4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tidur
2.1.1. Definisi Tidur Tidur adalah keadaan dimana terjadi perubahan kesadaran atau ketidaksadaran parsial dimana seorang individu dapat dibangunkan (Tortora dan Derrickson, 2009). Tidur juga dapat diartikan sebagai periode istirahat untuk tubuh dan pikiran, yang selama masa ini kemauan dan kesadaran ditangguhkan sebagian atau seluruhnya dan fungsi-fungsi tubuh sebagian dihentikan. Selain itu,tidur juga telah dideskripsikan sebagai status tingkah laku yang ditandai dengan posisi tak bergerak yang khas dan sensitivitas reversibel yang menurun, tapi siaga terhadap rangsangan dari luar (Dorland, 2002).
2.1.2. Tahap dan Siklus Tidur Selama malam hari, seseorang melalui dua stadium tidur yang saling bergantian, yaitu tidur paradoksikal atau tidur Rapid Eye Movement(REM) dan tidur gelombang lambat atau tidur Non-Rapid Eye Movement(NREM). Keseluruhan tidur yang terjadi ialah tidur gelombang lambat yang dialami pada jam pertama tidur setelah bangun selama berjam-jam sedangkan tidur paradoksikal terjadi pada 25% dari waktu tidur yang berulang secara periodik setiap 90 menit. Tipe tidur ini umumnya disertai dengan mimpi (Guyton, 2006).
Tidur NREM terdiri dari 4 tahap yaitu : 1. Tahap 1 adalah tahap transisi antara keadaan bangun (terjaga) dan tidur, yang dalam keadaaan normal berlangsung antara 1-7 menit, Dalam tahap ini, orang ini dalam keadaan relaksasi dengan mata tertutup dan pikiran yang belum tidur sepenuhnya. Apabila orang ini dibangunkan pada tahap ini, maka mereka akan mengatakan bahwa mereka belum tertidur.
5
2. Tahap 2 atau tidur ringan adalah tahap pertama orang dalam keadaan benar-benar tertidur. 3. Tahap 3 adalah periode tidur dalam yang sedang. Suhu tubuh dan tekanan darah menurun, dan menjadi sulit untuk membangunkan orang pada tahap ini. Tahap ini berlangsung kira-kira 20 menit setelah tertidur. 4. Tahap 4 adalah level terdalam dari tidur. Meskipun metabolisme otak menurun secara significant dan suhu tubuh menurun sedikit pada tahap ini, kebanyakan refleks masih terjadi, dan hanya terjadi sedikit penurunan tonus otot (Tortora dan Derrickson, 2009). Pada tahap ini orang akan sangat sulit dibangunkan, hanya suara yang sangat keras yang dapt membangunkan orang tersebut .Apabila pada tahap keempat orang ini dibangunkan, maka orang tersebut akan terlihat grogi dan bingung (Carlson,2005).
Tahap 1 ditandai dengan aktivitas theta pada EEG (electroencephalogram). Aktivitas theta adalah aktivitas EEG dgn frekuensi 3,5-7,5 Hz yang terjadi secara intermitten selama tahap awal tidur NREM dan tidur REM. Setelah kira-kira 10 menit, maka akan memasuki tahap 2 tidur NREM yang ditandai dengan aktivitas theta, sleep spindles dan K kompleks. Sleep spindles adalah gelombang pendek dengan frekuensi 12-14 Hz yang berlangsung sekitar dua hingga lima kali per menit yang ditemukan selama tahap 1 hingga tahap 4 tidur NREM. Sleep spindles ini diyakini merepresentasi aktifitas dari mekanisme yang terlibat menjaga orang agar tetap dalam keadaan tertidur. K kompleks adalah gelombang tajam, tejadi secara tiba-tiba, terjadi kira-kira satu kali dalam semenit, biasanya dipicu oleh suara bising, dan hanya terdapat pada tahap kedua tidur NREM dan tidak ditemukan pada tahap tidur lainnya. Tahap tidur ketiga dan keempat ditandai oleh aktivitas delta beramplitudo tinggi serta berfrekuensi lebih kecil dari 3,5 Hz. Perbedaan tahap ketiga dan keempat tidur NREM hanya ditentukan dari jumlah gelombang delta, pada tahap ketiga, aktifitas delta yang ditemukan sekitar 20-50 persen, sedangkan pada tahap keempat lebih dari 50 persen. Oleh karena
6
ditemukan gelombang delta pada tahap ketiga dan keempat tidur NREM, maka tahap ketiga dan keempat inilah yang sering disebut sebagai tidur gelombang lambat (Carlson, 2005).
