BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineesis) berasal dari Afrika. Dalam bahasa Inggris tanaman ini dikenal dengan nama oil palm. Tanaman kelapa sawit memiliki bentuk menyerupai pohon kelapa. Di Indonesia, tanaman kelapa sawit termasuk tanaman pendatang. Pohon kelapa sawit sendiri di Indonesia sudah mulai dikenal sejak sebelum perang dunia kedua. Kelapa sawit dibudidayakan dalam bentuk usaha perkebunan besar. Perkebunan kelapa sawit banyak dikembangkan di Sumatera dan Kalimantan (Roosita, 2007).
Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa negara. Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak sawit, bahkan saat ini telah menempati posisi kedua di dunia (Yan, 2012).
Tanaman kelapa sawit (palm oil) dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Ordo
: palmaes
Famili
: palmae
Sub-famili
: cocoidae
Genus
: elaeis
Universitas Sumatera Utara
Spesies
: 1. Elaeis guineensis Jacq (kelapa sawit Afrika) 2. Elaeis melanococca (kelapa sawit Amerika Latin)
Varietas/Tipe
: Digolongkan berdasarkan: 1. Tebal tipisnya cangkang (endocorp): dikenal ada tiga varietas/tipe, yaitu Dura, Pesifera, dan Tenesa. 2. Warna/buah: dikenal tiga tipe yaitu Nigrescens, Virescens, dan Albescens (Setyamidjaja, 2006).
Sentra utama produksi sawit Indonesia antara lain Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Kontribusi produksinya mencapai 80% dari produksi nasional. Perkembangan perkebunan di daerah sentra utama produksi tersebut masih memungkinkan dilakukan. Potensi areal perkebunan Indonesia masih terbuka luas untuk tanaman kelapa sawit. Pengembangan perkebunan tidak hanya diarahkan pada sentra-sentra produksi seperti Sumatera dan Kalimantan, tetapi daerah potensi pengembangan seperti Sulawesi, Jawa, Papua juga terus dilakukan (Yan, 2012).
2.2. Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) Limbah industri kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan pada saat proses pengolahan kelapa sawit. Salah satu limbah padat industri kelapa sawit adalah TKKS. TKKS merupakan limbah terbesar yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit. Jumlah TKKS mencapai 30-35% dari berat TBS setiap pemanenan. Namun hingga saat ini, pemanfaatan limbah TKKS belum dilakukan secara optimal (Hambali, 2008). Limbah padat TKKS jumlahnya cukup besar yaitu sebesar 6 juta ton yang tercatat pada tahun 2004. Limbah tersebut selama ini dibakar dan sebagian ditebarkan di lapangan sebagai mulsa. TKKS terutama terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin dan bahan yang penting sebagai sumber selulosa (Nuryanto, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Komposisi kimiawi Tandan kosong kelapa sawit (Yan, 2012) Komposisi
Kadar (%)
Abu
15
Selulosa
40
Lignin
21
Hemiselulosa
24
Sebagai limbah lignoselulosa, TKKS merupakan salah satu alternatif bahan baku pembuatan pulp dan kertas karena kandungan selulosanya yang cukup tinggi (Guritno, 1995). Kebutuhan pulp kertas di Indonesia pada saat ini masih dipenuhi dari impor. Padahal potensi untuk memenuhi pulp di dalam negeri cukup besar. Salah satu alternatif itu adalah dengan memanfaatkan TKKS untuk digunakan sebagai bahan pulp kertas dan papan serat. Di Indonesia sudah mulai banyak industri kertas memanfaatkan limbah kelapa sawit tersebut sebagai alternatif bahan baku. Proses pembuatan pulp dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu proses dengan NaOH dan proses dengan sulfat (Yan, 2012).
