BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prevalensi Prevalensi adalah bagian dari studi epidemiologi yang membawa pengertian jumlah orang dalam populasi yang mengalami penyakit, gangguan atau kondisi tertentu pada suatu tempoh waktu dihubungkan dengan besar populasi dari mana kasus itu berasal. Prevalensi sepadan dengan insidensi dan tanpa insidensi penyakit maka tidak akan ada prevalensi penyakit. Insidensi merupakan jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam satu periode waktu dibandingkan dengan unit populasi tertentu dalam periode tertentu. Insidensi memberitahukan tentang kejadian kasus baru. Prevalensi memberitahukan tentang derajat penyakit yang berlangsung dalam populasi pada satu titik waktu (Timmereck, 2001). Dalam hal ini prevalensi setara dengan insidensi dikalikan dengan rata-rata durasi kasus (Lilienfeld dan Lilienfeld, 2001 dalam Timmereck, 2001). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi. Faktor-faktor tersebut adalah: a) Kasus baru yang dijumpai pada populasi sehingga angka insidensi meningkat. b) Durasi penyakit. c) Intervensi dan perlakuan yang mempunyai efek pada prevalensi. d) Jumlah populasi yang sehat.
2.2 Diabetes Melitus 2.2.1 Definisi Diabetes melitus ditandai oleh kadar glukosa yang meningkat secara kronis. Kadar glukosa darah puasa pada berbagai keadaan adalah sebagai berikut: diabetes ≥ 7,0 mmol/L, toleransi glukosa terganggu (impaired glucose tolerance) 6-7 mmol/L, normal < 6 mmol/L; kadar glukosa 2 jam setelah pemberian 75 g
Universitas Sumatera Utara
glukosa ke dalam plasma adalah: diabetes ≥ 11,1 mmol/L, toleransi glukosa terganggu 7.8-11,1 mmol/L; normal < 7,8 mmol/L. (Davey, 2005) World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa prevalensi diabetes melitus (DM) akan meningkat di seluruh dunia pada milenium ketiga ini, termasuk negara di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia. Sebagian besar dan penyakit ini adalab DM tipe 2. Sekitar 40% dan pasien DM terdapat keterlibatan ginjal, sehingga dapat dipahami bahwa masalah penyakit ginjal diabetik (PGD) juga akan mengalami peningkatan di era awal abad 21 ini. Pada dekade ini juga, di banyak negara maju PGD tercatat sebagai komponen terbanyak dan pasien baru yang menjalani terapi pengganti ginjal. Keadaan yang sama sudah mulai juga kelihatan Indonesia. (Suwitra, 2006). 2.2.2 Klasifikasi Klasifikasi DM oleh American Diabetes Association (ADA). Klasifikasi Etiologis DM (ADA 2006): 1.
DM tipe 1 (destruksi sel beta, biasanya menjurus ke defisiensi insulin absolut):
2.
-
Autoimun (immune mediated)
-
Idiopatik
DM tipe 2 (biasanya berawal dan resistensi insulin yang predominan dengan defisiensi insulin relatif menuju ke defek sekresi insulin yang predominan dengan resistensi insulin)
3.
Diabetes Melitus Gestasional (DMG). (Tjokroprawiro, 2007)
2.2.3 Patogenesis Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose transporter (GLUT), terutama GLUT 1, yang mengakibatkan aktivasi beberapa mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC) pathway, dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation endproducts (AGEs). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo, yang dapat berperan penting dalam pertumbuhan sel, diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular. Diantara zat ini adalah mitogen activated protein kinases (MAPKs), PKC-13
Universitas Sumatera Utara
isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERK). Ditemukannya zat yang mampu menghambat aktivitas zat zat tersebut telah terbukti mengurangi akibat yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajat kerusakan struktural berupa penumpukan matriks mesangial. Kemungkinan besar perubahan ini diakibatkan penurunan ekspresi transforming growth factor-f3 (TGF-) dan penurunan extra-cellular matrix (ECM). Peran TGF- dalam perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan pula oleh berbagai peneliti, bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes. Berbagai proses di atas dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada pasien DM akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju tahap lanjutan. (Suwitra, 2006). 2.2.4 Diagnosis dan Gejala Klinis Gejala klinis DM yang kiasik: mula-mula polifagi, polidipsi, poliuri, dan berat badan naik (Fase Kompensasi). Apabila keadaan ini tidak segera diobati, maka akan timbul gejala Fase Dekompensasi (“Dekompensasi Pankreas”), yang disebut gejala klasik DM, yaitu poliuria, polidipsi, dan berat badan turun. Ketiga gejala kiasik tersebut di atas disebut pula “TRIAS STNDROM DIABETES AKUT” (poliuri, polidipsi, berat badan menurun) bahkan apabila tidak segera diobati dapat
disusul dengan mual-muntah dan Ketoasidosis Diabetik.
