BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Problematic Internet Use
2.1.1
Definisi Problematic Internet Use Awal penelitian empiris tentang penggunaan internet yang berlebihan ditemukan dalam
literatur yang dilakukan oleh Young (dalam Young, 2011). Young adalah orang pertama yang menunjukkan bahwa orang yang mengalami kecanduan dalam internet mencakup berbagai masalah dalam pengendalian perilaku dan dorongan yang dapat dikategorikan menjadi lima spesifik subtipe yaitu kecanduan Cybersexual (dorongan dalam melihat situs dewasa), keterlibatan dalam hubungan secara online, dorongan untuk judi secara online, belanja online, (dorongan untuk mencari informasi secara berlebihan), dan dorongan untuk bermain komputer yang berlebihan. Dalam pemahaman ini, Young (2011) menekankan bahwa adanya gangguan klinis terhadap penggunaan internet yang belebihan tersebut. Muncul pemahaman baru yang menanggapi pandangan yang dikemukakan oleh Young. Salah satunya adalah Davis, menurut Davis (dalam Young 2011) bahwa masalah psikososial akan mempengaruhi individu untuk mengembangkan kognisi maladaptif dan perilaku yang diasosiasikan terkait dengan penggunaan internet yang kemudian akan mengarah ke PIU (Problematic Internet Use). Hal ini mengingatkan bahwa pentingnya fungsi penggunaan internet dalam keseharian kita dari gaya hidup modern akan memiliki dampak. Davis (2001) menyatakan bahwa gejala kognitif PIU mungkin sering mendahului dan menyebabkan emosi serta memberikan dampak pada emosi dan perilaku. Caplan (dalam Caplan, 2003) melanjutkan pemahaman bahwa kognisi maladaptif atau pemikiran yang tidak sesuai diidentifikasi menjadi perubahan suasana yang menjadi negatif, komunikasi interpersonal (merasakan manfaat dari dalam jaringan) dan merasakan kendali dari dalam jaringan seperti adanya dorongan untuk selalu menggunakan, kesulitan untuk berhenti menggunakan internet. Menurut Caplan (2005), PIU adalah konstruk multidimensi yang terdiri dari kognitif, emosional, dan gejala perilaku yang terkait dengan penggunaan internet yang berlebihan sehingga mengakibatkan kesulitan dalam mengelola kehidupan sehari – hari.
Berdasarkan teori diatas oleh para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa PIU terdiri dari pikiran, perilaku dan emosi yang mempengaruhi individu dalam penggunaan internet yang berlebihan sehingga individu mengalami kesulitan untuk melakukan kegiatan sehari-hari mereka. 2.1.2
Bentuk - Bentuk Problematic Internet Use Berdasarkan penjelasannya maka Davis dalam Young (2011) membentuk PIU menjadi
dua bentuk yang berbeda yaitu spesifik dan umum. PIU secara spesifik melibatkan penggunaan internet yang berlebihan atau penyalahgunaan fungsi yang spesifik dari internet, misalnya internet dijadikan sebagai perjudian, penjualan saham, melihat pornografi. Selanjutnya PIU secara umum meliputi kognisi maladaptif dan perilaku yang berkaitan dengan penggunaan internet yang tidak terhubung dengan setiap konten yang spesifik. Dalam hal ini seseorang akan menceritakan pengalaman dan masalahnya dengan cara berkomunikasi melalui internet dengan temannya dan akhirnya berkomunikasi interpersonal lebih menarik melalui internet daripada harus bertatap muka. Maka dapat disimpulkan oleh penulis bahwa PIU akan mempengaruhi kognitif individu sehingga mereka menyalahgunakan fungsi dari internet yang sesungguhnya dan menarik mereka untuk memilih berkomunikasi melalui internet 2.1.3
Simptom - simptom Problematic Internet Use Menurut Caplan (dalam Caplan, 2003), gejala PIU antara lain sebagai 1. Mood Alteration Penggunaan internet untuk memfasilitasi beberapa perubahan afektif yang negatif. Yang dimaksudkn adalah ketika dalam penggunaan internet, seseorang mengalami emosi yang sedang negatif seperti marah atau kesal maka orang tersebut akan menggunakan internet untuk mengeluarkan perasaannya di tempat lain.