Bagian pangkal TKKS mengandung serat dengan panjang serat rata-rata 1,2 mm sedangkan serat bagian ujungnya (malai) lebih pendek 0,76 mm. Bila dikelompokkan ke dalam panjang serat menurut klasifikasi Klemm, serat TKKS termasuk serat pendek sampai sedang, yaitu antara 1,0-2,0 mm, sedangkan diameter seratnya, yaitu serat bagian pangkal dan bagian malai termasuk kelompok diameter kecil sampai sedang (22,5 µm). Kadar serat bagian pangkal TKKS sekitar 72,67%, lebih tinggi bila dibandingkan dengan bagian ujungnya (62,47%). Semakin tinggi kadar serat, semakin tinggi pula rendemen pulp yang akan diperoleh (Darnoko, 1995).
Penggunaan TKKS untuk bahan baku pulp dan kertas akan memberikan beberapa keuntungan:
Universitas Sumatera Utara
1. Memberikan tambahan keuntungan pabrik kelapa sawit yaitu dengan menjual TKKS. 2. Menurunkan ongkos produksi pabrik pulp karena harga TKKS akan lebih murah dibandingkan dengan bahan baku lainnya. 3. Menjaga kelestarian hutan tropis karena akan lebih sedikit ketergantungan padanya (Guritno, 1995)
2.3. Selulosa Selulosa (C6H10O5)n adalah polisakarida yang merupakan pembentuk sel-sel kayu hampir 50%. Kertas saring dan kapas hampir merupakan selulosa yang murni. Berat molekul selulosa kira-kira 300.000 (Sastrohamidjojo, 2009). Polisakarida ini adalah polimer alam yang paling banyak terdapat dan paling tersebar di alam. Jutaan ton selulosa digunakan setiap tahun untuk membuat perabot kayu, tekstil, dan kertas (Cowd, 1991). Selulosa disusun oleh satuan D-glukosa dengan ikatan β-1,4 tanpa percabangan. Selobiosa
Gugus non reduksi
anhidroglukosa
Gugus reduksi
Gambar 2.1 Struktur Selulosa (Klemm, 1998).
Gugus hidroksi dari kedua selulosa memberikan perbedaan sifat. C-1 mempunyai sifat reduksi sedangkan glukosa dengan golongan hidroksi C-4 mempunyai sifat nonreduksi (Klemm, 1998). Selulosa merupakan elemen struktural utama dari tumbuhan, yang memberikan kekuatan struktural agar tanaman dapat berdiri tegak. Kayu terdiri dari sekitar setengah selulosa dan polimer heterogen setengah
Universitas Sumatera Utara
noncarbohydrate disebut lignin (Waser,1980). Meskipun merupakan karbohidrat, selulosa bukanlah merupakan sumber makanan bagi manusia dan hewan. Pada selulosa, unit-unit anhidrat glukosa dihubungkan dengan ikatan kimia tipe β; komponenkomponen karbohidrat seperti pati diikat dengan hubungan tipe α (Haygreen, 1982).
2.4. Lignin Lignin adalah suatu polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi, tersusun atas unit-unit fenilpropan. Meskipun tersusun atas karbon, hidrogen dan oksigen, lignin bukanlah suatu karbohidrat. Lignin sangat stabil dan sukar dipisahkan dan mempunyai bentuk yang bermacam-macam karena suatu lignin yang pasti di dalam kayu tidak menentu.
Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel. Di antara sel-sel, lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel-sel bersama-sama. Dalam dinding sel, lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan berfungsi untuk memberikan ketegaran pada sel. Lignin juga berpengaruh dalam memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan kandungan air kayu dan juga dikatakan bahwa lignin mempertinggi sifat racun kayu yang membuat kayu tahan terhadap serangan cendawan dan serangga. Ketegaran yang diberikan oleh lignin merupakan faktor penentu sifat-sifat kayu.
