game online, melupakan waktu ketika bermain game online Keterkaitan antara game online dengan cognitive distortion berada pada penyaluran fantasi individu di dunia nyata dalam game online. Game online memungkinkan individu untuk memperbaiki diri atau membuat dirinya menjadi sempurna seperti yang diinginkannya. Individu dengan cognitive distortion memiliki bias di dalam pikirannya yang merasa bahwa dirinya lebih dihargai oleh orang lain di dalam game online daripada di dunia nyata. Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada sebelumnya juga dikatakan terdapat hubungan, namun penelitian tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini merupakan penelitian pertama di Indonesia yang mengukur variabel cognitive distortion dan PIU. Penelitian ini merupakan penelitian pembuktian apakah ada hubungannya antara cognitive distortion dan PIU di Indonesia. Pada kesempatan kali ini penelitian ini akan dilakukan di Jakarta.