Setelah tahap keempat tidur NREM, maka tidur akan memasuki tahap tidur REM, demikian yang akan terus berlangsung secara bergantian dan terus-menerus sepanjang tidur berlangsung, Satu siklus berlangsung selama 90 menit, dengan tidur REM hanya berlangsung sekitar 20-30 menit saja. Normalnya tidur REM harus didahului oleh tidur gelombang lambat. Gambaran EEG tidur REM mirip dengan gambaran EEG tahap 1 tidur NREM, hanya saja selain terdiri dari aktifitas theta seperti pada tahap 1 tidur NREM, pada tidur REM juga dijumpai adanya aktivitas beta pada EEG. Aktifitas beta adalah aktifitas listrik iregular 13-30 Hz yang direkam dari otak, yang biasanya dijumpai pada keadaan sadar(awake). Apabila orang sudah memasuki tidur REM, orang tersebut bahkan sudah tidak berespon terhadap suara bising terhadapnya, tetapi dapat dengan mudah dibangunkan dengan rangsangan yang bermakna, seperti memanggil nama orang tersebut. Dan, ketika orang tersebut bangun, akan terlihat dalam keadaan waspada dan sadar sepenuhnya (Carlson,2005).
Tidur REM , ditandai dengan hilangnya ketegangan otot batang tubuh, dan EEG desinkronisasi (cepat dan gelombang tidak teratur). Aktivitas serebral (misalnya, konsumsi oksigen, aliran darah, dan perangsangan neural) meningkat pada banyak struktur otak, dan secara umun terjadi peningkatan pada aktivitas sistem saraf otonom (misalnya pada tekanan darah, denyut nadi dan pernafasan). Selain itu, selalu dijumpai juga ereksi klitoris atau penis dengan tingkatan tertentu, serta ditemukan juga pergerakan bola mata secara cepat dengan kondisi mata tertutup( bola mata di bawah kelopak mata). Juga ditemukan korelasi yang sangat kuat antara tidur REM dengan mimpi (Pinel, 2009).
7
Fungsi dari tidur gelombang lambat adalah untuk memberi waktu kepada otak untuk beristirahat, sedangkan fungsi dari tidur REM adalah untuk perkembangan otak dan proses pembelajaran ( Carlson, 2005).
Tidur adalah proses aktif, bukan sekedar tidak terjaga. Tingkat aktivitas otak keseluruhan tidak berkurang selama tidur. Selama stadium-stadium tidur tertentu, penyerapan oksigen oleh otak bahkan meningkat melebihi tingkat terjaga normal. Siklus tidur-jaga adalah variasi siklis normal dalam kesadaran mengenai keadaan sekitar. Berbeda dengan keadaan terjaga, orang yang sedang tidur tidak secara sadar waspada akan dunia luar, tetapi tetap memiliki pengalaman kesadaran dalam batin seperti mimpi. Selain itu, mereka dapat dibangunkan oleh rangsangan eksternal, misalnya bunyi alarm (Sherwood, 2001).