2.
Perception of social benefits online
Adanya manfaat yang dirasakan dari penggunaan internet. Yang dimaksudkan adalah terlihat bahwa ketika penggunaan internet ternyata banyak sekali manfaat yang diperoleh. 3.
Compulsive use Ketidakmampuan untuk mengendalikan aktifitas online. Yang dimaksudkan adalah ketika dalam penggunaan internet, sulit sekali untuk mengendalikannya seperti berhenti untuk menggunakan internet.
4. Excessive use Waktu online yang melebihi batas normal atau biasanya. Yang dimaksudkan adalah waktu yang dipakai untuk menggunakan internet berlebihan, kemungkinan dapat berjam – jam. 5. Withdrawl Kesulitan untuk menjauhi internet. Yang dimaksudkan adalah adanya pemikiran dan perilaku yang sulit untuk mengontrol penggunaan internet dan ingin berhenti dalam pemakaian waktu yang melebihi biasanya. 6. Perceived social control Interaksi sosial secara online lebih disukai dibandingkan harus komunikasi dengan tatap muka. Yang dimaksudkan adalah terkadang seseorang lebih menyukai komunikasi dengan orang lain melalui online daripada harus bertatap muka atau berkomunikasi secara langsung dengan orang lain. 2.1.4
Karakteristik subjek yang mengalami Problematic Internet Use Menurut teori Caplan (2003) orang yang mengalami Problematic Internet Use juga akan
mengalami depresi dan kesepian. Menurut Caplan (2003) seseorang yang mengalami penggunaan internet bermasalah maka mereka akan mengalami suatu gangguan mental umun yang ditandai dengan kesedihan ,kehilangan minat, perasaan bersalah, nafsu makan berubah, energi rendah yang biasa dikenal dengan istilah depresi. Menurut penelitian Caplan (2009) dalam penggunaan internet bermasalah pada mahasiswa/I di University of Delaware menyatakan bahwa seseorang yang mengalami Problematic Internet Use akan mengalami:
1. Introversion dan Loneliness Situasi dimana seseorang mengalami sendiri dan setiap ada masalah lebih nyaman untuk menyimpan masalah sendiri (lebih tertutup) 2. Depression, Substantional Addiction, dan Behavioral Addiction Situasi dimana seseorang mengalami gangguan mental yang orang tersebut memiliki semangat yang kurang, serta perilaku yang terdorong untuk terus menggunakkan internet sehingga mengalami kecanduan. 3. Physical dan Verbal Aggression Keadaan fisik dan bahasa yang agresif untuk terus menggunakan internet. 4. Deriving a sense of community from classmate dan co-workers Situasi dimana terdorong karena adanya pengaruh dari teman sekelas atau rekan kerja untuk terus menggunakkan internet. 2.1.5
Remaja dan Problematic Internet Use Pada tahap remaja dan pemuda merupakan generasi yang dianggap sebagai generasi yang
memang sudah terbiasa berinteraksi lewat internet (Amichai–Hamburger, 2013). Situs yang biasanya dipakai oleh remaja adalah Facebook atau Twitter. Menurut Beard, (dalam Young, 2011) menyatakan Internet merupakan aspek yang menarik bagi remaja, yang memungkinkan mereka untuk terlibat dalam perilaku mereka yang mungkin tidak bisa mereka lakukan atau miliki dalam dunia nyata. Dalam hal ini terlihat bahwa remaja akan lebih menyukai untuk berkomunikasi melalui Internet daripada tatap muka secara langsug dan membuat remaja untuk menghabiskan waktunya dalam penggunaan internet 2.2
Subjective well-being
2.2.1
Definisi Subjective well-being Dalam sejarah, beberapa filsuf memberikan definisi yang bervariasi mengenai subjective
well-being (SWB). Sebagian besar peneliti mendefinisikan kebahagiaan dan subjective wellbeing adalah kesatuan dalam konstruk, namun sebenarnya tidak ada satupun penilaian atau pendapat yang dapat menjelaskan secara keseluruhan subjective well-being (Diener & Ryan, 2008, dalam Diener, Oishi & Lucas, 2012).
