BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Persalinan pervaginam Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri)
yang dapat hidup ke dunia luar, dari rahim melalui jalan lahir atau dengan jalan lain. Persalinan biasa (normal) disebut juga partus spontan, adalah proses lahirnya bayi dengan tenaga ibu sendiri tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam. Sementara partus luar biasa (abnormal) ialah persalinan pervaginam dengan bantuan alat-alat atau ekstraksi forcipal dan vakum (Mochtar, 1998). Proses persalinan terdiri dari 4 kala. Kala I dimulai pada waktu serviks membuka karena his (kontraksi uterus yang teratur, makin lama makin kuat, makin sering, makin terasa nyeri disertai pengeluaran darah lendir yang tidak lebih banyak daripada darah haid). Kala I disebut juga dengan kala pembukaan, terdiri dari 2 fase yaitu fase laten dan fase aktif. Pada fase laten, pembukaan serviks berlangsung lambat sampai pembukaan 3 cm dan berlangsung dalam 7-8 jam. Fase aktif berlangsung selama 6 jam dan dibagi menjadi 3 subfase, yaitu periode akselerasi, dilatasi maksimal, dan deselerasi. Periode akselerasi berlangsung 2 jam, dan pembukaan menjadi 4 cm. Setelah itu dilanjutkan periode dilatasi maksimal berlangsung selama 2 jam pula dan pembukaan menjadi 9 cm. Kemudian selama 2 jam berikutnya pada periode deselerasi, pembukaan menjadi 10 cm atau lengkap (Mochtar, 1998). Kala II disebut juga kala pengeluaran janin. Pada fase ini, his terkoordinir, kuat, cepat, dan lebih lama, kira-kira 2-3 menit sekali. Kepala janin telah turun masuk ruang panggul sehingga terjadilah tekanan pada otot-otot dasar panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Pada waktu his, kepala janin mulai kelihatan dan perineum meregang. Dengan his mengedan yang terpimpin, akan lahirlah kepala dan diikuti oleh seluruh badan janin (Mochtar, 1998). Kala III persalinan disebut juga stadium pengeluaran plasenta. Setelah bayi lahir, kontraksi rahim istirahat sebentar. Beberapa saat kemudian, timbul his
Universitas Sumatera Utara
pelepasan dan pengeluaran plasenta. Dalam waktu 5-15 menit seluruh plasenta terlepas, terdorong ke dalam vagina dan aka lahir spontan atau dengan sedikit dorongan dari atas simfisis atau fundus uteri. Pengeluaran plasenta disertai pengeluaran darah kira-kira 100-200 cc (Mochtar, 1998). Kala IV adalah pengawasan selama 1 jam setelah bayi dan plasenta lahir untuk mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya pendarahan postpartum (Mochtar, 1998). Meskipun pasien mendapat obat-obat oksitosik, namun pendarahan paskapartum akibat atonia uterus paling besar kemungkinannya terjadi pada waktu ini. Selama periode ini uterus perlu sering diperiksa. Perineum juga sering diperiksa untuk mendeteksi perdarahan yang berlebihan. Tekanan darah juga sering diperiksa untuk mendeteksi perdarahan bayi dan tiap 15 menit selama 1 jam pertama (Cunningham, et al, 2010).
2.2.
Persalinan perabdominal atau seksio sesarea
2.2.1 Definisi Seksio sesarea didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui insisi di dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin dari rongga abdomen pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan abdomen (Cunningham, et al, 2010). Asal kata sesarea (caesarean) masih belum jelas. Tiga penjelasan telah diajukan. Yang pertama, menurut legenda, Julius Caesar dilahirkan dengan cara ini, karena itu prosedur ini kemudian dikenal dengan nama operasi caesar. Beberapa keadaan memperlemah teori ini. Pertama, ibu Julius Caesar hidup bertahun-tahun setelah ia lahir pada tahun 100 SM, dan sampai akhir abad ke-17, operasi ini hampir selalu fatal. Kedua, operasi ini, baik dilakukan pada keadaan ibu hidup atau mati, tidak disebutkan oleh satu penulis kedokteran pun sebelum Abad Pertengahan, rincian sejarah tentang asal muasal nama keluarga Caesar dapat ditemukan di monograf Pickrell (1935) (Cunningham, et al, 2010). Kedua, terdapat anggapan yang telah meluas bahwa nama operasi ini berasal dari sebuah hukum Romawi, diperkirakan dibuat oleh Numa Pompilius(abad ke-8 SM), yang memerintahkan bahwa prosedur ini dilakukan
Universitas Sumatera Utara
pada wanita yang sekarat pada beberapa minggu terakhir kehamilan dengan harapan bayinya dapat diselamatkan. Penjelasan ini kemudian menyatakan bahwa lex regia ini, demikian nama hukum ini saat pertama kali disebut, berubah menjadi lex sesarea dibawah kakaisaran, dan operasi itu sendiri menjadi dikenal sebagai operasi sesarean. Kata jerman Kaiserschnitt (“sayatan Kaisar”) mencermikan etimologi ini (Cunningham, et al, 2010). Ketiga, kata sesarean berasal dari kata kerja latin sekitar Abad pertengahan, caedere, “memotong”. Turunan kata yang jelas adalah kata caesura, suatu potongan, atau jeda, dalam bait sajak. Penjelasan kata sesarean inilah tampaknya paling logis, tetapi kapan sebenarnya kata ini pertama kali diterapkan untuk operasi ini masih belum jelas. Karena “seksio” berasal dari verba Latin seco, yang juga berarti “memotong”, maka kata seksio sesaria tampaknya merupakan pengulangan tanpa menambah kejelasan (Cunningham, et al, 2010).