Lignin merupakan bahan yang tidak berwarna. Apabila lignin bersentuhan dengan udara, terutama dengan adanya sinar matahari, maka (bersama-sama dengan karbohidrat-karbohidrat tertentu) lama kelamaan lignin cenderung menjadi kuning. Karenanya kertas koran yang terbuat dari serat-serat yang diperoleh secara mekanis dengan lignin yang belum dipisahkan, tidak berumur panjang karena kecenderungannya untuk menjadi kuning. Kertas koran juga kasar, massanya besar dan kekuatannya rendah karena serat-seratnya yang kaku memiliki ikatan antar serat yang lemah.
Universitas Sumatera Utara
Lignin bersifat termoplastik-artinya lignin akan menjadi lunak dan dapat dibentuk pada suhu yang lebih tinggi dan keras kembali apabila menjadi dingin. Sifat termoplastik lignin menjadi dasar pembuatan papan keras (hardbord) dan lain-lain produk kayu yang dimampatkan (Haygreen, 1996). Lignin dapat diisolasi dari kayu bebas ekstraktif sebagai sisa yang tidak larut setelah penghilangan polisakarida dengan hidrolisis (Sjostrom, 1995).
2.5. Hemiselulosa Hemiselulosa semula diduga merupakan senyawa antara dalam biosintesis selulosa. Namun saat ini diketahui bahwa hemiselulosa termasuk dalam kelompok polisakarida heterogen yang terbentuk melalui jalan biosintesis yang berbeda dari selulosa. Berbeda dengan selulosa yang merupakan homopolisakarida, hemiselulosa merupakan heteropolisakarida. Seperti halnya selulosa kebanyakan hemiselulosa berfungsi sebagai bahan pendukung dalam dinding-dinding sel. Hemiselulosa relatif mudah dihidrolisis oleh asam menjadi komponen-komponen monomernya yang terdiri dari D-glukosa, Dmanosa, D-galaktosa, D-xilosa, L-arabinosa, dan sejumlah kecil L-ramnosa di samping menjadi asam D-glukoronat, asam 4-O—metil-D-glukuronat, dan asam D-galakturonat (Sjostrom, 1995). Sebagian terbesar hemiselulosa merupakan polimer-polimer dengan rantai bercabang, berbeda dengan selulosa yang berantai lurus, dan umumnya tersusun atas 150 anhidrid gula sederhana atau kurang (artinya derajat polmerisasinya umumnya kurang dari 150) (Haygreen,1982).
Universitas Sumatera Utara
2.6. Sumber-Sumber Selulosa Selulosa merupakan struktur dasar sel-sel tanaman. Oleh karena itu merupakan bahan yang sangat penting yang dibuat oleh organisme makhluk hidup. Pernyataan yang sama ini berlaku pada terdapatnya selulosa secara kuantitatif. Adapun sumber selulosa yaitu: 1. Kayu 2. Bukan Kayu a. Serat buah/biji (Seed Fibers) : Kapas, kapuk b. Serat kulit (Bast Fibres) : Rami, kenaf, rosela, dll c. Serat daun (Leaf Fibres) : Nenas, pisang, dll d. Residu pertanian (Agricultural Residues) : Bagas, jerami, merang, tandan kosong kelapa sawit (TKKS), tongkol jagung. e. Bambu f. Non-vegetable : bacterial cellulose (BC) sebagai bahan akustik, kertas khusus
Sumber utama serat/selulosa untuk pulp adalah kayu. Lebih dari 90% kebutuhan pulp dunia dipenuhi oleh pulp kayu, sedangkan sisanya berasal dari bahan non-kayu terutama ampas tebu (bagas), jerami dan bambu. Sementara TKKS yang merupakan limbah perkebunan dari pengolahan minyak sawit mentah atau CPO memiliki potensi sebagai bahan baku pulp cukup tinggi sebanyak ± 1,7 juta ton kering/Ha (Setiawan, 2010).