SWB didefinisikan sebagai evaluasi individu terhadap kehidupan yang dijelaskan dalam terminologi mengenai bagaimana dan mengapa individu mengalami kehidupan dalam cara yang positif sehungga pengalaman pribadi mereka berkaitan dengan kualitas hidup yang dirasakan (Diener, Oishi & Lucas, 2012). Para ahli juga menganalisis bahwa evaluasi mengenai kehidupan individu ini berlangsung dalam periode saat ini dan periode lampau (Diener, Oishi & Lucas, 2012). Dalam subjective well-being, terdapat faktor yang di dalamnya mempengaruhi dan memiliki arti yang serupa yaitu happiness atau kebahagiaan. Menurut Baumgardner (2010), ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan eudaimonic dan kebahagiaan hedonis. Kebahagiaan eudaimonic memiliki makna bahwa kebahagiaan adalah hasil dari perjuangan untuk mencapai aktualisasi diri, dimana dalam prosesnya akan sangat mempengaruhi bakat, nilai dan kebutuhan dari individu yang menjalaninya sendiri. Kebahagiaan hedonis memiliki kesaam dengan filosofi hedonisme yang memandang bahwa tujuan hidup adalah mencari kebahagiaan dan kepuasaan. SWB digolongkan sebagai kebahagiaan hedonis. SWB merupakan istilah besar yang digunakan untuk menggambarkan level well-being yang dialami individu menurut evaluasi subyektif mereka atas hidup mereka sendiri. Seperti yang sudah dijelaskan oleh beberapa para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa penilaian dan perasaan mengenai kepuasan hidup, minat dan keterikatan, reaksi–reaksi afektif seperti bahagia dan sedih atas peristiwa hidup, kepuasan dalam pekerjaan, hubungan, kesehatan, hiburan, makna dan tujuan dan bidang–bidang penting lainnya (Huebner & Ryan, 2008). Dari beberapa definisi yang dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa SWB merupakan evaluasi individu yang meliputi tingginya kepuasan hidup, pengalaman akan emosi yang menyenangkan dan level rendah dari emosi yang negatif. Dalam mengukur Subjective well – being, digunakkan Subjective Well-Being with Life Scale (SWLS) yang mengidentifikasikan happiness dan life satisfaction. Hal yang paling terpenting dalam alat ukur ini adalah bagaimana melihat perbandingan kepuasan serta kebahagiaan seseorang berdasarkan standar kepuasan dan kebahagiaan yang dimiliki oleh setiap individu. Dimana setiap tingkat kepuasan yang diperoleh dapat mengevaluasi kehidupan mereka masing-masing.