2.2.2 Klasifikasi seksio sesarea menurut urgensi Seksio sesarea secara tradisional telah dibagi menjadi prosedur elektif atau darurat. Sebuah klasifikasi yang jelas dari tingkat urgensi yang dirasakan dari seksio sesarea dapat memfasilitasi komunikasi dan mengurangi kesalahpahaman antara
praktisi
medis.
Sistem
klasifikasi
NCEPOD
merekomendasikan
kategorisasi operasi menjadi empat kelas dari urgensi. Skema terkategorisasi ini telah diujicoba dan dievaluasi. Ketegorisasi ini juga secara independen memprediksi keluaran bayi (National Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health, 2004). Kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ancaman langsung terhadap kehidupan wanita atau janin 2. Kompromi ibu atau janin yang tidak segera mengancam jiwa 3. Tidak ada kompromi ibu atau janin tetapi membutuhkan persalinan awal 4. Waktu persalinan sesuai dengan wanita atau staff Kelas 1 (ancaman langsung terhadap kehidupan wanita atau janin) termasuk seksio sesarea untuk bradikardia berat yang akut, prolaps tali pusat, ruptur uteri, pH darah janin sampel kurang dari 7,2. Kelas 2 (kompromi ibu atau
Universitas Sumatera Utara
janin yang tidak segera mengancam jiwa), ada 'urgensi' untuk melahirkan bayi untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dari baik ibu atau kondisi bayi (misalnya perdarahan antepartum, kegagalan untuk kemajuan dalam persalinan dengan kompromi ibu atau janin). Kelas 3 (Tidak ada kompromi ibu atau janin tetapi membutuhkan persalinan awal) termasuk seksio sesarea dilakukan dimana tidak ada kompromi ibu atau janin tetapi pengiriman dini sangat diperlukan (misalnya seorang wanita yang dijadwalkan untuk seksio sesarea elektif yang mengaku dengan SROM atau pra-persalinan 'kegagalan untuk kemajuan' tanpa kompromi ibu atau janin). Kelas 4 (Waktu persalinan sesuai dengan wanita atau staff) mencakup semua seksio sesarea yang dilakukan elektif pada waktu yang direncanakan sesuai dengan ibu dan dokter (National Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health, 2004).
2.2.3. Indikasi seksio sesarea Banyak indikasi yang ada untuk melakukan seksio sesarea. Pada wanita yang mengalami prosedur yang dijadwalkan (seksio sesarea elektif atau indikasi yang berulang, untuk presentasi tidak normal atau kelainan plasenta), keputusan telah dibuat bahwa alternatif terapi medis melahirkan melalui vagina adalah yang paling optimal (Medscape, 2013). Seksio sesarea adalah antisipasi untuk melahirkan melalui vagina. Setiap pasien mengharapkan dapat melakukan persalinan pervaginam dengan sukses. Namun, jika situasi pasien dalam keadaan yang tidak diharapkan, seksio sesarea dilakukan. Karena diyakini bahwa hasilnya mungkin lebih baik bagi janin, ibu, atau keduanya (Medscape, 2013). Seksio sesarea dilakukan dengan indikasi ibu, indikasi janin, atau keduanya. Indikasi terbanyak untuk seksio sesarea adalah seksio sesarea sebelumnya, sungsang, distosia, dan gawat janin (Medscape, 2013).
Universitas Sumatera Utara
1. Indikasi Medis Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu : a. Power Yang memungkinkan dilakukan operasi sesarea, misalnya daya mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang mempengaruhi tenaga.
b. Passanger Diantaranya, anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak lintang, primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah).
c. Passage Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma lota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan hepatitis C (Dewi Y, 2007, hal. 11-12).
2. Indikasi Ibu a. Usia Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun, memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis,
dan
preeklamsia.