2.1.3. Mekanisme Tidur dan Bangun Mekanisme pengaturan tidur dan bangun diatur oleh beberapa mekanisme, diantaranya : 1) Kontrol sistem kimia dari tidur Sebuah neurotransmitter nukleosida, adenosine, mempunyai peranan yang penting dalam pengaturan tidur. Nutrien utama dari otak adalah glukosa, yang diangkut oleh darah ke otak. Suplai darah yang cukup biasanya akan memberikan jumlah glukosa yang cukup, tetapi bila beberapa daerah di otak menjadi lebih aktif, sel-sel yang berada pada bagian itu akan mengkonsumsi glukosa lebih cepat daripada yang disuplai darah. Pada kasus demikian, nutrient glukosa yang kekurangan ini akan disuplai oleh astrosit dengan cara memecah glikogen yang terdapat pada astrosit tersebut. Metabolisme dari glikogen akan meningkatkan level adenosine, sebuah neuromodulator yang mempunyai efek inhibisi. Akumulasi dari adenosine akan meningkatkan aktivitas delta pada saat tidur pada malam berikutnya. Setelah itu sel di daerah otak itu akan beristirahat,dan astrosit akan memperbaharui stok glikogennya. Oleh
8
karena itu, jelas bahwa adenosine berpengaruh terhadap tidur. Cafeine (adenosine antagonist) yang terdapat pada kopi akan menghambat adenosine sehingga akan mengilangkan efek tidur dan meningkatkan keadaan tejaga (Carlson,2005). 2) Kontrol sistem saraf dari keadaan bangun Ada sedikit lima sistem neuron berbeda yang penting dalam mengatur keadaan bangun (terjaga) yaitu : sitem asetilkolinergik dari area peribrachial pons dan basal forebrain, sistem noradrenergik dari locus coeruleus, sistem serotonergik dari raphe nuclei, neuron histaminergic dari nukleus tuberomammilary dan sistem hipocretinergik dari lateral hipotalamus (Carlson, 2005).
Tidur tipe gelombang lambat terjadi ketika neuron di ventrolateral preoptic area (VLPA) aktif. Neuron-neuron ini menginhibisi neuronneuron
histaminergic
dari
nukleus
tuberomammilary,
neuron
noradrenergik dari locus coeruleus, dan neuron-neuron serotonergik dari raphe nuclei. Sedangkan, VLPA diinhibisi oleh area yang merangsang keadaan bangun d\i otak, sehingga akan terjadi hubungan timbal balik (flip-flop) yang akan membuat kita sadar atau jatuh tertidur. Akumulasi dari adenosine juga dapat menginisiasi tidur dengan cara menghambat neuron-neuron acetilkolinergik di basal forebrain dan mengaktifkan neuron-neuron VLPA.
Adenosine juga terbukti menghambat sistem
hipocretinergik yang berfungsi menbuat orang dalam keadaan terjaga (Carlson, 2005).
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur juga dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti Adrenal Corticotropin Hormone (ACTH), Growth Hormone (GH) dan Luteneizing Hormone (LH). Hormonhormone ini secara teratur disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini ssecara terus menerus mempengaruhi
9
pengeluaran neurotransmitter serotonin, histamine, noradrenaline yang sangat berpengaruh mengatur siklus bangun dan tidur.
2.2.
Kualitas Tidur
2.2.1. Definisi Kualitas Tidur Kualitas tidur merupakan fenomena yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai domain, antara lain, penilaian terhadap lama waktu tidur, gangguan tidur, masa laten tidur, disfungsi tidur pada siang hari, efisiensi tidur, kualitas tidur, penggunaan obat tidur. Jadi apabila salah satu dari ketujuh domain tersebut terganggu maka akan mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas tidur (Buysee,et al,1989). Pada penilaian terhadap lama waktu tidur yang dinilai adalah waktu dari tidur yang sebenarnya yang dialami seseorang pada malam hari. Penilaian ini dibedakan dengan waktu yang dihabiskan di ranjang. Pada penilaian terhadap gangguan tidur dinilai apakah seseorang terbangun tidur pada tengah malam atau bangun pagi terlalu cepat, bangun untuk pergi ke kamar mandi, sulit bernafas secara nyaman, batuk atau mendengkur keras, merasa kedinginan, merasa kepanasan, mengalami mimpi buruk, merasa sakit, dan alasan lain yang mengganggu tidur (Buysee, et al, 1989) . Penilaian terhadap masa laten tidur dinilai berapa menit yang dihabiskan seseorang di tempat tidur sebelum akhirnya dapat tertidur dan apakah orang tersebut tidak dapat tidur selama 30 menit. Selanjutnya, penilaian terhadap disfungsi tidur pada siang hari dinilai apakah selama sebulan yang lalu, seberapa sering timbul masalah yang mengganggu anda tetap terjaga sadar saat mengendarai kendaraan, makan, dan beraktifitas sosial, serta dinilai juga berapa banyak masalah yang membuat seseorang tidak antusias untuk menyelesaikannya dalam sebulan. Pada penilaian terhadap efisiensi tidur dinilai waktu seseorang biasanya mulai tidur pada malam hari selama sebulan,dan waktu seseorang biasanya bangun pada pagi hari selama sebulan, serta dinilai juga waktu seseorang tertidur pulas pada malam hari selama sebulan. Pada penilaian terhadap kualitas tidur dinilai bagaimana seseorang menilai rata-rata kualitas tidurnya. Penilaian terhadap penggunaan kualitas tidur hanya ditujukan pada penilaian seberapa sering seseorang mengkonsumsi obat-obat untuk membantu tidur dalam sebulan yang lalu (Buysee,et al,1989).