2.2.2
Aspek-aspek Subjective well-being Dalam hal ini, SWB memiliki dua komponen umum : komponen kognitif dan komponen
emosional (Diener, Lucas, Oshi, 2012). Komponen Kognitif berkaitan dengan indikator kepuasan hidup individu yang digambarkan sebagai penilaian kognitif individu mengenai hidupnya secara keseluruhan maupun kepuasan dalam bidang-bidang tertentu, yang meliputi pekerjaan, sekolah, kesehatan, kehidupan keluarga, tujuan hidup, prestasi, keamanan, dan hubungan sosial. Dalam hal ini, kepuasan dapat meliputi penilaian kepuasan pada domaindomain tertentu dari hidup individu. Huebner & Diener (2008) secara rinci membagi domain kepuasan hidup individu dalam lima domain antara lain kepuasan pada keluarga, kepuasan pada teman, kepuasan pada sekolah, kepuasan pada lingkungan tempat tinggal dan kepuasan pada diri sendiri. Komponen Afektif atau emosi terdiri dari dua indikator utama yaitu perasaan positif dan perasaan negatif. Perasaan positif merefleksikan keadaan suasana hati yang positif dari seseorang yang meliputi antusias atau bersemangat, aktif, dan alert moods. Perasaan negatif merefleksikan tingkat keadaan suasana hati seseorang yang tidak bersahabat yang meliputi marah, jijik, benci, takut dan gugup. 2.2.3
Remaja dan Subjective well-being Subjective well–being merupakan hal penting sepanjang rentang kehidupan, termasuk
pada masa remaja. Kepuasa hidup dan perasaan yang menyenangkan akan membantu remaja untuk bisa belajar secara maksimal, sebaliknya perasaan tidak menyenangkan yang berlebihan dapat mengantar pada gangguan psikologis (Suldo, 2009) Di kalangan anak remaja juga biasanya memiliki situs jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter. Dalam penggunaan situs tersebut biasanya memiliki interaksi dengan orang lain yang memungkinkan adanya permintaan pertemanan. Dalam proses pertemanan, setiap individu termasuk remaja yang menduduki posisi tertinggi dalam pengggunaan ingin sekali mempunyai teman-teman. Sehingga mereka merasakan bahwa akan adanya dukungan sosial yang mereka dapatkan dan hal ini berdampak pada SWB. Ketika mereka memiliki pertemanan yang banyak, memiliki komunikasi yang baik dengan teman-temannya, mereka akan merasa sangat bahagia atau memiliki afeksi yang positif dalam SWB (Kim & Lee , 2011). 2.3
Remaja
2.3.1
Definisi Remaja Istilah adolescence atau remaja memiliki arti yang lebih luas mencakup kematangan
mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 2008). Santrock (2010) menyebutkan remaja sebagai periode pertumbuhan dari anak-anak ke dewasa atau masa transisi dari anak-anak menuju kedewasaan. Masa transisi remaja dimulai kira-kira pada usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir di usia antara 18 sampai 22 tahun (Santrock, 2007). Masa remaja seringnya dikenal sebagai masa “badai dan tekanan” (storm and stress) seperti yang diungkapkan oleh G. Stanley Hall (dalam Santrock, 2007). Akan tetapi, ketika Daniel Offer dan koleganya (dalam Santrock, 2007) melakukan studi untuk melihat gambar diri remaja di Amerika, Australia, Bangladesh, Hungaria, Israel, Italia, Jepang, Taiwan, Turki, dan Jerman Barat ditemukan bahwa 73% remaja menunjukan gambar diri yang sehat. Namun hasil penelitian mengungkapkan bahwa kebanyakan remaja merasa bahagia, menikmati hidup merka, merasa dirinya mampu mengontrol dirinya memiliki kemampuan untuk menghadapi stress. 1.3.2
Perkembangan Remaja
Pada masa remaja, menurut Soetjiningsih (2004), remaja akan dihadapkan pada dua tugas utama, yaitu mencapai ukuran kebebasan atau kemandirian dari orang tua dan membentuk identitas untuk tercapainya integrasi diri. Selain itu juga, masih ada 8 tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu: pertama memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa, kedua memperoleh peranan sosial, ketiga menerima keadaan tubuhnya dan menggunakannya secara efektif, keempat memperoleh kebebasan emosional dari orangtua. Kelima mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri, keenam memiliki dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan, ketujuh mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan berkeluarga, dan yang terakhir mengembangkan dan membentuk konsep-konsep moral Selain 8 tugas perkembangan, kalangan remaja memiliki perkembangan dalam psikologisnya yang dimana merupakan masa transisi dari periode anak ke dewasa. Allport (dalam Sarwono, 2006) menunjukan ciri-ciri dalam perkembangan psikologis remaja sebagai berikut : Pertama pemekaran diri sendiri (extencion of the self) yang ditandai dengan kemampuan seorang untuk
menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari diri sendiri juga. Perasaan yang selalu mementingkan diri sendiri atau egoisme sudah mulai terlihat berkurang dan mulai rasa memiliki. Salah satu contohnya adalah mulai tumbuh kemampuan untuk saling mencintai dan sekitarnya. Kedua adalah kemampuan untuk melihat diri sendiri secara obyektif (self objectivication) ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insight ) dan kemampuan untuk menangkan humor (sense of humor) termasuk yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran. Dan yang terkahir adalah memiliki falsafah hidup tertentu. Hal itu dapat dilakukan tanpa perlu merumuskannya dan mengucapkannya dalam kata-kata. Contohnya adalah anak remaja sudah paham dalam bertingkah laku dan mencari jalannya sendiri atau memiliki keputusan sendiri. Secara keseluruhan, perkembangan yang terjadi pada remaja adalah bagaimana remaja mulai membentuk identitas dirinya sendiri atau mengenal dirinya sendiri serta mulai terlepas dari orangtua dalam segi kemandirian untuk melakukan sesuatu hal tetapi harus dengan batasan.