Eklampsia
(keracunan
kehamilan)
dapat
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan ibu kejang sehingga dokter memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.
b. Tulang Panggul Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu yang tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak melahirkan secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus tidaknya proses persalinan.
c. Persalinan Sebelumnya dengan seksio sesarea Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila memang
ada
indikasi
yang
mengharuskan
dilakukanya
tindakan
pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja dilakukan.
d. Faktor Hambatan Jalan Lahir Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.
e. Kelainan Kontraksi Rahim Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.
f. Ketuban Pecah Dini Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes ke luar
Universitas Sumatera Utara
sehingga tinggal sedikit atau habis. Air ketuban (amnion) adalah cairan yang mengelilingi janin dalam rahim.
g. Rasa Takut Kesakitan Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami proses rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat dan “menggigit”. Kondisi tersebut karena keadaan yang pernah atau baru melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini bisa karena alasan secara psikologis tidak tahan melahirkan dengan sakit. Kecemasan yang berlebihan juga akan mengambat proses persalinan alami yang berlangsung (Kasdu, 2003, hal. 21-26).
3. Indikasi Janin a. Ancaman Gawat Janin (fetal distress) Detak jantung janin melambat, normalnya detak jantung janin berkisar 120160. Namun jika diperiksa dengan CTG (cardiotography) dan detak jantung janin melemah, lakukan seksio sesarea segera untuk menyelamatkan janin.
b. Bayi Besar (makrosemia)
c. Letak Sungsang Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai dengan arah jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang satu dan bokong pada posisi yang lain.
d. Faktor Plasenta i. Plasenta previa Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir.
Universitas Sumatera Utara
ii. Plasenta lepas (Solutio placenta) Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari dinding rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi dilakukan untuk menolong janin segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban.
iii. Plasenta accreta Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada umumnya dialami ibu yang mengalami persalinan yang berulang kali, ibu berusia rawan untuk hamil (di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi
(operasinya
meninggalkan
bekas
yang
menyebabkan
menempelnya plasenta.
e. Kelainan Tali Pusat i. prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada keadaan ini, tali pusat berada di depan atau di samping atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi melewatinya.
ii Terlilit tali pusat Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama tali pusat tidak terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan nutrisi dari plasenta ke tubuh janin tetap aman (Kasdu, 2003, hal. 13-18).
2.2.4. Teknik seksio sesarea 2.2.4.1 Insisi abdomen a. Insisi vertikal (Midline incision) Insisi vertikal garis tengah infraumbilikus adalah insisi yang paling cepat dibuat. Insisi ini harus cukup panjang agar janin dapat lahir tanpa kesulitan. Oleh karenanya, panjang harus sesuai dengan taksiran ukuran janin. Pembebasan secara tajam dilakukan sampai ke level M. Rectus Abdominis lamina anterior, yang
Universitas Sumatera Utara
dibebaskan dari lemak subkutis untuk memperlihatkan sepotong fasia digaris tengah dengan lebar sekitar 2 cm. Beberapa dokter lebih menyukai menginsisi selubung rektus dengan skalpel di seluruh panjang insisi fasia. Dokter lain cenderung membuat sebuah lubang kecil dan kemudian memotong lapisan fasia dengan gunting. Otot rektus dan piramidalis dipisahkan di garis tengah secara tajam dan tumpul untuk memperlihatkan fasia transversalis dan peritoneum (Cunningham, et al, 2010). Fasia tranversalis dan lemak peritoneum dibebaskan secara hati-hati untuk mencapai peritoneum dibawahnya. Peritoneum yang terletak dekat dengan ujung atas insisi dibukan secara hati-hati. Beberapa dokter mangangkat peritoneum dengan dua klem hemostat yang dipasang dengan jarak 2 cm. Lipatan peritoneum yang terangkat di antara kedua klem tersebut kemudian dilihat dan dipalpasi untuk meyakinkan bahwa omentum, usus, atau kandung kemih tidak menempel. Pada wanita yang pernah menjalani bedah intra-abdomen, termasuk seksio sesarea, omentum atau usus mungkin melekat ke permukaan bawah peritoneum. Pada wanita yang mengalami persalinan macet, kandung kemihnya dapat terdorong kearah kranial hampir sampai ke level umbilikus. Peritoneum diinsisi superior terhadap kutub atas insisi dan ke arah bawah tepat diatas lipatan peritoneum diatas kandung kemih (Cunningham, et al, 2010).
b. Insisi transversal atau lintang. Dengan insisi pfannenstiel modifikasi, kulit dan jaringan subkutan disayat dengan menggunakan insisi transversal rendah sedikit melengkung. Insisi dibuat setinggi garis rambut pubis dan diperluas sedikit melebihi batas lateral otot rektus. Setelah jaringan subkutis dipisahkan dari fasia dibawahnya sepanjang 1 cm atau lebih pada kedua sisi, fasia dipotong secara melintang sesuai dengan panjang insisi. Tepi superior dan inferior fasia dipegang dengan klem yang sesuai dan kemudian diangkat oleh asisten selagi operator memisahkan selubung fasia dari otot rektus dibawahnya secara tumpul dengan pegangan skalpel. Pembuluh darah yang bejalan antara otot dan fasia dijepit, dipotong, dan diikat. Hemostasis harus dilakukan secara cermat. Pemisahan fasia dilanjutkan sampai cukup mendekati
Universitas Sumatera Utara
umbilikus agar dapat dibuat insisi longitudinal garis tengah yang adekuat di peritoneum.