10
2.2.2. Metode Pengukuran Pengukuran kualitas tidur dapat dilakukan menggunakan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). PSQI terdiri dari 19 pertanyaan yang dijawab sendiri dan 5 pertanyaan yang dijawab oleh teman sekamar (hanya pertanyaan yang dijawab sendiri yang digunakan dalam penilaian) (Buysee et al,1989). PSQI menghasilkan tujuh skor yang berkorenspondensi dengan domaindomain kualitas tidur. Skor setiap komponen dimulai dari 0 (tidak sulit) sampai 3 (sangat sulit). Skor dari setiap komponen akan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total (antara 0-21). Bila skor total dari PSQI >5, maka kualitas tidur dari pasien adalah buruk, demikian sebaliknya. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kuesioner PSQI, dibutuhkan waktu 5-10 menit untuk menyelesaikannya. PSQI ini sendiri telah divalidasi oleh University of Pittsburgh dengan sensitivitas 89.6% dan spesifisitas 86.5%. Reliabilitas dari kuesioner ini juga telah diuji dengan nilai cronbach’s alpha sebesar 0.83 (Buysse,et al 1989).
2.3.
Gangguan Tidur
2.3.1. Etiologi Gangguan tidur Gangguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering ditemukan pada penderita yang berkunjung ke praktik. Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan rendah maupun orang muda, serta yang paling sering ditemukan pada usia lanjut (Japardi,2002). Oleh karena itu, perlu diketahui beberapa macam penyebab terjadinya gangguan tidur. Tiga penyebab utama yang paling berpengaruh menyebabkan gangguan tidur yaitu kondisi medis, kondisi psikiatri, dan kondisi lingkungan sekitar seseorang. 1. Kondisi medis Berbagai kondisi medis yang buruk dari seseorang dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan tidur. Misalnya gangguan pada paru yang menyebabkan gangguan nafas seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis. Akibat gangguan pernafasan yang dialami, maka seseorang
11
tentunya saja akan mengalami gangguan tidur. Kondisi jantung yang juga berpengaruh meyebabkan gangguan tidur pada seseorang seperti iskemia dan gagal jantung kongestif. Berbagai penyakit neurologis seperti stroke, kerusakan saraf perifer, apnea tidur tipe sentral dan gangguan endokrinologis seperti pada kehamilan, gangguan siklus menstruasi, hipertiroid juga dapat menyebabkan gangguan tidur. Selain itu, kondisi gastrointestinal yang sangat mengganggu tidur yaitu gastroesophageal reflux disease (GERD) karena asam lambung yang naik ke esophagus akan menyebabkan rasa yang mengganggu. 2. Kondisi psikiatri Kondisi psikiatri seperti depresi dapat menyebabkan gangguan tidur tipr REM. Gangguan stres post trauma sering menyebabkan gangguan tidur teror pada malam hari. Selain itu, gangguan anxietas, panic disorder paling sering menyebabkan insomnia atau sulit tidur pada banyak pasien. Selain itu, juga perlu diketahui bahwa, penggunaan obat-obatan pada kondisi psikiatri seperti anti depresan dapat mengganggu tidur pola tidur REM. Obat-obat benzodiazepin yang terlalu sering digunakan dan dalam dosis yang tinggi dapat menyebabkan rebound insomnia (gangguan untuk tertidur akibat pemakaian obat sehingga apabila obat dihentikan, pasien menjadi merasa sulit tertidur).