2.4
Kerangka Berpikir Berikut ini adalah kerangka berpikir yang dibuat oleh peneliti untuk melihat Hubungan
antara Problematic Internet Use (PIU) dengan Subjective Well Being (SWB) pada Remaja dalam menggunakan situs jejaring sosial di Jakarta.
REMAJA Pada tahap remaja, merupakan generasi yang dianggap sebagai generasi yang memang sudah terbiasa berinteraksi lewat internet (Amichai-Hamburger, 2013)
Penggunaan Facebook atau Twitter Untuk : • • • •
Media komunikasi Media pertukaran data Media mencari informasi Manfaat berkomunitas
sumber : ( Herring, 1996)
Problematic Internet Use (PIU) penggunaan dalam jangka waktu yang lama atau berlebihan.
Subjective Well Being (SWB) kondisi psikologis yang berdampak pada remaja
Gambar 2.1 Pola Kerangka Berpikir Hubungan antara problematic internet use dengan subjective well-being pada remaja pengguna Facebook atau Twitter di Jakarta.
Dalam penelitian ini, subjek yang diambil oleh peneliti adalah Remaja yang umurnya 15– 18 tahun yang memiliki dan menggunakkan Facebook atau Twitter. Pada tahap remaja, merupakan generasi yang dianggap sebagai generasi yang memang sudah terbiasa berinteraksi lewat internet (Amichai-Hamburger, 2013). Dalam hal ini peneliti ingin melihat penggunaan internet khususnya untuk Facebook atau Twitter. Penggunaan Facebook atau Twitter terdapat berbagai hal, seperti media komunikasi dengan
orang
lain
(chatting),
media
pertukaran
data
(mengirim
tugas,
mengirim
foto/video/musik), mencari informasi (pengetahuan yang baru sehingga dapat dimanfaatkan),
manfaat berkomunitas (membuat grup sendiri sehingga ketika ada informasi seluruh anggota grup langsung mengetahuinya). Dalam penggunaan Facebook atau Twitter yang berlebihan dapat menimbukan Problematic Internet Use yang dapat membuat remaja terdorong untuk menggunakan Facebook atau Twitter dalam berkomunikasi dengan orang lain daripada harus bertatap muka secara langsung. Dalam penggunaan Twitter atau Facebook yang digunakan oleh kalangan remaja, terlihat dan dibuktikan bahwa penggunaannya menghabiskan waktu yang berlebihan dari biasanya. Adanya hubungan antara penggunaan Facebook dan Twitter, sebaliknya penggunaan Facebook atau Twitter pun memiliki hubungan dengan Subjective Well–Being (SWB). Ketika kalangan remaja menggunakkan akun Facebook atau Twitternya, mereka akan semakin merasakan apa yang diperoleh seperti berbagai manfaat sehingga mereka akan sangat senang sekali. Perasaan yang dirasakan akan mempengaruhi SWB individu dan memiliki hubungan antara penggunaan Facebook atau Twitter dengan SWB