Otot
rektus
kemudian
dipisahkan
di
garis
tengah
untuk
memperlihatkan peritoneum dibawahnya. Peritoneum dibuka dengan cara seperti yang telah dibahas. Penutupan lapis demi lapis dilakukan sama seperti insisi kulit verikal (Cunningham, et al, 2010). Insisi kulit tranversal jelas memiliki keunggulan kosmetik. Sebagian orang beranggapan bahwa insisi tersebut lebih kuat dan lebih kecil kemungkinannya terlepas. Apabila diperlukan ruang lebih banyak, insisi vertikal dapat dengan cepat diperluas melingkari dan keatas pusar, sedangkan insisi pfannenstiel tidak dapat. Apabila wanita yang bersangkutan obesitas, lapangan operasi mungkin lebih terbatas lagi. Dari segi morbiditas, tidaklah layak membandingkan insisi vertikal, yang sering dilakukan pada keadaan-keadaan menyimpang, dengan insisi tranversal yang dilakukan dibawah kondisi yang jauh lebih menguntungkan. Perlu diketahui pada saat seksio ulang, pembuatan jalan masuk melalui insisi pfannenstiel kembali, besar kemungkinan menghabiskan banyak waktu akibat telah terbentuknya jaringan parut (Cunningham, et al, 2010). Apabila diinginkan insisi tranversal namun diperlukan ruang yang lebih lega, insisi Maylard merupakan pilihan yang aman. Pada insisi ini, otot rektus dipisahkan dengan gunting atau skalpel. Insisi ini juga mungkin bermanfaat bagi wanita dengan jaringan parut signifikan akibat insisi Pfannenstiel sebelumnya. Dalam penelitian Ayers dan Morley dalam Cunningham, et al (2010), rerata panjang insisi adalah 18,3 cm pada insisi Maylard dibandingkan dengan 14,0 cm untuk insisi Pfannenstiel (Cunningham, et al, 2010).
2.2.4.2 .Insisi uterus 2.2.4.2.1. Insisi sesarea klasik Insisi sesarea klasik adalah suatu insisi vertikal kedalam korpus uterus diatas segmen bawah uterus dan mencapai fundus uterus, sudah jarang digunakan saat ini. Sebagian bedar insisi dibuat di segmen bawah uterus secara melintang atau, yang lebih jarang, secara vertikal. Insisi melintang disegmen bawah memiliki keunggulan yaitu hanya memerlukan sedikit pemisahan kandung kemih
Universitas Sumatera Utara
dari miometrium dibawahnya. Apabila insisi diperluas kearah lateral, dapat terjadi laserasi pada salah satu atah kedua pembuluh uterus. Insisi vertikal rendah dapat diperluas kearah atas sehingga pada keadaan-keadaan yang memerlukan ruang yang lebih lapang, insisi dapat dilanjutkan ke korpus uterus. Untuk menjaga agar insisi vertikal tetap berada disegmen bawah uterus, diperlukan pemisahan yang lebih luas pada kandung kemih. Selain itu, apabila meluas ke bawah, insisi vertikal dapat menembus serviks lalu ke vagina dan mungkin mengenai kandung kemih. Yang utama, selama kehamilan berikutnya insisi vertikal yang meluas ke miometrium atas lebih besar kemungkinannya mengalami ruptur daripada insisi tranversal, terutama selama persalinan (Cunningham, et al, 2010). Kadang-kadang perlu dilakukan insisi klasik untuk melahirkan janin. Beberapa indikasinya adalah: 1. Apabila segmen bawah uterus tidak dapat dipajankan atau dimasuki dengan aman karena kandung kemih melekat erat akibat pembedahan sebelumnya, atau apabila sebuah mioma menempati segmen bawah uterus, atau apabila terdapat karsinoma invasif di serviks. 2. Apabila janin berukuran besar dan terletak melintang, terutama apabila selaput ketuban telah pecah dan bahu terjepit dijalan lahir. 3. Pada sebagian kasus plasenta previa dengan implantasi anterior. 4. Pada sebagian kasus janin yang sangat kecil. Terutama dengan presentasi bokong, yang segmen bawah uterusnya tidak menipis. 5. Pada sebagian kasus ibu dengan obesitas berat yang hanya memungkinkan untuk mengakses bagian atas uterus saja.