2.7 Sifat Kimia Selulosa Selulosa mempunyai ikatan β pada unit-unit monosakaridanya, dan merupakan poli-βD-glukopiranosida, yang di antara monomer-monomernya berikatan secara 1-β 4-βglikosida. Selulosa umumnya terdiri dari sekitar 300.000 satuan monomer dan mempunyai berat molekul berkisar dari 250.000 sampai lebih dari 1.000.000 g/mol, dengan rumus molekul (C5H10O5)n. Di dalam molekul selulosa, monomer-monomernya
Universitas Sumatera Utara
tersusun secara linear, sedangkan di antara pita-pita satuan polimernya tersusun secara paralel. Oleh karena itu, di antara pita-pita polimer tersebut terdapat banyak jembatan hidrogen intermolekuler dan intramolekuler yang menyebabkan selulosa mempunyai struktur yang masif/kompak dan merupakan struktur dasar sel-sel tumbuhan (Riswiyanto, 2009). Adanya ikatan-ikatan hidrogen yang kuat selulosa mempunyai kekuatan tarik yang tinggi dan tidak larut dalam kebanyakan pelarut (Sjostrom, 1995).
Gambar 2.2. Jembatan hidrogen intramolekuler dan intermolekuler di antara rantai-rantai polimer di dalam selulosa (Riswiyanto, 2009)
Selulosa tidak berwarna, tidak berbau, dan merupakan padatan polimer yang tidak beracun. Selulosa tidak larut dalam air dan pelarut organik pada umumnya tetapi mengalami sweeling di dalam larutan polar protik dan aprotik. Karena gaya kohesi yang kuat di antara makromolekul melalui jaringan intermolekul, khususnya ikatan hidrogen, selulosa tidak dapat dibentuk dalam bentuk cair.
Secara sistematis struktur kompleks selulosa umumnya dibedakan menjadi tiga tingkat, yaitu struktur molekul, supramolekul dan morfologi. Struktur molekul selulosa merupakan homopolimer linear dari senyawa D-anhidroglukosapiranosa (AGU), yang dihubungkan dengan ikatan glikosida β (1,4). Masing-masing AGU memiliki hidroksi
Universitas Sumatera Utara
pada C-2, C-3, dan C-6. Ikatan hidrogen intramolekul antara O-3-H dan O-5, dan O-2-H dan O-6 menyebabkan selulosa kaku. Struktur supramolekul menyebabkan adanya ikatan hidrogen O-6-H dan O-3 rantai lainnya O-3”. Ikatan ini berperan untuk gaya kohesi antar rantai. Morfologi selulosa berbentuk serat. Informasi morfologi selulosa dapat diterima dengan menggunakan teknik mikroskop elektron (SEM atau TEM). Karena struktur molekulnya, supramolekul, dan morfologi serat, selulosa merupakan polimer serat yang khas dan sangat dominan diproses dan digunakan dalam bentuk serat. Polimer ini tersedia dari alam dalam bentuk berbagai tanaman serat dan sebagai pulp kayu setelah delignifikasi melalui tanaman berkayu (Klemm, 1998).
2.8 α-selulosa Semua pulp sebagian besar mengandung hemiselolusa dan lignin. Materi ini tidak mempunyai efek yang merugikan dalam pembuatan kertas dan justru diinginkan karena meningkatkan hasil pulp dan meningkatkan pembentukan lembaran. Untuk kegunaan umum dari pulp kimia, materi ini tidak dibutuhkan dan harus dipisahkan dengan menggunakan basa, pada umumnya natrium hidroksida. α selulosa biasanya diperoleh dengan metode gravimetri dimana tidak larut dalam NaOH 17,5% disaring dan ditimbang. Hasil pulp disebut α-selulosa.
α-selulosa digunakan dalam membuat perkamen vulkanisir, resin kertas, dan kertas khusus sesuai dengan kebutuhan. α-selulosa yang sangat murni, disebut larutan pulp, digunakan dalam pembuatan rayon, kertas kaca, nitro selulosa, selulosa asetat, dan turunan selulosa lainnya (Bethel, 1962).