3. Kondisi lingkungan Gangguan tidur sering disebabkan lingkungan yang bising atau oleh karena suhu lingkungan yang tidak nyaman. Pertukaran jam kerja yang tidak teratur sering menyebabkan gangguan siklus tidur, seperti halnya yang juga terjadi pada jetlag akibat bepergian ke tempat yang mempunyai waktu yang tidak cocok dengan daerah asal. Pergantian ketinggian yang signifikan juga dapat menyebabkan gangguan tidur (Lubit,2012).
12
2.3.2. Klasifikasi gangguan tidur Berdasarkan klasifikasi dari International Classification of
Sleep
Disorders, gangguan tidur terbagi atas : 1.
Dissomnia •
Gangguan tidur intrinsik Narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik, sindroma kaki gelisah, obstruksi saluran nafas, hipoventilasi, post traumatik kepala, tidur berlebihan (hipersomnia), idiopatik.
•
Gangguan tidur ekstrinsik Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi tidur, toksik, ketergantungan alkohol, obat hipnotik atau stimulant.
•
Gangguan tidur irama sirkadian Jet-lag sindroma, perubahan jadwal kerja, sindroma fase terlambat tidur, sindroma fase tidur belum waktunya, bangun tidur tidak teratur, tidak tidur selama 24 jam.
2. Parasomnia •
Gangguan arousal Gangguan tidur berjalan, gangguan tidur teror.
•
Gangguan antara bangun-tidur Gerak tiba-tiba, tidur berbicara, kramkaki, gangguan gerak berirama.
•
Berhubungan dengan fase REM Gangguan mimpi buruk, gangguan tingkah laku, gangguan sinus arrest.
•
Parasomnia lain-lainnya Bruxism (otot rahang mengeram), mengompol, sukar menelan, distonia parosismal.
3. Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan kesehatan / pskiatri •
Gangguan mental Psikosis, anxietas, gangguan afektif, panik (nyeri hebat), alkohol.
•
Berhubungan dengan kondisi kesehatan
13
Penyakit degeneratif (demensia, parkinson, multiple sklerosis), epilepsi, status epilepsi, nyeri kepala, Huntington, post traumatik kepala, stroke, Gilles de-la tourette sindroma. •
Berhubungan dengan kondisi kesehatan Penyakit asma,penyakit jantung, ulkus peptikus, sindroma fibrositis, refluks gastrointestinal, penyakit paru kronik (PPOK).
4. Gangguan tidur yang tidak terklasifikasi (Japardi, 2002).
(i)
Dissomnia Adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesukaran menjadi jatuh tidur (falling as sleep), mengalami gangguan selama tidur (difficulty in staying as sleep), bangun terlalu dini atau kombinasi (Japardi,2002) a. Gangguan tidur spesifik -
Narkolepsi Narkolepsi mempunyai empat ciri-ciri yang ditandai dengan tanda-tanda mengantuk yang berlebihan pada pagi atau siang hari, katapleksi ( kehilangan tonus otot / kelemahan otot sebagian atau seluruhnya yang bersifat sementara), sleep paralisis ( kehilangan kontrol pergerakan volunter secara cepat dan sementara baik pada saat tidur maupun terjaga), dan hypnagogic halusinasi (persepsi seperti mimpi yang terjadi pada saat onset tidur,persepsi yang terjadi sering menakutkan yang dideskripsikan sebagai sesuatu yang nyata, dapat berupa halusinasi taktil, visual dan auditorik). Narkolepsi umunya tidak diketahui, dan umumnya terdapat perbedaan sekitar sepuluh tahun antara onset mula terjadinya penyakit dan diagnosa. Gangguan ini dapat menyebabkan gangguan bersosialisasi dan penurunan prestasi akademis (Bozorg,2010).
-
Gangguan gerakan anggota gerak badan secara periodik / mioklonus nokturnal.