Untuk presentasi kepala, insisi tranversal melalui segmen bawah uterus merupakan tindakan pilihan. Secara umum insisi transversal: 1. Lebih mudah diperbaiki 2. Terletak di tempat paling kecil kemungkinannya ruptur disertai keluarnya janin ke rongga abdomen pada kehamilan berikutnya 3. Tidak menyebabkan pelekatan usus atau omentum ke garis insisi
Universitas Sumatera Utara
Insisi uterus vertikal dilakukan dengan skalpel dan dimulai serendah mungkin, tetapi diatas tempat melekatnya kandung kemih. Apabila diperoleh ruang yang memadai, insisi diperluas ke arah kepala dengan gunting perban sampai cukup besar untuk melahirkan janin. Di dalam miometrium sering dijumpai banyak pembuluh darah besar yang mengalirkan darah dengan deras. Segera setelah janin dikeluarkan, pembuluh-pembuluh ini diklem dan akhirnya diligasi dengan jahitan catgut kromik. Untuk penjahitan uterus, salah satu metodenya adalah dengan melakukan satu lapis jahitan jelujur dengan catgut kromik ukuran 0 atau 1 untuk mendekatkan seluruh bagian dalam insisi. Separuh bagian luar insisi uterus kemudian ditutup dengan benang serupa, dengan menggunakan jahitan jelujur atau jahitan angka delapan. Jangan sampai terbentuk alur jarum yang tidak diperlukan karena hal ini dapat menyebabkan perforasi pembuluh miometrium yang mengakibatkan pendarahan atau hematom. Agar aproksimasi baik dan untuk mencegah jahitan merobek miometrium, sebaiknya asisten menekan miometrium pada kedua sisi luka kearah medial sewaktu dilakukan pemasangan dan pengikatan jahitan. Tepi-tepi serosa uterus didekatkan dengan jahitan jelujur menggunakan catgut kromik 2-0 (Cunningham, et al, 2010).
2.2.4.2.2. Insisi sesarea transversal Insisi sesarea transversal adalah insisi pada segmen bawah uterus dari garis tengah ke arah lateral. Umumnya, uterus dijumpai mengadakan dekstrorotasi sehingga ligamentum teres uteri kiri lebih anterior dan lebih dekat ke garis tengah daripada yang kanan. Pada mekonium yang kental atau cairan amnion terinfeksi, sebagian operator meletakkan tampon laparotomi yang telah dibasahi di masingmasing cekungan peritoneum lateral untuk menyerap cairan dan darah yang keluar dari uterus yang terbuka (Cunningham, et al, 2010). Biasanya lipatan peritoneum yang agak longgar diatas batas atas kandung kemih dan menutupi bagian anterior segmen bawah uterus dijepit di garis tengah dengan forseps dan disayat dengan skalpel atau gunting. Gunting diselipkan di antara serosa dan miometrium segmen bawah uterus dan didorong ke lateral dari
Universitas Sumatera Utara
garis tengah, bersamaan dengan membuka mata gunting secara parsial dan intermitten, untuk memisahkan pita serosa selebar 2 cm, yang kemudian diinsisi. Menjelang batas lateral di kedua sisi, gunting sedikit diarahkan lebih kearah kranial. Lapisan bawah peritoneum diangkat dan kandung kemih secara tumpul atau tajam dari miometrium dibawahnya. Secara umum pembebasan kandung kemih jangan melebihi 5 cm kedalamannya dan biasanya lebih sedikit. Terutama pada serviks yang sudah mendatar dan membuka, pembebasan ke arah bawah dapat terjadi sedemikian dalam secara secara tidak sengaja yang terpajan dan dimasuki adalah vagina bukan segmen bawah uterus (Cunningham, et al, 2010). Uterus dibuka melalui segmen bawah sekitar 1 cm di bawah atas atas lipatan peritoneum. Insisi uterus perlu dibuat relatif tinggi pada wanita dengan pembukaan serviks yang besar atau lengkap agar kemungkinan perluasan insisi ke lateral menuju arteri uterina berkurang. Insisi uterus dapat dilakukan dengan berbagai teknik. Semuanya dimulai dengan menyayat segmen bawah uterus yang terpajan menggunakan skalpel secara melintang sepanjang sekitar 1-2 cm separuh jalan antara kedua A. Uterina. Tindakan ini harus dilakukan dengan hati-hati sehingga sayatan memotong seluruh ketebalan dinding uterus tetapi tidak cukup dalam untuk melukai janin dibawahnya. Pembukan otot uterus secara tumpul dengan klem mungkin bermanfaat. Apabila uterus telah terbuka, insisi dapat diperluas dengan memotong ke lateral dan kemudian sedikit keatas dengan gunting perban. Cara lain, apabila segmen bawah uterus tipis, insisi masuk dapat diperluas hanya dengan tekanan ke lateral dan atas menggunakan kedua jari telunjuk. Rodriguez memperlihatkan dalam Cunningham, et al (2010) bahwa perluasan secara tumpul dan tajam terhadap insisi awal uterus setara dalam aspek keamanan dan penyulit paskaoperasi. Insisi uterus harus diibuat agak lebar agar kepala dan badan janin dapat lahir tanpa merobek atau harus memotong arteri dan vena uterina yang berjalan sepanjang batas lateral uterus. Apabila ditemukan plasenta di garis insisi, plasenta tersebut harus dilepaskan atau diinsisi. Apabila