Universitas Sumatera Utara
2.9 Selulosa Asetat Lembaran pulp kayu telah digunakan untuk pembuatan selulosa asetat dimana dilakukan pemutihan dan kemudian dipanaskan dengan asam asetat. Pulp dimasukkan ke dalam reaktor, kemudian dicampur dengan asetat anhidrat dan asam asetat glasial yang kemudian ditambahkan dengan katalis yang sesuai. Pencampuran diteruskan sampai struktur serat selulosa larut. Hasil disebut selulosa asetat primer, kemudian asam asetat yang mengandung 5-10% aquadest ditambahkan. Pencampuran ini dilakukan selama 10-20 jam untuk hidrolisis primer menjadi sekunder. Ketika derajat substitusi telah dicapai, selulosa asetat diendapkan dari larutan dalam labu yang mengandung air dingin. Endapan selulosa asetat dicuci sampai netral dan kemudian dikeringkan (Bethel, 1962).
Selulosa mempunyai tiga radikal hidroksil bebas dari tiap satuan glukosa yang menjadi penyusunnya. Oleh karena itu, selulosa dapat membentuk ester. Ester selulosa yang penting adalah selulosa asetat, selulosa nitrat, dan selulosa xantat. Selulosa dinitrat, selulosa asetat dan selulosa xantat mempunyai kegunaan yang penting dalam proses pembuatan benang tiruan. Khusus untuk selulosa trinitrat digunakan untuk pembuatan bahan peledak (gun cotton) (Sumardjo, 2009).
Selulosa dapat diesterifikasi dengan asetat anhidrida dengan adanya asam sulfat sebagai katalisator, menghasilkan diasetat dan triasetat. Selulosa asetat dapat larut dalam pelarut metilen klorida-alkohol, bila campuran ini digilas dengan penggilas yang panas hingga pelarutnya cepat menguap maka akan diperoleh film yang digunakan untuk fotografi. Bila larutan-larutan selulosa asetat ditekan pada suatu tabung yang disebut spinneret, dan pelarutnya kemudian diuapkan maka akan diperoleh serat yang halus yang disebut asetat rayon. Asetat rayon digunakan sebagai bahan tekstil (Sastrohamidjojo, 2009).
Esterifikasi selulosa yang dikatalisis dengan asam berlangsung menurut persamaan reaksi berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. Esterifikasi Selulosa (Sjostrom, 1995)
Esterifikasi selulosa berlangsung dalam sistem heterogen, laju reaksi dikendalikan oleh difusi pereaksi-pereaksi ke dalam struktur serat. Setelah protonasi anhidrida asetat ion karbonium elektrofil yang dibentuk ditambahkan pada atom oksigen hidroksil nukleofil selulosa. Zat antara ini kemudian terurai menjadi selulosa asetat dan asam asetat dengan membebaskan proton.
Gambar 2.4 Struktur Selulosa Asetat (Solomon, 1987)
Faktor-faktor yang berkaitan dengan reaksi esterifikasi: 1. Suhu Suhu tinggi dapat menyebabkan selulosa dan selulosa asetat dapat terdegradasi sehingga menyebabkan yield produk turun. 2. Waktu esterifikasi Waktu esterifikasi yang panjang dapat menyebabkan selulosa dan selulosa asetat terdegradasi sehingga yield produk menjadi kecil.
Universitas Sumatera Utara
3. Kecepatan pengadukan Kecepatan pengadukan yang tinggi akan memperbesar perpindahan massa sehingga semakin memperbesar kecepatan reaksi sehingga yield yang dihasilkan akan meningkat. 4. Jumlah asam asetat Jumlah reaktan yang besar akan memperbesar kemungkinan tumbukan antar reaktan sehingga mempengaruhi kecepatan reaksi esterifikasi. 5. Jumlah pelarut Jumlah pelarut akan mempengaruhi homogenitas dari larutan tetapi jika jumlahnya terlalu besar akan mengurangi kemungkinan tumbukan antar reaktan (memperkecil konsentrasi reaktan) sehingga akan memperkecil yield dari produk (Savitri, 2004).