14
-
Gangguan bernafas saat tidur / sleep apnea Terdapat tiga jenis sleep apnea yaitu central sleep apnea, upper airway obstructive apnea dan bentuk campuran dari keduanya. Apnea tidur adalah gangguan pernafasan yang terjadi saat tidur, yang berlangsung selama lebih dari 10 detik. Dikatakan apnea tidur patologis jika penderita mengalami episode apnea sekurang kurang lima kali dalam satu jam atau 30 episode apnea selama semalam. Selama periodik ini gerakan dada dan dinding perut sangat dominan. Apnea sentral sering terjadi pada usia lanjut, yang ditandai dengan
intermiten
penurunan
saturasi
penurunan oksigen.
kemampuan Apnea
sentral
respirasi ditandai
akibat oleh
terhentinya aliran udara dan usaha pernafasan secara periodik selama tidur, sehingga pergerakan dada dan dinding perut menghilang. Hal ini kemungkinan kerusakan pada batang otak atau hiperkapnia. Gangguan saluran nafas (upper airway obstructive) pada saat tidur ditandai dengan peningkatan pernafasan selama apnea, peningkatan usaha otot dada dan dinding perut dengan tujuan memaksa udara masuk melalui obstruksi. Gangguan ini semakin berat bila memasuki fase REM (Japardi,2002).
b. Gangguan tidur irama sirkadian Sleep wake schedule disorders (gangguan jadwal tidur) yaitu gangguan dimana penderita tidak dapat tidur dan bangun pada waktu yang dikehendaki, walaupun jumlah tidurnya tatap. Gangguan ini sangat berhubungan dengan irama tidur sirkadian normal. Berbagai macam gangguan tidur gangguan irama sirkadian adalah sebagai berikut :
15
-
Tipe fase tidur terlambat (delayed sleep phase type) yaitu ditandai
oleh waktu tidur dan terjaga lebih lambat yang diinginkan. Gangguan ini sering ditemukan dewasa muda, anak sekolah atau pekerja sosial. Orang-orang tersebut sering tertidur (kesulitan jatuh tidur) dan mengantuk pada siang hari (insomnia sekunder). -
Tipe Jet lag ialah mengantuk dan terjaga pada waktu yang tidak
tepat menurut jam setempat, hal ini terjadi setelah berpergian melewati lebih dari satu zone waktu. -
Tipe pergeseran kerja (shift work type). Pergeseran kerja terjadi
pada orang yang secara teratur dan cepat mengubah jadwal kerja sehingga akan mempengaruhi jadwal tidur. Gejala ini sering timbul bersama-sama dengan gangguan somatik seperti ulkus peptikum. Gambarannya berupa pola irreguler atau mungkin pola tidur normal. -
Tipe fase terlalu cepat tidur (advanced sleep phase syndrome). Tipe
ini sangat jarang, lebih sering ditemukun pada pasien usia lanjut,dimana onset tidur pada pukul 6-8 malam dan terbangun antara pukul 1-3 pagi. Walaupun pasien ini merasa cukup untuk waktu tidurnya. Gambaran tidur tampak normal tetapi penempatan jadwal irama tidur sirkadian yang tdk sesuai (Japardi,2002).
(ii).Parasomnia Parasomnia adalah gangguan tidur yang ditandai dengan fenomena motorik, verbal dan experiental yang tidak diinginkan yang terjadi baik pada tahap-tahap tidur, maupun pada tahap transisi antara tidur dan terjaga, Parasomnia terdiri dari : 1. Gangguan tidur teror 2. Gangguan tidur berjalan 3. Nightmare disorders 4. Gangguan tidur berkaitan dengan fase REM (Bienenfeld,2012).
16
2.4.
Hipertensi
2.4.1. Definisi Hipertensi Hipertensi adalah tekanan darah sistolik lebih besar atau sama dengan 140mmHg, dan atau tekanan darah diastolik lebih besar atau sama dengan 90 mmHg, atau pasien sedang dalam pengobatan anti hipertensi (JNC VII,2003).