plasenta tersayat, pendarahan janin dapat parah sehingga, pada kasus semacam ini, tali pusat harus secepatnya diklem (Cunningham, et al, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Cara melahirkan janin pada presentasi kepala, satu tangan diselipkan ke dalam rongga uterus di antara simfisis dan kepala janin, lalu kepala diangkat secara hati-hati dengan jari dan telapak tangan melalui lubang insisi dibantu oleh penekanan sedang transabdominal pada fundus. Setelah persalinan lama dengan disproporsi sefalopelvik, kepala janin mungkin terjepit agak kuat di jalan lahir. Tekanan ke atas yang dilakukan melalui vagina oleh asisten akan membantu melepaskan kepala sehingga kepala dapat dikeluarkan melalui bagian atas simfisis. Untuk memperkkecil aspirasi cairan amnion dan isinya oleh janin, hidung dan mulut diaspirasi dengan bola penghisap (bulb syringe) sebelum toraks dilahirkan. Bahu kemudian dilahirkan dengan tarikan ringan disertai penekanan pada fundus. Bagian tubuh lainnya siap menyusul (Cunningham, et al, 2010). Segera setelah bahu dilahirkan, pasien diberikan 20 unit oksitosin perliter dengan kecepatan 10 ml/menit sampai uterus berkontraksi dengan baik, setelah itu lajunya dapat dikurangi. Dosis bolus 5 sampai 10 unit dihindari karena dapat menyebabkan hipotensi. Tali pusat diklem sementara bayi dipegang setinggi dinding abdomen, kkemudian bayi diberikan kepada anggota tim yang akan melakukan upaya resusitasi bila diperlukan (Cunningham, et al, 2010). Apabila presentasi janin bukan kepala, atau apabila janin lebih dari satu atau janin sangat imatur pada wanita yang belum pernah melahirkan, insisi vertikal melalui sisi bawah kadang-kadang terbukti lebih menguntungkan. Tungkai janin harus secara cermat dibedakan dari lengan untuk menghindari ekstrasi prematur lengan yang menyebabkan pelahiran bagian tubuh janin selanjutnya menjadi sulit (Cunningham, et al, 2010). Insisi uterus diperiksa untuk melihat ada tidaknya lokasi pendarahan yang deras. Pendarahan ini harus segera dijepit dengan forseps cincin atau pennington, atau
instrumen
yang
serupa.
Sebagian
besar
ahli
bedah
kebidanan
merekomendasikan untuk segera mengeluarkan palsenta secara manual, kecuali apabila plasenta telah terlepas secara spontan. Masase fundus, yang dimulai segera setelah janin lahir, dapat mengurangi pendarahan dan mempercepat pelahiran plasenta. Dalam sebuah uji acak, mendapatkan peningkatan bermakna angka infeksi paskaoperasi dua kali lipat pada pengeluaran dengan tangan
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan dengan pelahiran spontan plasenta. Menurut Cernadas dalam Cunningham, et al (2010) sejumlah dokter kebidanan lebih senang mengeluarkan plasenta dengan memanipulasi bagian luar uterus secara manual, tetapi hal ini belum terbukti lebih baik dibanding pengeluaran secara manual(Cunningham, et al, 2010). Rekomendasi dari guidelines for perinatal care (American College of Obstetricians and Gynecologist) mengisyaratkan bahwa semua pelahiran memerlukan bantuan petugas yang mampu melakukan resusitasi kepada neonatus. Tidak ada rekomendasi spesifik untuk seksio sesarea . Dibanyak institusi, standar perawatan mengharuskan semua seksio sesarea untuk dihadiri oleh seorang spesialis anak, apapun resiko janin, sedangkan pelahiran pervaginam dengan resiko rendah dapat hanya dibantu oleh perawat. Jacob dan phenninger dalam Cunningham, et al (2010) membandingkan 834 seksio sesarea dengan 834 pelahiran per vaginam resiko rendah. Mereka menyimpulkan bahwa seksio sesarea berulang, dan seksio sesarea atas indikasi distosia tanpa kelainan frekuensi denyut jantung janin dan dilakukan dibawah pengaruh anestesia regional, tidak memerlukan kehadiran dokter spesialis anak karena jarang diperlukan resusitasi janin, di Parkland Hospital, seksio sesarea elektif nonkomplikata hanya dibantu oleh perawat anak (Cunningham, et al, 2010). Setelah plasenta lahir, uterus dapat diangkat melewati insisi dan diletakkan di atas dinding abdomen yang tertutup oleh duk dan fundus yang ditutupi oleh tampon laparotomi yang telah dibasahi. Walaupun setiap dokter menghindari tahap yang terakhir ini, eksteriorisasi uterus sering memberikan keuntungan yang melebihi kerugiannya. Kita dapat dengan cepat mengetahui uterus yang atonik dan melemas segingga dapat segera melakukan masase. Insisi dan titik pendarahan lebih jelas tampak dan akan lebih mudah diperbaiki, terutama apabila terdapat perluasan insisi ke lateral. Pajanan adneksa juga lebih baik sehingga sterilisasi tuba lebih mudah dilakukan. Kerugian utama adalah rasa tidak nyaman dan muntah akibat traksi pada wanita yang mendapat analgesia spinal atau epidural. Morbiditas febris atau kehilangan darah tampaknya tidak meningkat