Rayon dan serat asetat secara khusus digunakan dalam tekstil, dan campuran dengan serat lainnya. Juga dapat digunakan dalam pabrik tenun dan rajutan, kaus kaki, dan benang untuk rajutan dan tenunan. Industri menggunakan rayon dan asetat dalam pembuatan kain ban, konveyer dan sabuk, pengamplasan roda, dan penguat untuk kertas dan plastik. Bentuk khusus dari selulosa asetat juga digunakan sebagai jas hujan, pelapis kain, dan pita mesin tik. Bentuk lainnya digunakan secara luas sebagai pelapis listrik karena koduktivitasnya rendah, dan fleksibel (Bethel, 1962).
2.10
Karakterisasi Polimer
2.10.1. Fourier Transform Infrared (FTIR) Instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada pelbagai panjang gelombang disebut spektrometer inframerah. Pancaran inframerah umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnet yang terletak di antara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang dari pada 100 cm-1 (panjang gelombang lebih dari 100 µm) diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi putaran molekul. Penyerapan itu tercatu dan demikian spektrum rotasi molekul terdiri dari garis-garis yang tersendiri (Hartomo, 1986).
Universitas Sumatera Utara
Serapan radiasi inframerah oleh suatu molekul terjadi karena interaksi vibrasi ikatan kimia yang menyebabkan perubahan polarisabilitas dengan medan listrik gelombang elektromagnetik (Wirjosentono, 1987). Terdapat dua macam getaran molekul, yaitu getaran ulur dan getaran tekuk. Getaran ulur adalah suatu gerakan berirama di sepanjang sumbu ikatan sehingga jarak antar atom bertambah atau berkurang. Getaran tekuk dapat terjadi karena perubahan sudut-sudut ikatan antara ikatan-ikatan pada sebuah atom, atau karena gerakan sebuah gugusan atom terhadap sisa molekul tanpa gerakan nisbi atom-atom di dalam gugusan. Contohnya liukan (twisting), goyangan (rocking) dan getaran puntir yang menyangkut perubahan sudutsudut ikatan dengan acuan seperangkat koordinat yang disusun arbitter dalam molekul. Hanya getaran yang menghasilkan perubahan momen dwikutub secara berirama saja yang teramati di dalam inframerah (Hartomo, 1986).
Atom molekul bergerak dengan berbagai cara, tetapi selalu pada tingkat energi tercatu. Energi getaran rentang untuk molekul organik bersesuaian dengan radiasi inframerah dengan bilangan gelombang antara 1200 dan 4000 cm-1. Bagian tersebut dari spektrum inframerah khususnya berguna untuk mendeteksi adanya gugus fungsi dalam senyawa organik. Memang daerah ini sering dinyatakan sebagai daerah gugus fungsi karena kebanyakan gugus fungsi yang dianggap penting oleh para kimiawan organik mempunyai serapan khas dan nisbi tetap pada panjang gelombang tersebut (Pine, 1988).
Identifikasi pita absorpsi khas yang disebabkan oleh berbagai gugus fungsi merupakan dasar penafsiran spektrum inframerah (Creswell, 1972). Hadirnya sebuah puncak serapan dalam daerah gugus fungsi dalam sebuah spektrum inframerah hampir selalu merupakan petunjuk pasti bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat dalam senyawa cuplikan. Demikian pula, tidak adanya puncak dalam bagian tertentu dari daerah gugus fungsi sebuah spektrum inframerah biasnya berarti bahwa gugus tersebut yang menyerap pada daerah itu tidak ada (Pine, 1980). Asam karboksilat mempunyai dua karakteristik absorbsi IR yang membuat senyawa -CO2H dapat diidentifikasi sengan mudah. Ikatan O-H dari golongan karboksil diabsorbsi pada daerah 2500 sampai 3300
Universitas Sumatera Utara
cm-1, dan ikatan C=O yang ditunjukkan diabsorbsi di antara 1710 sampai 1750 cm-1 (McMurry, 2007).