(Tjokroprawiro, 2007) Langkah-langkah diagnostik DM dan TGT Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini (Committee Report ADA-2 006): (Tjokroprawiro, 2007) 1.
Kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun)
2.
Obesitas BB (kg) > 110% BB ideal atau IMT > 25 (kg/rn2).
3.
Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
4.
Riwayat DM dalam garis keturunan
5.
Riwayat keharnilan dengan: BB lahir bayi> 4000 gram atau abortus berulang
6.
Riwayat DM pada kehamilan
7.
Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida> 250 mg/dl)
Universitas Sumatera Utara
8.
Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
2.2.5 Terapi dan Pencegahan Tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi, dan selalu dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus merupakan faktor risiko untuk progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor risiko lainnya adalah konsumsi rokok. Dengan demikian maka terapi di tiap tahapan pada umumnya sama dan adalah juga merupakan tindakan pencegahan untuk memperlambat progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah dan kendali lemak darah. Di samping itu perlu pula dilakukan upaya mengubah gaya hidup seperti pengaturan diet, menurunkan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan merokok, dll, juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskular. (Suwitra, 2006). a. Pengendalian Kadar Gula Darah Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun), dengan melibatkan ribuan pasien telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskular, baik pada pasien DM Tipe 1 maupun DM Tipe 2. Oleh karena itu perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Yang dimaksud dengan pengendalian secara intensif adalah pencapaian kadar HbAIc <7%, kadar gula darah preprandial 90-130 mg/dl, post-prandial <180 mg/dl. (Suwitra, 2006). b. Pengendalian Tekanan Darah Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi, maupun terhadap organ kardiovaskular. Makin rendah tekanan darah yang dicapai makin baik pula renoproteksi. Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian tekanan darah pada pasien diabetes. Pada umumnya target adalah tekanan darah <130/90 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat, >lgr/24 jam maka target perlu lebih rendah, yaitu <125/75 mmHg. Harus diingat
Universitas Sumatera Utara
bahwa mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi berbagai jenis obat, dengan berbagai efek samping, dan harga obat yang kadang sulit dijangkau pasien. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan, apapun jenis obat yang dipakai. Tetapi karena Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) dan angiotensin receptor blocker (ARB) dikenal mempunyai efek antiproteinurik maupun renoproteksi yang baik, maka obat-obatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada pasien DM. (Suwitra, 2006). c. Pengaturan Diet Pengaturan diet terutama dalam kerangka manajemen DM tidak diterangkan dalam judul ini Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah protein sangat penting. Dalam suatu peneliti di klinik selama 4 tahun pada pasien DM tipe 1 yang diberi diet mengandung protein 0,9 gram/kgBB/hari selama 4 tahun menurunkan risiko terjadinya penyakit ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD) sebanyak 76%. Umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung protein sebanyak 0,8 gram/kgBB/hari, atau sekitar 10% kebutuhan kalori, pada pasien dengan Nefropati overt, tetapi bila LFG telah mulai menurun maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gram/kgBB/hari mungkin bermanfaat
untuk memperlambat
penurunan LFG selanjutnya.