2.4.2. Etiologi Hipertensi Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan , yaitu : 1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, dan lain-lain (Mansjoer,skk,2001). 2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. (Monsjoer,dkk,2001) Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh : 1. Penyakit ginjal : a. Penyakit ginjal polikistik b. Penyakit ginjal kronis c. Obstruksi traktus urinarius d. Tumor ginjal 2. Penyakit vaskular : a. Koarktasio aorta b. Vaskulitis c. Penyakit kolagen-vaskular 3. Gangguan hormonal : a. Penggunaan steroid berlebihan b. Hiperaldosteronisme primer c. Sindroma Cushing
17
4. Penyakit saraf a. Tumor otak b. Hipertensi intrakranial c. Poliomielitis bulbar 5. Obat-obatan : a. Alkohol b. Kokain c. Obat anti inflamasi non steroid d. Dekongestan yang mengandung efedrin (Riaz,2012).
2.4.3. Klasifikasi Hipertensi a. Klasifikasi hipertensi berdasarkan WHO/ISH : Tabel 2.1. Kategori Optimal Normal High-normal Grade 1 hipertensi (ringan) Subgroup: borderline Grade 2 hipertensi (sedang) Grade 3 hipertensi (berat) Hipertensi sistolik terisolasi Subgroup: borderline
Sistolik(mmHg) < 120 < 130 130-139 140-159 140-149 160-179 > 180 > 140 140-149
Diastolic(mmHg) < 80 < 85 85-89 90-99 90-94 100-109 > 110 < 90 < 90
Catatan : Ketika tekanan darah sistolik dan diastolik pasien berada pada kategori yang berbeda, maka kategori tertinggi yang kita gunakan. (WHO,1999)
b. Klasifikasi berdasarkan JNC VII : Tabel 2.2. Kategori Normal Prehipertensi Hipertensi tingkat 1 Hipertensi tingkat 2
Sistolik(mmHg) <120 120-139 140-159 > 160
Diastolic(mmHg) <80 80-89 90-99 > 100
18
Catatan : Pasien tidak sedang sakit atau minum obat hipertensi. Jika tekanan sistolik dan diastolik berada dalam kategori berbeda, masukkan dalam kategori yang lebih tinggi. Berdasarkan dari rata-rata dua atau lebih pembacaan yang diambil dari dua atau lebih kunjungan setelah skrining awal (JNC VII,2003).
2.4.4. Faktor resiko hipertensi Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan hipertensi diantaranya yaitu : riwayat keluarga, individu dengan riwayat keluarga hipertensi mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Obesitas, hal ini disebabkan karena lemak dapat menimbulkan sumbatan pada pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Stress, atau situasi yang dapat menimbulkan distress dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada seseorang (Dobrian et al, 2001). Faktor-faktor resiko lain yang juga berpengaruh terhadap meningkatnya tekanan darah adalah umur, jenis kelamin, peminum alkohol, kurangnya aktifitas fisik, diet tinggi natrium, diet rendah kalium, diet rendah magnesium dan kalsium, merokok, serta konsumsi lemak dan kolesterol yang tinggi. Penggunaan obat-obat kontrasepsi dan premenstrual syndrome pada beberapa wanita juga dapat menyebabkan terjadinya hipertensi (Riaz,2012). Selain itu, gangguan tidur atau kualitas tidur yang buruk seperti gangguan tidur apnea, dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi. Insomnia dan durasi tidur yang singkat objektif juga merupakan salah satu faktor terjadinya resiko peningkatan tekanan darah (Calhoun dan Harding,2012). Berdasarkan faktor-faktor resiko yang telah dikemukakan di atas, maka faktor-faktor resiko tersebut dapat dibagi menjadi faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain : umur, riwayat keluarga, dan jenis kelamin, sedangkan faktor resiko yang dapat dimodifikasi antara lain : obesitas, konsumsi garam yang berlebihan, penggunaan alkohol, kurangnya aktifitas fisik,
19
penggunaan pil kontrasepsi pada wanita, meningkatkan kualitas tidur dan lain-lain. Pembagian ini penting karena pada pencegahan hipertensi sangat diutamakan dalam memodifikasi faktor-faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti mengurangi konsumsi garam, mengurangi konsumsi alkohol, melakukan aktifitas fisik yang rutin, serta meningkatkan kualitas tidur (Riaz,2012).