2.10.2. Scanning Electron Microscopy (SEM) SEM adalah mikroskop yang menggunakan berkas elektron sebagai sumber energi, dan lensa elektromagnetik sebagai pengganti lensa gelas. Penggunaan mikroskop elektron dilakukan terutama dengan alasan resolusi dan kedalam fokus (depth of focus) yang lebih baik dibandingkan dengan mikroskop optik (Subaer, 2008). SEM dapat membentuk bayangan permukaan. Struktur permukaan suatu benda uji dapat dipelajari dengan mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih mudah untuk mempelajari struktur permukaan itu secara langsung. Pada dasarnya SEM menggunakan sinyal yang dihasilkan elektron untuk dipantulkan atau berkas sinar elektron sekunder. SEM menggunakan prinsip skanning dengan prinsip utamanya adalah berkas elektron diarahkan pada titik-titik permukaan spesimen. Gerakan elektron diarahkan dari satu titik ke titik lain pada permukaan spesimen.
Jika seberkas sinar elektron ditembakkan pada permukaan spesimen maka sebagian elektron itu akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi diteruskan. Jika permukaan spesimen tidak rata, banyak lekukan, lipatan atau lubang-lubang maka tiap bagian permukaan itu akan memantulkan elektron dengan jumlah dan arah yang berbeda dan jika ditangkap detektor akan diteruskan ke sistem layer dan akan diperoleh gambaran yang jelas dari permukaan spesimen dalam bentuk tiga dimensi (Nur, 1997).
Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakaiannya, tetapi memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan. Aplikasiaplikasi yang khas mencakup penelitian dispersi-dispersi pigmen dalam cat, pelepuhan atau peretakan koting, batas-batas fasa dalam polipaduan yang tak dapat campur, struktur sel busa-busa polimer, dan kerusakan pada bahan perekat. SEM teristimewa
Universitas Sumatera Utara
berharga dalam mengevaluasi betapa penanaman (implant) bedah polimerik bereaksi baik dengan lingkungan bagian tubuhnya (Stevens, 2000). Analisis mikrostruktur dengan SEM dapat dilakukan pada sampel yang telah dipoles atau sampel yang tidak dipoles atau sampel fraktur (fractured specimen). Sampel yang digunakan dalam penyelidikan SEM dipersiapkan dengan cara berikut: Sampel dipotong hingga berukuran tebal 2,00 mm dengan diameter 10 mm. Selanjutnya, material tersebut dipoles hingga ukuran 1 µm dengan pasta intan. Sampel yang telah dibersihkan dilapisi dengan emas untuk imaging (Subaer, 2008).
2.10.3. Termogravimetric Analisis (TGA) Teknik yang dicakup dalam metode analisis termal adalah analisis termogravimetri (TGA) yang didasari pada perubahan berat akibat pemanasan. TGA merupakan teknik mengukur perubahan berat suatu sistem bila temperaturnya berubah dengan laju tertentu (Khopkar, 2007). Dalam analisa termogravimetri diamati perubahan bobot dari sampel selama kenaikan suhu (dengan laju tetap). Karena itu dengan analisis ini dapat diperoleh informasi kenaikan bobot karena penguapan, dekomposisi, atau mungkin pertambahan bobot karena pengikatan molekul gas dari atmosfer (Wirjosentono, 1995). Metode TGA yang paling banyak dipakai didasarkan pada pengukuran berat yang kontinu terhadap suatu neraca sensitif (disebut neraca panas) ketika suhu sampel dinaikkan dalam udara atau dalam suatu atmosfer yang inert. Data dicatat sebagai termogram berat versus temperatur. Hilangnya berat bisa timbul dari evaporasi lembab yang tersisa atau pelarut, tetapi pada suhu-suhu yang lebih tinggi terjadi dari terurainya polimer (Stevens, 2000).
Universitas Sumatera Utara