Begitupun harus diantisipasi terjadinya kekurangan nutrisi. (Suwitra, 2006). Jenis protein juga berperan dalam terjadinya dislipidemia. Mengganti daging merah dengan daging ayam pada pasien DM tipe 2 menurunkan ekskresi albumin dalam urin sebanyak 46% dengan disertai penurunan kolesterol total, LDL kolesterol, dan apolipoprotein B. Ini mungkin karena komposisi lemak jenuh dan tak jenuh pada kedua jenis bahan makanan berbeda. Pasien DM sendiri cenderung mangalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan obat. Bila diperlukan dislipidemia diatasi dengan statin dengan target LDL kolesterol <100 mg/dl pada pasien DM dan <70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskular. (Suwitra, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Hipertensi 2.3.1 Defenisi Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC 7 adalah klasifikasi untuk orang dewasa umur≥18 tahun. Menurut JNC 7, definisi hipertensi adalah jika didapatkan TDS ≥ 140 mmHg atau TDD ≥ 90 mmHg. Penentuan klasifikasi ini berdasarkan rata-rata 2 kali pengukuran tekanan darah pada posisi duduk.
Tabel 2.1.Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7
Dasar pemikiran adanya kategoni pre-hypertension dalam klasifikasi tersebut oleh karena pasien dengan prehypertension berisiko untuk mengalami progresi menjadi hipertensi, dan mereka dengan tekanan darah 130-139/80-89 mmHg berisiko dua kali lebih besar untuk menjadi hipertensi dibanding dengan yang tekanan darahnya lebih rendah. (Tjokroprawiro, 2007) 2.3.2 Klasifikasi Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal. 1) Hipertensi esensial Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada umur 30 – 50 tahun (Schrier, 2000). 2) Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular
renal,
hiperaldosteronisme
primer,
dan
sindrom
cushing,
feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain (Schrier, 2000). 2.3.3. Faktor Resiko Faktor Risiko Kardiovaskuler Faktor risiko mayor: 1.
Hipertensi
2.
Merokok
3.
Obesitas (IMT ≥ 30 kg/m2)
4.
Inaktivitas fisik
5.
Dislipidemia
6.
Diabetes mellitus
7.
Mikro albuminuria atau perkiraan GFR < 60 ml/ menit
8.
Umur (lebih dan 55 tahun untuk laki-laki, 65 tahun untuk wanita)
9.
Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskuler yang prematur (laki-laki kurang dari 55 tahun atau wanita kurang dari 65 tahun).
Target Organ Damage : 1. Jantung a. Hipertrofi ventrikel kiri b. Angina atau infrak miokardium sebelumnya c. Revaskularisasi koroner sebelumnya 2. Otak a. Stroke atau transient ischemic attack 3. Penyakit ginjal kronis
Universitas Sumatera Utara
4. Penyakit arteri perifer 5. Retinopati. Evaluasi penderita hipertensi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan prosedur diagnostik lain (Tjokroprawiro, 2007) 2.3.4 Patogenesis Sistem Renin-Angiostensin Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar: Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer. (Yogiantoro, 2006) 1) Sistem Renin-Angiotensin Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et al. 2005). Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu: a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin
menjadi pekat
dan tinggi
osmolalitasnya.
Untuk
mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
Universitas Sumatera Utara
menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah. b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Gray, et al. 2005). 2.3.5. Gejala Klinis Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung (Julius, 2008). Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau gagal ginjal. 2.3.6 Penatalaksanaan a. Penatalaksanaan farmakologis Pada gagal ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACEI/ARB atau Calcium Channel Blocker (CCB) atau Beta Blocker dimungkinkan untuk pengobatan hipertensi secara sendiri-sendiri atau kombinasi. Komplikasi terjadinya hiperkalemi pada pemberian ACEI atau Beta Blocker atau penurunan fungsi ginjal pada pemberian ACEI harus menjadi perhatian.
Universitas Sumatera Utara
Bila terjadi hiperkalemi atau penurunan fungsi ginjal lebih dan 30%, pemberian obat ini harus dihentikan. Sesuai anjuran dan The Seventh Report of the Joint National Comm itee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), tahun 2003, tekanan darah sasaran pada gagal ginjal kronik adalah 130/80 mmHg untuk menahan progresi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah diusahakan diturunkan untuk mencapai sasaran dengan kombinasi obat-obat di atas. b. Penatalaksanaan non farmakologis ( diet) Penatalaksanaan non farmakologis (diet) sering sebagai pelengkap penatalaksanaan farmakologis, selain pemberian obat-obatan antihipertensi perlu terapi dietetik dan merubah gaya hidup (Yogiantoro, 2006). Tujuan dari penatalaksanaan diet : a. Membantu
menurunkan
tekanan
darah
secara
bertahap
dan
mempertahankan tekanan darah menuju normal. b. Mampu menurunkan tekanan darah secara multifaktoral c. Menurunkan faktor risiko lain seperti BB berlebih, tingginya kadar asam lemak, kolesterol dalam darah. d. Mendukung pengobatan penyakit penyerta seperti penyakit ginjal, dan DM (Yogiantoro, 2006).