Universitas Sumatera Utara
pada wanita yang menjalani eksteriorisasi uterus sebelum penutupan sayatan (Cunningham, et al, 2010). Segera setelah plasenta lahir dan diperiksa, rongga uterus diperiksa dan diusap dengan kassa untuk mengeluarkan selaput ketuban yang tertinggal, verniks, bekuan darah, dan debris lainnya. Tepi sayatan bagian atas dan bawah serta masing-masing sudut insisi uterus diperiksa secara cermat untuk melihat ada tidaknya pendarahan. Batas bawah insisi yang dibuat melalui segmen bawah uterus yang menipis mungkin sedemikian tipis sehingga terabaikan. Pada saat yang sama, dinding posterior segmen bawah uterus kadang-kadang menggembung ke anterior sedemikian rupa sehingga disangka batas bawah insisi (Cunningham, et al, 2010). Insisi uterus ditutup dengan satu atau dua lapisan jahitan kontinu menggunakan benang yang dapat diserap ukuran 0 atau #1. Biasanya digunakan benang kromik, tetapi sebagian lebih menyukai benang sintetik yang tidak diserap. Dari kajian mereka, Bivins dan Galup dalam Cunningham, et al (2010) merekomendasikan penutupan uterus dengan jahitan satu lapisan (Cunningham, et al, 2010). Pembuluh-pembuluh besar yang dijepit sendiri sebaiknya diligasi dengan benang. Sebagian dokter mengemukakan kekhawatiiran bahwa jahitan melalui desidua dapat menyebabkan enndometriosis pada jaringan parut, tetapi penyulit ini jarang dijumpai. Jahitan awal diletakkan tepat diluar salah satu sudut insisi. Kemudian dilakukan jahitan jelujur mengunci, dengan setiap jahitan menembus seluruh ketebalan miometrium. Tempat setiap jahitan harus dipilih secara hati-hati agar setelah menembus miometrium jarum tidak perlu ditarik kembali. Hal ini mengurangi kemungkinan perforasi pembuluh yang tidak terikat dan pendarahan yang dapat ditimbulkannya. Jahitan jelujur mengunci dilanjutkan sampai telah melewati sudut insisi yang berlawanan. Aproksimasi tepi sayatan dengan jahitan satu lapis biasanya memuaskan, terutama apabila segmen bawah tipis. Apabila setelah jahitan jelujur satu lapis aproksimasi kurang memuaskan atau pendarahan menetap, dapat dilakukan penjahitan satu lapis lagi sehingga terjadi aproksimasi
Universitas Sumatera Utara
dan hemostasis, atau masing-masing tempat pendarahan diikat dengan jahitan matras atau angka delapan (Cunningham, et al, 2010). Setelah tercapai hemostasis dengan penutupan uterus, tepi-tepi lapisan serosa yang tadinya melapisi uterus dan kandung kemih disambung dengan jahitan jelujur menggunakan catgut kromik 2-0. Bivins dan Galup dalam Cunningham, et al (2010), bedasarkan kajian mereka, lebih memilih untuk tidak menutup peritoneum. Penelitian-penelitian telah membuktikan bahwa apabila peritoneum viseralisa dan parietalis dibiarkan terbuka, kebutuhan akan analgesia paskaoperasi akan berkurang dan fungsi usu akan cepat pulih. Tindakan ini tidak meningkatkan pembentukan perlekatan (adhesi) (Cunningham, et al, 2010). Apabila akan dilakukan sterilisasi tuba, pada saat inilah tindakan tersebut dilakukan. Salpingektomi segmen tengah parsial memiliki angka kegagalan yang rendah (Cunningham, et al, 2010). Semua kassa dikeluarkan, cekungan dan cul-de-sac dikosongkan dari darah dan cairan amnion dengan penghisapan secara hati-hati. Apabila dilakukan anestesia umum, organ-organ abdomen atas dapat dipalpasi secara sistematis. Namun, pada analgesia induksi hal ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman yang cukup besar. Setelah jumlah spons dan instrumen dihitung dengan benar, insisi abdomen ditutup. Banyak dokter yang tidak melakukan aproksimasi tepi peritoneum. Sewaktu dilakukan penutupan lapis demi lapis, tempat-tempat pendarahan diindentifikasi., diklem, dan diligasi. Otot rektus dibiarkan kembali ke letaknya semula, dan ruang subfasia secara cermat diperiksa untuk hemostasis. Fasia rektus diatasnya ditutup dengan jahitan interrupted (satu demi satu) dengan benang yang tidak diserap nomor 0 dan dipasang lateral terhadap tepi fasia dengan jarak tidak lebih dari 1 cm, atau jahitan jelujur mengunci dengan benang yang dapat diserap dan bertahan lama atau permanen (Cunningham, et al, 2010). Jaringan subkutan biasanya tidak perlu ditutup secara terpisah apabila ketebalannya 2 cm atau kurang, dan kulit ditutup dengan jahitan matras vertikal dengan benang sutera 3-0 atau 4-0 atau benang yang ekivalen atau klip kulit. Apabila jaringan adiposanya lebih tebal, atau apabila digunakan klip atau jaringan subkutan, perlu dilakukan beberapa penjahitan intrrupted dengan plain catgut 3-0
Universitas Sumatera Utara
untuk menghilangkan ruang rugi dan mengurangi tengangan pada tepi luka kulit (Cunningham, et al, 2010).