2.4.5. Patogenesis Hipertensi Tekanan darah(↑)
Cardiac Output(↑)
HR(↑)
Resistensi perifer(↑)
SV(↑)
Regulasi sirkulasi
Inervasi langsung
Regulasi lokal
Viskositas lokal
-angiotansin II (↑) -α1-receptors(↑) -nitricoxide(↓) hematocrit(↑)
-PSNS (↓)
-Katekolamin(↑)
-SNS (↑)
-β2-receptors(↓) -endothelin(↑)
-[H+] (↓)
-Katekolamin(↑)
VR(↑)
CC(↑)
-oxygen(↑)
-adenosine (↓) - Katekolamin(↑)
- SNS (↑)
-prostaglandins(↓)
Volume darah(↑) Tonus vena(↑)
Retensi renal(↑) [Na+, H2O]
- SNS
-Haus(↑)
(↑) - Katekolamin(↑)
-Aldosterone(↑)
-ADH(↑) -SNS (↑) -NP(↓)
(Zamani, Williams dan Lilly,2007).
20
ADH CC HR NP PNSN SNS SV VR
2.4.6.
= antidiuretik hormon = cardiac contractility = heart rate = natriuretic peptides = parasympathetic nervous system =sympathetic nervous system = stroke volume = venous return
= kontraktilitas jantung = kecepatan denyut jantung = peptida natriuretik = sistem saraf parasimpatis = sistem saraf simpatis
Komplikasi Hipertensi Komplikasi dari hipertensi biasanya menyerang berbagai target organ spesifik, diantaranya : 1. Jantung -
Hipertrofi ventrikel kiri
-
Gagal jantung
-
Iskemia miokard dan infark miokard
2. Cerebrovaskuler -
Stroke
3. Aorta dan pembuluh darah perifer -
Aneurisma aorta dan atau diseksi aorta
-
arteriosclerosis
4. Ginjal -
Nephrosclerosis
-
Gagal ginjal akut
5. Retina -
Penyempitan arteri
-
Pendarahan, eksudasi dan papiledema
(Zamani,Williams dan Lilly 2007).
21
2.5.
Hubungan antara kualitas tidur dengan peningkatan tekanan darah Beberapa penelitian telah melaporkan keterkaitan bahwa gangguan tidur merupakan faktor resiko terjadinya hipertensi. Meskipun mekanisme nya belum jelas, tetapi berdasarkan penelitian yang dilaporkan pada journal of the American Heart Association, telah ditemukan bahwa penurunan durasi tidur mengakibatkan gangguan metabolik dan endokrin yang sangat berpengaruh mengatur regulasi tekanan darah sehingga apabila terjadi gangguan akan meningkatkan resiko terjadinya hipertensi. Selain itu juga dilaporkan bahwa meskipun durasi tidur yang rendah dapat menyebabkan terjadinya hipertensi, tetapi efisiensi tidur yang rendah dilaporkan
lebih
mempunyai
makna
menyebabkan
hipertensi
dibandingkan dengan durasi tidur yang rendah (Javaheri,dkk,2012). Tidur dapat mengubah fungsi sistem saraf otonom baik simpatis maupun parasimpatis yang dapat mempengaruhi tekanan darah. Pada saat tidur normal, akan terjadi penurunan tekanan darah relatif sekitar 10-20 persen dibandingkan dengan saat kita dalam keadaan sadar. Keadaan ini dikenal dengan nocturnal dipping oleh karena terjadinya penurunan aktifitas simpatis pada tidur yang normal. Apabila terjadi gangguan tidur, maka nocturnal dipping akan tergganggu. Kurang atau tidak terjadinya nocturnal dipping sangat berhubungan erat dengan terjadinya hipertensi terutama hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal kronis, diabetes,danlain-lain. Selain itu, juga ditemukan pada studi bahwa pada pasien insomnia, kurang durasi tidur, dan apnea tidur sentral ditemukan prevalensi hipertensi yang meningkat (Calhoun,dkk,2012). Pada pencegahan hipertensi pada masa yang akan mendatang, perhatian khusus terhadap kualitas tidur seperti mengoptimalisasi waktu tidur juga sangat penting selain memodifikasi gaya hidup, berolahraga yang teratur, pengaturan diet untuk mengurangi resiko hipertensi dan meningkatkan kesehatan masyarakat (Javaheri,2008).