2.4 Penyakit Ginjal Kronik 2.4.1 Defenisi Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal atau penurunan faal ginjal lebih atau sama dengan tiga bulan sebelum diagnosis ditegakan. Gagal Ginjal kronik adalah penurunan sernua faal ginjal secara bertahap, diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dari gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (NKF-DOQI, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Definisi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) 1.
Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan Kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan LFG dengan presentasi -
Kelainan struktur histopatologi ginjal
-
Petanda kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin, atau uji pencitraan ginjal
2.
LFG < 60 mL/menit/l .73 m2 ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Sumber : Sukandar, 2006
Gagal ginjal kronis chronic renal failure (CRF) didefinisikan sebagai nilai laju filtrasi glomerulus (GFR) yang berada di bawah batas normal selama> 3 bulan. Banyak penyakit dapat menyebabkan gagal ginjal kronis, termasuk glomerulonefritis (30%), nefritis interstisial dan nefropati refluks (20%), penyakit ginjal polikistik (10%), diabetes melitus (10%), hipertensi/ penyakit renovaskular (10%), uropati obstruktif, dan penyakit-penyakit lain yang tidak diketahui (20%). Insidensi gagal ginjal kronis yang perlu mendapat terapi penggantian ginjal adalah 65-100/1.000.000 populasi/tahun dan 500/1.000.000 pasien menjalani terapi gagal ginjal stadium akhir (ESRF).(Davey, 2007) GFR <60 ml/men/1,73 m2 ≥ 3 bulan diklasifikasikan sebagai PGK tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya kerusakan ginjal oleh karena pada tingkat GFR tersebut atau lebih rendah, ginjal telah kehilangan fungsinya ≥ 50% dan terdapat komplikasi. Disisi lain adanya kerusakan ginjal tanpa memperhatikan tingkat GFR juga dikiasifikasikan sebagai PGK. Pada sebagian besar kasus, biopsi ginjal jarang dilakukan, sehingga kerusakan ginjal didasarkan pada adanya beberapa petanda seperti proteinuria, kelainan sedimen (hematuria, pyuria dengan cast), kelainan darah yang patognomonik untuk kelainan ginjal seperti sindroma tubuler (misalnya asidosis tubuler ginjal, diabetes insipidus nefrogenik), serta adanya gambaran radiologi yang abnormal misalnya hidronefrosis. Ada kemungkinan GFR tetap normal atau meningkat, tetapi sudah terdapat kerusakan
Universitas Sumatera Utara
ginjal sehingga mempunyai risiko tinggi untuk mengalami 2 keadaan utama akibat PGK, yaitu hilangnya fungsi ginjal dan terjadinya penyakit kardiovaskuler. 2.4.2. Etiologi Penyebab paling lazim dari ESRD adalah mayority dari pasien hipertensi, diabetes mellitus, atau keduanya. Penyebab lainnya adalah glomerulonephritis, penyakit interstisial, cystic/hereditery/congenital dan yang tidak diketahui penyebabnya (Fisch, 2000). Penyakit ginjal primer terbatas pada ginjal dan biasanya hadir dengan gagal ginjal kronis atau sindrom nefrotik tanpa riwayat penyakit sistemik. Penyakit non-glomerular seperti uropathy obstruktif, nefritis interstisial primer, dan nefropati iskemik sering diidentifikasi selama hasil pemeriksaan untuk hipertensi yang baru ditemukan atau hematuria asimtomatik. Pasien menyajikan dengan proteinuria atau sindrom nefrotik tapi tanpa bukti infeksi, penyakit kolagen-vaskular, atau keganasan cenderung memiliki glomerulonefritis idiopatik (Fisch, 2000). Hipertensi dan diabetes biasanya hadir untuk setidaknya 10 tahun sebelum mereka menyebabkan gagal ginjal kronis dengan hipertensi yang mengarah ke ESRD, hipertensi tidak terkontrol dan dipercepat adalah yang paling sering (Fisch, 2000). Menurut Markum (2006), Penyebab dari PGK adalah: - Tekanan darah tinggi (hipertensi) - Penyumbatan saluran kemih - Glomerulonefritis - Kelainan ginjal, misalnya penyakit ginjal polikista - Diabetes melitus (kencing manis) - Kelainan autoimun, misalnya lupus eritematosus sistemik. 2.4.3 Klasifikasi Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosa etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 - umur) x berat badan 72 x kreatinin plasma (mg/dl)