2.2.5. Komplikasi 2.2.5.1.Mortalitas ibu Angka kematian ibu operasi saesar adalah 40-80/100, 000,dimana >25 kali lebih besar dari persalinan pervaginam. Memang, morbiditas dan mortalitas infeksi 80 kali lebih tinggi dari kelahiran pervaginam. Namun, mereka yang menjalani seksio sesarea mungkin mempunyai resiko relatif yang tinggi karena prosedur yang dilakukan. Komplikasi obat bius berkontribusi 10% terhadap kematian ibu secara keseluruhan. Dengan demikian, anestesi tetap penyebab kelima atau penyebab keenam kematian ibu (Pernoll, 2001).
2.2.5.2. Morbiditas ibu pada intraoperatif Komplikasi bedah intraoperatif dengan operasi seksio sesarea adalah >11% (~80% minor dan 20% besar). Komplikasi mayor meliputi luka kandung kemih, luka gores dalam serviks atau vagina, luka gores dicorpus uteri, laserasi melalui isthmus ke ligamentumnya, laserasi dari kedua arteri uterina, cedera usus, dan trauma pada bayi dengan squelae. Komplikasi yang lebih tinggi dalam kasus kedaruratan (~19%) daripada kasus seksio sesarea elektif (~4,2%). Komplikasi minor termasuk transfusi darah, cedera pada bayi tanpa squelae, laserasi minor isthmus, dan kesulitan dalam melahirkan bayi (Pernoll, 2001). Faktor resiko dalam seksio sesarea darurat, tapi tidak dalam seksio sesarea elektif, termasuk bagian presentasi janin (sangat rendah atau sangat tinggi), kelahiran sebelum operasi (pesalinan yang sangat panjang meningkatkan resiko), usia kehamilan rendah, ketuban pecah (dengan kelahiran) sebelum operasi, operasi sesar sebelumnya, dan keterampilan operator. Meskipun jarang, embolus udara pada vena yang besar dapat mempersulit operasi caesar. Langkah-langkah
Universitas Sumatera Utara
untuk mengurangi kemungkinan embolus udara pada vena adalah melakukan prehidrasi dan menghindari posisi Trendelenburg ekstrim(Pernoll, 2001).
2.2.5.3. Morbiditas ibu paskaoperasi Morbiditas paskaoperasi seksio sesarea adalah ~15%, dari yang ~90% menular (endometritis, saluran kemih dan lukasepsis). Komplikasi lebih mungkin terjadi pada seksio sesarea darurat (~25%) daripada seksio sesarea elektif (~5%). Kecenderungan terjadinya morbiditas paskaoperasi adalah durasi pecah ketuban sebelum operasi, durasi kelahiran sebelum operasi, anemia, dan obesitas (Pernoll, 2001). Faktor yang paling signifikan terkait dengan resiko infeksi paskaoperasi termasuk pecahnya membran ≥8 jam, kelahiran ≥12 jam dengan penipisan dan dilatasi serviks ≥4 cm, pemeriksaan vagina berulang, status sosial ekonomi rendah, dan kondisi medis yang rumit. Penggunaan antibiotik profilaksis menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat infeksi. Sekitar <2% dari pasien paska seksio sesarea, infeksi akan mengancam jiwa karena syok septik, abses pelvis, atau tromboflebitis pelvis septik (Pernoll, 2001). Faktor-faktor lain yang meningkatkan resiko infeksi meliputi kurangnya perawatan prenatal, usia ibu (yang sangat muda mengalami peningkatan resiko), malnutrisi, usia kehamilan yang lebih rendah, perawatan preoperative yang lebih lama di rumah sakit, dan penyakit sistemik (misalnya, diabetes, lupus eritematosus sistemik, atau penyakit ginjal kronis). Jumlah pemeriksaan vagina yang menempatkan pasien pada resiko infeksi mungkin 3-7 pemeriksaan (Pernoll, 2001). Komplikasi tidak menular seksio sesarea paskaoperasi umum (<10% dari total) termasuk ileus paralitik, perdarahan intra abdominal, paresis kandung kemih, trombosis, dan gangguan paru-paru (misalnya,pneumonia) (Pernoll, 2001).
Universitas Sumatera Utara