Tabel 2.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2) 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90 2 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan 60 -89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang 30 -59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat 15 -29 5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis Sumber : (NKF-KDOQI, 2002)
2.4.4 Diagnosis Penyakit Ginjal Kronik Menurut Fisch (2000), diagnosis klinis dari PGK adalah: 1. Menurunnya LFG Klasifikasi tingkat penyakit ginjal kronik, sebagai berikut: •
Tingkat 1: kerusakan ginjal dengan normal LFG (>90 mL/menit/1.73 m2)
•
Tingkat 2: penurunan ringan pada LFG (60-89 mL/menit/1.73 m2)
•
Tingkat 3: penurunan sedang pada LFG (30-59 mL/menit/1.73 m2)
•
Tingkat 4: penurunan berat pada LFG (15-29 mL/menit/1.73 m2)
•
Tingkat 5: gagal ginjal (LFG <15 mL/menit/1.73 m2 atau dialisis)
2. Indikasi lainnya a. Proteinuria b. Hematuria c. Abnormal urinary sedimen d. Hipertensi 2.2.4. Penatalaksanaan Tergantung pada gambaran klinis yang khas 1. Anemia a. PRC / Wash Erythrocyte Transfusion. b. Rrytnropoetin c. Supplement Ferro Sulfat & asam folat.
Universitas Sumatera Utara
2. Asidosis Metabolik . a. Na H C03 parenteral b Na N C03 oral. 3. Sindroma Uremika a Diet tinggi kalori 30 - 15 k kal/hari. Rendah protein 3.6 - 0.8 / Kg BB/hari Rendah fosfat 4. Hipertensi - Dengan bentuk “hipertensi overload” diberikan rendah garam. - Diuretika. - Dialisa. 5. Neuropati - Vitamin D - CaCO3. - supplemen kalsium 6. Hiperkalemia - NaHCO3. - Diet Rendah Kalium - ‘Exchange Resin’.
2.5 Hemodialisis Hemodialisis adalah suatu prosedur untuk membuang racun atau sisa metabolisme dari dalam darah dengan mengalirkan darah ke suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan dengan kompartemen dialisat (Rahardjo et al, 2006). Keputusan untuk inisiasi hemodialisis terutama berdasarkan parameter laboratorium yaitu LFG antara 5-8 ml/menit/1,73 m² (Sukandar, 2006). Komplikasi akut hemodialisa adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisa berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
Universitas Sumatera Utara
gatal, demam dan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium,
reaksi
dialiser,
aritmia,
tamponade
jantung,
perdarahan
intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia (Rahardjo, 2009).
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN dan DEFENISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Penelitian Penelitian ini untuk mendapatkan gambaran bagaimana Prevalensi DM dan Hipertensi pada GGK Stage 5 yang Mengalami Hemodialisis di Klinik Rasyida Medan tahun 2011 Hipertensi
DM
GGK
DM dan Hipertensi
3.2 Definisi Operasional Variabel bebas Umur
Jenis kelamin
Penyakit penyebab
Definisi operasional
Cara dan alat ukur Umur pasien PGK pada Observasi saat penelitian dan menggunakan umur dinyatakan dalam rekam medik tahun. Jenis kelamin pasien Observasi PGK pada saat menggunakan penelitian rekam medik dilaksanakan. Penyakit yang Observasi mendasari terjadinya menggunakan penyakit ginjal kronik. rekam medik
Hasil ukur
Skala
a). 20 – 40 tahun b). 41 – 70 tahun c). ≥ 70 tahun
Interval
a). Laki-laki b). perempuan
Nominal
a). DM b). Hipertensi c). DM dan hipertensi
Nominal
Universitas Sumatera Utara